Pesan Rahbar

Home » » Refleksi Hari Perempuan Internasional; Perang, Perempuan dan Jalan Damai

Refleksi Hari Perempuan Internasional; Perang, Perempuan dan Jalan Damai

Written By Unknown on Wednesday, 9 March 2016 | 13:04:00

ilustrasi (Foto: blogs.icrc.org)

Dalam naskah klasik Yunani karya Aristophanes yang bertajuk “Lysistrata”, perempuan-perempuan Athena dan Sparta itu bersumpah, untuk menghentikan perang yang berkecamuk di antara keduanya. Maka, seorang bangsawan dari Athena, Lysistrata menggalang pertemuan-pertemuan dengan beberapa wanita berpengaruh di seantero Yunani.

Para wanita di Sparta dan Athena dihimbau untuk berpadu dalam aksi nasional bersama sebagai ultimatum agar kaum lelaki segera menghentikan perang. Protes demi terciptanya jalan damai itu mereka lancarkan dalam aksi bersama “mogok bercinta”, menolak berhubungan seksual selama perang Peloponnesia masih tergelar.

Kisah ini diadaptasi dalam lakon Wayang Climen bertajuk “Nirasmara” garapan Ki Jlitheng Suparman, menampilkan Subadra, istri Arjuna sebagai sosok utama yang berani mendobrak dominasi laki-laki. Wanita hanya dianggap sebagai jongos kelon atau pelayan sex. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam urusan kenegaraan karena dianggap lemah dan tidak pecus. Mereka pun akhirnya menggugat lewat sumpah untuk tidak melayani kebutuhan biologis suami mereka.

Diawali dengan mogok bercinta, kemudian para wanita berhasil menguasai gedung khas negara, sebelum akhirnya mereka ingin membatalkan Perang Baratayuda, rencana inti dari pemberontakan mereka. Perang hanya akan membawa nestapa. Lima orang dari Pandawa dan 100 orang dari Kurawa akan melibatkan seluruh rakyat mereka dalam peperangan.


Perang yang Memuakkan

2 Januari 1942, Manila diduduki pasukan Jepang. Mereka juga mengambil alih pangkalan laut Cavite, sedangkan tentara Amerika dan Filipina terus mundur hingga Bataan. 11 Januari 1942, tentara Jepang menduduki Kuala Lumpur, Malaya. Jepang mengumumkan perang kepada Belanda dan menyerang bagian timur Hindia Belanda. Cerita pilupun dimulai, salah satu aksi kebrutalan seksual terbesar dalam sejarah manusia digelar. Kehormatan, harga diri dan kesucian jutaan kaum hawa direnggut, mimpi besar “Asia Timur Raya” mewujud menjadi birahi yang membabi buta.

Dalam sebuah laporan disebutkan bahwa Perang Dunia I dan II telah merenggut nyawa 418.000 orang Amerika, 600.000 warga Perancis dan 450.000 warga Inggris, dan 27 juta warga Uni Soviet. Pada tahn 2014, Miriam Gebhardt mendobrak kebekuan sejarah tanah Eropa yang kerap menonjolkan kekejian NAZI, dan dalam 25 tahun terakhir nyaris selalu menyajikan citra buruk Tentara Merah untuk kampanye anti-Rusia. Sementara nestapa yang dialami jutaan wanita Jerman setelah tumbangnya kekuasaan Hitler tersisih oleh euforia cerita heroik “keberhasilan” Sekutu membebaskan Jerman dari cengkraman NAZI. Hasil reportase Miriam Gebhardt yang menyebutkan “sekitar 4-5 persen anak-anak yang lahir dari rahim wanita Jerman adalah hasil perkosaan tentara AS” telah mengejutkan banyak pihak di Eropa.

Sampai detik ini, perempuan merupakan korban utama gelombang perang di Afrika dan Timur Tengah. Berdasarkan data 10 tahun terakhir dari komisi tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) menyebutkan bahwa korban perang dari kalangan sipil melonjak jauh dari 5 % menjadi lebih dari 90 % dari keseluruhan korban. Delapan puluh persen (80%) korban adalah perempuan dan anak-anak, jumlah ini jauh lebih besar dari pada jumlah korban dari kalangan militer. Data tersebut menunjukan bahwa pada situasi sengketa bersenjata kalangan perempuan merupakan kelompok yang paling besar menanggung dampak kekerasan dan menjadi target kekerasan.

Sebuah hasil penelitian yang diluncurkan oleh WHO (2013) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bersifat meluas dan merasuk, menembus wilayah yang berbeda-beda dan semua tingkat pendapatan dalam masyarakat. Kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan telah mencapai tingkat epidemi, mempengaruhi lebih dari sepertiga perempuan secara global.

Studi tersebut menemukan bahwa satu dari tiga perempuan di dunia akan mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya. Studi tersebut menemukan bahwa daerah yang paling terkena dampaknya adalah Asia Tenggara, wilayah Mediterania timur dan Afrika, dengan persentase kekerasan terhadap perempuan sekitar 37 persen. Meningkatnya eskalasi konflik di Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir dapat dipastikan meningkatkan frekusensi kekerasan terhadap perempuan.

Sementara itu peran negara tidak lagi mampu mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk komoditi. Negara semakin kehilangan kedaulatannya (lost sovereignty) dalam mengatur globalisasi ekonomi, informasi dan budaya. Lalu, hendak kemanakah perempuan mengadu dan berharap ?

Wallahu a’lam

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

  • Sang Kakak Bongkar Tokoh Radikal dan Pendiri NU Garis Lurus Luthfi Bashori
  • Siapakah ibu Imam Sajjad ( Imam Ali Zainal Abidin As)?
  • Pemerintah Suriah Sepakat dengan Oposisi Bersenjata di Darayya
Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI