Hari
itu, saat kalender hijriah menunjukkan Safar 61 Hijriah. Cucu-cucu Nabi
yang tersisa telah sampai di mulut Damaskus–digiring bak
binatang-binatang ternak. Di kejauhan sana, pucuk-pucuk menara Istana
Yazid lamat-lamat terlihat. Seperti di kota-kota sebelumnya, gemerincing
rebana kembali terdengar menaik saat mereka menjejak pintu kota. Aroma
khamar menyeruap. Bendera-bendera dinasti Bani Umayyah berkibar di
setiap sudut kota.
Kali
ini “Khalifah” Yazid bin Muawiyah sendiri yang memandu pesta
penyambutan besar-besaran. Dia meminta rakyatnya melihat langsung
penyambutan tawanan keluarga Nabi di halaman istana.
Di
depan sana, tepat di tengah halaman istana, telah bergerombol tahanan
keluarga Nabi. Tangan dan kaki mereka masih terikat rantai. Khalayak
terus menonton. Tak ada yang memalingkan mata meski mereka melihat
jilbab hitam yang melekat di tubuh putri-putri Nabi telah sobek di
banyak bagian. Mereka juga melihat seorang di antara tahanan itu,
seorang peremuan yang perawakannya paling besar dan gurat-gurat
kecantikan masih terbaca jelas di wajahnya, menjadi tempat bersandar
seluruh tahanan lainnya. Ali Zainal Abidin yang masih sakit ikut
bersandar ke bahu perempuan itu.
Itulah Zainab, adik perempuan Husein cucu Nabi.
“Selamat
datang, pasukan pemberaniku.” Yazid, kini dalam busana kemewahannya,
resmi menyambut kedatangan rombongan durjana pasukan Ibn Ziyad. Kepala
Husein dan seluruh kepala syahid keluarga Nabi telah dilepas dari
ujung-ujung tombak dan ditempatkan di belasan nampan.
Pesta
penyambutan itu berakhir ketika malam bertengger di ufuk. Zainab dan
adik-adiknya dikurung di sebuah ruang bawah tanah di pojok istana. Yazid
sendiri tenggelam dalam mabuk. Tak seorang pun berani mendekat. Dia
terus memukul-mukulkan tongkatnya ke kepala Husein hingga fajar terbit.
Masih
pagi buta, Yazid memanggil seluruh warga Damaskus ke balairung utama
kerajaan. Dia ingin mempertontonkan kembali satu per satu keluarga Nabi
dan seluruh kepala syahid di Padang Karbala.
“Bagaimana
kau melihat perlakuan Allah atas saudaramu?” Yazid mulai berbicara,
mencoba menohok ulu hati Zainab dan keponakannya, Ali Zainal Abidin. Dia
ingin membenarkan semua tindakannya di hadapan rakyat.
“Bukankah,”
katanya memancing emosi, “ini bukti Tuhan telah memenangkanku dan
menghinakan kalian dalam kekalahan? Bukankah ini berarti Tuhan telah
berkehendak mendudukkanku di singgasana dan menelantarkan kalian di
padang tandus tanpa bala bantuan?”
Ummu
Kaltsum bicara pertama. “Hai putra keturunan manusia yang telah diusir
kakekku, Rasulullah! Lihatlah selir-selirmu duduk terhormat di balik
tirai, sedangkan putri-putri Rasul kau biarkan menjadi tontonan
orang-orang bejat. Mereka bagai gelandangan dilempari korma dan
keping-keping uang oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi!”
Mata
Yazid menyorot penuh kebencian mendengar jawaban Ummu Kaltsum. Dia
tersinggung ketika Sukainah menimpali bahwa perlawanan ayahnya, Husein,
bukan karena kekuasaan tapi karena “memenuhi panggilan kebenaran dan
keadilan”.
“Tutup
mulutmu!” Yazid memotong dengan nada tinggi. “Ayahmu lah yang telah
memaksaku melakukan pembantaian ini! Dia melawanku dan menolak untuk
mengakuiku sebagai pemimpin yang sah.”
Yazid
mengalihkan perhatian. Dia meminta Zainab angkat suara. Rupanya Yazid
lupa bahwa Zainab adalah wanita yang seluruh hidupnya, tiap-tiap rincian
perbuatan, sikap dan pikirannya, lahir dari ketakwaan yang tinggi. Dia
tak pernah melihat kejadian, sekeji apapun di dunia ini, tanpa kacamata
ketakwaan.
“Segala
puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada
kakekku, Muhammad Rasulullah, dan segenap keluarganya yang suci. Maha
Benar Allah yang berfirman, ‘kemudian akibat orang-orang yang melakukan
kejahatan adalah (siksa) yan lebih buruk, karena mereka mendustakan
ayat-ayat Allah, dan mereka mengolok-oloknya.’”
“Apakah
kau menduga, Hai Yazid, saat kau memburu kami di muka bumi dan
menggiring kami laksana segerombolan domba dan budak, bahwa yang
demikian itu karena kami hina sedangkan kau mulia di hadapan Allah?
Apakah kau menduga bahwa tahtamu ini memiliki kemuliaan di sisi-Nya
sehingga batang hidungmu memekar, dan kau memandang kami dengan
memicingkan sebelah matamu yang nyalang, dan kau bersuka cita karena
melihat kekayaan dunia yang terkumpul di sekitarmu dan segala urusan
tampak sederhana di depanmu? Celaka, sungguh celakalah kau! Kau telah
melupakan firman Allah: ‘Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir
mengira bahwa penangguhan kami adalah baik bagi mereka. Kami beri
tangguh mereka tak lain supaya dosa mereka bertambah dan bagi mereka
siksa yang menyedihkan.’”
“Apakah
adil, hai anak orang yang masuk Islam karena terpaksa, caramu
menakut-nakuti orang-orang yang memberi kebebasan dan kau giring
putri-putri Rasulullah bagaikan tawanan dan gelandangan?
Kau telah
mengoyak pakaian mereka lalu mempertontonkan wajah mereka yang kusut
akibat duka yang panjang, kau pertunjukkan ke hadapan musuh-musuh mereka
dari dusun ke dusun berikutnya, dari kota ke kota lainnya, kau seret
mereka di tengah kaum lelaki dan para pejalan kaki, sehingga mereka
menjadi tontotan percuma semua orang, tanpa seorang pun pelindung. Lalu
kebaikan apa yang dapat diharapkan dan dinanti dari keturunan orang yang
mulutnya mengunyah-ngunyah hati dan jantung orang-orang yang suci, dan
daging badannya tumbuh sehat dari darah para syuhada yang dihisapnya?”
“Hai Yazid!” Zainab kembali memecah keheningan. “Aku tidak melihat dari semua kejadian ini kecuali keindahan.”
“Gunakanlah
segala tipu dayamu, berusahalah sekuat tenagamu, dan jangan sedikit pun
berpendek tangan dalam upayamu. Ketahuilah bahwa kau tidak akan
mematikan nama kami atau mengubur wahyu yang turun pada kakek kami
Muhammad Rasulullah.”
“Kau
mengira bahwa kakakku, al-Husein, telah mati. Tapi, yang sebenarnya
mati adalah kau dan semua perangkat kekuasaanmu, karena semua itu adalah
bagian dari dunia ini. Sedangkan kehidupan kakakku takkan pernah
berakhir.”
“Nama
dan ruhnya akan selalu hidup dalam jiwa orang beriman. Kenangan
tentangnya bakal senantiasa mengobarkan semangat juang para pencari
kebenaran dan penegak keadilan. Kakakku akan menjadi ilham bagi
orang-orang yang bertakwa.”
Damaskus
gempar setelahnya, terlebih setelah Ali Zainal Abidin maju ke mimbar
dan mendiamkan Yazid dengan kedalaman pengetahuannya.
“Hai
lelaki yang tidak memahami Al-Qur’an!” kata Zainal Abidin setelah Yazid
yang menyebut kematian Husein “telah ditentukan Al-Qur’an” dan “Allah
lah yang membunuhnya”. “Jangan memutarbalikkan kenyataan dan jangan pula
menjadikan Tuhan sebagai kedok… Yang ditentukan oleh Allah adalah
peristiwa-peristiwa yang terjadi atas kehendak manusia dan sebab-musabab
yang dipersiapkannya sendiri!”
“Hai
manusia! Sesiapa yang telah mengenalku, maka dia telah mengenalku, dan
sesiapa yang tidak mengenalku, maka kini saatnya aku memperkenalkan
diri. Akulah putra manusia yang
Yazid
segera memotong pidato Ali Zainal Abidin itu. Dia mencium gelagat
keresahan di kalangan penduduknya. Banyak yang mulai menundukkan kepala,
menyadari bahwa mereka telah jadi korban rekayasa. Banyak yang
beringsut setelah mengetahui bahwa kepala di ujung tombak itu adalah
kepala Husein, cucu tercinta Nabi, dan tawanan perempuan itu adalah
darah daging az-Zahra, putri semata wayang Nabi.
Yazid
segera meminta seseorang mengumandangkan azan. Saat muazin menyebut
‘Allah Maha Besar’, Zainal Abidin menyahut: “Kau membesarkan Maha Besar
yang tak terjangkau kebesaran-Nya.” Saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah’, Zainal Abidin menyahut: “Sungguh
hatiku, tubuhku, tulang-belulangku, kulitku, bulu-buluku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah.” Lalu, saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah’, Zainal Abidin menoleh ke arah Yazid
lalu berteriak keras: “Hai Yazid, Muhammad yang disebut-sebut itu
kakekku atau kakekmu?! Kalau kau bilang dia kakekku, mengapa kau
perlakukan kami begini dan kau bantai anak cucunya?! Kalau kau bilang
dia kakekmu, maka jelas semua orang tahu kau berdusta!”
Yazid
pucat seperti baru tersambar halilintar. Melihat keadaan yang mulai
berbalik itu, dia segera menjauhkan sumber keresahan. Di hadapan
penduduk Damaskus, dia segera membebaskan kesembilan keluarga Nabi itu.
Dia mengirim satu pasukan besar untuk mengawal Zainab dan adik-adiknya
kembali ke Karbala, untuk mengubur jasad Husein dan seluruh syahid
lainnya, sebelum akhirnya berputar arah ke Madinah.
Di
Madinah, Jumat, 20 Safar tahun 61 Hijriah. Ummu Kaltsum setengah
berlari ke kubur Rasulullah, kakeknya. Dia roboh begitu sampai. “Salam
sejahtera padamu, kakekku,” katanya dengan air mata berlinang. “Oh,
betapa kami tersiksa oleh rindu padamu. Kini aku sendiri, tanpa
pelindung. Bawalah aku bersamamu.”
Sukainah
menyusul. Dia hanya bisa merangkak. Tangannya berusaha memeluk pusara
Nabi. Dia mengadukan keadaannya. “Salam sejahtera atasmu, Rasulullah,”
katanya. “Kami sungguh kesepian dan sengsara! Umatmu telah membunuh
putramu dan menganiaya putri-putrimu!”
Zainab
sampai terakhir. Ali Zainal Abidin memapahnya. Dia ambruk di makam
kakeknya, tangisnya panjang. Pekikannya pilu. Dia mengadukan kemalangan
buah hati Nabi: “Salam rindu padamu! Inilah wanita-wanita keluargamu!
Kami datang mengadukan derita. Al-Husein, cahaya hati dan matamu, telah
diinjak-injak ratusan kaki kuda di Karbala. Al-Husein telah dipenggal.
Sorbannya telah dikoyak-koyak, dan baju pakaiannya telah dilucuti oleh
orang-orang yang mengaku sebagai umatmu. Kami datang untuk menyampaikan
bela sungkawa kepadamu, kepada Az-Zahra, kepada Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib.”
Madinah berkabung hari itu, hingga 15 hari setelahnya. Tangis pecah di setiap sudut kota.