“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (penentu keputusan) terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.“ (Q.S 4 :65 ).
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).
Dari sudut pandang syiah, hadist-hadist seputar peristiwa Ghadir Khum
yang menceritakan tentang mandat Rasululah pada Ali untuk melanjutkan
kepemimpinan ummat adalah sangat mutawatir, Sebut saja Syekh Saduq ,
Syekh Thusi, dan para muhadist Syiah lainnya meriwayatkan peristiwa
tersebut dari berbagai rantai periwayatan yang hingga mencapai ratusan
hadist ,bahkan ribuan kesaksian yang saling menguatkan satu sama lain.
Berbeda dengan saudara-saudara di kalangan ahusunnah, hadist-hadist
seputar peristiwa ini cenderung seperti ditutup tutupi.
Dalam membahas peristiwa Ghadir Khum ini, kami akan berusaha
mengemukakan hadist-hadist dari kalangan saudara kami ahlussunnah,
karena sebagaimana yang saya alami dulu saat masih menjadi pengikut
ahlussunnah, hadist-hadist syiah tidak berarti apa-apa bagi saya saat
itu. Sama seperti bila kita berhujjah dengan kaum agama lain misalnya,
mana mau mereka menerima hujjah kecuali dari kitab mereka sendiri.
Banyak pula diantara mereka yang walaupun telah dipaparkan dengan
berbagai argumentasi tak terbantahkan darikitab mereka sendiri yang
masih keras kepala, menutup hatinya rapat-rapat dari kebenaran,
mudah-mudahan para pembaca disini tidak termasuk yang demikian, insya
Allah Amin.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alqur`an At Tawbah: 32 dan
Saff: 8, mereka mengadakan dusta terhadap Allaah, mereka berkata bahwa
Allaah tidak menurunkan perkara apapun tentang keberlanjutan
kepemimpinan Ilahi,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan
kebohongan terhada Allah padahal dia diajak kepada Islam? Dan Allaah
tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zalim.”.
”Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang
kafir membencinya.” (Q.S As-Saff: 7-8).
Walaupun ada upaya-upaya sistematis dari para penguasa pada masa lalu
untuk menutup-nutupi fakta penting sejarah ini, berbagai hadist seputar
peristiwa tersebut, dan puluhan hadist lainnya yang saling menguatkan
satu sama lainnya dan berbagai riwayat yang “tanpa sengaja” membenarkan
peristiwa tersbut bertebaran disana-sini, berikut kami akan paparkan
hadist-hadist tersebut :
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata ‘” Rasululah saw telah berpidato di
suatu tempat bernam,a Ghadir Khum, di bawah beberapa batang pohn. Beliau
berkata,” Wahai manusia , hampir tiba saatnya aku akan dipanggil
kembai. Dan aku pasti akan memenuhi panggilan tersebut dan aku akan
dimintai pertanggung jawaban. Dan kamupun akan dimintai
pertanggungjawaban maka apa yang akan kamu katakan ?
Mereka menjawab,” Kami bersaksi bahwa engkau menyampaikannya, telah
berjuang serta memimpin kami setulus-tulusnya. Semoga Allah memberi
balasan yang sebaik-baiknya.”.
Lalu rasul melanjutkan,”
Bukankah kalian bersaksi tentang La Ilaaha ilallah
Muhammadurasuulullah, dan bahwa surga haqq, kebangkitan itu haqq, dan
bahwa hari qiyamat itu benar, tiada keraguan tentangnya dan bahwa Alah
akan membangkitkan kembali semua yang ada di liang kubr? “
jawab mereka,” Ya Alah saksikanlah.”.
Selanjutnya rasul melanjutkan,” wahai manusia, sungguh Allah adalah
maulaku, dan aku adalah maula seluruh kaum muslimin, dan aku lebih
berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri. Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk
Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya,
dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Kemudian beliau melanjutkan lagi,
”Wahai manusia, bahwa aku akan mendahului kalian, dan kelak kalian
akan menghadap aku di telaga Haudh. Haudh lebih luas daripada Bushra ke
Shan`a, disana tersedia gelas-gelas perak sebanyak bintang dilangit dan
aku saat itu akan bertanya pada kalian tentang Tsaqolain ( dua pusaka)
bagaimana kalian memperlakukannya sepeninggalanku. Atsaqol yang teragung
adalah Kitabullah, ujung yang satunya di “tangan” Allah, yang satu lagi
di tangan kalian maka berpeganglah erat padanya, niscaya kalian tidak
akan sesat, tidak berubah arah. Yang kedua adalah itrahku (keturunanku)
ahul baitku, sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan
bahwa keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.” ( HR Thabrani, Ibnu Jarir, Al Hakim, Tirmidzi dari Zaid bin Arqom).
Tentang hadist tersebut, bahkan Ibnu Hajar yang sangat membenci Syiah
dalam halaman 25 Kitab Sawa`iqnya mengutip hadist tersebut dari
Thabrani dan membenarkan hadist tersebut tanpa keraguan.
Selanjutnya al Hakim dalam Mustadraknya bab Manaqib Ali meriwayatkan
hadist serupa Dari Zaid bin Arqam, dari dua saluran yang disahihkan
sesuai dengan yang disyarat kan Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan
pula oleh adz Dzahabi dalam kitabnya at Talkhis , seraya mengakui
kesahihannya;
Zaid bin Arqam berkata ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada`
dan teah sampai suatu tempat bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan
beberapa pengikut untuk memasang kemah, di bawah beberapa batang pohon.
Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi
panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua
pusaka) yang teragung adalah Kitabullah , yang kedua adalah itrahku
(keturunanku) ahlul baitku , sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah
memberitahukan bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau memegang tangan Ali sambil berkata ,”Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk
Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya,
dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Dan diriwayatkan pula peristiwa tersebut oleh Imam Ahmad dalam Musnad
Ahmad jilid IV meriwayatkan hadist serupa melalui Zaid bin Arqam,
katanya ‘”
Kami berhenti di suatu lembah bernama Ghadir Khum, beliau
memerintahkan untuk mendirikan shalat, lalu beliau sholat pada waktu
hari sudah siang terik, Beliau berpidato dihadapan kami, sehelai kain
kain direntangkan di atas sebatang pohon untuk melindungi tubuh beliau
dari sengatan matahari, Lalu beliau berkata,” wahai manusia, apakah
kalian bersaksi bahwa aku adalah maula seluruh kaum muslimin,dan aku
lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri.” Yang
hadir menjawab,” benar ya rasulullah.”.
Beliau melanjutkan ,” Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya
Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang
memusuhinya.”.
Selanjutnya An Nasa`i meriwayatkan pula Dari Zaid bin Arqam, katanya
‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan berhenti di Ghadir Khum,
beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah. Beliau
berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi
panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua
pusaka) yang salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah , dan
itrahku ahlul baitku , keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di
Haudh.”.
Lalu beliau melanjutkan,” ,” Sesungguhnya aku adalah maula seluruh
kaum mu`min, lalu Rasul mengangkat tangan Ali sambil berkata,”
Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah
maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah
siapa yang memusuhinya.”
Hadist tersbut juga diriwayatkan juga oleh Muslim pada sahihnya dalam
bab keutamaan Ali dari beberapa saluran dari Zaid bin Arqam, tapi
hadist tersebut dipotong ringkas, begitulah yang biasa mereka lakukan.
Dari al Barra` bin Azzib melalui dua saluran, ia berkata ‘” Kami
bersama-sama Rasulullah berhenti di Ghadir Khum, maka diserukanlah untuk
mendirikan shalat, lalu dibersihkanlah tempat bagi rasul dibawah dua
batang pohon, lalu beliau sholat Dzuhur, setelah itu Beliau mengangkat
tangan Ali sambil berkata,” wahai manusia, apakah aku lebih berhak
menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.”
Mereka menjawab ,”benar ya rasululah.”
Sambil mengangkat tangan Ali rasul berkata,” Barangsiapa yang
menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah
cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang
memusuhinya.” Setelah itu Umar bin Khattab datang menemui Al dan
berkata,” Alangkah bahagianya anda wahai Ali binAbi Thalib, kini engkau
menjadi maula seluruh mu`min dan mu`minah ( Musnad Ahmad , jilid IV
halaman 281 ).
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allaah dengan jihad yang
sebenar-benarnya Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan
kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim.
Dia (Allaah) telah menamakan kamu orang – orang muslim sejak dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi
saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap
manusia. Maka laksnakanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan berpegang
teguhlah kepada Allaah. Dialah Maula kalian (Huwa Maula kum); Dia sebaik
– baik maula dan sebaik – baik penolong.” (Q.S Al-Hajj[22]: 78).
Dan telah diriwayatan oleh anNasa`i dari Aisyah binti Sa`ad, katanya
,” Kudengar ayahku berkata : “ Aku mendengar Rasulullah ketika berada di
Juhfah berkata setelah memuji Allah,” ,” wahai manusia, aku adalah wali
kalian ?.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Lalu beliau
mengangkat lengan Ali seraya berkata,” Inilah waliku yang akan melunasi
hutangku, bertindak atas namaku dan aku bersama siapa yang
memperwalikannya dan aku musuhi siapa yang memusuhinya.” ( Al
Khashaishul Alawiyah bab keddudukan Ali halaman 4 dan halaman 25).
Dari Sa`ad ,” ‘” Kami bersama-sama Rasulullah di Ghadir Khum, beliau
berhenti sambil menunggu kedatangan rombongan rombongan yang
dibelakangnya, dan memerintahkan agar orang-orang yang telah
mendahuluinya agar kembali dan berkumpul semuanya,Setelah semuanya
bergabung Beliau berkata,” wahai manusia, siapakan waliMu ” Mereka
menjawab ,” Allah dan RasulNya.” Sambil mengangkat tangan Ali dan
menyuruh Ali berdiri rasul berkata,”Barangsiapa yang menjadikan Allah
dan RasulNya sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga. Ya Allah
cintailah siapa yang berwilayah padanya, dan musuhilah siapa yang
memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab kedudukan Ali halaman 25 ).
Bukti-bukti lain dari berbagai riwayat ahlusunnah yang menunjukan bahwa peristiwa Ghadir Khum benar-benar ada:
Seperti telah saya katakan sebelumnya bahwa dalam kitab-kitab hadist
syiah, hadist-hadist tentang peristiwa ini banyak berserakan dari
berbagai jalur rantai periwayat. Tetapi dalam ahlusunnah, hadis-hadist
seputar peristiwa ghadir khum memang tidak sebanyak dalam riwayat Syiah.
Para penulis hadist sunni seperti berusaha menyembunyikan dan
menutupnya rapat-rapat, berbeda dengan hadist “berpegang pada Kitabullah
dan Sunah nabi”, walaupun tidak mencapai derajat mutawatitr bahkan
tidak terdapat dalam Bukhari Muslim yang sering mereka anggap sebagai
kitab hadist paling sahih, pegangan kedua setelah Kitabullah, mereka
para ulama ahlusunnah menyebarluaskan hadis yang kurang kuat tersebut,
tetapi untuk hadis ghadir khum, mereka seperti menutup, menyembunyikan,
dan menjauhkannya bagi ummat sebagai sebuah cerita masa lalu yang tidak
begitu penting.
Tetapi, kekuatan apa pun yang berusaha menyembunyikan kebenaran, dan
serapi apa pun, cahaya kebenaran tetap tidak dapat dipadamkan. Seperti
upaya menghapus kabar-kabar nubuwwah tentang kenabian Muhammad dari
kitab-kitab agama-agama samawi didunia, toh akhirnya terkuak juga bahwa
nubuwah yang berisi informasi tersebut masih tersimpan rapi dalam kitab
mereka walau dalam bentuk metafora sekalipun.
Walaupun hadist-hadist seputar suksesi penting tersebut terkesan
disembunyikan, berbagai kesaksian-kesaksian atau pembenaran-pembenaran
lainnya tentang peristiwa tersebut bertebaran pula dalam berbagai kitab
hadist Ahlussunnah, sebagai bangunan argumentasi yang kokoh, berbagai
fakta satu sama lain saling menguatkan, ibarat sebuah bangunan yang
kokoh tak bergeming.
Saking banyaknya rantai periwayatan yang menguatkan
peristiwa tersebut, Ustadz Hasan salah seorang mantan pengikut Wahabi
bahkan menyatakan beberapa saat ketika dahulu sebelum tasyayunya,”
Hadist tentang doa iftitah saja yang berbunyi ” Allahumma ba’id baini wa
baina khotoya…., atau hadist doa attahiyat yang berbunyi,” attahiyatu
mubarokatu” dst….saja, periwayatnya tidak sebanyak ini, tapi disahihkan
bahkan diamalkan oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat berhati-hati
terhadap hadist, apalagi hadist ghadir khum yang lebih dari sekedar
mutawatir, dari kitab yang saya punya saja ada riwayat dan
kesaksian-kesaksian para sahabat sebanyak 34 pahlawan badar yang
menyaksikan peristiwa tersebut, sementara yang menyaksikan Nabi membaca
doa iftitah atau membaca attahiyat sebagaimana tadi saya sebutkan saja
tidak lebih dari dua orang. Jadi, mengapa kita meninggalkan dan tidak
mengamalkan wasiat Nabi tersebut?”
Ghadir Khum dan Asbabunnuzul
alWahidi dalam kitabnya Ababun nuzul ketika menafsirkan surat
alMaidah ayat 67 yang berbunyi : “Hai Rasul sampaikanlah apa yang
diturunkan padamu dari Tuhanmu, jika kamu tidak kerjakan yang demikian
berarti kamu tidak menyampaikan seluruh apa yang diamanahkanNya padamu.
Allah memeliharamu dari gangguan manusia, sesungguhnya Allah tidak
memberikan hidayah pada orang-rang yang ingkar ,”mengutip perkataan Abu
Sa`id al Khudr yang berkata,”Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum,
berkenaan dengan pidato nabi tentang Ali bin Abi thalib. Ats Tsa`labi
meriwayatkan pula melalui dua sanad dalam alKabirnya berkenaan dengan
turunnya ayat tersebut dan diriwayatkan pula oleh al hamwini asSyafii
dalam alFaraid dengan mengambi beberapa sanad dari Abu Hurairah secara
marfu`, dikutip pula oleh al Hafidz Abu Nu`aim dalam kitab Nuzulul
Qur`annya melalui dua sanad yaitu dari Abu rafi`dan yang keduanya dari
al-A`masy dari `Atiyyah (secara marfu`).
Abu Ishaq Ats Tsa`labi meriwayatkan pula dalam alKabirnya berkenaan
dengan penafsiran surat alma`arij : 1-2 yang berbunyi,” Seseorang telah
meminta kedatangan adzab yang menimpa orang kafir, dan tidak seorangpun
dapat menolaknya.”.
Dengan melalui dua sanad yang mu`tabar bahwa : rasulullah telah
mengumpulkan banyak orang pada peristiwa Ghadir Khumm saat rasul
mengangkat tangan Ali dan berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.maka tersiarlah
berita itu hingga didengar Harist bin nu`man al Fihri. ia segera
mendatangi Rasul sambil mengendarai ontanya.
Setiba di hadapan beliau, ia segera
turun dari onta dan bertanya,” Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami
bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah rasulallah
dan kami menerimanya. Dan engkau perintahkan kami untuk shalat 5 kali
sehari dan kami menjalankannya, engkau perintahkan kami zakat, kami
tunaikannya, dan engkau suruh kami berhaji dan kami menerimanya.
Namun
anda belum puas dengan semua itu sehingga anda akan lengan sepupu anda
(Ali) sambil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya,
maka Ali adalah maulanya juga. .”.
Apakah ini dari anda pribadi atau dari
Allah.jawab rasul,” Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia ini adalah
ketentuan Allah `Aza wa Jalla, Mendengar itu, pergilah al Harist pergi
menuju ontanya sambil berkata dengan sinis ,” Ya Rabb, jika apa yang
dikatakan Muhammad memang benar, maka turunkanlah hujan batu dari
langit, atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Berkata perawi,
“Maka Allah melemparinya dengan batu yang menembus tubuhnya hingga jatuh
terkapar dan mati sebelu mencapai ontanya.” .
Hadist serupa juga
diriwayatkan oleh tokoh-tokh ahlusunnah lanya seperti Allamah Syablanji
dalam Nurul Abshar pada bab Riwayat Hidup Ali, juga ditulis oleh
al-halabi dalam sirahnya halaman 214 jilid III.
Munasyadah al Rahbah 35 H
Al rahbah artinya beranda, yaitu suatu tempat dimana pada saat Ali
naik menjadi khalifah setelah Usman terbunuh, beliau menyelesaikan
berbagai permasalahan Umat di beranda masjid kota Kuffah 25 tahun
setelah peristiwa Ghadir Khum , tepatnya pada tahun 35 H setelah kaum
muslimin mengalami berbagai peristiwa yang memakan korban para saksi
ghadir khum antara lain peperangan-peperangan yang banyak memakan korban
terutama di pada masa kekuasaan Abu Bakar, serta wabah kolera yang
memakan banyak jiwa kaum muslimin termasuk para sahabat yang ikut
menyaksikan peristiwa ghadir khum, Amirul Mu`minin Ali bin Abi thalib
yang baru dibai`at sebagai khalifah mengumpulkan orang banyak dihalaman
masjid sambil berpidato ,” Aku mengajak demi Allah pada tiap orang
diantara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan rasulullah di
ghadir Khum agar berdiri memberikan kesaksian dari apa yang telah
didengarnya.Dan hendaklah jangan kalian berdiri kecuali mereka yang
benar-benar telah melihat peristiwa itu dengan kedua matanya dan
mendengar apa yang Rasul katakan saat itu dengan kedua telinganya !’
maka berdirilah 30 orang dikalangan sahabat, duabelas diantaranya adalah
pejuang Badar. Dan mereka semuanya memberikan kesaksian bahwa Rasul
telah mengangkat lengan Ali dan bersabda ,” apakah aku lebih berhak
menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.” Mereka
menjawab ,” benar ya rasululah.” Beliau berkata lagi ,” Barangsiapa yang
menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya
Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang
memusuhinya.” ( Musnad Ahmad , jilid I halaman 119, dirawikan dari Abdurahman bin Abi Laila ).
Masih dalam musnad Ahmad diriwayatkan dari berbagai jalur periwayatan
lain di akhir halaman 119 juga disebutkan pula oleh Ibnu Qutaibah ad
daruni dalam kitabnya Ma`arif di akhir halaman 94 menurut riwayat
Abdurahman bin Abi laila dan beberapa jalur lain , bahwa ketika itu Ali
berkata kepada Anas “ mengapa engkau tidak berdiri bersama sahabat
lainnya dan memberikan kesaksian seperti apa yang anda dengar ketika itu
? “ Anas menjawab “ Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.” Ali
berkata,” Baiklah, jika apa yang kau ucapkan itu bohong, semoga Allah
menimpakan penyakit belang atas tubuhmu sehingga tidak tertutup
sorbanmu.”Dan tidak lama kemudian dia dirimpa penyakit belang hingga
meliputi seluruh mukanya.” Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang
saleh.” Katanya kemudian. peristiwa ini diriwayatkan pula oleh Zaid bin
Arqam bisa dirujuk dalam berbagai kitab sunni antara lain al Haitsami
dalam majmaul Zawaaid, almaghazili dalam alManaqib , Thabrani dalam
alKabir, atTabari dalam Zakhair al Uqba, al Hafisz Muhammad bin Abdullah
dalam alFawaaid,dll.
Kisah senada juga diriwayatkan oleh Abu Thufail Amir bin Watsilah
sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya , an Nasai
dalam Khasais, Abu dawud dalam, al Ashimi dalam Zainal fata, Al Kunji
dalam kifayah, at tabari dalam Riyad an Nadhirah, Ibnu katsir dalam
bidayah, Ibu Atsir dalam Usud al Ghabah, dll.
Disamping itu Ibnu katsir dalam tarikhnya meriwatkan kejadian serupa dari Ahmad bin hambal:
Ali mengingatkan Thalhah pada perang Jamal
Saat berkecamuknya perang Jamal, terekam oleh kitab-kitab hadist dan
sejarah dialog yang terjadi antara mereka berdua, saat itu diceritakan
bahwa,
Ali berkata pada Thalhah,”Aku bermunasyadah atas nama Allah, tidakkah
engkau pernah mendengar bahwa nabi pernah berkata, ”Barangsiapa yang
menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya,
Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah
siapa saja yang memusuhinya.” Jawab Thalhah,” ya, aku pernah
mendengarnya” Lalu Ali bertanya,” kalau begitu, mengapa engkau
memerangiku?” Thalhah menjawab,” aku lupa.”.
Al hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya , juga diriwayatkan Mas’udi
dalam Muruj al Zahab, Khatib al Khawarizmi dalam al manaqib, Ibnul jauzy
dalam tadzkirah, Ibnu hajar dalam al tahzib, al Haitsami dalam majmaul
Zawaid, jalaluddin Suyuthi dalam jami al Jawami, dll.
Pernyataan-pernyataan lain yang menguatkan
Juga disebutkan dalam Musnad Ahmad ( juz V halaman 419) dari Riyah
bin harist melalui dua saluran hadist, katanya ,” sekelompok orang
mendatangi Ali seraya mengucapkan ,” Assalaamu`alaika ya Amiru
mu`minin,” Ali bertanya,” siapa kalian?’ “ kami adalah pengikut tuan.”
Jawab mereka.
Lalu Ali bertanya,” bagaimana kalian menganggap aku sebagai Wali
kalian , sedang kalian adalah orang-orang Arab.” Jawab mereka,” kami
telah mendengar rasul bersabda pada peristiwa Ghadir Khum ,” Barangsiapa
yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”
berkata Riyah ( perawi hadist ini) : ketika mereka pergi, aku ikut
bersama mereka dan menanyakan tentang orang-orang ini, siapakah mereka,
dan aku mendapat jawaban bahwa mereka adalah sekelompok kaum Anshar,
diantaranya ada Abu Ayyub al anshari.”
Munasyadah Pada Masa Usman bin Affan
Sebagaimana diriwayatkan alHimwaini dalam Faraidu Simthoin, Sulaim
bin Qois alHilali menyaksikan bahwa saat itu pada masa Usman bin Affan
berkuasa berkumpul di masjid Nabawi lebih dari 200 sahabat termasuk
diantaranya Miqdad, Saad Bin Abi Waqass, Ibnu umar, Thalhah, Zubair, dan
lain-lain, mereka membicarakan keutamaan kaumnya, saat itu Ali berkata
panjang lebar yang diantaranya adalah pernyataan-pernyataan Nabi tentang
keutamaan Ali dan ahlulbait Nabi termasuk diantaranya yang nabi ucapkan
di Ghadir Khum.
Peristiwa syura 23 H
Jauh sebelum itu, pada peristiwa syura, Ali melakukan dialog pada
para peserta syura, disana Ali mengambil kesaksian-kesaksian, salah
satunya adalah sebagaimana diceritakan Abi At Tufail Amr bin watsilah
sebagaimana tercatat dalam Khashaisul Alawiyah (AnNasa`i) menceritakan
bahwa Ali berkata pada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang seperti
diriku dimana Rasul berkata padanya,”Barangsiapa yang mengakui aku
adalah pemimpinnya maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya, Ya
Allah befihaklah pada orang-orang yang memihaknya, belalah orang-orang
yang mengikuti wilayah (kepemimpinannya) , dan musuhilah orang-orang
yang menentang kepemimpinannya.”.
Hujjah Keluarga nabi tentang al Ghadir
Al muqiri asSyafii dalam Asnal al Matalib meriwayatkan debat antara
Fatimah dengan para sahabat Nabi, dari percakapan yang cukup panjang
terungkap pula pernyataan fatimah ,”Apakah kalian lupa perkataan
rasulullah pada hari al Ghadir ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku
sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah,
dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja
yang memusuhinya.”.
Al Hafidz Abul Hassan bin Uqdah meriwayatkan bahwa pada saat Imam
Hassan menandatangani kesepakatan dengan Muawiyah, Imam
berkata,”Bukankah ummat ini mendengar perkataan nabinya saat memegang
tangan Ali di Ghadir Khum sambil berkata ,” ”Barangsiapa yang menganggap
aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah,
dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja
yang memusuhinya.” Dan Nabi memerintahkan agar yang hadir
menyampaikannya pada yang tidak hadir.”.
Sulaim bin Qais pun meriwayatkan bahwa duatahun setelah kematian
Muawiyah, Imam Husein berpidato dihadapan 700 orang jemaah haji di mina
yang termasuk diantaranya adalah para sahabat, tabiin, Bani hasyim dan
para pengikut setia al Husein,” Aku bermunasyadah pada Allah, bukankah
kalian tahu bahwa Nabi di ghadir Khum berkata sambil mengangkat tangan
Ali ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat)
Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya
(Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya, dan hendaklah yang
mendengar hal ini menyebarluaskan kabar ini pada yang belum
mendengarnya,” semua yang berkumpul memberikan kesaksian.
Begitulah sekelumitnya pencarian ku tentang kebenaran peristiwa
ghadir khum tersebut, saat saya masih mempelajarinya, sekelompok teman
yang terpengaruh faham wahabi datang dan mengatakan bahwa peristiwa
tersebut tidak detail disebutkan dalam bukhari-muslim, lalu saya katakan
kepada mereka,” bukankah hadist “Kitabullah wa sunnatun nabi” pun tidak
kutemukan dalam bukhari muslim. Dan kalau hadist yang sebegini banyak
jalur periwayatannya saja kita tolak, kenapa kita melakukan shalat,
padahal hadist-hadist tentang tata cara shalat saja tidak sebanyak ini
jalur periwayatannya.”.
Masih banyak lagi berbagai riwayat lain yang begitu melimpah
bukti-bukti yang menguatkan kebenaran peristiwa tersebut, Bahkan
jauh-jauh hari sebelum peristiwa penting tersebut terjadi, nabi selalu
mengulang-ulang pesan penting tentang kewilayahan Ali, dan pentingnya
berpegang pada Aststaqolain (dua pusaka) Kitabullah, dan ahlul bait Nabi
, dalam berbagai kesempatan , pernyataan-pernyataan nabi tersebut
terdapat di berbagai kitab hadist sunni.
Di akhir tulisan ini,saya akan tutup dengan kisah seorang perempuan
pemberani bernama Darumiyah, saat ditanya oleh Muawiyah tentang alasan
mengapa Darumiyah begitu mencintai Ali, Darumiyah memberikan serangkaian
argument yang salah satunya adalah,”Aku berwilayah pada Ali karena
rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin ummat sepeninggalan
beliau , bahkan bukankah peristiwa itu terjadi dihadapan batang hidungmu
wahai Muawiyah.” ( Zamakhsyari dalam rabiul abrar)
Komentar:
Mengapa Allah tidak boleh menunjuk langsung pemimpin Ummat melalui
lisan nabi, sehingga tidak ada perpecahan seperti yang terjadi saat ini,
ummat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mengklaim
punya Pemimpin sendiri-sendiri.Apakah Allah membiarkan ummat ini bingung
memilih siapa pemimpinnya, padahal bukankah kepemimpinan adalah hal
yang sangat fundamental, tanpa pemimpin ummat akan terpecah, kebenaran
akan menjadi bias-bias yang semakin membuat ummat kebingungan.
Kepemimpinan yang dipilih secara musyawarah pada akhirnya selalu membuat
perpecahan, ketidak puasan, sebagaimana yang kita lihat sekarang, lalu
apakah Nabi wafat tanpa menunjuk khalifah setelahnya sehingga ummat
kebingungan dan berpecah-pecah.
Padahal, bukankan tiap-tiap ummat akan dipanggil kelak bersama pemimpin-pemimpin (Imam – Imam) mereka ?
Allah Swt berfirman:
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu
tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67).
Peristiwa
pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam
pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.
Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini,
terjadi
pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan
Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa
sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat
terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.
Dalam
sebagian riwayat, Haji Perpisahan/Terakhir tersebut juga disebut dengan
hajjatul ikmal wa itmam (haji lengkap dan sempurna), karena setelah ayat
ke-67 dari surah al Maidah tersebut diamalkan oleh Rasul saw dimana
beliau secara resmi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi
sehingga terlihat bagian dalam lengan beliau dan bersabda:
“Man
kuntu maula fa hadza ‘aliyyun maula” (Barangsiapa yang menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai
pemimpinnya),
maka turunlah ayat berikut sebagai happy ending dakwah beliau:
“Pada
hari Ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al Maidah: 3).
Sebelum
Rasulullah saw mengangkat Ali sebagai penggantinya, beliau menyampaikan
pidato panjang di Ghadir Khum, dimana di antaranya beliau menjelaskan
posisi dirinya dan ahlul baitnya, khususnya Imam Ali. Dan di akhir
orasinya, Nabi saw mendoakan Ali secara khusus:
“Jadikanlah kebenaran selalu berada bersama Ali.”
Ini adalah
kalimat terbaik, terindah dan memiliki makna paling dalam yang diucapkan
Nabi di saat itu. Rasul saw menjadikan Ali sebagai mizan (timbangan)
kebenaran. Dengan kata lain, untuk mengetahui sesuatu itu benar maka ia
harus kita ukur dengan Ali, bukan sebaliknya. Yakni salah besar kalau
kita mengukur Ali dengan kebenaran. Sebab Ali adalah manifestasi
sempurna kebenaran itu sendiri. Kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran
maka ini namanya “jeruk makan jeruk”. Sabda agung Nabi saw tersebut
yang ditujukan kepada Imam Ali tak ubahnya sabda beliau yang dialamatkan
kepada putri semata wayangnya, Fatimah az Zahra: “
“Ridha Allah terletak pada keridhaan Fatimah dan murka-Nya pun terletak pada kemurkaan Fatimah.”
Sebagaimana
Ali, Fatimah yang notabene istri tercinta Ali adalah tolak ukur
kebenaran. Sesuatu menjadi benar ketika Fatimah meridhainya, dan sesuatu
menjadi batil ketika Fatimah memurkainya. Siapapun yang membuat marah
Fatimah maka sejatinya ia sedang membuat marah Allah, dan siapapun yang
membuat Fatimah tertawa maka ia sedang membahagiakan Allah.
Peristiwa
Ghadir dengan pelbagai redaksi dan kisahnya mungkin dapat dilupakan,
namun ia tak dapat diingkari begitu saja seperti apa yang dilakukan oleh
Fakrur Razi, penulis tafsir Mafatihul Ghaib. Mungkin Fakrur Razi puyeng
bila menerima konsekuensi logis dari kejadian Khadir Khum, sehingga
karena itu beliau dengan enteng menganggap peristiwa itu tidak pernah
ada dalam lembaran sejarah.
Sementara
itu, Ahmad bin Hanbal bukan hanya tidak menolak peristiwa tersebut,
bahkan beliau berpendapat bahwa Nabi saw menyampaikan hadis, “Man kuntu
maula….” sebanyak 4 kali. Nabi saw juga memerintahkan supaya mereka yang
hadir dan menjadi saksi sejarah di Khadir Khum menyampaikan pesan
penting beliau itu kepada mereka yang tidak hadir.
Allah Swt berfirman :
“Sampaikanlah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan
agama-Nya.”
Berkenaan
dengan ayat di atas, di sini ada pertanyaan kritis dan penting:
Kira-kira hal apa yang belum secara resmi disampaikan Nabi saw, sehingga
beliau diancam oleh Allah Swt bila tidak menyampaikannya maka seluruh
jerih payah dakwah beliau selama 23 tahun akan menjadi sia-sia?!
Bukankah perintah shalat, zakat, puasa, haji, jihad dll sudah dengan
gamblang dijelaskan oleh Baginda Rasul saw?.
Bukankah
menurut jumhur ahli tafsir bahwa surah al Maidah adalah termasuk surah
yang terakhir turun kepada Nabi saw?, Sehingga ketetapan/hukum apa yang
masih perlu disampaikan oleh Rasul saw di Haji Perpisahan tersebut?
Ketetapan apa gerangan yang bila Nabi saw mengamalkannya agama menjadi
lengkap dan sempurna? Tidak lain adalah ketetapan seputar pemimpin dan
imam umat sepeninggal beliau yang menjaga agama dari penyimpangan dan
kekaburan pemahaman.
Bukti Kebenaran Peristiwa Ghadir Khum dan Hadis Man Kuntu Maula
Allamah
Amini dalam kitab monumentalnya Al Ghadir, menyebutkan seluruh perawi
hadis Man Kuntu Maula yang diucapkan Nabi saw di Ghadir Khum, tidak
kurang dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya
Thalhah, Zubair, Abu Bakar dll.
Dan 84
perawi hadis tersebut dari generasi kedua, yakni tabiin. Bahkan
peristiwa Ghadir Khum dan hal-hal yang terkait dengannya, diabadikan
dalam 360 kitab Ahlus Sunah. Jadi, status hadis Man Kuntu Maula bukan
hanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan tak ada keraguan
perihal kesahihannya), tetapi fauqa mutawatir (di atas mutawatir).
Polemik Seputar Makna Man Kuntu Maula
Seperti yang
kami tegaskan, bahwa Peristiwa Ghadir Khum tidak dapat dihapus dari
kening sejarah, dan pengingkaran terhadap hal tersebut berangkat dari
fanatisme mazhab yang sempit atau kebodohan yang akut.
Maka
perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar
tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan
membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya
mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna
dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan
Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.
Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin
Indikasi Pertama:
Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat,
tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun
pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang
meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka
yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk
menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”
atau
“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah
mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus
dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah
mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir
kehidupan beliau?!
Indikasi Kedua:
Ayat al yauma akmaltu (al maidah 3) turun berkaitan dengan peristiwa
Ghadir Khum, lalu apakah agama menjadi sempurna dengan Rasul saw
menjadikan Ali sebagai sahabat dan penolongnya?
Indikasi Ketiga:
Turunnya ayat Iblagh (al Maidah 67). Apakah Nabi saw diancam oleh Allah
Swt bila tidak mengatakan kepada umat bahwa mereka harus menjadikan Ali
sebagai sahabat dan mencintainya maka agama tidak sempurna dan dakwah
beliau sia-sia?
Indikasi Keempat:
Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair
dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam
Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw.
Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan
maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus
dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam
Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda
temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67,
dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait
dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn
Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).
Indikasi Kelima:
Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw
menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw
untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah
satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di
imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai
imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit
sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa
turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang
mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang
dibebaskan dll.
Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum
wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir
Khum termasuk riwayat mutawatir.[1]
Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah
menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke
rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah
dan Madinah).
Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”.
Rasulullah
tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang
tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian
Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan
Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk
ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :
Al Maaidah (QS5:67);
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ
بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak
menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “
Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan
kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya
memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al
Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain
yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat
ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah
“penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut
ayat tabligh.
Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada
bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak
mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah
perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika
tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan
oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran
Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan
perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi
bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas
juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada
Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan
jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]
Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
- Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
- Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
- Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah
Lalu bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas? Sebagaimana
perbedaan penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir
menyebutkan bahwa ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika
Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi tafsir tersebut, perlu kita
ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota Mekkah, telah tinggal
selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada di Madinah
tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru
sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada
mereka? Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal,
barulah Allah mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada
Yahudi? Berdasarkan logika dan pemahaman kita tentang sejarah Islam,
tentulah kita dapat menilai bahwa tafsir ini tidak tepat dan sama sekali
tidak berdasar.
Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah
memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah
memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian
Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada
120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang
menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam
ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan
setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula
(Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah
pemimpinnya setelah aku).”.
Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan
bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku
sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita
kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah
suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya
hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”. Kata “Maula” sendiri bukanlah
berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya,
Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga
memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan
Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli,
yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud
yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]
Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
- Tafsir Al Manar dari Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343.
Kitab ini menyebutkan bahwa ayat tabligh (Al Maaidah :67) adalah ayat
dimana Allah menegur keras kekasih-Nya, Rasulullah, untuk menyampaikan
tentang wilayah Amirul Mu’minin.
- Kitab Kanzul Ummal Al Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
- Fushulul Muhimmah karya Ibnu Sobbar hal 42.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
- Asbabun Nuzul karya Al Wahidi hal 104.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar, dengan tambahan
bahwa setelah ayat ini turun Umar bin Kathab datang kepada Ali bin Abi
Thalib dan mengucapkan,”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari
ini engkau menjadi pemimpin kami semua.”
- Yanabiul Mawaddah karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi.
- Tafsir Al Kabir karya Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53.
- Mustadrak Shahihain Juz 3 Hal 330.
- Syawahidu Tanzil karya Al Hashakani Jilid 1 hal 192.
- Faraidus shimtain Jilid 1 hal 63.
- Ibnu Katsir.
- Al Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141.
Dalam kitab ini diceritakan ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia,
Rasulullah memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu
kaum. Abu Bakar, Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah
komando Usamah. Apa tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia
mereka tidak muda lagi)? Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa
dirinya hendak meninggal dunia dan agar keberadaan ketiga orang tersebut
akan mengganggu kelancaran peralihan kekhalifahan. Rasulullah kemudian
juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang yang keluar dari tentara
Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam perjalanan, sampailah
kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar, Umar dan Usman
keluar dari pasukan.
- Tafsir Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117.
Menjelaskan ayat tabligh turun di Ghadir Khum:
- Kitab Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88.
Berdasarkan riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal
penting yang diperintahkan Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah
adalah mengenai wilayah (kepemimpinan) Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila
kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat Al Maaidah
(5) : 55 sebagai berikut:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan
membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”
Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata
“Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna
raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah
(9): 112 sebagai berikut:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ
الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ
اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang
memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang
menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara
hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”
Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan
sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:
QS Ali Imran (3):43:
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“
Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan
demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata
rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata
“Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini
menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada
pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan
demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang
yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu
Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.
Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid,
seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi.
Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah
kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat
itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat
dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah
dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al
Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang
berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak
berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang
banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya
dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا
وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ
ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh
ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan
anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri
dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah
ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita
kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang
yaitu Sayyidah Zahra a.s.
Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah
lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”
Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan
tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi
dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.
Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika
menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman
tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut
Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan
Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya
(berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang
tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya
dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut
syaitan.
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus
disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib
bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga
dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri.
Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah
dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari
kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”
Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum)
diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian
(orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut,
Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan
menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir
maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan
hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang
mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.
Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka
adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
- Yanabiul Mawaddah
- Faraidus Shimtain
- Syawahidu Tanzil.
Setelah ditetapkannya wilayah melalui nas dan keterangan dari
Rasulullah SAAW, apabila ummat sudah menerima ini semua maka sempurnalah
Islam sebagai agama mereka.
QS Al Maaidah (5):3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah
Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu.”
Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh
Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk
disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di
akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi
kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak,
tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.
Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir.
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah
ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum,
pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku
pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka.
Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah
maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra
Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap
muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.
Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin
Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah
perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.”
Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau
begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris.
QS Al Maarij (70):1 – 2:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
“Seseorang bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”
Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
- Faraidus ShiMtain Jilid 1 hal 82.
- Tafsir Qurtubi Juz 9 hal 216.
- Kitab Fushulul Muhimmah hal 42.
- Faidhul Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi.
- Kitab Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji.
meriwayatkan cerita tentang Harris bin Nu’man. Ketika ayat ini turun, batu dari langit turun dan tembus kepalanya.
Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:
وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah
Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain
(Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”
Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah
dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di
atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya
kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk
ditanyakan tersebut?
Di dalam kitab:
Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan
berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum
kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami
membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””
Rujukan:
[1]
Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan,
dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu
mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi
jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan
hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[2] Ayat ini juga menepis pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun
[3]
Subhanallah tempat Ghadir Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari
tempat Rasulullah berdiri suara yang berbicara di sana akan terdengar
sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb sahabat bisa mendengar kata-kata
Rasul.