“Karena suasana pada waktu sidang umum itu merupakan suasana yang menyesakkan.
Di mana kita menghadapi suatu tragedi seorang Bapak Bangsa, seorang proklamator, seorang penggali Pancasila, dan seorang pejuang besar yang tengah dihadapkan pada masalah pertanggungan jawab yang dinilai kurang lengkap, yang menyebabkan dia harus turun. Apakah itu tidak menyesakkan dada ?” (Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Umum HMI 1951-1953)
Di mana kita menghadapi suatu tragedi seorang Bapak Bangsa, seorang proklamator, seorang penggali Pancasila, dan seorang pejuang besar yang tengah dihadapkan pada masalah pertanggungan jawab yang dinilai kurang lengkap, yang menyebabkan dia harus turun. Apakah itu tidak menyesakkan dada ?” (Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Umum HMI 1951-1953)
Manai Sophiaan, dalam sebuah wawancara yang dimuat di majalah TEMPO edisi April 1997 mengungkapkan terjadinya pembersihan orang-orang partai di parlemen ketika akan berlangsung Sidang Istimewa MPRS tahun 1967.
“Terutama anggota parlemen yang dianggap punya hubungan dengan Bung Karno. Mereka diganti anggota baru. Yang tergusur itu adalah anggota partai-partai kecil dan yang menggantinya kebanyakan tokoh-tokoh muda yang terkenal sekarang dengan Angkatan 66. MPRS yang sudah diganti itulah yang memutuskan untuk menolak pidato Nawaksara yang dibacakan Bung Karno.”, ungkap pengarang buku “Kehormatan Bagi Yang Berhak” itu.
Lebih jauh, Manai Sophiaan menegaskan bahwa pidato “Nawaksara” sebenarnya bukanlah bentuk pertanggungjawaban karena di luar GBHN, pertanggungjawaban Presiden hanya atas GBHN yang dimandatkan MPRS kepadanya.
DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai Nawaksara beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.
Pada Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu : 1) Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, 2) Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara, 3)Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS Nomor XVII/1966, 4) Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email