Pertanyaan:
Bagaimana seseorang yang
selama hidupnya berada dalam kesesatan dan dosa, namun melalui perantara
kebaikan dan doa orang lain, tiba-tiba kondisinya berubah di akhirat
meski tanpa peran langsungnya?
Jawaban Global:
Permasalahan
yang menjadi pertanyaan ini tidak dapat diterima seratus persen dan
juga tidak dapat ditolak seratus persen, melainkan bergantung pada jenis
dosa yang dilakukan dan siapa pelakunya. Seperti misalnya pelaku dosa syirik, yang tidak sedikitpun akan mendapatkan ampunan.
Begitu juga dengan dosa yang berkaitan dengan "hak-hak manusia" (haqqunnas) tidak akan mendapatkan ampunan Ilahi melalui perantara doa dan permohonan orang lain sebelum dosa tersebut ditebus dengan mengembalikan hak-hak orang lain dan meminta keridhaan pemilik hak tersebut.
Setelah melakukan dua hal tersebut, maka terbuka ruang baginya untuk mendapatkan ampunan dosa,
Seseorang terkadang berbuat dosa karena ketidaktahuan. Hal ini dapat diketahui ketika pelaku dosa tersebut menyadari kekeliruannya dan setelah itu menyatakan penyesalan dan bertaubat.
Pendosa yang demikian memiliki harapan untuk mendapatkan ampunan. Atau terkadang pula seseorang berbuat dosa meskipun secara sadar dan tahu bahwa hal tersebut dosa, namun karena pembangkangannya ia lalu terjerembab dalam perbuatan dosa yang harus ia tebus sendiri. Untuk menebus dosa dan pengaruh-pengaruhnya hal itu dapat dilakukan dengan perantara pribadi pendosa itu sendiri juga dapat melalui perantaraan orang lain.
Meskipun tidak menjadi penghalang, manusia tidak memiliki hak melebihi usaha dan upayanya sendiri. Melalui jalan kemurahan dan ampunan Ilahi, anugerah Ilahi hanya akan diberikan kepada yang layak mendapatkannya. Di sini, kelayakan adalah satu persoalan dan berlaku pemurah adalah persoalan yang lain.
Terlepas dari hal tersebut, kebaikan, doa orang lain, syafaat dan sebagainya juga diberikan bukan tanpa perhitungan. Hal ini pada tingkatan tertentu tergantung pada orang itu sendiri; misalnya syafaat membutuhkan usaha dan upaya serta terjalinnya hubungan maknawi dengan orang yang memberikan syafaat (syafi').
Pada hakikatnya ia harus memiliki kelayakan dan kapabilitas untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebagaimana tumbuhan, tanpa perantaraan bantuan air, tanah, cahaya dan sebagainya tidak dapat bertumbuh dan mencapai jenjang kesempurnaan. Tumbuhan pada dasarnya harus memiliki kapabilitas dan potensi untuk berkembang pada dirinya sendiri sehingga bantuan dan sedirinya.
Begitu juga dengan dosa yang berkaitan dengan "hak-hak manusia" (haqqunnas) tidak akan mendapatkan ampunan Ilahi melalui perantara doa dan permohonan orang lain sebelum dosa tersebut ditebus dengan mengembalikan hak-hak orang lain dan meminta keridhaan pemilik hak tersebut.
Setelah melakukan dua hal tersebut, maka terbuka ruang baginya untuk mendapatkan ampunan dosa,
Seseorang terkadang berbuat dosa karena ketidaktahuan. Hal ini dapat diketahui ketika pelaku dosa tersebut menyadari kekeliruannya dan setelah itu menyatakan penyesalan dan bertaubat.
Pendosa yang demikian memiliki harapan untuk mendapatkan ampunan. Atau terkadang pula seseorang berbuat dosa meskipun secara sadar dan tahu bahwa hal tersebut dosa, namun karena pembangkangannya ia lalu terjerembab dalam perbuatan dosa yang harus ia tebus sendiri. Untuk menebus dosa dan pengaruh-pengaruhnya hal itu dapat dilakukan dengan perantara pribadi pendosa itu sendiri juga dapat melalui perantaraan orang lain.
Meskipun tidak menjadi penghalang, manusia tidak memiliki hak melebihi usaha dan upayanya sendiri. Melalui jalan kemurahan dan ampunan Ilahi, anugerah Ilahi hanya akan diberikan kepada yang layak mendapatkannya. Di sini, kelayakan adalah satu persoalan dan berlaku pemurah adalah persoalan yang lain.
Terlepas dari hal tersebut, kebaikan, doa orang lain, syafaat dan sebagainya juga diberikan bukan tanpa perhitungan. Hal ini pada tingkatan tertentu tergantung pada orang itu sendiri; misalnya syafaat membutuhkan usaha dan upaya serta terjalinnya hubungan maknawi dengan orang yang memberikan syafaat (syafi').
Pada hakikatnya ia harus memiliki kelayakan dan kapabilitas untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebagaimana tumbuhan, tanpa perantaraan bantuan air, tanah, cahaya dan sebagainya tidak dapat bertumbuh dan mencapai jenjang kesempurnaan. Tumbuhan pada dasarnya harus memiliki kapabilitas dan potensi untuk berkembang pada dirinya sendiri sehingga bantuan dan sedirinya.
Jawaban Detil:
Untuk menjelaskan jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka kami memandang perlu menerangkan beberapa poin berikut ini:
1. Setiap perbuatan dosa memiliki dua sisi, dimana salah satu sisinya adalah maksiat, pembangkangan dan pelanggaran terhadap Tuhan (berlaku aniaya terhadap Allah Swt) dan sisi lainnya berkaitan dengan pribadi pendosa dan anggota masyarakat (berlaku aniaya terhadap manusia dan diri sendiri).[1]
2. Setiap
perbuatan dosa berbeda antara satu dengan yang lain, dengan
memperhatikan perbedaan kondisi waktu dan tempat terjadinya dosa,
perbedaan dosa-dosa dan pelaku dosa itu sendiri. Dan sebagai
konsekuensinya hukuman yang diberikan kepadanya juga akan berbeda.
Misalnya berkenaan dengan para istri Nabi Saw, al-Qur'an menuturkan: "Hai
istri-istri nabi, barang siapa di antara kamu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan
kepadanya dua kali lipat. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(Qs. Al-Ahzab [33]:30) atau dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam
Ridha As yang menyebutkan: "Seseorang yang terang-terangan melakukan
dosa atau menyebarkannya adalah orang hina dan orang yang menutupi
dosa-dosa yang ia lakukan dan menyembunyikannya maka ia akan mendapatkan
ampunan."[2]
3. Dalam sebuah klasifikasi, dosa-dosa terbagi menjadi dua, yakni dosa kepada Allah (haqqullah) dan dosa kepada manusia (haqqunnas). Disebutkan dalam riwayat: "Allah Swt sekali-kali tidak akan memaafkan dosa-dosa yang terkait dengan hak-hak manusia (haqqunnas) kecuali pemilik hak tersebut memberikan keridhaan kepadanya."[3] Karena itu, bagian dosa semacam ini tidak layak mendapatkan ampunan dengan perantara doa dan istighfar pendosa atau doa dan istighfar
orang lain baik pada masa hidupnya atau setelah kematiannya. Ia harus
mendapatkan keridhaan orang yang diambil haknya terlebih dahulu atau
yang bersangkutan (pemilik hak) membiarkan haknya diambil oleh orang itu;
misalnya apabila seseorang mengambil harta orang lain atau merampasnya
selama pemilik harta tersebut tidak memberikan keridhaan maka Allah Swt
sekali-kali tidak akan memberikan ampunannya.
4. Dosa-dosa
terbagi menjadi dosa kecil dan dosa besar. Dosa besar adalah dosa yang
dalam pandangan Islam di samping dilarang dalam al-Qur'an juga
orang-orang yang melakukan dosa tersebut diancam dengan azab neraka;
misalnya zina, membunuh manusia yang tidak berdosa, memakan hasil riba
dan sebagainya, sebagaimana hal tersebut disebutkan dalam riwayat.[4]
Dosa kecil adalah dosa yang hanya dilarang dikerjakan namun tidak
diancam azab neraka. Al-Qur'an menjanjikan pengampunan bagi orang-orang
yang melakukan dosa kecil sebagaimana hal itu disebutkan pada surah
an-Nisa (4), ayat 31,
"Jika kamu
menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu)
yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)."
Sesuai dengan ayat suci ini dengan menghindar dari dosa-dosa besar maka
dosa-dosa kecil secara otomatis akan mendapat ampunan. Akan tetapi
harus diperhatikan bahwa terkadang pada suatu kondisi tertentu,
dosa-dosa kecil akan berubah menjadi dosa besar dan pelakunya tidak akan
selamat dan aman dari ancaman Ilahi.[5]
Artinya kebanyakan dosa-dosa kecil berubah menjadi dosa besar dimana
Allah Swt tidak hanya tidak mengampuni pelakunya namun juga menjajikan
mereka azab yang pedih.[6]
5. Dalam sebuah klasifikasi, pendosa dapat dibagi menjadi dua bagian:
A. Mereka
yang melakukan dosa karena kejahilan dan ketidaktahuan kemudian
menyesali perbuatan tersebut dan berusaha menebus kesalahannya dan
berjanji untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut (taubat). Allah
Swt menjanjikan ampunan dan maaf bagi orang yang melakukan dosa semacam
ini. [7]
B. Mereka
yang melakukan dosa-dosa dengan dasar ilmu dimana ia mengetahui bahwa
apa yang ia lakukan itu adalah dosa namun tidak ada rasa penyesalan
setelahnya. Bagi orang seperti ini tentu saja tidak akan mendapatkan
ampunan Ilahi.[8]
Dari
apa yang telah dijelaskan di atas menjadi terang bahwa kata maaf dan
ampunan Ilahi dan berubahnya kondisi pendosa hanya berlaku pada
dosa-dosa yang Allah janjikan ampunan dan maaf baginya dimana hal ini
dapat terwujud dengan mencari sebab-sebab pengampunan.
Adapun
orang yang menghabiskan hidupnya dalam perbuatan dosa dan penyimpangan,
bagaimana ia akan mendapatkan ampunan dan syafaat dan nasibnya di
akhirat berubah melalui perantara kebaikan dan doa orang lain?
Karenanya
dikatakan bahwa seluruh orang-orang yang tenggelam dalam perbuatan dosa
dan penyimpangan tidaklah demikian. Mustahil dengan perantara perbuatan
baik dan doa orang lain nasib mereka akan berubah. Sementara yang terkait
dengan para pendosa yang dosanya dijanjikan ampunan dan maaf oleh Allah
Swt, ia tetap memiliki harapan bahkan dengan doa dan perbuatan baik
orang lain ia akan mendapatkan ampunan; karena al-Qur'an berkata,
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (Qs. Al-Hud [11]:114).
Sebagaimana pendosa, apabila semasa hidupnya melakukan kebaikan-kebaikan
dan melalui perbuatan baiknya itu, Allah Swt akan menghapus dosa-dosa
dan efek-efek dosanya. Apabila orang lain melakukan pelbagai kebaikan
dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang berbuat dosa,
kebaikan-kebaikan ini akan menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa dan
efek-efek yang ditimbulkan dari dosa yang ia lakukan.
Kita
banyak memiliki riwayat yang menegaskan bahwa, "Tatkala seseorang
meninggal dunia apabila orang lain (anak-anak atau orang lain)
mengerjakan kebaikan seperti menunaikan shalat, mengerjakan puasa,
melaksanakan haji, bersedekah dan membebaskan budak dan sebagainya dan
kemudian menghadiahkan pahala dan ganjaran amal saleh yang mereka
kerjakan ini (kepada orang itu) maka pahala dan ganjaran kebaikan
tersebut akan sampai kepadanya.’[9]
Tentu
saja tatkala ganjaran kebaikan-kebaikan yang dikerjakan orang lain
tersebut diperuntukkan kepada seorang pendosa, maka itu akan sampai
kepadanya selama ingin menebus efek-efek buruk dosa-dosa seorang pendosa, maka dosa-dosanya juga akan tertebus.
Pada
hakikatnya, hal ini merupakan cermin keadilan Ilahi dimana dengan
perbuatan-perbuatan baik orang lain dosa-dosa yang setimpal dengan
perbuatan baik tersebut akan terampuni. Allah Swt melalui lisan Nabi-Nya
membuka jalan ini.[10]
Sebagaimana di dunia ini apabila seseorang mengerjakan sebuah kesalahan
dan menyisakan kerugian bagi orang lain, apabila orang ketiga menebus
kesalahan ini untuknya maka tentu saja orang yang menderita kerugian
tersebut akan rela dan apabila ia tidak rela maka ia akan mendapatkan
cemoohan. Karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan dan menjadi
pertanyaan bagaimana dosa seorang pendosa yang telah meninggal dunia
dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik orang lain.
Lain
halnya dengan seseorang yang gemar berbuat maksiat dan dosa, meskipun
semua orang-orang saleh menghadiahkan segala kebaikan mereka kepadanya
itu tetap tidak mampu menebus dosa-dosa besar yang tak-terbilang yang ia
lakukan. Dalam hal ini, ia tidak akan dimaafkan dengan perantara
kebaikan-kebaikan orang lain, melainkan Allah SWT akan mengurangi beban
dosa-dosanya dan menurunkan bobot azab kepadanya.[11]
Kiranya
perlu disebutkan pula bahwa Allah Swt Maha Adil dan Maha Bijaksana dan
sekali-kali tidak akan aniaya kepada para hamba-Nya. Setiap perbuatan
hamba tidak ada yang sia-sia, setiap amal kebaikan akan mendapat
ganjaran. Bisa jadi seseorang menurut pandangan kita adalah pendosa dan
layak mendapatkan azab, ini karena kita tidak mengetahui seluruh
perbuatan dan amal-amal mereka.
Akan tetapi Allah Swt karena Maha
Mengetahui segala sesuatu, maka ampunan dan maghfira-Nya harus kita
hitung sebagai ganjaran dari perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan
dimana Allah Swt mengetahuinya dan kita tidak mengetahuinya.
Satu
hal yang tidak boleh kita lalaikan, bahwa biasanya seseorang mendo’akan
dan memohonkan ampun bagi orang lain lantaran perbuatan baik yang
dilakukan semasa hidupnya. Seseorang yang tidak pernah melakukan
kebaikan dalam kehidupannya, malah seluruh kehidupannya bergelimang dosa
maka tidak ada seorang pun yang akan dengan tulus-ikhlas memohonkan
ampunan baginya, tidak juga anak-anak dan kerabatnya.
Dalam
hubungan dengan kerabatnya, apabila kerabatnya ini bukan termasuk orang
baik, tentu saja do’anya tidak akan terkabulkan. Namun sekiranya
kerabatnya itu termasuk orang baik dan saleh, tentu mereka tidak senang
kepadanya karena ia adalah pendosa, sehingga tidak merasa perlu untuk
berdo’a baginya.
Tafsir Nemune dalam
menjawab pertanyaan ini, bahwa bagaimana ayat-ayat tentang syafaat atau
seperti misalnya dalam surah Thur,ayat 1 "Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), "
menegaskan bahwa anak-anak para penghuni surga juga akan digabungkan
dengan mereka padahal sedikit pun tidak ada usaha dari mereka. Atau apa
yang disebutkan dalam riwayat bahwa bilamana seseorang melakukan
perbuatan baik maka hasilnya akan sampai pada anak-anaknya.
Fakta ini
selaras dengan ayat yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang berusaha
yang akan mendapatkan ganjaran. Al-Qur'an menyatakan, "Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang telah dikerjakannya."
Akan
tetapi hal ini tidak akan menjadi penghalang bagi Allah yang melalui
kemurahan-Nya pelbagai nikmat diberikan kepadanya. Di sini kemurahan
adalah sebuah persoalan dan kelayakan (istihqaq) adalah persoalan
yang lain. Sebagaimana hasanat (pelbagai kebaikan) akan diganjari
sepuluh kali dan terkadang sampai seratus atau seribu ganjaran.
Terlepas
dari itu, syafaat adalah persoalan yang bukan tanpa perhitungan. Ia
memerlukan usaha dan upaya serta rajutan jalinan hubungan maknawi dengan
sosok yang memberikan syafaat.[12]
Demikian juga terkait dengan masalah dipertemukannya anak-anak penghuni
surga dengan mereka yang ada di surga. Sebagaimana al-Qur'an pada ayat
yang sama menyebutkan, "Dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan." Maka hal ini hanya dapat terjadi ketika anak-anak mereka adalah orang-orang beriman yang mengikuti jejak langkah mereka.[13]
Allamah Thabathabai Ra dalam kitab al-Mizân terkait dengan pembahasan syafaat berkata, "Apabila seseorang ingin mendapatkan ganjaran yang ia tidak persiapkan sebab-sebabnya dan juga terhindar dari hukuman karena
tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, maka ia akan mendapatkannya
dengan perantaraan syafaat.
Namun syafaat yang dimaksud di sini tidak
dalam bentuk mutlak, sebab sebagian orang sama sekali tidak memiliki
kelayakan untuk sampai kepada kesempurnaan yang diidam-idamkan. Seperti
misalnya orang awam yang menjadi ulama dengan syafaat seseorang. Jika ia
tidak memiliki ilmu dan tidak pula berupaya mengembangkan potensinya,
serta tidak memiliki hubungan erat dengan seseorang yang dapat
memberikannya syafaat, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Atau seperti budak
yang sama sekali tidak memiliki ketaatan kepada tuannya.
Pada saat ia
membangkang dan menentang tuannya, ia ingin mendapatkan syafaat dari
tuannya, tentu saja ia tidak akan mendapatkan apa-apa dan syafaat tidak
akan memberikan manfaat sedikitpun. Syafaat bukan sebab itu sendiri
melainkan media untuk melengkapkan dan menyempurnakan sebab. sehingga
sebagaimana dalam contoh pertama menyatakan dirinya sebagai ulama dan
pada contoh kedua pada saat pembangkangannya ia mendekatkan diri kepada
tuannya tidak akan memberi hasil apa-apa.[14] []
Referensi:
[1]. Tafsir Nemune, jil. 6, hal. 415.
[2]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 428 dan Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 406.
[3]. Al-Kâfi, jil. 2,hal. 433.
[4]. "Al-Kabâir allati awjabaLlâh Azza wa Jalla 'alaihi al-Nâr." Dosa-dosa besar yang diwajibkan Allah Swt baginya neraka jahanam." Al-Kâfi, jil. 2, hal. 276.
[5]. Beberapa kondisi yang menjadikan dosa-dosa kecil berubah menjadi dosa besar adalah:
[1]. Tafsir Nemune, jil. 6, hal. 415.
[2]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 428 dan Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 406.
[3]. Al-Kâfi, jil. 2,hal. 433.
[4]. "Al-Kabâir allati awjabaLlâh Azza wa Jalla 'alaihi al-Nâr." Dosa-dosa besar yang diwajibkan Allah Swt baginya neraka jahanam." Al-Kâfi, jil. 2, hal. 276.
[5]. Beberapa kondisi yang menjadikan dosa-dosa kecil berubah menjadi dosa besar adalah:
1. Apabila dosa kecil itu dilakukan berulang-ulang. Imam Shadiq As bersabda, "Lâ Shaghira maa' al-Ishrâr." (Tiada dosa kecil yang dilakukan berulang-ulang [dan berubah menjadi dosa besar]). Al-Kâfi, jil. 2, hal. 88.
2. Apabila
orang yang melakukan dosa memandang dosa kecil itu sebagai hal yang
sepele dan rendah dosa kecil yang ia lakukan. Dalam kondisi seperti ini
dosa kecil itu akan berubah menjadi dosa besar. Imam Ali As bersabda: "Asyadda al-dzunub maa isthana bih shahibuh." (Seburuk-buruk dosa adalah apa yang dipandang rendah dan sepele oleh pelakunya). Wasâil al-Syiah, jil. 15, hal. 312, bab 43.
3. Apabila pendosa melakukan dosa dengan sikap congkak dan melampaui batas. Al-Qur'an menyatakan, "Maka orang yang melampaui batas. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)." (Qs. Al-Naziat [79]:37-39)
4. Apabila
dosa kecil dilakukan oleh orang-orang besar dan tokoh-tokoh sosial.
Al-Qur'an terkait dengan para istri nabi menegaskan, "Hai
istri-istri nabi, barang siapa di antara kamu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan
kepadanya dua kali lipat." (Qs. Al-Ahzab [33]:30)
5. Apabila
pendosa melakukan dosa-dosa kecil itu dengan riang gembira. Nabi Saw
bersabda: "Barangsiapa yang melakukan dosa dalam keadaan tertawa maka ia
akan memasuki neraka dalam keadaan menangis." Wasâil al-Syiah, jil, 15, hal. 305, bab 40.
6. Apabila orang yang melakukan dosa memandang bahwa tiadanya hukuman segera dari Tuhan adalah dalil atas keridhaan-Nya. "Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tiada menyiksa kita (segera) lantaran apa yang kita katakan itu." (Qs. Al-Mujadalah [58]:8) Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 359 dan seterusnya.[6]. Akan tetapi persoalan ini tidak bertentangan dengan termasuknya syafaat bagi orang-orang yang melakukan dosa besar. Allamah Thabathabai terkait dengan masalah bahwa siapa saja yang boleh mendapatkan syafaat? Beliau berkata, "Syafaat terbagi menjadi dua bagian.
Pertama syafat takwini yang bermakna bahwa pengaruh setiap sebab-sebab takwini pada alam sebab-akibat dan kedua syafat tasyri'i yang bertalian dengan ganjaran dan hukuman. Ketika kita berkata bahwa bagian kedua berpengaruh termasuk sebagian pada dosa-dosa dari syirik hingga yang lebih rendah. Misalnya syafaat dan perantara taubat dan iman. Akan tetapi taubat dan iman dilakukan di dunia dan sebelum kiamat. Sebagian lainnya berpengaruh pada azab sebagian dosa-dosa.
Misalnya amal saleh yang menjadi perantara dalam menghapus dosa-dosa. Akan tetapi syafaat yang menjadi obyek perdebatan dan perbedaan adalah syafaat para nabi dan selain para nabi pada hari Kiamat yang dilakukan untuk mencabut azab dari orang yang menurut perhitungan kiamat adalah orang yang layak mendapatkan azab dan pada waktu yang lalu – pada pembahasan yang lalu yang bertajuk siapa yang layak mendapatkan syafaat. Kami berkata bahwa syafaat ini bertalian dengan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, dari orang-orang yang beragama pada agama yang benar dan Allah Swt menerima agama mereka. Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 1, hal. 264.
[7]. "Sesungguhnya (penerimaan) tobat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al-Nisa [4]:17)
[8]. Para penafsir dengan merujuk pada ayat dan riwayat menghitung sebab-sebab diampunkannya dosa-dosa sebagai berikut:
1. Taubat
dan kembali kepada Tuhan yang senantiasa disertai dengan rasa sesal
atas dosa-dosa yang telah lalu dan memutuskan untuk menjauhi dosa-dosa
tersebut pada masa mendatang. Al-Qur'an dalam hal ini menegaskan, " (Qs.
Syura [42]:25).
2. Mengerjakan amalan-amalan baik yang menjadi sebab diampunkannya perbuatan-perbuatan buruk. ""Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." "(Qs. Al-Hud [11]:114).
3. Syafaat:
Hakikat syafaat adalah doa Nabi Saw atau salah seorang Imam Maksum As
untuk pendosa supaya ia dimaafkan dan diampuni oleh Allah Swt. Ja'far
Subhani, Buhuts Qur'aniyah, hal. 117-118. Kendati syafaat
merupakan salah satu kaidah yang diterima secara umum dalam Islam dimana
hal ini disebutkan pada ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis bahwa syafaat menjadi
penyebab ampunan bagi hamba-hamba pendosa. Akan tetapi syafaat ini
memiliki selaksa syarat dan tidak bersifat umum sehingga siapa saja
dapat memperoleh syafaat. Hal ini terkhusus bagi orang-orang yang
menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan dalam agama khususnya ia
tidak memandang enteng ibadah shalat dan Tuhan memberikan izin syafaat
kepada orang tersebut. Demikian juga tidak termasuk seluruh dosa.
(Syarat-syarat syafaat dan hal-hal yang berkenaan dengannya telah
dibahas tersendiri pada tempatnya)
4. Menghindar dari dosa-dosa besar menjadi penyebab ampunan dosa-dosa kecil. "Jika
kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu)
yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (Qs. Al-Nisa [4]:31)
5. Ampunan Ilahi yang dianugerahkan kepada orang-orang yang layak mendapatkannya.
Ampunan
Ilahi bergantung kepada kehendak Ilahi dan memiliki seabrek syarat dan
aturan tersendiri. Dan dapat diperoleh oleh orang-orang yang membuktikan
bahwa dirinya layak mendapatkan ampunan pada tataran perbuatan. Berangkat dari sini, menjadi jelas bahwa mengapa Allah Swt berfirman: "Perbuatan syirik sekali-kali tidak akan diampuni”,
karena musyrik telah memutuskan hubungannya dengan Tuhan secara
keseluruhan dan tersandung pada sebuah perbuatan yang bertentangan
dengan asas seluruh agama dan norma-norma penciptaan. Di antara sebab-sebab pengampunan yang telah kita jelaskan di atas boleh jadi sebab yang paling kuat adalah taubat yang banyak disebutkan pada ayat-ayat al-Qur'an.
"Allah Swt mengajak kepada para hamba-Nya untuk melakukan taubat." (Qs. Tahrim [66]:8);
"Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” Qs. Hud (11):61;
"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. Nur [24]:31);
Dan berfirman bahwa,
"Dia mencintai orang-orang yang bertaubat." (Qs. Al-Baqarah [2]:222)
dan
"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Furqan [25]:70).
"Allah Swt mengajak kepada para hamba-Nya untuk melakukan taubat." (Qs. Tahrim [66]:8);
"Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” Qs. Hud (11):61;
"Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. Nur [24]:31);
Dan berfirman bahwa,
"Dia mencintai orang-orang yang bertaubat." (Qs. Al-Baqarah [2]:222)
dan
"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Furqan [25]:70).
Akan
tetapi taubat ini harus dilakukan dengan syarat-syarat khususnya pada
waktu yang tepat sehingga taubat itu dapat memberikan pengaruh dan
berguna. Di antara
syarat-syarat yang harus dikerjakan oleh para pendosa adalah:
1. Ia benar-benar menyesali perbuatannya.
2. Menebus segala perbuatan yang tidak layak ia kerjakan (apabila ia telah merampas hak seseorang maka ia harus mengembalikan hak tersebut atau meminta keridhaan darinya).
3. Memutuskan untuk tidak lagi mengerjakan perbuatan dosa tersebut. 4. Bertobat pada waktu masih lapang bukan tatkala malaikat maut datang menjemput.
1. Ia benar-benar menyesali perbuatannya.
2. Menebus segala perbuatan yang tidak layak ia kerjakan (apabila ia telah merampas hak seseorang maka ia harus mengembalikan hak tersebut atau meminta keridhaan darinya).
3. Memutuskan untuk tidak lagi mengerjakan perbuatan dosa tersebut. 4. Bertobat pada waktu masih lapang bukan tatkala malaikat maut datang menjemput.
[9]. Wasâil al-Syiah, jil. 2, hal. 445, hadis ke-2603, 2605, dan 2606; jil. 3, hal. 200; jil. 6, hal. 219; jil. 11, hal. 204.
[10]. Silahkan lihat, Mizân al-Hikmah, huruf Ta, tema taubat.
[11]. "Akan tetapi dosa syirik memiliki perhitungan tersendiri. Al-Qur'an menandaskan, "
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya (baca:
pamannya, Azar), tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah ia
janjikan kepadanya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ia adalah
musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun." (Qs. Al-Taubah [9]:114) Istighfar yang dilakukan Ibrahim bagi ayahnya (Azar) hanya karena janji yang diberikan kepadanya. Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 304.
[12]. Untuk telaah lebih jauh tentang makna dan syarat-syarat syafaat, silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 304; jil. 9, hal. 90; jil. 1, hal. 228; jil. 1, hal. 229; jil. 1, hal. 235 dan Terjemahan Persia Tafsir al-Mizan, jil. 1, hal. 238-265.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 555-556.
[14]. Terjemahan Persia, Tafsir al-Mizan, jil. 1, hal. 240.
(Islam-Quest/ABNS)
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email