Pesan Rahbar

Home » » Bagaimana seseorang yang selama hidupnya berada dalam kesesatan dan dosa, namun melalui perantara kebaikan dan doa orang lain, tiba-tiba kondisinya berubah di akhirat meski tanpa peran langsungnya? Berikut Penjelasannya

Bagaimana seseorang yang selama hidupnya berada dalam kesesatan dan dosa, namun melalui perantara kebaikan dan doa orang lain, tiba-tiba kondisinya berubah di akhirat meski tanpa peran langsungnya? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Sunday 16 August 2015 | 11:24:00


Pertanyaan:

Bagaimana seseorang yang selama hidupnya berada dalam kesesatan dan dosa, namun melalui perantara kebaikan dan doa orang lain, tiba-tiba kondisinya berubah di akhirat meski tanpa peran langsungnya?

Jawaban Global:
Permasalahan yang menjadi pertanyaan ini tidak dapat diterima seratus persen dan juga tidak dapat ditolak seratus persen, melainkan bergantung pada jenis dosa yang dilakukan dan siapa pelakunya.  Seperti misalnya pelaku dosa syirik, yang tidak sedikitpun akan mendapatkan ampunan.

Begitu juga dengan dosa yang  berkaitan dengan "hak-hak manusia" (haqqunnas)  tidak akan mendapatkan ampunan Ilahi melalui perantara doa dan permohonan orang lain sebelum dosa tersebut ditebus dengan mengembalikan hak-hak orang lain dan meminta keridhaan pemilik hak tersebut.

Setelah melakukan dua hal tersebut,  maka terbuka ruang baginya untuk mendapatkan ampunan dosa,
Seseorang terkadang berbuat dosa karena ketidaktahuan. Hal ini dapat diketahui ketika pelaku dosa tersebut menyadari kekeliruannya dan setelah itu menyatakan penyesalan dan bertaubat.

Pendosa yang demikian memiliki  harapan untuk mendapatkan ampunan. Atau terkadang pula seseorang berbuat dosa meskipun secara sadar dan tahu bahwa hal tersebut dosa, namun karena pembangkangannya ia lalu terjerembab dalam perbuatan dosa yang harus ia tebus sendiri. Untuk menebus dosa dan pengaruh-pengaruhnya hal itu dapat dilakukan dengan perantara pribadi pendosa itu sendiri juga dapat melalui perantaraan orang lain.

Meskipun tidak menjadi penghalang, manusia tidak memiliki hak melebihi usaha dan upayanya sendiri. Melalui jalan kemurahan dan ampunan Ilahi, anugerah Ilahi hanya akan diberikan kepada yang layak mendapatkannya. Di sini, kelayakan adalah satu persoalan dan berlaku pemurah adalah persoalan yang lain.

Terlepas dari hal tersebut, kebaikan, doa orang lain, syafaat dan sebagainya juga diberikan bukan tanpa perhitungan. Hal ini pada tingkatan tertentu tergantung pada orang itu sendiri; misalnya syafaat membutuhkan usaha dan upaya serta terjalinnya hubungan maknawi dengan orang yang memberikan syafaat (syafi').

Pada hakikatnya ia harus memiliki kelayakan dan kapabilitas untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebagaimana tumbuhan, tanpa perantaraan bantuan air, tanah, cahaya dan sebagainya tidak dapat bertumbuh dan mencapai jenjang kesempurnaan. Tumbuhan pada dasarnya harus memiliki kapabilitas dan potensi untuk berkembang pada dirinya sendiri sehingga bantuan dan sedirinya.

Jawaban Detil:
Untuk menjelaskan jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka kami memandang perlu menerangkan beberapa poin berikut ini:

1. Setiap perbuatan dosa memiliki dua sisi, dimana salah satu sisinya adalah maksiat, pembangkangan dan pelanggaran terhadap Tuhan (berlaku aniaya terhadap Allah Swt) dan sisi lainnya berkaitan dengan pribadi pendosa dan anggota masyarakat (berlaku aniaya terhadap manusia dan diri sendiri).[1]

2. Setiap perbuatan dosa berbeda antara satu dengan yang lain, dengan memperhatikan perbedaan kondisi waktu dan tempat terjadinya dosa, perbedaan dosa-dosa dan pelaku dosa itu sendiri. Dan sebagai konsekuensinya hukuman yang diberikan kepadanya juga akan berbeda. Misalnya berkenaan dengan para istri Nabi Saw, al-Qur'an menuturkan: "Hai istri-istri nabi, barang siapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepadanya dua kali lipat. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (Qs. Al-Ahzab [33]:30) atau dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Ridha As yang menyebutkan: "Seseorang yang terang-terangan melakukan dosa atau menyebarkannya adalah orang hina dan orang yang menutupi dosa-dosa yang ia lakukan dan menyembunyikannya maka ia akan mendapatkan ampunan."[2]

3. Dalam sebuah klasifikasi, dosa-dosa terbagi menjadi dua, yakni dosa kepada Allah (haqqullah) dan dosa kepada manusia (haqqunnas). Disebutkan dalam riwayat: "Allah Swt sekali-kali tidak akan memaafkan dosa-dosa yang terkait dengan hak-hak manusia (haqqunnas) kecuali pemilik hak tersebut memberikan keridhaan kepadanya."[3] Karena itu, bagian dosa semacam ini tidak layak mendapatkan ampunan dengan perantara doa dan istighfar pendosa atau doa dan istighfar orang lain baik pada masa hidupnya atau setelah kematiannya. Ia harus mendapatkan keridhaan orang yang diambil haknya terlebih dahulu atau yang bersangkutan (pemilik hak) membiarkan haknya diambil oleh orang  itu; misalnya apabila seseorang mengambil harta orang lain atau merampasnya selama pemilik harta tersebut tidak memberikan keridhaan maka Allah Swt sekali-kali tidak akan memberikan ampunannya. 

4. Dosa-dosa terbagi menjadi dosa kecil dan dosa besar. Dosa besar adalah dosa yang dalam pandangan Islam di samping dilarang dalam al-Qur'an juga orang-orang yang melakukan dosa tersebut diancam dengan azab neraka; misalnya zina, membunuh manusia yang tidak berdosa, memakan hasil riba dan sebagainya, sebagaimana hal tersebut disebutkan dalam riwayat.[4] Dosa kecil adalah dosa yang hanya dilarang dikerjakan namun tidak diancam azab neraka. Al-Qur'an menjanjikan pengampunan bagi orang-orang yang melakukan dosa kecil sebagaimana hal itu disebutkan pada surah an-Nisa (4), ayat 31, 
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu) yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." 

Sesuai dengan ayat suci ini dengan menghindar dari dosa-dosa besar maka dosa-dosa kecil secara otomatis akan mendapat ampunan. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa terkadang pada suatu kondisi tertentu, dosa-dosa kecil akan berubah menjadi dosa besar dan pelakunya tidak akan selamat dan aman dari ancaman Ilahi.[5] 

Artinya kebanyakan dosa-dosa kecil berubah menjadi dosa besar dimana Allah Swt tidak hanya tidak mengampuni pelakunya namun juga menjajikan mereka azab yang pedih.[6] 

5. Dalam sebuah klasifikasi, pendosa dapat dibagi menjadi dua bagian: 
A. Mereka yang melakukan dosa karena kejahilan dan ketidaktahuan kemudian menyesali perbuatan tersebut dan berusaha menebus kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut (taubat). Allah Swt menjanjikan ampunan dan maaf bagi orang yang melakukan dosa semacam ini. [7] 
B. Mereka yang melakukan dosa-dosa dengan dasar ilmu dimana ia mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu adalah dosa namun tidak ada rasa penyesalan setelahnya. Bagi orang seperti ini tentu saja tidak akan mendapatkan ampunan Ilahi.[8]
 
Dari apa yang telah dijelaskan di atas menjadi terang bahwa kata maaf dan ampunan Ilahi dan berubahnya kondisi pendosa hanya berlaku pada dosa-dosa yang Allah janjikan ampunan dan maaf baginya dimana hal ini dapat terwujud dengan mencari sebab-sebab pengampunan.

Adapun orang yang menghabiskan hidupnya dalam perbuatan dosa dan penyimpangan, bagaimana ia akan mendapatkan ampunan dan syafaat dan nasibnya di akhirat berubah melalui perantara kebaikan dan doa orang lain? 
Karenanya dikatakan bahwa seluruh orang-orang yang tenggelam dalam perbuatan dosa dan penyimpangan tidaklah demikian. Mustahil dengan perantara perbuatan baik dan doa orang lain nasib mereka akan berubah. Sementara yang  terkait dengan para pendosa yang dosanya dijanjikan ampunan dan maaf oleh Allah Swt, ia tetap memiliki harapan bahkan dengan doa dan perbuatan baik orang lain ia akan mendapatkan ampunan; karena al-Qur'an berkata,  
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (Qs. Al-Hud [11]:114).

Sebagaimana pendosa, apabila semasa hidupnya melakukan  kebaikan-kebaikan dan melalui perbuatan baiknya itu, Allah Swt akan menghapus dosa-dosa dan efek-efek dosanya. Apabila orang lain melakukan pelbagai kebaikan dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang berbuat dosa, kebaikan-kebaikan ini akan menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa dan efek-efek yang ditimbulkan dari dosa yang ia lakukan.

Kita banyak memiliki riwayat yang menegaskan bahwa, "Tatkala seseorang meninggal dunia apabila orang lain (anak-anak atau orang lain) mengerjakan kebaikan seperti menunaikan shalat, mengerjakan puasa, melaksanakan haji, bersedekah dan membebaskan budak dan sebagainya dan kemudian menghadiahkan pahala dan ganjaran amal saleh yang mereka kerjakan ini (kepada orang itu) maka pahala dan ganjaran kebaikan tersebut akan sampai kepadanya.’[9]

Tentu saja tatkala ganjaran kebaikan-kebaikan yang dikerjakan orang lain tersebut diperuntukkan kepada seorang pendosa, maka itu akan sampai kepadanya selama  ingin menebus efek-efek buruk dosa-dosa seorang pendosa, maka dosa-dosanya juga akan tertebus.

Pada hakikatnya, hal ini merupakan cermin keadilan Ilahi dimana dengan perbuatan-perbuatan baik orang lain dosa-dosa yang setimpal dengan perbuatan baik tersebut akan terampuni. Allah Swt melalui lisan Nabi-Nya membuka jalan ini.[10] 

Sebagaimana di dunia ini apabila seseorang mengerjakan sebuah kesalahan dan menyisakan kerugian bagi orang lain, apabila orang ketiga menebus kesalahan ini untuknya maka tentu saja orang yang menderita kerugian tersebut akan rela dan apabila ia tidak rela maka ia akan mendapatkan cemoohan. Karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan dan menjadi pertanyaan bagaimana dosa seorang pendosa yang telah meninggal dunia dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik orang lain.

Lain halnya dengan seseorang yang gemar berbuat maksiat dan dosa, meskipun semua orang-orang saleh menghadiahkan segala kebaikan mereka kepadanya itu tetap tidak mampu menebus dosa-dosa besar yang tak-terbilang yang ia lakukan. Dalam hal ini, ia tidak akan dimaafkan dengan perantara kebaikan-kebaikan orang lain, melainkan Allah SWT akan mengurangi beban dosa-dosanya dan menurunkan bobot azab kepadanya.[11]

Kiranya perlu disebutkan pula bahwa Allah Swt Maha Adil dan Maha Bijaksana dan sekali-kali tidak akan aniaya kepada para hamba-Nya. Setiap perbuatan hamba tidak ada yang sia-sia, setiap amal kebaikan akan mendapat ganjaran. Bisa jadi seseorang menurut pandangan kita adalah pendosa dan layak mendapatkan azab, ini karena kita tidak mengetahui seluruh perbuatan dan amal-amal mereka.

Akan tetapi Allah Swt karena Maha Mengetahui segala sesuatu, maka ampunan dan maghfira-Nya harus kita hitung sebagai ganjaran dari perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan dimana Allah Swt mengetahuinya dan kita tidak mengetahuinya.

Satu hal yang tidak boleh kita lalaikan, bahwa biasanya seseorang mendo’akan dan memohonkan ampun bagi orang lain lantaran perbuatan baik yang dilakukan semasa hidupnya. Seseorang yang tidak pernah melakukan kebaikan dalam kehidupannya, malah seluruh kehidupannya bergelimang dosa maka tidak ada seorang pun yang akan dengan tulus-ikhlas memohonkan ampunan baginya,  tidak juga anak-anak dan kerabatnya.

Dalam hubungan dengan kerabatnya, apabila kerabatnya ini bukan termasuk orang baik, tentu saja do’anya tidak akan terkabulkan. Namun sekiranya kerabatnya itu termasuk orang baik dan saleh, tentu mereka tidak senang kepadanya karena ia adalah pendosa, sehingga tidak merasa perlu untuk berdo’a baginya.

Tafsir Nemune dalam menjawab pertanyaan ini, bahwa bagaimana ayat-ayat tentang syafaat atau seperti misalnya dalam surah Thur,ayat 1 "Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), " 

menegaskan bahwa anak-anak para penghuni surga juga akan digabungkan dengan mereka padahal sedikit pun tidak ada usaha dari mereka. Atau apa yang disebutkan dalam riwayat bahwa bilamana seseorang melakukan perbuatan baik maka hasilnya akan sampai pada anak-anaknya. 

Fakta ini selaras dengan ayat yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang berusaha yang akan mendapatkan ganjaran. Al-Qur'an menyatakan, "Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang telah dikerjakannya."   

Akan tetapi hal ini tidak akan menjadi penghalang bagi Allah yang melalui kemurahan-Nya pelbagai nikmat diberikan kepadanya. Di sini kemurahan adalah sebuah persoalan dan kelayakan (istihqaq) adalah persoalan yang lain. Sebagaimana hasanat (pelbagai kebaikan) akan diganjari sepuluh kali dan terkadang sampai seratus atau seribu ganjaran.

Terlepas dari itu, syafaat adalah persoalan yang bukan tanpa perhitungan. Ia memerlukan usaha dan upaya serta rajutan jalinan hubungan maknawi dengan sosok yang memberikan syafaat.[12] 

Demikian juga terkait dengan masalah dipertemukannya anak-anak penghuni surga dengan mereka yang ada di surga. Sebagaimana al-Qur'an pada ayat yang sama menyebutkan, "Dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan."  Maka hal ini hanya dapat terjadi ketika anak-anak mereka adalah orang-orang beriman yang mengikuti jejak langkah mereka.[13]

Allamah Thabathabai Ra dalam kitab al-Mizân terkait dengan pembahasan syafaat berkata, "Apabila seseorang ingin mendapatkan ganjaran yang ia tidak persiapkan sebab-sebabnya dan juga terhindar dari hukuman  karena tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, maka ia akan mendapatkannya dengan perantaraan syafaat. 

Namun syafaat yang dimaksud di sini tidak dalam bentuk mutlak, sebab sebagian orang sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk sampai kepada kesempurnaan yang diidam-idamkan. Seperti misalnya orang awam yang menjadi ulama dengan syafaat seseorang. Jika ia tidak memiliki ilmu dan tidak pula berupaya mengembangkan potensinya, serta tidak memiliki hubungan erat dengan seseorang yang dapat memberikannya syafaat, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa.  Atau seperti  budak yang sama sekali tidak memiliki ketaatan kepada tuannya. 

Pada saat ia membangkang dan menentang tuannya, ia ingin mendapatkan syafaat dari tuannya, tentu saja ia tidak akan mendapatkan apa-apa dan syafaat tidak akan memberikan manfaat sedikitpun. Syafaat bukan sebab itu sendiri melainkan media untuk melengkapkan dan menyempurnakan sebab. sehingga sebagaimana dalam contoh pertama menyatakan dirinya sebagai ulama dan pada contoh kedua pada saat pembangkangannya ia mendekatkan diri kepada tuannya tidak akan memberi hasil apa-apa.[14] []



Referensi:
[1]. Tafsir Nemune, jil. 6, hal. 415.
[2]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 428 dan Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 406.
[3]. Al-Kâfi, jil. 2,hal. 433.
[4]. "Al-Kabâir allati awjabaLlâh Azza wa Jalla 'alaihi al-Nâr." Dosa-dosa besar yang diwajibkan Allah Swt baginya neraka jahanam." Al-Kâfi, jil. 2, hal. 276.
[5]. Beberapa kondisi yang menjadikan dosa-dosa kecil berubah menjadi dosa besar adalah:
1. Apabila dosa kecil itu dilakukan berulang-ulang. Imam Shadiq As bersabda, "Lâ Shaghira maa' al-Ishrâr." (Tiada dosa kecil yang dilakukan berulang-ulang [dan berubah menjadi dosa besar]). Al-Kâfi, jil. 2, hal. 88. 
2. Apabila orang yang melakukan dosa memandang dosa kecil itu sebagai hal yang sepele dan rendah dosa kecil yang ia lakukan. Dalam kondisi seperti ini dosa kecil itu akan berubah menjadi dosa besar. Imam Ali As bersabda: "Asyadda al-dzunub maa isthana bih shahibuh." (Seburuk-buruk dosa adalah apa yang dipandang rendah dan sepele oleh pelakunya). Wasâil al-Syiah, jil. 15, hal. 312, bab 43. 
3. Apabila pendosa melakukan dosa dengan sikap congkak dan melampaui batas. Al-Qur'an menyatakan, "Maka orang yang melampaui batas. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)." (Qs. Al-Naziat [79]:37-39) 
4. Apabila dosa kecil dilakukan oleh orang-orang besar dan tokoh-tokoh sosial. Al-Qur'an terkait dengan para istri nabi menegaskan, "Hai istri-istri nabi, barang siapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepadanya dua kali lipat." (Qs. Al-Ahzab [33]:30) 
5. Apabila pendosa melakukan dosa-dosa kecil itu dengan riang gembira. Nabi Saw bersabda: "Barangsiapa yang melakukan dosa dalam keadaan tertawa maka ia akan memasuki neraka dalam keadaan menangis." Wasâil al-Syiah, jil, 15, hal. 305, bab 40. 
6. Apabila orang yang melakukan dosa memandang bahwa tiadanya hukuman segera dari Tuhan adalah dalil atas keridhaan-Nya. "Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tiada menyiksa kita (segera) lantaran apa yang kita katakan itu." (Qs. Al-Mujadalah [58]:8) Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 359 dan seterusnya.

[6]. Akan tetapi persoalan ini tidak bertentangan dengan termasuknya syafaat bagi orang-orang yang melakukan dosa besar. Allamah Thabathabai terkait dengan masalah bahwa siapa saja yang boleh mendapatkan syafaat? Beliau berkata, "Syafaat terbagi menjadi dua bagian.

Pertama syafat takwini yang bermakna bahwa pengaruh setiap sebab-sebab takwini pada alam sebab-akibat dan kedua syafat tasyri'i yang bertalian dengan ganjaran dan hukuman. Ketika kita berkata bahwa bagian kedua berpengaruh termasuk sebagian pada dosa-dosa dari syirik hingga yang lebih rendah. Misalnya syafaat dan perantara taubat dan iman. Akan tetapi taubat dan iman dilakukan di dunia dan sebelum kiamat. Sebagian lainnya berpengaruh pada azab sebagian dosa-dosa.

Misalnya amal saleh yang menjadi perantara dalam menghapus dosa-dosa. Akan tetapi syafaat yang menjadi obyek perdebatan dan perbedaan adalah syafaat  para nabi dan selain para nabi pada hari Kiamat yang dilakukan untuk mencabut azab dari orang yang menurut perhitungan kiamat adalah orang yang layak mendapatkan azab dan pada waktu yang lalu – pada pembahasan yang lalu yang bertajuk siapa yang layak mendapatkan syafaat. Kami berkata bahwa syafaat ini bertalian dengan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, dari orang-orang yang beragama pada agama yang benar dan Allah Swt menerima agama mereka. Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 1, hal. 264.

[7]. "Sesungguhnya (penerimaan) tobat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al-Nisa [4]:17)

[8]. Para penafsir dengan merujuk pada ayat dan riwayat menghitung sebab-sebab diampunkannya dosa-dosa sebagai berikut:
1. Taubat dan kembali kepada Tuhan yang senantiasa disertai dengan rasa sesal atas dosa-dosa yang telah lalu dan memutuskan untuk menjauhi dosa-dosa tersebut pada masa mendatang. Al-Qur'an dalam hal ini menegaskan, " (Qs. Syura [42]:25).
2. Mengerjakan amalan-amalan baik yang menjadi sebab diampunkannya perbuatan-perbuatan buruk. ""Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." "(Qs. Al-Hud [11]:114).
3. Syafaat: Hakikat syafaat adalah doa Nabi Saw atau salah seorang Imam Maksum As untuk pendosa supaya ia dimaafkan dan diampuni oleh Allah Swt. Ja'far Subhani, Buhuts Qur'aniyah, hal. 117-118. Kendati syafaat merupakan salah satu kaidah yang diterima secara umum dalam Islam dimana hal ini disebutkan pada ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis bahwa syafaat menjadi penyebab ampunan bagi hamba-hamba pendosa. Akan tetapi syafaat ini memiliki selaksa syarat dan tidak bersifat umum sehingga siapa saja dapat memperoleh syafaat. Hal ini terkhusus bagi orang-orang yang menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan dalam agama khususnya ia tidak memandang enteng ibadah shalat dan Tuhan memberikan izin syafaat kepada orang tersebut. Demikian juga tidak termasuk seluruh dosa. (Syarat-syarat syafaat dan hal-hal yang berkenaan dengannya telah dibahas tersendiri pada tempatnya)
4. Menghindar dari dosa-dosa besar menjadi penyebab ampunan dosa-dosa kecil. "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu) yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (Qs. Al-Nisa [4]:31)
5. Ampunan Ilahi yang dianugerahkan kepada orang-orang yang layak mendapatkannya.
Ampunan Ilahi bergantung kepada kehendak Ilahi dan memiliki seabrek syarat dan aturan tersendiri. Dan dapat diperoleh oleh orang-orang yang membuktikan bahwa dirinya layak mendapatkan ampunan pada tataran perbuatan. Berangkat dari sini, menjadi jelas bahwa mengapa Allah Swt berfirman: "Perbuatan syirik sekali-kali tidak akan diampuni”, karena musyrik telah memutuskan hubungannya dengan Tuhan secara keseluruhan dan tersandung pada sebuah perbuatan yang bertentangan dengan asas seluruh agama dan norma-norma penciptaan. Di antara sebab-sebab pengampunan yang telah kita jelaskan di atas boleh jadi sebab yang paling kuat adalah taubat yang banyak disebutkan pada ayat-ayat al-Qur'an.

"Allah Swt mengajak kepada para hamba-Nya untuk melakukan taubat." (Qs. Tahrim [66]:8);  
"Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” Qs. Hud (11):61;  
"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. Nur [24]:31);

Dan berfirman bahwa,  
"Dia mencintai orang-orang yang bertaubat." (Qs. Al-Baqarah [2]:222)

dan  

"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Furqan [25]:70).
Akan tetapi taubat ini harus dilakukan dengan syarat-syarat khususnya pada waktu yang tepat sehingga taubat itu dapat memberikan pengaruh dan berguna. Di antara syarat-syarat yang harus dikerjakan oleh para pendosa adalah:
1. Ia benar-benar menyesali perbuatannya.
2. Menebus segala perbuatan yang tidak layak ia kerjakan (apabila ia telah merampas hak seseorang maka ia harus mengembalikan hak tersebut atau meminta keridhaan darinya).
3. Memutuskan untuk tidak lagi mengerjakan perbuatan dosa tersebut. 4. Bertobat pada waktu masih lapang bukan tatkala malaikat maut datang menjemput.
[9]. Wasâil al-Syiah, jil. 2, hal. 445, hadis ke-2603, 2605, dan 2606; jil. 3, hal. 200; jil. 6, hal. 219; jil. 11, hal. 204.
[10]. Silahkan lihat, Mizân al-Hikmah, huruf Ta, tema taubat.
[11]. "Akan tetapi dosa syirik memiliki perhitungan tersendiri. Al-Qur'an menandaskan, " Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya (baca: pamannya, Azar), tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah ia janjikan kepadanya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ia adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun." (Qs. Al-Taubah [9]:114) Istighfar yang dilakukan Ibrahim bagi ayahnya (Azar) hanya karena janji yang diberikan kepadanya. Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 304.
[12]. Untuk telaah lebih jauh tentang makna dan syarat-syarat syafaat, silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 304; jil. 9, hal. 90; jil. 1, hal. 228; jil. 1, hal. 229; jil. 1, hal. 235 dan Terjemahan Persia Tafsir al-Mizan, jil. 1, hal. 238-265.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 555-556.
[14]. Terjemahan Persia, Tafsir al-Mizan, jil. 1, hal. 240.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: