Pesan Rahbar

Home » » Apakah Syi’ah Mengkafirkan Sahabat Padahal Berpegang Pada Pusaka Tsaqalain dari Nabi SAW ??

Apakah Syi’ah Mengkafirkan Sahabat Padahal Berpegang Pada Pusaka Tsaqalain dari Nabi SAW ??

Written By Unknown on Wednesday, 8 April 2015 | 03:22:00


Syiah mendiskreditkan sahabat-sahabat “besar” Nabi Saw seperti Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar adalah sahabat Nabi Muhammad SAW dalam gua ketika peristiwa hijrah dan merupakan khalifah yang pertama. Begitu juga Umar al-Khattab adalah sahabat Nabi Saw dan khalifah kedua.
Sesiapa yang mencaci sahabat digolongkan sebagai kafir serta terkeluar dari Islam (Nabi Saw menyatakan sesiapa yang mencaci seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kafir[Sahih Bukhari, Jilid I Hadith 48]).
[Nota: Syi’ah tidak mencaci sahabat-sahabat Nabi Saw tetapi menunjukkan perbuatan mereka yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan Hadith. Mereka menilai dan mengkritik perangai setengah sahabat dengan neraca al-Qur’an dan Hadith Nabi Saw.] Dan jangan lupa! Nabi Muhammad Saw juga pernah bersabda bahwa terdapat sahabat yang masuk neraka seperti dalam riwayat Sahih Muslim dan Sahih Bukhari [akan dijelaskan di bawah].
Ibaratnya seperti orang tua yang mengkeritik anaknya, dan juga seperti orang yang mempunyai sahabat yang baik yang mana sahabat tersebut slalu mengkritik kesalahan agar ia berubah.
Dan istilah sahabat telah digunakan dalam al-Qur’an untuk Abu Bakar dan ini menunjukkan beliau terjamin masuk syurga dan tidak melakukan kesalahan.
Apakah kita lupa istilah sahabat juga digunakan dalam al-Qur’an untuk teman Nabi Yusuf yang bukan beriman kepada Allah SWT ketika dalam penjara? Sila baca Surah Yusuf untuk memuaskan hati kita (istilah sohibi al-Sijni digunakan=sahabatku dalam penjara[nota:beliau bukan Islam dan bersama Nabi Yusuf AS dalam penjara]). Memang Nabi Muhammad Saw mempunyai sahabat-sahabat yang baik seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi dan sebagainya tetapi di Madinah juga ada golongan munafiq yang dipanggil “sahabat” oleh Nabi Saw seperti Abdullah bin Ubay bin Salool.
Dalam Sohih Bukhari juga diriwayatkan bahwa ada segolongan “sahabat” yang bakal masuk neraka ketika berjumpa Nabi Muhammad Saw di al-Haudh. Nabi Saw memanggil mereka dengan istilah ‘ashabi’ [sahabatku]. Sila rujuk Sahih Bukhari[Sahih Al-Bukhari, Jilid 4, hlm.94-96];Sahih Muslim, Jilid IV, hadith 2133,2440.] Sahabat yang baik memang kita hormati , sanjungi dan ikuti tetapi sahabat yang jahat seperti Muawiyah yang menentang Imam Ali AS dan mencaci Ali AS di atas mimbar patutkah kita berdiam diri? Bukankah pasukan Muawiyah terlibat membunuh Amar bin Yasir dalam Perang Siffin? Nabi Saw pernah menyatakan sebuah hadith dalam Sahih Bukhari menyifatkan orang yang terlibat dalam pembunuhan Amar adalah golongan pemberontak dan Rasulullah Saw bersabda [terjemahan]:…Kamu (Amar) mengajak kelompok itu menuju ke Jannah tetapi kelompok itu mengajak ke neraka.” [Sahih Bukhari, Jilid II,Hadith 462].
Al-Qur’an memerintahkan kita taat kepada Ulil Amri – pada ketika itu ialah Imam Ali AS sebagai khalifah yang sah dan wajib ditaati. Adakah tindakan Muawiyah itu selaras dengan ajaran al-Qur’an dan tidak boleh dikritik?
Kita ikuti sahabat yang baik dan kita tinggalkan contoh sahabat yang jauh dari ajaran al-Qur’an dan Hadith Nabi Saw.Sejarah menunjukan bahwa seorang sahabat bernama al-Walid bin Utbah dikaitkan dengan asbabul nuzul ayat 6 Surah al-Hujurat iaitu menyatakan beliau seorang fasiq. Qudamah bin Maz un seorang sahabat Badar dihukum had pada zaman khalifah Umar kerana minum arak seperti dalam riwayat Sahih Bukhari.
Jika ada orang yang masih teguh dengan pendirian bahwa semua sahabat adalah ‘adil maka apakah hukumnya Muawiyah mencari Ali di atas mimbar? Apakah ijtihad Muawiyah boleh sampai mencaci Ali? Sebaliknya orang yang mengkritik Muawiyah dikatakan mencaci sahabat Nabi Saw? Jika seseorang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dianggap kafir, apakah pula hukumnya orang yang menolak perlantikan Ali setelah ada Hadith al-Ghadir yang menetapkan Ali AS sebagai khalifah selepas Nabi Saw wafat? Bolehkah umat Islam memilih selain daripada yang telah ditetapkan oleh Rasulnya?
Alllah SWT berfirman dalam Surah Hud:113,bermaksud:
Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh oleh
api neraka…”
Dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia berbuat adil, dan melarang mereka dari berbuat zalim [nota: standard “adil”atau sebaliknya adalah berpandukan Kitab Allah Azza Wa-Jalla dan tidak ada sesiapa pun dikecualikan hatta para “sahabat” sekalipun].Balasan Allah SWT di akhirat kelak berasaskan segala amalan manusia ketika hidup di dunia – yang baik ke syurga dan yang buruk ke neraka.
Ini bermakna istilah “sahabatku”dalam Hadith Nabi Saw tidak bermakna merujuk kepada semua sahabat [sekiranya jumlah yang hadir pada Haji Wida’ iaitu seramai 140,000 atau 90,000 orang] adalah adil belaka. Sahabat yang adil memang ada seperti Abu Dzar al-Ghiffari yang dinyatakan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw [terjemahan]:
”Tidaklah langit menaungi seseorang dan tidak bumi membawa seseorang yang lebih jujur daripada Abu Dzar RA.”[Sunan al-Tirmidzi, Hadith 3889]. Begitu juga terdapat segolongan sahabat yang engkar mengikut perintah Nabi Saw terutamanya selepas Nabi Saw wafat dan menjadi seteru Ahlul Bayt AS [keluarga Nabi Saw] seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah. Nabi Saw bersabda seperti yang diriwayatkan dalam Sunan al-Tirmidzi, hadith 3878,[terjemahan]:
“Cintailah Allah kerana nikmat-nikmatnya yang diberikan kepadamu dan cintailah aku kerana cinta kepada Allah dan cintailah keluargaku kerana cinta kepadaku.”.
Oleh itu sesiapa yang memusuhi Ahlul Bayt AS memang menjadi musuh Rasulullah Saw dan Allah SWT.
Bukankah Allah SWT telah melaknat golongan yang zalim dalam al-Qur’an ?
“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim.”[Qur’an: 11: 18].
Satu hal yang disepakati oleh kaum muslimin bahwa jungjungan kita nabi besar Muhammad saaw sangat perhatian dan sayang pada umatnya serta sangat mengharap umatnya selalu berada dalam kebenaran. Sebagaimana yang disaksikan oleh Allah swt dalam al-Quran, “la’allaka baa khi’un nafsaka an la yakuunuu mukminuun” (Jangan kau binasakan dirimu wahai Muhammad hanya karena mereka tidak mau beriman).

Maka dari itu tidak mungkin Rasulullah meninggalkan umat tanpa menjelaskan kepada mereka apa yang harus dijadikan rujukan oleh umat berkenaan dengan ajaran yang dibawa oleh beliau. Jika kita merujuk kepada kitab-kitab hadis, maka kita akan menemukan bahwa Rasulullah saaw telah berwasiat pada segenap umatnya untuk berpegang kepada dua hal yaitu Alquran dan Keluarga suci beliau.
Riwayat ini dikenal dengan sebutan hadis Tsaqolain, yaitu hadis yang mengutip perkataan Rasul saaw: “ya ayyuhannaas inii taraktu fi kum ma in akhadlkum bihi lan tadlilluu kitaaballahi wa ‘itratii ahlu bayti” (wahai manusia sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang mana jika kalian mengambil nya kalian tidak akan sesat selama lamanya yaitu kitab Allah dan keluargaku,ahlulbaytku).
Dalam lafadz yang lain Rasulullah saaw bersabda:
“yuusaku an yakti Rasulu rabbi faajibu wa inni taariku fiqumu tsaqolain awwaluhumaa kitaabullahi fiihil huda wannuur wa ahlul baytii adzkurkumullah fii ahlil bayti azdkurkumullah adzkurkumullah fi ahlal bayti adzkurkumullah fii ahlal bayti”,
(Sungguh telah dekat datangnya utusan dari Tuhanku dan Aku harus memenuhi panggilan-Nya dan Aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang berharga yang pertama adalah Kitab Allah yang mana di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang kedua adalah Ahlul Baytku, aku peringatkan terhadap Allah dalam keluargaku yang di ulangi oleh Rasulullah saaw tiga kali).
Menjadi jelaslah bahwa hadis ini sangat berarti bagi kita sebagai umat Muhammad saaw. Untuk itu sangatlah penting untuk di telaah karena mengandung wasiat yang sangat berharga dari baginda Rasul saaw untuk umatnya dalam meniti jalan yang lurus, tetap terjaga dari kesalahan dalam memahami ajaran yang di bawa oleh Raasul saww. Arti pentingya dari hadis ini karena menyangkut keselamatan kita di dunia dan akhirat. Hadis ini juga menjelaskan kepada kita tentang rujukan yang terjamin dari kesalahan, yang mana jika kita mengindahkan wasiat Nabi dalam hadis Tsaqolain, umat islamakan benar-benar mendapatkan ajaran yang murni yang di bawa oleh jungjungan kita Nabi besar Muhammad saaw .
Dalam menelaah satu hadis atau riwayat terlebih dahulu harus di interogasi apakah hadis ini benar-benar bersumber dari Rasulullah saaw atau tidak? Yang mana untuk mengetahui hal ini mengharuskan kita merujuk kepada pakar-pakar hadis yang mengerti jalan dan sanad hadis.
Imam Suyuthi menyatakan bahwa hadis ini adalah shahih dan benar sanadnya. Juga Imam at-Thabari menjelaskan bahwa hadis ini adalah hadis shahih. At-Thabari menyatakan bahwa perawi-perawi hadis ini adalah orang-orang yang bisa di percaya. Selain itu, bahwa yang meriwayatkan hadis ini sangatlah banyak, diantaranya Muslim, at-Thurmudzi, Ahmad bin Hambal, dan Hakim Annaisaburi. Dengan demikian sanad hadis ini menurut kesaksian para ahli hadis adalah shahih dan benar. Sehingga, sedemikian banyaknya yang meriwayatkan hadis ini tidak diragukan lagi bahwa hadis ini benar-benar bersumber dari Rasulullah saaw yang disaksikan oleh Allah bahwa beliau tidak pernah menyatakan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu dari pada Allah.
 .
Kemudian setelah mengetahui bahwa hadis ini sanadnya shahih maka kita harus menelaah isi dan kandungan hadis ini dan pesan apakah yang di sampaikan oleh Rasul dalam sabdanya ini?
Dalam hadis ini Rasulullah mengisyaratkan bahwa Nabi akan segera memenuhi panggilan Allah swt dan akan segera meninggalkan umat. Oleh karena itu Rasulullah menyampaikan wasiatnya agar umat sepeninggal beliau tidak tersesat dan jauh dari ajaran yang dibawa oleh Rasul. Rasul dengan pasti mengetahui bahwa umat sepeninggal beliau akan kebingungan berkenaan dengan siapa yang bisa dijadikan rujukan setelah Rasul saaw? Siapakah yang akan menggantikan posisi Rasul setelah beliau, dimana semua urusan yang berhubungan dengan ajaran ilahi harus merujuk kepadanya. Baik yang berhubungan dengan aqidah, hukum, akhlaq, problem social dan lainnya. Agar tidak kebingungan, Rasulullah saaw menjelaskan rujukan yang harus di pegang oleh umat sepeniggal beliau saaw yaitu kitab Allah dan keluarga suci Rasul.
Disini kita bertanya. Kenapa tidak cukup al-Quran saja? Kenapa harus ada Ahlul Bayt di samping al-Quran? Jawabannya sangatlah jelas bahwa al-Quran adalah kitab yang sangat dalam artinya, tidak semua orang dapat memahami al-Quran secara sempurna. Al-Quran perlu penafsir yang terjamin dari kesalahan, penafsir yang benar-benar menguasai al-Quran, yang mana di zaman Rasululah saaw, beliau sendirilah yang berfungsi sebagai penafsir al-Quran. Setelah beliau adalah Ahlul Bayt yang di saksikan oleh Rasulullah sebagai mitra al-Quran. Karena Rasul mengetahui bahwa hanya Ahlul Baytnya lah yang benar-benar sukses dalam mempelajari dan mengamalkan ajaranya. Oleh karena itu Rasulullah saaw dalam M hadis Tsaqolain berwasiat kepada umat untuk mengambil al-Quran dan Ahlul Bayt sebagai pedoman dan landasan dalam memahai ajaran suci yang di bawa oleh beliau. Hanya dengan berpegang kepada keduanya lah umat Islam bisa terselamatkan dari ajaran yang tidak benar. Karena hal ini merupakan jaminan dari baginda Rasul saaw sebagi bukti kasih sayang Rasul pada pengikutnya.
Begitu besar kasih saying Rasul pada umatnya sehingga beliau sering kali mewasiatlkan hal ini, bukan hanya satu kali Rasulullah menyabdakan hadis ini. Akan tetapi Rasul mengucapkannya dalam beberapa kesempatan sebagaimana yang di jelaskan oleh ulama-ulama Sunni. Seperti apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya bahwa Rasulullah saaw menyampaikan hadis Tsaqolain setelah beliau pergi dari Thaif mungkin pada kesempatan ini awwal kali Rasul menyampaikannya. Rasul juga menyampaikannya pada peristiwa Ghodir sebagaimana yang disampaikan oleh at-Thobroni dalm kitabnya , juga tertera dalam kitab Kanzul Ummal , dimana Rasulullah saaw pada peristiwa tersebut melantik Imam Ali sebagiai pengganti Beliau dan di baiat oleh sahabat yang hadir pada peristiwa tersebut yang mana hadis Ghodir merupakan hadis yang penting untuk dikaji dan ditelaah secara tersendiri.
Rasulullah juga mengucapkannya pada hajji wada, haji terakhir yang di lakukan oleh baginda Rasul pada hari Arafah sebagaimana yang di sebutkan oleh at-Turmudzi dalam shahihnya. Demikian pula untuk terakhir kalinya Rasul mengucapkannya di waktu beliau sakit menjelang dipanggil oleh Allah. Dengan penjelasan ini kita mengetahui bahwa wasiat ini sangatlah penting karena menyangkut keselamatan umat sehingga Rasul mengulanginya dalam banyak kesempatan, namun demikian hadis yang penting dan mashur ini banyak dilupakan oleh umat Islam. Justru sebaliknya, bahkan yang banyak disampaikan oleh ulama ulama kita adalah hadis Taqolain yang berbunyi, ‘kitab Allah dan sunnahku’.
Banyak ulama hadis yang menyatakan bahwa hadis Tsaqolain ‘Kitabullah dan Sunnati’ ini diriwayatkan secara mursal, yakni beberapa perawinya tidak disebutkan, artinya tidak jelas siapa perawi-perawinya tidak seperti hadis yang berbunyi kitab Allah dan Ahlul baytku sebagaimana yang saya sebutkan tadi, namun demikian sebenarnya kalau kita terima hadis sunnahku di atas hal itu tidak mengurangi arti dari hadis Ahlul Baytku karena apabila kita katakan bahwa Rasul meninggalkan dua hal kitab dan sunnah maka hadis taaqolain di atas adalah termasuk sunnah yang harus dipegang dan ditaati. Sehingga dapat ditarik garis bahwa ketaatan terhadap kepada Ahlul Bayt include didalamnya ketaan terhadap sunnah rasul. Sehingga dalam mempelajari ajaran Allah juga dalam memahami al-Quran, karena merekalah manusia yang di saksikan oleh Rasulullah dalam hadis staqolain sebagai mitra Qur an, maka harus diutamakan pendapatnya. Merekalah Ahlul Bayt sedikitpun tidak akan pernah berpisah darinya. Dengan demikian mereka adalah mausia yang terpelihara dari kebatilan dan dan kesesaatan sebagaiman yang dijelaskan oleh Nabi dalam sabdanya.
Ketika Nabi menjadikan mereka sebagai rujukan yang terjamin dari kesesatan maka otomatis mereka adalah manusia yang terpelihara dari kesesatan, karena kalau tidak demikian maka tidak mungkin Nabi memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada mereka. Dengan penjelasan ini kita dapat menyimpulkan bahwa perselisihan yang ada di tubuh kaum Muslimin, sehingga banyak golongan dan mazhab itu disebabkan mereka tidak mengindahkan wasiat Nabi saaw, mereka meniggalkan Ahlul Bayt as, bahkan sebagian kaum muslimin tidak mengenal Ahlul Bayt as. Mungkin hal ini yang membuat Nabi mengulangi peringatannya kepada umat dalam hadis tsaqolain untuk benar benar memperhatikan Ahlul Baytnya dalam sabdanya sampai tiga kali, ‘adzkurkum fii ahli baiti’. 
Rasulullah khawatir umatnya tidak akan memperhatikan Ahlul BaytNya sepeninggal beliau, dan apa yang di khawatirkan oleh Baginda Rasul benar benar terjadi. Sepeninggal Rasulullah umatnya tidak mengindahkan wasiat Rasulullah saaw, bahkan sebagian besar dari mereka menzalimi Ahlul Bayt as. Imam Ali yang di saksikan oleh Nabi sebagai orang yang selalu berjalan di jalan yang benar dilaknat di mimbar-mimbar selama kurang lebih 70 tahun. Imam Husain as yang sangat di cintai oleh baginda Rasul diperangi dan dibantai di padang pasir Karbala beserta keluarga dan sahabatnya, wanita wanita Ahlul Bayt diikat sebagai tawanan, diarak dari Karbala menuju Syam (Syiria).
Umat bukan hanya tidak menjadikan Ahlul Bayt as sebagai rujukan sebagaimana yang diwasiatkan oleh Nabi akan tetapi mereka memerangi Ahlul Bayt as kecuali sebagian kecil dari umat yang selalu memegang teguh wasiat Nabi dan menjadikan Ahlul Bayt sebagai Imam dan Rujukan dalam mengambil ajaran suci baginda Rasul saaw. Seandaianya umat Nabi mengindahkan wasiat Rasul niscaya Islam akan menjadi satu dan tidak kan terpecah pecah menjadi beberapa golongan, sebagaimana Allah menganjurkan kita untuk bersatu dan berpegang teguh pada tali Allah,’wa’tashimuu bihablillahi jami’au wa la tafarrakuu’ (Hendaklah kalian semua berpegang teguh pada tali Allah dan jangan bercerai-berai). 
Yang dimaksud dengan tali Allah di sini adalah Ahlul Bayt as sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafii dalam syairnya:
لما رأ يت الناس قد ذهبت بهم مذاهبهم في ابحر الغي و الجهل ركبت علي إ سم الله في سفن النجاة وهم آل بيت المصطفي خاتم الرسل أمسكت حبل الله وهوولاءهم كما قد امرنا با التمسك بالحبل
“Tatkala aku melihat manusia telah tengelam dalam mazhab kesesatan dan kebodohan aku menaiki bahtera penyelamat dengan menyebut nama Allah, mereka itu adalah Ahlul Bayt penutup para Nabi. Aku pegang erat erat tali Allah sebagimana yang diperintahkan oleh Allah sama seperti kita diperintahkan untuk memegang tali”.
Dari sini tulisan di atas, kita mengetahui bahwa musibah umat yang paling besar adalah ketika umat meninggalkan Ahlul Bayt, meninggalkan pusaka Nabi. Dan sebaliknya keselamatan umat adalah ketika kita berpegang teguh pada Ahlul Bayt as mengambil ajaran nabi dari mereka, karena merekalah sumber yang jernih ynag terjamin dari kesalahan.
Mudah mudahan kita tidak termasuk dari orang orang yang meniggalkan Ahlul Bayt as, mudah-mudahan kita di jadikan oleh Allah swt sebagai ummat yang berpegang teguh pada ajaran suci Rasul lewat Keluarga suci beliau, amien  

(Syiah-Ali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: