Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Sayidah Zainab. Show all posts
Showing posts with label Sayidah Zainab. Show all posts

POSISI DAN PERAN IMAMAH; Studi historikal kesinambungan Imamah dalam percakapan Imam Husein as dan Imam Sajjad as


Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya. 

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam.

Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin.
(1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya.
(2) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt.
(3) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(4)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, "Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang Munafik?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan keinginan mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami."

Imam Sajjad kembali bertanya, "Pamanku Abbas di mana?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong."

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, "Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?"

Imam Husein as menjawab, "Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah."

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab, bibinya agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, "Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?"

Imam Sajjad as menjawab, "Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi Saw.

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, "Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alu Muhammad (keluarga Muhammad)."(5)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan. Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.

Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya:

"Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka."

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi beliau berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait:

"Dengarkan ucapanku! 

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati."(6)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai "Imamah dan kepemimpinan". Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

*) Artikel ini dimuat di harian Jomhouri Eslami, no 7979, tahun ke 28.

Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29.
2. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92.
3.Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208.
4. Ibid, hal 206.
5. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540.
6. Ibid. Hal 541-542.

Pesan Sang Ayah kepada Puterinya, Fathimah az Zahra

Fathimah az Zahra

Hingga kini, dunia masih terus mengenangnya. Tidak sedikit tetes air mata mengalir tatkala mengingat kebesarannya. Malu rasanya membandingkannya dengan keadaan kita saat ini. Rasa haru seketika menyeruak kalau membaca kembali kisah-kisah perjuangannya; ketika dengan penuh kasih sayang ia mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya dengan penuh perhatian; saat ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh hingga membekas di dadanya; begitu beraninya ia menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali suaminya, menggantikan tempat tidur Muhammad saww saat orang-orang kafir Quraisy mengepung.

Fathimah Az Zahra sangat besar perjuangannya. Tidaklah berlebihan jika Rasulullah menegaskan, atas dasar kecintaannya, bahwa manusia pertama yang kelak duduk mendampinginya di surga tidak lain adalah Fathimah. Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama besar Al Hasan dan Al Husain. Ia juga melahirkan Zainab yang dari keturunannyalah kelak Imam Syafi’i mendapat tempat danperlindungan.

Imam Nawawi Al Bantani pernah menuliskan keagungan Fathimah Az Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami istri bersama Rasulullah.
Nabi saww bersabda kepada putrinya, Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari setiap butir biji yang tergiling, dan menghapus keburukannya serta meninggikan derajatnya.

Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah memisahkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisirkan rambut mereka dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang sedang kelaparan, dan seperti pahala orang yang memberi pakaian seribu orang yang telanjang.

Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum air dari telaga Kautsar pada hari kiamat.
Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendo’akan dirimu.
Bukankah engkau mengerti, hai Fathimah, bahwa ridha suami itu menjadi bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.

Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon ampun untuknya, dan setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu kebajikan dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit (menjelang melahirkan) maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila ia telah melahirkan, dirinya terbebas dari segala dosa seperti keadaannya setelah dilahirkan ibunya.

Hai Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya seperti pada hari dirinya dilahirkan ibunya. Ia tidak keluar dari dunia (yakni mati) kecuali tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga kiamat.
Setiap istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai hati yang baik, ikhlas dan niat yang benar, maka Allah mengampuni dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau, dan dicatatkannya untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala orang yang berhaji dan berumrah.
Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.

Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit. “Hai Wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.”
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya demikian pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka Allah kelak memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan Allah kelak akan meringankan beban sakaratul maut. Kelak dirinya akan menjumpai kuburnya bagaikan taman surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian).

(Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al Bantani, dari buku Disebabkan Oleh Cinta, Fauzil Adhim)

Makna Asyura bagi Ahlusunnah dan Syi’ah


Teks: Dr. KH. Said Aqil Siradj
Kita semua telah mengetahui bahwa cucu Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al Husain, keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.
 Walaupun ada beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja. Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.

Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk ‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj, Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam, terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya merasa memiliki hari ini.

Kita seharusnya berkewajiban dan merasa terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah, tentulah Ahlul Bait sudah habis.

Ini adalah suatu kekejaman yang luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.

Marilah kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun, tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara, darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala. Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam keimanan kita.

Oleh karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi kita semua.

Agama Islam sebenarnya merupakan amanat yang digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian, maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat, tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh lingkungannya.
Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan ingin mengubah keadaan yang buruk ini.

Jika masyarakat sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa Karbala.
Imam Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!

Sedangkan Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).

Jika hanya IQ (intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini. Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah sangat parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara seremonial besar yaitu ibadah haji.

Perubahan yang dicita-citakan oleh Al Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah. Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.

Oleh karena itu, yang perlu kita tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara yang berbau politik.

Mari kita tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.

Dari aspek budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam Abul Qasim Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini murid dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi yang wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.

Pertama kali laqab sufi diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan (permisi) dahulu kepada Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf dan Ahlul Bait kental sekali.

Belum lagi puji-pujian yang dibaca orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain, mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti terdapat dalam Al Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut para kyai, bisa menolak tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela.

Bunyinya : li khamsatun utfi biha …

Jika kita sudah biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait, maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain halnya dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.

Salah satu tradisi yang sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran (selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji dari Turki, yang mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.

Bagi NU, tidak ada masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Husain bin Ali.

Kesimpulan dari apa yang telah saya sampaikan adalah,
pertama, bahwa Madrasatil Karbala merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.

Kedua, hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai, mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.

Itulah salah satu perjuangan para aulia’ terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan pendekatan moral, bukan pendekatan politik.
Kerajaaan Majapahit yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa. Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral, pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk Islam.
 Sampai-sampai orang Jawa sendiri mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.
Coba bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela.
Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.
Sebaliknya, di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu semua.
Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait. (*)

Tangis Pecah Di Nisan Nabi


Hari itu, saat kalender hijriah menunjukkan Safar 61 Hijriah. Cucu-cucu Nabi yang tersisa telah sampai di mulut Damaskus–digiring bak binatang-binatang ternak. Di kejauhan sana, pucuk-pucuk menara Istana Yazid lamat-lamat terlihat. Seperti di kota-kota sebelumnya, gemerincing rebana kembali terdengar menaik saat mereka menjejak pintu kota. Aroma khamar menyeruap. Bendera-bendera dinasti Bani Umayyah berkibar di setiap sudut kota.
Kali ini “Khalifah” Yazid bin Muawiyah sendiri yang memandu pesta penyambutan besar-besaran. Dia meminta rakyatnya melihat langsung penyambutan tawanan keluarga Nabi di halaman istana.


Di depan sana, tepat di tengah halaman istana, telah bergerombol tahanan keluarga Nabi. Tangan dan kaki mereka masih terikat rantai. Khalayak terus menonton. Tak ada yang memalingkan mata meski mereka melihat jilbab hitam yang melekat di tubuh putri-putri Nabi telah sobek di banyak bagian. Mereka juga melihat seorang di antara tahanan itu, seorang peremuan yang perawakannya paling besar dan gurat-gurat kecantikan masih terbaca jelas di wajahnya, menjadi tempat bersandar seluruh tahanan lainnya. Ali Zainal Abidin yang masih sakit ikut bersandar ke bahu perempuan itu.
Itulah Zainab, adik perempuan Husein cucu Nabi.
“Selamat datang, pasukan pemberaniku.” Yazid, kini dalam busana kemewahannya, resmi menyambut kedatangan rombongan durjana pasukan Ibn Ziyad. Kepala Husein dan seluruh kepala syahid keluarga Nabi telah dilepas dari ujung-ujung tombak dan ditempatkan di belasan nampan.
Pesta penyambutan itu berakhir ketika malam bertengger di ufuk. Zainab dan adik-adiknya dikurung di sebuah ruang bawah tanah di pojok istana. Yazid sendiri tenggelam dalam mabuk. Tak seorang pun berani mendekat. Dia terus memukul-mukulkan tongkatnya ke kepala Husein hingga fajar terbit.
Masih pagi buta, Yazid memanggil seluruh warga Damaskus ke balairung utama kerajaan. Dia ingin mempertontonkan kembali satu per satu keluarga Nabi dan seluruh kepala syahid di Padang Karbala.
“Bagaimana kau melihat perlakuan Allah atas saudaramu?” Yazid mulai berbicara, mencoba menohok ulu hati Zainab dan keponakannya, Ali Zainal Abidin. Dia ingin membenarkan semua tindakannya di hadapan rakyat.
“Bukankah,” katanya memancing emosi, “ini bukti Tuhan telah memenangkanku dan menghinakan kalian dalam kekalahan? Bukankah ini berarti Tuhan telah berkehendak mendudukkanku di singgasana dan menelantarkan kalian di padang tandus tanpa bala bantuan?”
Ummu Kaltsum bicara pertama. “Hai putra keturunan manusia yang telah diusir kakekku, Rasulullah! Lihatlah selir-selirmu duduk terhormat di balik tirai, sedangkan putri-putri Rasul kau biarkan menjadi tontonan orang-orang bejat. Mereka bagai gelandangan dilempari korma dan keping-keping uang oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi!”
Mata Yazid menyorot penuh kebencian mendengar jawaban Ummu Kaltsum. Dia tersinggung ketika Sukainah menimpali bahwa perlawanan ayahnya, Husein, bukan karena kekuasaan tapi karena “memenuhi panggilan kebenaran dan keadilan”.
“Tutup mulutmu!” Yazid memotong dengan nada tinggi. “Ayahmu lah yang telah memaksaku melakukan pembantaian ini! Dia melawanku dan menolak untuk mengakuiku sebagai pemimpin yang sah.”
Yazid mengalihkan perhatian. Dia meminta Zainab angkat suara. Rupanya Yazid lupa bahwa Zainab adalah wanita yang seluruh hidupnya, tiap-tiap rincian perbuatan, sikap dan pikirannya, lahir dari ketakwaan yang tinggi. Dia tak pernah melihat kejadian, sekeji apapun di dunia ini, tanpa kacamata ketakwaan.
“Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada kakekku, Muhammad Rasulullah, dan segenap keluarganya yang suci. Maha Benar Allah yang berfirman, ‘kemudian akibat orang-orang yang melakukan kejahatan adalah (siksa) yan lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah, dan mereka mengolok-oloknya.’”
“Apakah kau menduga, Hai Yazid, saat kau memburu kami di muka bumi dan menggiring kami laksana segerombolan domba dan budak, bahwa yang demikian itu karena kami hina sedangkan kau mulia di hadapan Allah? Apakah kau menduga bahwa tahtamu ini memiliki kemuliaan di sisi-Nya sehingga batang hidungmu memekar, dan kau memandang kami dengan memicingkan sebelah matamu yang nyalang, dan kau bersuka cita karena melihat kekayaan dunia yang terkumpul di sekitarmu dan segala urusan tampak sederhana di depanmu? Celaka, sungguh celakalah kau! Kau telah melupakan firman Allah: ‘Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa penangguhan kami adalah baik bagi mereka. Kami beri tangguh mereka tak lain supaya dosa mereka bertambah dan bagi mereka siksa yang menyedihkan.’”
“Apakah adil, hai anak orang yang masuk Islam karena terpaksa, caramu menakut-nakuti orang-orang yang memberi kebebasan dan kau giring putri-putri Rasulullah bagaikan tawanan dan gelandangan? 
Kau telah mengoyak pakaian mereka lalu mempertontonkan wajah mereka yang kusut akibat duka yang panjang, kau pertunjukkan ke hadapan musuh-musuh mereka dari dusun ke dusun berikutnya, dari kota ke kota lainnya, kau seret mereka di tengah kaum lelaki dan para pejalan kaki, sehingga mereka menjadi tontotan percuma semua orang, tanpa seorang pun pelindung. Lalu kebaikan apa yang dapat diharapkan dan dinanti dari keturunan orang yang mulutnya mengunyah-ngunyah hati dan jantung orang-orang yang suci, dan daging badannya tumbuh sehat dari darah para syuhada yang dihisapnya?”
“Hai Yazid!” Zainab kembali memecah keheningan. “Aku tidak melihat dari semua kejadian ini kecuali keindahan.”
“Gunakanlah segala tipu dayamu, berusahalah sekuat tenagamu, dan jangan sedikit pun berpendek tangan dalam upayamu. Ketahuilah bahwa kau tidak akan mematikan nama kami atau mengubur wahyu yang turun pada kakek kami Muhammad Rasulullah.”
“Kau mengira bahwa kakakku, al-Husein, telah mati. Tapi, yang sebenarnya mati adalah kau dan semua perangkat kekuasaanmu, karena semua itu adalah bagian dari dunia ini. Sedangkan kehidupan kakakku takkan pernah berakhir.”
“Nama dan ruhnya akan selalu hidup dalam jiwa orang beriman. Kenangan tentangnya bakal senantiasa mengobarkan semangat juang para pencari kebenaran dan penegak keadilan. Kakakku akan menjadi ilham bagi orang-orang yang bertakwa.”
Damaskus gempar setelahnya, terlebih setelah Ali Zainal Abidin maju ke mimbar dan mendiamkan Yazid dengan kedalaman pengetahuannya.
“Hai lelaki yang tidak memahami Al-Qur’an!” kata Zainal Abidin setelah Yazid yang menyebut kematian Husein “telah ditentukan Al-Qur’an” dan “Allah lah yang membunuhnya”. “Jangan memutarbalikkan kenyataan dan jangan pula menjadikan Tuhan sebagai kedok… Yang ditentukan oleh Allah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi atas kehendak manusia dan sebab-musabab yang dipersiapkannya sendiri!”
“Hai manusia! Sesiapa yang telah mengenalku, maka dia telah mengenalku, dan sesiapa yang tidak mengenalku, maka kini saatnya aku memperkenalkan diri. Akulah putra manusia yang
Yazid segera memotong pidato Ali Zainal Abidin itu. Dia mencium gelagat keresahan di kalangan penduduknya. Banyak yang mulai menundukkan kepala, menyadari bahwa mereka telah jadi korban rekayasa. Banyak yang beringsut setelah mengetahui bahwa kepala di ujung tombak itu adalah kepala Husein, cucu tercinta Nabi, dan tawanan perempuan itu adalah darah daging az-Zahra, putri semata wayang Nabi.
Yazid segera meminta seseorang mengumandangkan azan. Saat muazin menyebut ‘Allah Maha Besar’, Zainal Abidin menyahut: “Kau membesarkan Maha Besar yang tak terjangkau kebesaran-Nya.” Saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah’, Zainal Abidin menyahut: “Sungguh hatiku, tubuhku, tulang-belulangku, kulitku, bulu-buluku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Lalu, saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’, Zainal Abidin menoleh ke arah Yazid lalu berteriak keras: “Hai Yazid, Muhammad yang disebut-sebut itu kakekku atau kakekmu?! Kalau kau bilang dia kakekku, mengapa kau perlakukan kami begini dan kau bantai anak cucunya?! Kalau kau bilang dia kakekmu, maka jelas semua orang tahu kau berdusta!”
Yazid pucat seperti baru tersambar halilintar. Melihat keadaan yang mulai berbalik itu, dia segera menjauhkan sumber keresahan. Di hadapan penduduk Damaskus, dia segera membebaskan kesembilan keluarga Nabi itu. Dia mengirim satu pasukan besar untuk mengawal Zainab dan adik-adiknya kembali ke Karbala, untuk mengubur jasad Husein dan seluruh syahid lainnya, sebelum akhirnya berputar arah ke Madinah.
Di Madinah, Jumat, 20 Safar tahun 61 Hijriah. Ummu Kaltsum setengah berlari ke kubur Rasulullah, kakeknya. Dia roboh begitu sampai. “Salam sejahtera padamu, kakekku,” katanya dengan air mata berlinang. “Oh, betapa kami tersiksa oleh rindu padamu. Kini aku sendiri, tanpa pelindung. Bawalah aku bersamamu.”
Sukainah menyusul. Dia hanya bisa merangkak. Tangannya berusaha memeluk pusara Nabi. Dia mengadukan keadaannya. “Salam sejahtera atasmu, Rasulullah,” katanya. “Kami sungguh kesepian dan sengsara! Umatmu telah membunuh putramu dan menganiaya putri-putrimu!”
Zainab sampai terakhir. Ali Zainal Abidin memapahnya. Dia ambruk di makam kakeknya, tangisnya panjang. Pekikannya pilu. Dia mengadukan kemalangan buah hati Nabi: “Salam rindu padamu! Inilah wanita-wanita keluargamu! Kami datang mengadukan derita. Al-Husein, cahaya hati dan matamu, telah diinjak-injak ratusan kaki kuda di Karbala. Al-Husein telah dipenggal. Sorbannya telah dikoyak-koyak, dan baju pakaiannya telah dilucuti oleh orang-orang yang mengaku sebagai umatmu. Kami datang untuk menyampaikan bela sungkawa kepadamu, kepada Az-Zahra, kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
Madinah berkabung hari itu, hingga 15 hari setelahnya. Tangis pecah di setiap sudut kota.

Ghadir Khum: KHOTBAH ZAINAB AL-QUBRA DI HADAPAN YAZID BIN MUAWIYYAH

Oleh: Ahmad Fitriansyah,  Ahirah Aisyah



Berikut adalah khotbah Zainab al Qubra, cicit Rasulullah, yang menjadi tawanan Yazid bin Muawiyah. Khotbah langsung diucapkan beliau di hadapan Yazid:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah dan seluruh keluarganya. Maha benar Allah yang berfirman: ‘Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah azab yang lebih buruk. Mereka mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka selalu memperolok-olokkannya.’


Apakah engkau mengira, wahai Yazid, saat engkau mengejar-ngejar kami di muka bumi, menggiring kami bagaikan budak-budak, bahwa yang demikian itu karena kami hina dan engkau mulia di hadapan Allah?

Apakah engkau mengira bahwa karena kedudukanmu, hidungmu menjadi berkembang dan engkau memandang kami dengan sebelah mata?


Engkau bersuka cita karena melihat kekayaan dunia ini terkumpul di sisimu, segala urusan menjadi mudah bagimu melalui perampasan harta dan kekuasaan kami.

Celaka, celaka, engkau!
Engkau telah melupakan firman Allah: ‘Janganlah sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. Bagi mereka azab yang menghinakan.’


Apakah adil, wahai anak Thulaqa (orang-orang tawanan yang dibebaskan oleh Rosulullah dalam peristiwa penaklukan Mekkah)!


Caramu menakut-nakuti orang-orang yang telah memberimu kebebasan dan menggiring puteri-puteri Rasulullah sebagai tawanan!


Engkau telah merobek-robek pakaian mereka.
Memperlihatkan wajah mereka dari satu negeri ke negeri lain.
Engkau seret mereka di tengah kaum lelaki dan para pejalan kaki, sehingga mereka menjadi tontonan orang dari jauh dan dari dekat, tanpa ada seorang pun yang melindungi mereka.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari orang yang mulutnya mengunyah-ngunyah hati-hati orang-orang suci (nenek Yazid, Hindun, yang membunuh paman Rosulullah, Hamzah, dan kemudian memakan hatinya) dan yang dagingnya tumbuh dari darah para syuhada?”


“Cukuplah bagimu Allah sebagai Hakim, Rasulullah sebagai lawan dan Jibril sebagai musuh. Kelak akan diketahui bagaimana penindasan yang muncul dari kedudukanmu. Sungguh buruk balasan bagi oang-orang yang zalim. Alangkah buruknya tepat kedudukanmu dan alangkah sesatnya tindakanmu.
Anggapan rendahku terhadap nilai dirimu dan kejahatanmu yang aku besar-besarkan, bukanlah kumaksudkan sekedar tuduhan kosong. 


Setelah engkau biarkan mata kaum muslimin bengkak karena tangis, dada mereka sesak ketika mengingatnya…. teruskan tipu dayamu. Kerahkan seluruh kemampuanmu.


Demi Allah yang telah memuliakan kami dengan wahyu, al-kitab, kenabian dan pemilihan diri kami.
Sungguh engkau tidak akan memahami ketinggian kami, tak mungkin bisa mencapai tujuan kami, dan tak mungkin bisa membungkam zikir kami.

Pengotoranmu terhadapnya tak mungkin bisa dibersihkan dari dirimu.
Sungguh, pandanganmu tak lebih dari sekedar kesesatan. Hari-harimu tak lain adalah hitungan. Kekayaan yang engkau kumpulkan tak lebih hanyalah kesia-siaan, ketika kelak ada seorang yang mengumumkan bahwa laknat Allah itu diperuntukkan bagi orang zalim yang melanggar ketentuan Allah…!"
[Al-Majalis Al-Saniyyah, Hlm146]
.

Bagaimana Imam Mahdi af setelah seribuan tahun muncul dalam wajah berusia 40 tahun?


Soal: Bagaimana Imam Mahdi af setelah seribuan tahun muncul dalam wajah berusia 40 tahun?

Jawab: Biasanya bulu badan, alis dan bulu mata setelah puluhan tahun tetap dan tidak akan tumbuh lagi. Sementara rambut kepala dan janggut yang berada dekat dengan mereka tetap tumbuh dan berkembang. Padahal keduanya dari kulit, daging, darah dan makanan yang satu serta mendapat oksigen yang dari sumber yang sama. Namun, kekuasaan Allah menginginkan agar sebagian rambut tetap sementara di sampingnya alis yang tetap dan tidak tumbuh.

Selain itu, tidak ada dalil rasional dan teks agama bahkan fakta empiris yang menyebutkan tentang keterbatasan umur manusia. Umur manusia bak gerakan; cepat dan lambatnya gerakan tidak ada pembatasnya, sebagaimana cahaya tidak terbatas. Dalam al-Quran Allah menjelaskan umur Nabi Nuh as dapat mencapai angka 1000. Buat Ashabul Kahfi tidur selama 300 tahun.
Peran Yaman di masa munculnya Imam Mahdi af.
Syaikh Ali Kurani seorang penulis berkebangsaan Lebanon dalam bukunya Asar Zhuhur yang diterjemahkan oleh Abbaas Jalali  ke dalam bahasa Persia, setelah menyebutkan hadis-hadis sahih tentang Yaman dan perannya di mana kemunculan Imam Mahdi af pada halaman 160-163 menganalisa hadis-hadis tersebut. Berikut ini teks buku tersebut:

Dalam pembahasan mengenai panji-panji pemimpin Yamani lebih memberikan petunjuk dari panji-panji Khurasani, padahal panji-panji Kurasan dan mereka penduduk Timur bertujuan untuk menuntun dan menunjuki orang lain bahkan mereka yang mati di bawah panji-panji ini terhitung sebagai mati syahid dan agama Allah akan dibantu oleh mereka. Atau disebutkan bahwa sejumlah orang-orang Iran sebagai menteri-menteri dan penasihat Imam Mahdi af, salah satunya adalah Syuaib bin Saleh yang akan diangkat oleh Imam Mahdi af sebagai panglima tertinggi. Atau peran orang-orang Iran dalam mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi af menunjukkan mereka memiliki kelebihan tersendiri. 

Dengan data-data seperti ini, muncul pertanyaan mengapa panji-panji pemimpin Yaman lebih memberi petunjuk kepada orang lain dari panji-panji orang Iran?
Ada beberapa kemungkinan:

1. Sistem dan kebijakan yang diterapkan oleh Sayyid Yamani lebih tepat dan benar dari sisi ketegasan dan kesederhanaan dibandingkan dengan metode Islam. Sementara pemerintah Iran tidak demikian karena kebijakan yang kompleks. Dengan demikian, perbedaannya kembali pada pengalaman memerintah pada kesederhanaan dan kabilah Yaman dibandingkan dengan warisan budaya Iran dan komposisi masyarakatnya.

2. Panji-panji Sayyid Yamani lebih menuntun orang lain karena politik dan kebijakan eksekusinya lebih tegas dan pengikut yang lebih ikhlas dan taat serta pengawasan langsung terhadap mereka oleh pemimpinnya. Tentunya, bila melihat pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam, maka ini lebih sesuai. Sebagaimana yang tertulis dalam surat Imam Ali as kepada sahabat sekaligus gubernurnya di Mesir. Beliau menyebutkan bahwa seorang pemimpin lebih ketat dan tegas dengan bawahannya dan lemah lembut dengan orang-orang yang tidak mampu. Begitu juga sifat Imam Mahdi af. Sementara itu, orang-orang Iran tidak mengamalkan kebijakan yang seperti ini. Para pejabat yang bersalah tidak diumumkan di depan umum agar yang lain mengambil pelajaran, karena mereka khawatir akan menyebabkan pemerintah Islam menjadi lemah yang menunjukkan perwujudan Islam.

3. Kemungkinan lain mengapa panji-panji Sayyid Yamani lebih menunjuki orang kepada Imam Mahdi af karena ia tidak begitu menjaga aturan-aturan internasional yang lebih bersifat basa-basi. Berbeda dengan Sayyid Yamani, Iran berkeyakinan dengan undang-undang internasional dan merasa berkewajiban untuk melaksanakannya.

4. Kemungkinan yang lebih bisa diterima adalah dikarenakan pergerakan Sayyid Yamani dibimbing langsung oleh Imam Mahdi af dan menjadi bagian tak terpisahkan dari revolusi Imam Mahdi af. Begitu juga Sayyid Yamani menemui langsung Imam Mahdi af dan mendapat bimbingan. Penguat argumentasi ini kembali pada riwayat-riwayat yang terkait dengan revolusi Yaman di mana pemimpinnya yaitu Sayyid Yamani disebutkan: Ia memberikan petunjuk ke arah kebenaran dan mengajak manusia kepada Imam Mahdi af dan lain-lain.

Namun, tidak dapat dilupakan peran Iran dalam revolusi Imam Mahdi af.
Berita-berita yang menguatkan bahwa gerakan Sayyid Yamani lebih menunjukkan dekatnya kemunculan Imam Mahdi af ketimbang revolusi Iran. Sekalipun diasumsikan bahwa Sayyid Yamani muncul sebelum kemunculan pasukan Sufyan atau diasumsikan bahwa ada Sayyid Yamani lainnya yang akan melakukan revolusi.

Cinta Syiah Yaman terhadap Imam Khomeini.
Badruddin Thaba’thaba’i al-Hautsi salah satu ulama besar Syiah Yaman yang begitu mencintai Imam Khomeini. Pada masa perang Iran dan Irak setiap kali radio Iran berbahasa Arab mengumumkan kemenangan Iran dalam perang, ia naik ke atap rumah dan menunjukkan kegembiraannya dengan menembak peluru ke udara.

FARS memberitakan, Yahya Hasan dalam masalah ini berkata: Orang-orang Syiah Yaman begitu mencintai pribadi Imam Khomeini dan beliau dianggap sebagai tokoh yang berani melawan kesombongan dan kediktatoran.

Gambar Imam Khomeini dan Sayyid Ali Khamene’i hampir pasti ada di setiap rumah orang-orang Syiah. Yahya Hasan menambahkan: Sekalipun saat ini tekanan pemerintah Yaman dan pengaruh Wahabi/Salafi di pemerintah, masih terdapat beberapa karya-karya Imam Khomeini terutama buku 40 hadis. Syiah Yaman begitu antusias dengan buku ini, bahkan dipelajari dan diajarkan.

Yahya Hasan menukil sebuah kisah heroik yang terkait dengan Imam Khomeini. Katanya: Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh tentara Yaman ke rumah-rumah orang Syiah, salah seorang komandan pejuang Syiah yang berada di medan perang karena tahu semakin dekatnya pasukan pemerintah ke kawasan penduduk, ia menghubungi anak gadisnya yang berumur 14 tahun. Ia meminta kepada anaknya agar sebelum tentara Yaman masuk ke rumah, ia membakar gambar Imam Khomeini yang berada di atas lemari. Namun, anaknya setelah melihat gambar Imam Khomeini ia hanya dapat menangis karena tidak sampai hati membakar foto Imam Khomeini. Ibunya yang melihat keadaan anaknya juga ikut sedih, namun sebelum tentara Yaman memasuki rumahnya ia sempat menanam foto Imam Khomeini di taman depan rumahnya.

Sayyid Yahya Hasan menyebutkan akan kebencian Wahabi/Salafi dan para pendukung Amerika di Yaman terhadap Imam Khomeini. Musuh-musuh Islam dan Syiah senantiasa menganggap Imam Khomeini dan pikiran-pikirannya sebagai musuh nomor satu. Semua meyakini bahwa hanya pribadi Imam Khomeini yang mampu menjegal Amerika dan Wahab/Salafi di kawasan Timur Tengah.
Yahya Hasan menegaskan: Perubahan terakhir yang terjadi di Yaman dan kesadaran kaum muslimin yang semakin tumbuh di Timur Tengah dan dunia dari hari ke hari orang akan semakin tersedot dengan pemikiran Imam Khomeini dan itu berarti persiapan bagi sebuah pemerintah internasional yang dipimpin oleh Imam Mahdi af akan terwujud. 

Apa artinya penantian akan Imam Mahdi af?

Soal: Apa artinya penantian akan Imam Mahdi af?

Jawab: Kita setiap malam menanti terbitnya matahari. Namun, arti dari penantian kita akan terbitnya matahari tidak berarti kita tidak melakukan apa-apa di tengah malam sampai subuh. Ketika malam tiba, setiap orang menerangi kamarnya masing-masing.

Ketika musim kemarau, orang-orang menanti datangnya musim penghujan. Namun, penantian kita akan musim penghujan tidak berarti di musim kemarau kita tidak melakukan apa-apa. Kita membersihkan selokan-selokan agar ketika turun hujan tidak tersumbat dan tidak mengakibatkan banjir.

Pada masa kegaiban Imam Mahdi af kita juga harus melakukan sesuatu sebagai bentuk perlawanan terhadap kezaliman sesuai dengan kemampuan kita. Kita senantiasa berusaha memperbaiki diri dan masyarakat.
Dalam sebuah riwayat disebutkan “Paling baik amal perbuatan adalah menanti kemunculan Imam Mahdi af” (Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 207).

Dalam hadis ini penantian bukan sebuah keadaan tapi sebuah perbuatan, paling baik amal perbuatan. Dengan demikian, para penanti yang hakiki harusnya orang-orang yang gemar berbuat. Mereka yang menanti seorang pembaharu harus menunjukkan dirinya sebagai orang pembaharu dan baik. Seorang yang menanti tamu yang akan datang ke rumahnya tidak pernah bisa merasa tenang.

Kewajiban masyarakat di masa kegaiban adalah memperbaiki diri, melakukan amar makruf dan nahi mungkar, mengajak kepada kebenaran dan menyadarkan orang lain.

Kongres “Penantian Imam Mahdi af menurut agama-agama Ibrahim di Austria.
Kemarin, Atase Kebudayaan Iran di Austria mengadakan kongres yang membicarakan masalah penantian Imam Mahdi af menurut agama-agama Ibrahim.

Kongres ini sebagai lanjutan dari kongres terdahulu yang pernah diadakan. Bulan kemarin, diadakan kongres dengan judul “Dua penyelamat manusia; Muhammad dan Isa”. Pada waktu itu, kongres dihadiri oleh pemikir-pemikir dari Kristen Islam.

Kongres penantian Imam Mahdi af menurut agama-agama Ibrahim bertujuan untuk menginformasikan dengan benar pengertian penantian. Hadir sebagai pembicara, direktur bidang mazhab Katolik akademi agama di universitas Vienna dan rohaniwan dari pusat pendidikan dan kebudayaan Islam Austria.


Sinetron kehidupan ibu Imam Mahdi segera dibuat.
Farajullah Salahshur salah satu sutradara Iran akan membuat sinetron tentang ibu Imam Mahdi af Nargis dalam 30 episode.

Situs Shabestan memberitakan, Farajullah Salahshur berniat untuk mesinentronkan kehidupan ibu Imam Mahdi af dalam waktu dekat ini. Menurut Salahshur, ibu Imam Mahdi af adalah wanita teladan dan dapat menjadi panutan para wanita.

Menurutnya, Nargis adalah seorang wanita Kristen dan anaknya Imam Mahdi af tidak hanya milik umat Islam. Pembuatan film ini dapat menjadi sebuah ikatan yang lebih kuat dan harmonis antara Islam dan Kristen.

Sutradara ini menjelaskan, penelitian tentang kehidupan Nargis ibu Imam Mahdi af telah dilakukan, namun masih menunggu persetujuan pertelevisian dan radio Iran. Bila itu telah disetujui akan dilanjutkan dengan menulis kembali skenarionya.

Mengenai penantian pemirsa atas karya-karya agamis, ia berkata, agama datang untuk menuntun manusia menuju ke Allah. Tujuan agama adalah menjadikan Allah sebagai pusat. Karya-karya seni juga harus demikian. Tentunya, tujuan ini akan terwujud ketika sutradara dan penulis naskah setia dengan ide yang ada. Mereka harus menyingkirkan kepentingan pribadi.

Ketika ditanya mengenai kelebihan karyanya ini dibandingkan dengan karyanya yang lain ia menjawab, semua sensitivitas dan ketelitian yang ada dalam karya-karya saya dapat ditemukan dalam karya saya kali ini. Bedanya, saya akan membuat serial ini dengan lebih punya daya tarik dan lebih baik dari karya saya sebelumnya. Karena pengalaman saya semakin bertambah dalam membuat film.
Salahshur banyak membuat film keagamaan seperti Ashabul Kahfi dan saat ini ia tengah menyelesaikan film tentang Nabi Yusuf as.


NABI ISA dan Imam Mahdi sama sama DIGAIBKAN OLEH ALLAH SWT KETIKA AKAN DIBUNUH PENGUASA ZALIM. KEDUANYA AKAN DIMUNCULKAN DI AKHIR ZAMAN GUNA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN ISLAM GLOBAL.

NABI ISA ………DIGAIBKAN OLEH ALLAH SWT KETIKA AKAN DIBUNUH PENGUASA ZALIM. Nah, IMAM MAHDI….DIGAIBKAN OLEH ALLAH SWT KETIKA AKAN DIBUNUH PENGUASA ZALIM.

KEDUANYA AKAN DIMUNCULKAN DI AKHIR ZAMAN GUNA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN ISLAM GLOBAL YANG AKAN DIPIMPIN IMAM MAHDI YANG MERUPAKAN KETURUNAN RASULULLAH SAW.MELALUINYA PEMERINTAHAN AKAN TERKALAHKAN OTORITER/HEGEMONI ZALIM KONSPIRASI GLOBAL.

SEBUAH GRAND STRATEGY YANG PASTI AKAN TERWUJUD ATAS KEHENDAK ALLAH AZZA WA JALLA.


Isa (عيسى) merupakan seorang nabi yang penting dalam agama Islam. Dalam Kitab Suci Al Qur’an, ia dipanggil Isa bin Maryam atau Isa al-Masih. Kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Aram, Eesho atau Eesaa. Yesus Kristus adalah nama yang umumnya dipakai umat Kristen untuk menyebutnya, sedangkan orang Kristen Arab menyebutnya dengan Yasu’ al-Masih (يسوع المسيح).
Narasi Qur’an tentang Isa dimulai dari kelahiran Maryam sebagai putri dari Imran, berlanjut dengan tumbuh kembangnya dalam asuhan Zakariya, serta kelahiran Yahya. Kemudian Qur’an menceritakan keajaiban kelahiran Isa sebagai anak Maryam tanpa ayah.

(Ingatlah), ketika Malaikat berkata :
Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) (QS Ali Imran: 45).

Beberapa kepercayaan yang dianut ummat Islam mengenai Isa antara lain :
1. Silsilah nabi Isa tersambung kepada nabi Ibrahim melalui putranya Ishak
2. Isa adalah salah satu nabi yang tergolong dalam ulul azmi, yakni nabi dan rasul yang memiliki kedudukan tinggi/istimewa bersama dengan (Muhammad, Ibrahim, Musa dan Nuh).
3. Isa diutus untuk kaum bani Israil
4. Isa bukanlah Tuhan maupun anak Tuhan, melainkan salah seorang manusia yang diangkat menjadi nabi dan rasul sebagaimana juga setiap nabi lain yang diutus pada masing-masing kaum.
5. Kelahiran Isa terjadi dengan ajaib, tanpa ayah biologis, atas kekuasaan Tuhan. Ibunya (Maryam) adalah dari golongan mereka yang suci dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
6. Isa memiliki beberapa keajaiban atas kekuasaan Tuhan. Di samping kelahirannya, Ia mampu berbicara saat berumur hanya beberapa hari, Ia berbicara dan membela Ibunya dari tuduhan perzinaan. Dalam Qur’an juga diceritakan saat Ia menghidupkan orang yang sudah mati, menyembuhkan kebutaan dan penyakit lepra.
7. Isa menerima wahyu dari Tuhan yakni Injil (merujuk pada Perjanjian Baru agama Kristen), namun versi yang dimiliki oleh umat Kristiani saat ini dipercayai telah berubah dari versi aslinya. Beberapa pendapat dalam Islam menyebutkan bahwa Injil Barnabas adalah versi Injil paling akurat yang ada saat ini.
8. Isa tidaklah dibunuh maupun disalib, Tuhan membuatnya terlihat seperti itu untuk mengelabui musuh-musuhnya. Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa salah seorang musuhnya diserupakan dengan dia, sedangkan Isa sendiri diangkat langsung ke surga dan musuhnya yang diserupakan tadi adalah orang yang disalib.

Sementara pendapat lain (antara lain Ahmad Deedat) mengatakan bahwa Isa benar-benar disalib namun tidak hingga mati kemudian diangkat ke surga. Terdapat pula pendapat lain yang mengatakan bahwa yang disalib oleh tentara Roma bukan Isa melainkan Yudas Iskariot. 

Isa masih hidup dan berada di surga, suatu hari Ia akan datang kembali ke bumi untuk melawan Dajjal (atau Antikristus dalam agama kristen) dan merupakan salah satu tanda-tanda dekatnya hari kiamat.
Isa bukan merupakan penebus dosa manusia, Islam menolak konsep dosa turunan dan menganut konsep bahwa setiap manusia bertanggung jawab dan akan diadili atas perbuatannya sendiri.

1. Di keluarkan dari Bukhari, Ahmad dan Baihaqi, dari Jabir bin Samurah, berkata,
“Akan wujud 12 orang amir”.
Jabir berkata: Setelah itu baginda(sawa) mengatakan sesuatu yang tidak dapat aku mendengarnya. Lantas bapaku berkata bahawa baginda bersabda:
“Semuanya dari Quraish.”
2. Di keluarkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah berkata: Aku masuk bersama bapaku ke hadhrat Nabi lalu aku mendengar baginda(sawa) bersabda:
‘Urusan agama ini tidak akan selesai hingga sempurna 12 orang Khalifah.”
Jabir berkata: Kemudian baginda mengatakan sesuatu yang kabur dari pendengaran ku, maka aku bertanya kepada bapaku. Bapaku menjawab:
“Semuanya daripada Quraish”.
3. Dikeluarkan oleh Muslim dan Ahmad dari Jabir bin Samurah: Aku telah mendengar bahawa Rasulullah bersabda:
“Urusan agama akan tetap berjalan lancar selagi mereka dipimpin oleh 12 orang lelaki.”.
4. Di keluarkan oleh Muslim, Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban, al Khatib al Tabrizi, dari Jabir bin Samurah, Rasulullah(sawa) bersabda:
“Islam akan tetap mulia (selagi mereka dipimpin oleh) dengan 12 orang khalifah”.
5. Dikeluarkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah berkata: Aku telah mendengar Nabi bersabda pada petang Jumaat ketika al Aslani di rejam:
“Agama ini akan tetap teguh berdiri hingga hari kiamat kerana kamu dipimpin oleh 12 orang khalifah.”.
6. Di keluarkan oleh Ahmad, Al Hakim, al Haithami di dalam Majma’ uz Zawaid dinukil dari Thabrani dan al Bazzar, dari Jabir bin Samurah, Nabi bersabda:
“Urusan umatku akan berada dalam keadaan baik sehinggalah cukup 12 orang khalifah.”.
7. Di keluarkan oleh Ahmad, al Haithami di dalam Majma uz Zawaid, Ibnu Hajar di dalam al Mathalibul ‘Aliyah, al Busairi di dalam Mukhtasar al Ithaf dari Masruq berkata: Telah datang seorang lelaki kepada Abdullah Ibnu Mas’ud lalu berkata:
Apakah Nabimu pernah mengkhabarkan bilangan khalifah setelah pemergiannya?
Ibnu Mas’ud menjawab:
“Ya, tetapi tiada orang pun selain kamu yang bertanyakan perkara ini. Sesungguhnya kamu masih muda. Bilangan khalidah adalah seperti bilangan majlis Musa(as), iaitu 12 orang.”.

Inilah antara hadis yang menunjukkan bilangan khalifah/amir sepeninggalan Rasulullah (sawa), iaitu 12 orang, yang mana selagi di bawah pimpinan mereka:
1. Islam akan tetap mulia.
2. Agama ini akan tetap teguh.
3. Urusan umat akan tetap dalam keadaan baik.

Syeikh Sulaiman al Qunduzi al Hanafi menerusi kitabnya Yanabi al Mawaddah telah mengkhususkan satu bab hanya untuk himpunan hadis 12 orang khalifah ini. Beliau menyatakan bahawa Yahya bin Hassan menerusi kitabnya, al Umdah menyenaraikan 20 jalan sanad bahawa khalifah sepeninggalan Nabi(sawa) ialah 12 orang. Manakala Bukhari menyenaraikan 3 jalan, Muslim 9 jalan, Abu Daud 3 jalan, dan Tarmizi 1 jalan.
Dalam Ikmal al-Din terdapat sebuah hadis melalui Jabir al-Jufri yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah yang berkata: “Ya Rasulullah kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, lalu siapakah ulil amri yang Allah jadikan ketaatan kepada mereka sama dengan ketaatan kepadamu?”
Lalu Nabi SAW bersabda: “Wahai Jabir, mereka adalah penerusku dan para pemimpin muslimin. Yang pertama dari mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian (Imam) Hasan dan (Imam) Husain, kemudian ‘Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin ‘Ali, yang dikenal dalam taurat dengan nama al-Baqir, yang engkau akan jumpai kelak. Wahai Jabir! Apabila engkau menjumpainya, sampaikanlah salamku padanya. Setelahnya adalah ash-Shadiq, Ja’far bin Muhammad; kemudian Musa bin Ja’far, kemudian ‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin ‘Ali, kemudian ‘Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin ‘Ali, setelahnya adalah al-Qa’im yang nama asli dan gelarnya sama denganku. Dia adalah hujjah Allah di bumi dan pengingat hamba-hamba-Nya. Dia anak (Imam) Hasan bin ‘Ali (al-’Askari). Peribadi inilah yang menyebabkan tangan Allah akan membukakan arah Timur dan Barat dunia dan peribadi ini jugalah yang akan digaibkan dari para pengikut dan pencintanya. karena inilah (kegaiban -penerj) keimamahannya tidak dapat dibuktikan oleh pernyataan siapapun kecuali oleh orang yang keimanannya telah Allah uji.”

Jabir berkata: “Aku bertanya padanya: ‘Wahai Rasulullah! Apakah para pengikut (syi’ah)-nya akan mendapatkan manfaat dari kegaibannya?’ Dia menjawab: ‘Ya. Demi Zat yang mengutusku dengan kenabian, mereka akan mencari cahaya dan taat kepadanya pada masa gaibnya sebagaimana manusia mendapat manfaat dari (cahaya) matahari ketika awan menutupnya’ …”
(Ikmal al-Din, jilid 1, hal. 253, dengan makna yang hampir sama dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hal.117)
* Yanabi al Mawaddah : hal 134 dan 137
* Syawahidul Tanzil:1/48 hadis 202-204
* Tafsir Razi:3/375.

Telah diriwayatkan oleh al Hamwini, di dalam Fara’id al-Simtayn dan dinukilkan darinya di dalam Yanabi al Mawaddah, dengan sanad dari Ibnu Abbas berkata:
Seorang Yahudi yang bergelar Nat’sal datang bertemu Rasulullah(sawa) lalu berkata;
Wahai Muhammad(sawa) aku berhajat untuk bertanya kepadamu sesuatu yang aku pendamkan di dalam diriku. Jika kamu menjawabnya, maka aku akan mengisytiharkan keislamanku di hadapan mu.” Rasulullah(sawa) menjawab, “Tanyalah wahai Abu Imarah.” Dia lalu menyoal baginda sehingga beliau merasa puas dan mengakui kebenaran baginda(sawa).
Kemudian dia berkata, “ Beritahu aku tentang pengganti kamu, siapakah mereka? Sesungguhnya tiada Rasul yang tidak mempunyai wasi(pengganti).Rasul kami Musa melantik Yusha bin Nuun sebagai pengganti dirinya. Baginda menjawab: “Wasi ku ialah Ali bin Abi Thalib, diikuti oleh kedua cucuku, Hassan dan Hussain, seterusnya diikuti pula oleh 9 orang keturunan Hussain.
Dia bertanya lagi: “Sebutkan nama-nama mereka kepada ku waha Muhammad(sawa).” Rasul menjawab, “Apabila Hussain pergi, beliau akan diganti oleh anaknya, Ali, apabila Ali pergi, Muhammad akan menggantikannya. Apabila Muhammad pergi, Ja’afar akan menggantikannya. Apabila Ja’afar pergi, beliau akan digantikan oleh anaknya Musa. Apabila Musa pergi, anaknya Ali akan menggantikannya. Setelah Ali pergi anaknya Muhammad akan menggantikannya. Setelah Muhammad pergi, anaknya Ali akan menggantikannya. Apabila Ali pergi, anaknya Hassan akan menggantikannya. Apabila Hassan pergi, anaknya Muhammad al Mahdi akan menggantikannya. Inilah mereka yang 12 orang.Dengan jawapan tersebut yahudi itu memuji Allah dan menyatakan keislamannya.

Masa dua bulan yang menyedihkan mencapai klimaksnya pada hari wafatnya Imam Kesebelas, Imam Hasan al-Askari, pada tanggal 8 Rabiulawal. Satu hari setelahnya, menurut riwayat, adalah hari id (perayaan) bagi pencinta ahlulbait as. Dikenal sebagai Id Zahra, hari untuk menghormati putri Nabi Muhammad saw. sebagai hari kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang-orang beriman.

Sekedar mengingat, 70 hari sebelumnya kita memperingati syahidnya tidak kurang dari enam manusia suci—Nabi Muhammad, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Zainal Abidin, Imam Ridha, dan Imam Askari (salâmullâh ‘alaihim). Selain itu, kita juga mengenang wafatnya pribadi-pribadi seperti Abul Fadhl Abbas bin Ali, Sayidah Masumah dan para sahabat Imam Husain di tanah Karbala. Akhirnya, setelah masa kesedihan, kita mengganti pakaian hitam dan kembali untuk melaksanakan hikmah selama akhir bulan ini.

Salah satu hal penting lain adalah kita menandai hari pertama kepemimpinan imam kita yang masih hidup, al-Hujjah bin Hasan al-Askari (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Sebagaimana yang disebutkan dalam doa, ziarah dan riwayat, kemunculan Imam Keduabelas akan menandai pembalasan atas darah yang tertumpah di Karbala.

Dengan peristiwa penting ini kita merayakan Id Zahra dan dengan sungguh-sungguh kita mohon kepada Allah Swt. untuk mempercepat kemunculan hujjah terakhir-Nya. Melalui keadilan yang akan imam tunjukkan, hari ini akan benar-benar dirayakan sebagai Id Fatimah az-Zahra dan seluruh pengikutnya yang sejati.

Pengamat sejarah menyatakan empat peristiwa bersejarah penting pada tanggal 9 Rabiulawal. Pertama, beberapa sejarawan berpendapat bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 9 Rabiulawal. Terdapat dua pendapat lain: 12 Rabiulawal dan 17 Rabiulawal. Bagi Syiah, riwayat yang paling terkenal adalah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. lahir pada tanggal 17 Rabiulawal 570 M.

Apapun keadaannya, tanggal tidaklah membuat perbedaan besar. Karena Ayatullah Khomeini, pendiri revolusi Islam telah mengumumkan pekan antara 9 dan 17 Rabiulawal sebagai “Usbû’ Al-Wahdah” berarti “Pekan Persatuan” di antara umat muslim. Umat muslim seluruh dunia diminta untuk bersama-sama dan merayakan maulid Nabi Muhammad selama sepekan.

Kedua, sehubungan dengan pentingnya hari ini, dicatat bahwa Nabi Muhammad sendiri terlihat senyum dan “merayakan” sekali dengan berkumpul di kota Madinah pada hari ini ketika kehadiran Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain kemudian berkata, “Pada hari inilah Allah Swt. akan menghancurkan musuh-musuh kalian dan musuh-musuh kakek kalian dan pada hari inilah ketika Allah (Swt.) akan menerima perbuatan pengikut kalian dan mereka yang mencintai kalian. Inilah hari ketika firman Allah menjadi kenyataan di mana Ia berfirman (dalam Quranul Karim): ‘Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka…’ (QS. 27: 52). Dan pada hari inilah Firaun masa Ahlulbait akan dihancurkan…”

Ketiga, tanggal 9 Rabiulawal juga dikenal sebagai Id Zahra berarti perayaan Fatimah az-Zahra as., karena 3-4 tahun setelah tragedi Karbala, pada hari inilah kegembiraan dan kebahagiaan terpulihkan dalam keluarga ahlulbait as. Dari tragedi Karbala pada tahun 61 H hingga hari ini, anggota keluarga Nabi Muhammad saw. terus-menerus berduka dan bersedih atas kesyahidan Imam Husain as.

Umar bin Saad bin Abi Waqas adalah pembunuh Imam Husain yang pertama kali menembakkan panah ke arah Imam Husain pada tanggal 9 Muharam 61 H, yang dengan itu memulai secara resmi peperangan melawan Imam Husain as.! Dan ia menyatakan, “Hai warga Kufah dan Syam, jadilah saksi dengan ini pada Hari Pengadilan, bahwa akulah orang pertama yang menembakkan panah kepada Husain!” Kemudian, Imam Husain mengatakan kepada tentara Yazid yang dikomandani Umar, setelah memberikan khotbah yang luar biasa, bahwa beliau butuh satu malam lagi untuk beribadah!

Mukhtar bin Ubaidullah ats-Tsaqafi mengumumkan tujuan revolusinya di Masjid Kufah, “Saya akan menyesuaikan kepada Kitabullah dan sunah nabi-Nya. Saya akan mengambil pembalasan terhadap pembunuh Imam Husain. Saya akan berperang melawan mereka yang merusak hukum Allah. Saya akan membela kaum lemah atas kaum kuat (penindas).”

Hanya orang yang beruntung yang punya kesempatan untuk merayakan id ini! Inilah hari; ketika pertama kalinya setelah pembantaian Imam Husain dan para sahabatnya, Imam Ali Zainal Abidin dapat tersenyum! Apakah alasan ini tidak cukup untuk kita merayakannya? Kebahagiaan kita bersama kebahagiaan maksumin dan kesedihan kita juga untuk mereka! Karena itulah 9 Rabiulawal menjadi hari kemuliaan, kehormatan, kejayaan dan rahmat. Inilah hari raya besar yang juga dinamai “Eid Asy-Syaja’.”

Keempat atau terakhir, 9 Rabiulawal adalah hari pertama bagi keimamahan al-Hujjah bin Hasan al-Askari (semoga Allah mempercepat kemunculannya), sebuah hari suka cita dan perayaan.
Benar bahwa seorang imam menjadi imam sejak lahir, tapi setiap imam menjalankan peran resmi atas kepemimpinannya setelah wafat imam sebelumnya. Alasan mengapa kita merayakannya, khususnya al-Hujjah bin Hasan, adalah untuk mengingatkan diri kita atas keberadaannya dan tanggung jawab kita kepadanya. Ayahnya sekaligus Imam Kesebelas, Imam Hasan al-Askari wafat pada tanggal 8 Rabiulawal 260 H dan Imam Keduabelas, Imam Mahdi, menjalankan keimamahannya secara resmi pada usia lima tahun pada tanggal 9 Rabiulawal 260 H.

Kita berdoa kepada Allah untuk menjaga agar kita tetap kokoh pada jalan-Nya, dan agar selalu menjaga kita dari kelalaian dalam menjalankan tugas-tugas kita kepada-Nya dan Imam Muhammad al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya), dan juga memasukkan kita ke dalam penolong dan sahabat Imam Mahdi. Ilahi amin.

Salah satu cara agar kita berusaha menjadi sahabat Imam Mahdi afs. adalah menjalankan tanggung jawab yang ada pada diri kita, termasuk membaca Doa al-’Ahd (Janji) setiap pagi di mana kita mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya saya memperbarui (janji setia) pada pagi hari ini dan semua hari sisa-sisa janjiku… Ya Allah, masukkan aku di antara penolongnya, pembelanya, yang memenuhi harapan dan perintahnya… Ya Allah, jadikanlah ia sebagai tempat berlindung bagi hamba-Mu yang tertindas; penolong bagi mereka yang tidak memiliki penolong selain-Mu… penguat ilmu agama-Mu dan sunah nabi-Mu. Semoga salawat Allah tercurahkan kepadanya dan keluarganya.”

Selain doa, tentu saja, kita harus juga menjadi sahabat sejati Imam Zaman, dengan mengingat Salman, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, dan Malik yang menjadi sahabat Imam Ali. Begitu juga dengan para syuhada Karbala yang merupakan sahabat sejati Imam Husain. Kita harus membentuk karakter kita dalam jalan yang benar ini dan menjauh dari dosa. Kita tidak boleh puas dengan kondisi sekarang atau menjadi biasa-biasa saja.

Imam Shadiq as. pernah berkata, “Seseorang tidak dianggap sebagai pengikut kami jika ia hidup di suatu kota dengan populasi 100.000, dan ada orang yang lebih takwa daripadanya.” Kita harus menjaga konsep ini dalam hati dan memperjuangkan dengan semangat tinggi untuk mencapai peringkat tertinggi dalam ketakwaan.

Hadis tentang Imam Muhammad al-Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya): “Dunia tidak akan berakhir, kata Nabi Muhammad saw., “sampai seorang laki-laki dari keluargaku (ahlulbait) dan namanya seperti namaku akan menjadi pemimpin dunia. Ketika kalian melihat bendera hijau dari arah Khurasan, maka bergabunglah bersama mereka, karena Imam Allah akan bersama panji-panji yang akan disebut al-Mahdi.”
Terakhir dan ini penting: Ahmad bin Ishaq al-Qummi adalah seorang sahabat besar dari Imam Kesebelas, Imam Hasan al-Askari as. Pada tanggal 9 Rabiulawal, Muhammad Hamadani dan Yahya Baghdadi datang mengunjunginya dan diberi tahu bahwa Ahmad sedang sibuk melakukan ghusl (mandi) pada hari itu. Ketika mereka menanyakan tentang mandi apa itu, mereka diberi tahu bahwa Ahmad mendengar dari Imam Kesepuluh, Imam Hadi as., yang berkata: “Tanggal 9 Rabiulawal adalah hari raya. Inilah hari raya besar kita dan hari raya pengikut kami.”.

Setelah melakukan mandi, Ahmad bin Ishaq al-Qummi mengatakan kepada tamunya, “Saya telah melakukan mandi karena hari ini adalah id 9 Rabiulawal. Saya mengunjungi Imam Hasan al-Askari pada hari ini dan memperhatikan cincinnya bersinar. Orang-orang di rumahnya mengenakan pakaian baru dan memakai wewangian. Ketika saya menanyakan alasannya, Imam Askari berkata, ‘Hari ini tanggal 9 Rabiulawal. Inilah hari id bagi kita dan pengikut kita’.”

Penyimpangan Terjemahan Hadis Bukhari tentang Imam Mahdi.

Hadis nomor 658 bab empat kitab Shahîh al-Bukhârî edisi bahasa Arab/Inggris menyebutkan riwayat singkat tentang kedatangan Yesus (Nabi Isa alaihisalam) dan kehadiran seorang Imam. Terjemahan itu berubah pada edisi cetakan berikutnya! Shahîh al-Bukhârî merupakan kitab hadis utama bagi saudara ahlusunah dan dianggap sebagai kitab terpercaya setelah Alquran. Penerjemahan bahasa Inggrisnya yang dilakukan oleh Muhammad Muhsin Khan dalam 9 jilid, telah diterbitkan dalam beberapa edisi.
Hadis yang didiskusikan ini terdapat pada edisi Dar al-Fikr (tanpa tahun, meskipun baru) sebagai berikut:
Shahîh Al-Bukhârî, Muhammad b. Ismail (w. 256 H), jilid 4, hal. 437, hadis nomor 658, Beirut: Dar al-Fikr (9 jilid), diterjemahkan oleh Muhammad Muhsin Khan, t.t.

Bagi mereka, yang meskipun pemahaman bahasa Arabnya kurang, akan dapat melihat bahwa teks hadis Arab yang digarisbawahi (wa imâmukum minkum) dan padanan bahasa Inggrisnya sangat berbeda!
Terjemahan yang tepat seharusnya:
How will you do when the son of Mary descends and your imam is one of your number?
Apa yang akan kalian lakukan ketika putra Mariam turun sedangkan imam kalian berada di antara kalian?
Terjemahan ini dapat dilihat pada terjemahan James Robson dalam kitab Misykat Al-Mashabih karya Khatib At-Tabrizi, yang mengutip hadis tersebut dari Shahîh Al-Bukhâri:
Misykat Al-Mashabih, Al-Khatib At-Tabrizi (w. 737 H), jilid 3, hal. 1159, bab enam (Keturunan Yesus), Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf (2 jilid), diterjemahkan oleh James Robson, 1964.


Mungkinkah ini ketidaksengajaan penerjemah Shahîh Al-Bukhârî?

Terjemahan Muhammad Muhsin Khan telah diperiksa ulang oleh beberapa ulama, sebagaimana terlihat dalam lembar pengesahan di halaman pertama setiap jilidnya:
Shahîh Al-Bukhârî, Muhammad b. Ismail (w. 256 H), jilid 4, hal. 1, Beirut: Dar al-Fikr (9 jilid), diterjemahkan oleh Muhammad Muhsin Khan, t.t.


Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan ini?

Lembar pengesahan tersebut juga muncul pada edisi awal yang diterbitkan di Pakistan pada tahun 1971. Pada edisi tersebut kami menemukan bahwa penyimpangan fatal itu tidak ada. Hadis itu diterjemahkan lebih akurat. Perlu diingat bahwa pada jilid, halaman, dan nomor hadis pada edisi berikut, serupa dengan edisi Dar al-Fikr sebelumnya.

Shahîh Al-Bukhârî, Al-Bukhari, Muhammad b. Ismail (w. 256 H), jilid 4, hal. 437, hadis nomor 658, Pakistan: Sethi Straw Board Mills (Conversion) Ltd (9 jilid), diterjemahkan oleh Muhammad Muhsin Khan, 1971.


Terlihat bahwa “kesalahan” ini sebenarnya penyimpangan yang jelas dan sengaja dari teks terjemahannya. Hal ini terus terjadi hingga edisi terakhir yang dicetak ulang sampai sekarang dan masih menunjukkan penyimpangan (tahrif). Termasuk edisi terakhir yang diterbitkan di Pakistan. Bahkan database hadis online memiliki terjemahan yang keliru. Misalnya lihat:
Shahîh Al-Bukârî, Al-Bukhari, Muhammad b. Ismail (w. 256 H), jilid 4, kitab 55, hadis nomor 658. Terjemahan online: (Klik di sini untuk lihat online).


Apa hubungan Fath Al-Bârî dengan versi yang keliru ini?

Fath al-Bârî merupakan uraian (syarh) paling terkenal dalam Shahîh al-Bukhârî. Kitab itu ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), seorang ulama dengan reputasi besar di kalangan ahlusunah. Meskipun analisis di atas menunjukkan penyimpangan yang jelas dan terlihat sengaja, pengecekkan terhadap syarah hadis tersebut dalam Fath Al-Bârî menjadi lebih jelas. Berikut ini adalah teks yang panjang dan sangat beralasan jika Ibnu Hajar mengutip pendapat beberapa pihak mengenai arti dan maksud riwayat tersebut.

Beberapa komentar diterjemahkan di bawah:
Fath al-Bârî bî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), dalam hadis nomor 3193 (klik di sini untuk lihat online).


Menurut Ahmad dari Jabir tentang kisah dajal dan turunnya Isa, “Ketika mereka bersama Isa, akan dikatakan: ‘Bangkitlah wahai Ruhullah (Nabi Isa)’, beliau berkata: ‘Biarkan imam kalian memimpin salat‘.” Juga Ibnu Majah dalam hadis panjang dari Abu Umamah tentang dajal berkata: Mereka semua, maksudnya kaum kuslim, di Baitul Muqaddas (Yerusalem) dan imam mereka yang saleh maju memimpin salat mereka, ketika Isa turun; sang imam mundur dan meminta Isa untuk memimpin. Lalu Isa berdiri di antara bahunya (maksudnya menghadapnya) lalu berkata, “Pimpinlah! (Salat ini) disiapkan untukmu.”.

Abul Hasan al-Khasai al-Abidi berkata dalam Manâqib asy-Syâfi’î bahwa kabar itu adalah mutawatir yakni al-Mahdi berasal dari umat ini dan Isa akan salat dibelakangnya. Dia menyebutkan tentang penolakan hadis yang dikeluarkan Ibnu Majah yang berasal dari Anas yang mengatakan “tidak ada Mahdi kecuali Isa”.
Abu Dzar al-Harawi berkata dari al-Jauzaqi dari beberapa orang terdahulu, berkata: arti dari perkataan “imam kalian berada di antara kalian” adalah bahwa dia akan memerintah berdasarkan al-Quran dan bukan Injil.

[...]

Ibnu al-Jauzi berkata: Jika Isa memimpin maka akan terjadi keraguan dipikiran manusia apakah ia akan memimpin sebagai wakil atau sebagai pemrakarsa hukum [baru]. Oleh karena itu, dia akan salat sebagai makmum sehingga tidak diliputi keraguan, mengingat ucapan (nabi kita) “tidak ada nabi setelahku”. Tentang salatnya Isa dibelakang lelaki dari umat ini, yang terjadi di akhir zaman menjelang hari kiamat, merupakan dalil sahih (bukti yang benar) dari ucapan bahwa bumi tidak mungkin ada tanpa tegaknya hujah Allah (qâ’im lillâh bi hujjah). Wallahualam.

Menjadi jelas dari kutipan di atas bahwa terdapat berbagai penjelasan yang dikutip Ibnu Hajar untuk menyatakan makna hadis ini dan identitas sang imam. Penyimpangan teks terjemahan Muhsin Khan dilakukan dengan mengganti terjemahan dan memilih salah satu dari beberapa penjelasan, yakni yang diwarnai merah. Sedangkan yang lainnya, termasuk yang diwarnai biru, ditolak.

Lalu siapa “imam” yang disebutkan dalam riwayat itu?

Pemahaman Syiah ini mengacu kepada Imam Mahdi yang merupakan Imam Kedua Belas dan Penerus dari Nabi (saw.) dari keluarganya (ahlulbait). Beliau merupakan Qâim al-Hujjah, di mana Yesus (Nabi Isa) akan salat di belakangnya ketika turun.

Belajar dari Kesabaran Ahlulbait.

Di suatu hari yang indah, Rasulullah saw. berkumpul bersama putrinya, Fatimah, dan menantunya, Ali. Bersama beliau juga telah ada cucu yang berasal dari rahmatullah, Hasan dan Husain. Berkumpulnya keluarga tersebut sangat menyejukkan hati. Siapa lagi orang yang seperti nabi? Siapa lagi yang seperti Ali? Siapa lagi yang seperti Fatimah? Siapa lagi yang seperti Hasanain? Sebuah momen indah dalam sejarah kemanusiaan.

Tak lama kemudian, tiba-tiba Jibril turun menemui nabi saw. “Wahai utusan Allah, apakah engkau dalam keadaan senang dan bahagia?”
“Tentu saja,” jawab nabi. “Ini Ali, ini Fatimah, dan ini Hasan serta Husain. Inilah keluargaku yang indah.”
Jibril berkata, “Aku akan sampaikan apa yang akan terjadi kepada mereka sepeninggalmu.” Kemudian Jibril menjelaskan tentang cucu nabi yang syahid di Karbala. Tiba-tiba tangisan mulai mengalir dari mata nabi yang suci. Segala sesuatunya berubah.


Sumber: hedzzation.deviantart.com.

Nabi tertunduk dan sujud di hadapan Allah dalam waktu yang sangat lama. Tangisannya membuat sujud semakin lama. Barulah nabi bangun. Manusia yang paling dekat dengan nabi, Ali, bertanya tentang apa yang terjadi. Nabi berkata akan menjelaskannya setelah mengambil janji dari mereka, “Keluargaku, zuriahku, ahlulbaitku! Akankah kalian bersabar?” Mereka menjawab, “Tentu saja, wahai rasulullah.” Lalu nabi menceritakan apa yang akan menimpa mereka… sampai semuanya terjadi.

Di antara syarat untuk mempunyai hubungan dan keanggotaan yang hakiki dengan nabi saw. melalui nasab atau cinta dan ketaatan adalah memiliki kesabaran yang sempurna atas segala ujian dan kesengsaraan yang akan dihadapi.

Zainab binti Ali tidak berada di sana saat berkumpulnya keluarga nabi. Tapi hadis nabi tersebut telah disampaikan oleh ibu dan ayahnya. Zainab sangat ingat dengan hadis tersebut. Dia mengambil janji sendiri dan telah memahami pelajarannya. Zainab telah bersabar sepanjang waktu… sampai dia tiba di Karbala.
Imam Ali bin Husain Zainal Abidin berdiri di samping jasad ayahnya. Beliau melihat apa yang dilihat. Tak ada yang bisa menggambarkan apa yang dia lihat. Beliau melihat apa yang dilihat. Beliau melihat sampai ruhnya seakan-akan keluar dari tubuhnya.

Ketika itu Zainab berlari menuju keponakannya, Zainal Abidin. “Wahai keponakanku, sayangku, kami tidak memiliki siapa-siapa lagi selain dirimu. Aku melihat dirimu seolah-olah hendak mati… Ada apa?”
“Bibi!” serunya menangis. “Bukankah jasad ini hujah Allah (di atas muka bumi)? Ini Husain… Nabi biasa menggendong di pelukannya. Tapi lihat keadaannya sekarang?!”

Saat itu, barulah Zainab mengingatkan keponakannya tentang berkumpulnya keluarga nabi saat dulu. Janji itu telah diambil. “Allah telah mengambil janji dari kami, ahlulbait, bahwa kami akan sabar dan tegar di atas segala musibah.”.

Terkait Berita: