Jika di Saudi, kedudukan ulama dibawah raja dan tidak memiliki
kedudukan politik dan hanya mengurusi masalah fiqh, fatwa-fatwanya pun
mendapat intervensi dari kerajaan, sementara di Iran posisi ulama diatas
Presiden dan memiliki kewenangan dan kekuasaan yang lebih besar dari
Presiden. Fatwa dan intruksi ulama yang menjadi wali faqih, wajib
dikerjakan presiden.
Situs Gema Islam mempublish artikel yang melansir 9 perbedaan
antara Kerajaan Arab Saudi dengan Republik Islam Iran yang disebut
bersumber dari sebuah tulisan yang dishare dari group WA Madrasah
Salafiyah.
Berikut, 9 perbedaan lainnya, ditinjau dari sisi syariat Islam:
Pertama, Kerajaan Arab Saudi bersifat kerajaan yang mengadopsi
sistem pemerintahan jahiliyah yang kalau sekiranya itu baik, tentu
Rasulullah Saw dan keempat khulafaur rasyidin akan melakukannya.
Konstitusi negara Saudi mengacu pada Al-Qur’an dan Assunnah berdasarkan
pemahaman Salafush Saleh yang telah disesuaikan dengan kehendak
kerajaan, yang tidak sesuai dengan kepentingan raja akan direvisi,
dihapus atau mengalami adaptasi/pemakluman yang penting rajanya masih
shalat. Keseluruhan pejabat pentingnya termasuk kepala negara/raja
secara mutlak ditetapkan hanya untuk keluarga Su’ud, dan kabilah lain
diharamkan untuk bisa menjadi pejabat apalagi kepala negara.
Republik Islam Iran dalam memilih pemimpin tertinggi [Rahbar/Wali
Faqih] mengadopsi sistem syura yang terdiri dari ulama-ulama besar yang
ahli dan menguasai ilmu keislaman sehingga pemimpin tertinggi diatas
presiden terpilih dari orang-orang yang memang selain ahli Islam juga
ahli ilmu ketatanegaraan [ini pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin
Khattab untuk menetapkan khalifah penggantinya], sementara pemilihan
Presiden diserahkan kepada rakyat dengan mengadopsi sistem demokrasi
yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai syariat Islam. Jika Su’ud
mendirikan nama negara dengan nama kabilahnya dan memperuntukkan
kedudukan raja dan posisi penting hanya untuk keturunannya tidak peduli
layak atau tidak, Imam Khomeini mendirikan negara dengan nama
Jumhuriyyah Islamiyah Iran [Republik Islam Iran] dan mewariskan sistem
Wilayatul Faqih yang hanya membolehkan orang-orang yang layak dan
kafabel untuk menjabat kedudukan penting dipemerintahan, darimanapun
asalnya.
Jika di Saudi, kedudukan ulama dibawah raja dan tidak memiliki
kedudukan politik dan hanya mengurusi masalah fiqh, fatwa-fatwanya pun
mendapat intervensi dari kerajaan, sementara di Iran posisi ulama diatas
Presiden dan memiliki kewenangan dan kekuasaan yang lebih besar dari
Presiden. Fatwa dan intruksi ulama yang menjadi wali faqih, wajib
dikerjakan presiden.
Kedua, Kerajaan Arab Saudi ketika mendapat ancaman agresi dari Irak
dibawah rezim Saddam Husain, mengemis bantuan keamanan dari Amerika
Serikat, sehingga sampai saat ini ada 5 pangkalan militer AS di wilayah
Arab Saudi yang mendapat legitimasi fatwa mufti Arab Saudi, hubungan
diplomatik antara kedua negara ini juga sangat akrab, dilihat pejabat
penting kedua negara saling mengunjungi. Persenjataan dan semua
kebutuhan militer Arab Saudi disediakan dan dibuat oleh AS, sehingga
tidak satu kalipun kita mendengar Arab Saudi memiliki ilmuan yang ahli
membuat senjata sendiri ataupun menemukan senjata model mutakhir .
Sedangkan Iran pasca terjadi revolusi Islam, AS justru diusir dari
Iran, perusahaan-perusahaannya dinasionalisasi, aset-asetnya dibekukan,
dan sampai saat ini jangankan pangkalan militer, kedubes AS saja tidak
ada di Iran. Sejak 1979 tidak ada satupun presiden AS yang mengunjungi
Iran, hubungan diplomatik antar kedua negara ini sangat tegang, bahkan
saling menebar ancaman. Berbeda dengan Saudi yang menggantungkan
kebutuhan militernya pada AS, Iran memproduksi sendiri.
Bahkan ilmuan-ilmuan Iran berhasil menguasai tekhnologi nuklir yang
membuat AS khawatir, sehingga merasa perlu mengajak negara-negara lain
untuk mengembargo Iran agar menghentikan pengembangan tekhnologi
nuklirnya. Iran tidak hanya produktif menemukan senjata mutakhir, juga
berhasil membuat satelit secara mandiri tanpa bantuan dari satu negara
manapun. Nama satelitnya Amid, yang artinya harapan.
Ketiga, Kerajaan Arab Saudi mengharamkan orang-orang kafir menjabat
dalam pemerintahannya namun tidak mengharamkan membantu orang-orang
kafir untuk memerangi umat Islam khususnya menjaga eksistensi Israel dan
menjaga kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah. Raja dan
pejabat-pejabat penting Saudi akrab dan menjalin hubungan yang erat
dengan tokoh-tokoh penting dari kalangan orang-orang kafir. Bahkan dalam
operasi penyerangan ke Yaman, Arab Saudi melakukan konsultasi dan
meminta pertimbangan dari sekutunya yang merupakan negara-negara non
muslim. Di Arab Saudi, AS dan Israel dilarang keras untuk dikecam
ditempat-tempat umum, termasuk membakar bendera dan simbol-simbol kedua
negara yang menjadi musuh umat Islam tersebut.
Republik Islam Iran sebagai negara republik yang mengadopsi sistem
demokrasi, maka perwakilan-perwakilan kelompok minoritas mendapat hak
diparlemen, bahkan termasuk Yahudi namun dengan syarat
perwakilan-perwakilan tersebut anti Zionisme, anti AS dan pro revolusi
Islam. Komunitas Yahudi Iran ketika diminta rezim Israel untuk bergabung
dengan Israel, dengan tegas mereka menolak, bahwa pendirian negara
Israel adalah bid’ah dalam agama Yahudi. Di Iran, AS dan Israel sebagai
musuh umat Islam sering dikecam dan dilaknat di mimbar-mimbar dan
tempat-tempat terbuka oleh para khatib dan orator. Setiap aksi
demonstrasi rakyat Iran menentang kebijakan luar negeri AS dan Israel,
selalu ada aksi pembakaran bendera dan simbol penting kedua negara
tersebut.
Keempat, Arab Saudi melarang pembangunan ibadah orang-orang kafir,
namun memberi izin seluas-luasnya untuk orang-orang kafir menanam
investasi dan mengembangkan bisnisnya di wilayah Arab Saudi. Karenanya
jangan heran, jika mall-mall mewah dan gedung-gedung pencakar langit di
kota-kota besar Arab Saudi dipenuhi oleh produk-produk AS dan Barat,
yang tidak jarang keuntungannya justru untuk menjajah dan memperbudak
negara-negara muslim.
Republik Islam Iran sebagai negara yang toleran pada pengikut
agama-agama dunia, tempat-tempat ibadah jelas saja diperbolehkan untuk
didirikan, termasuk masjid yang khusus dikelola umat muslim Sunni, di
Tehran ibu kota Iran terdapat 7 masjid Ahlus Sunnah ditempat-tempat
strategis. Meskipun hampir 100% warga kota Tehran adalah muslim Syiah.
Kedutaan besar negara-negara sahabat yang Sunni, tetap mendapat izin
untuk mendirikan masjid di areal kedutaan mereka.
Kelima, Arab Saudi membolehkan shalat Jum’at diselenggarakan
disetiap masjid, meskipun masjid tersebut saling berdekatan. Sedangkan
Republik Islam Iran tidak membolehkan shalat Jum’at diselenggarakan di
satu kota kecuali di satu tempat. Sehingga shalat Jum’at di kota-kota
besar Iran dihadiri sampai jutaan jama’ah yang meluber sampai
kejalan-jalan. Tentu hal ini membuat hari Jum’at menjadi semakin
semarak, dan implementasinya sebagai hari raya umat Islam bisa
benar-benar dirasakan, terlebih lagi, jamaah jum’at juga diikuti oleh
kaum muslimah Iran.
Keenam, Arab Saudi mengharamkan nikah mut’ah namun sesuai fatwa
mufti kerajaan Syaikh bin Baz nikah misyar diperbolehkan. Nikah misyar
adalah nikah dengan niat cerai yang memang pernikahan tersebut diniatkan
tidak akan berlangsung dalam tempo yang lama. Dengan kebolehan ini,
turis-turis Arab ketika berwisata ke Indonesia tidak jarang dari mereka
sembari menikah dengan warga setempat, dengan niat jika masa liburan
telah habis, maka akan menceraikan istri yang dinikahinya di Indonesia.
eramuslim.com pernah menulis, Indonesia dimata turis Arab adalah obyek
wisata seks. Sementara Iran membolehkan nikah mut’ah dengan
ketentuan-ketentuan yang ketat dan diatur UU karena itu yang
mempraktikkannya secara resmi sangat jarang, sementara nikah misyar
diharamkan di Iran karena memang tidak ada tuntunannya dalam syariat.
Di Saudi praktik poligami sangat membudaya dan familiar, terutama dari
kalangan keluarga kerajaan dan ulama-ulama, sementara di Iran poligami
sangat sedikit dipraktikkan. Perempuan-perempuan di Iran mendapatkan hak
politik, bahkan menduduki jabatan penting pemerintahan, seperti
menteri, wapres dan juru bicara kepresidenan. Sementara di Saudi,
jangankan menjabat kedudukan politik, perempuan tidak memiliki hak suara
politik sama sekali, bahkan sekedar menyetir mobil pun aturan kerajaan
menyebutkan, haram bagi perempuan untuk melakukannya.
Ketujuh, Arab Saudi menghancurkan patung-patung dan tempat-tempat
yang dikeramatkan termasuk peninggalan-peninggalan situs Islam yang
berharga: pemakaman baqi yang diratakan dengan tanah, rumah istri Nabi
Sayyidah Khadijah dihancurkan kemudian diatasnya dibangun WC umum,
sementara gedung-gedung pencakar langit, hotel-hotel dan tempat
perbelanjaan yang super mewah dibiarkan menjamur, bahkan disisi Ka’bah
dibangun menara jam super tinggi dengan simbol tanduk syaitan
dipuncaknya. Sementara di Iran kuburan-kuburan dijaga dan dilestarikan.
Kuburan ulama-ulama dan pahlawan-pahlawan nasional serta
tokoh-tokoh Iran tempo dulu dibangun megah dan asri sehingga menjadi
tempat wisata dan ziarah bagi orang-orang Iran. Tujuannya, selain untuk
mengingatkan akan kematian, meski dalam keadaan sedang bersantai dan
berlibur, juga untuk merawat ingatan akan masa lalu, bahwa kebesaran dan
kemenangan hari ini, berkat perjuangan dan pengorbanan orang-orang
terdaulu.
Kedelapan, Ketika rezim Israel memborbardir Gaza dan Palestina,
ulama-ulama dan pejabat penting Iran sontak mengecam dan mengutuk agresi
tersebut, bahkan sampai saat ini, tema-tema khutbah dan ceramah
ulama-ulama besar Iran melulu seputar dukungan moralitas rakyat Iran
akan perjuangan rakyat Palestina untuk mencapai kemerdekaannya. Iran
membantu persenjataan Hizbullah dan HAMAS dalam kontak senjata dengan
militer Israel. Sementara ulama-ulama Arab Saudi bungkam saja dengan
agresi militer Zionis yang membantai umat Islam di Gaza, bahkan
sebaliknya ketika Hizbullah yang berperang dengan Zionis mereka gelari
Hizbusysyaitan dan mengharamkan untuk membantu dan mendukung Hizbullah,
karena Hizbullah bermazhab Syiah. Jika Iran mendukung HAMAS yang
menuntut kemerdekaan Palestina dan menolak keberadaan Israel, Saudi
mendukung PLO yang menerima kedaulatan Israel.
Kesembilan, Ketika Syiah Houthi berhasil menduduki Yaman, dan
mengusir presiden Mansour Hadi yang didukung Arab Saudi melalui gerakan
rakyat yang didukung semua elemen rakyat Yaman, Arab Saudi mengerahkan
150 jet tempur untuk menyerang Yaman yang dibantu oleh 10 negara bahkan
termasuk AS dan jet tempur Israel. Sementara Iran hanya membantu Syiah
Houthi dalam bentuk dukungan moral, karena yakin, tanpa perlu turut
campur langsung dalam konflik, rakyat Yaman adalah pejuang tangguh yang
mampu mengatasi kesulitannya sendiri, sebagaimana rakyat Iran diawal
revolusinya yang diserang Irak yang didukung negara-negara Arab, Barat,
AS dan Israel, tanpa perlu mengemis bantuan dari negara lain, kecuali
bergantung kepada Allah Swt. Saudi?. Diancam akan diserang oleh Saddam
Husain dan khawatir akan perkembangan Iran, buru-buru bersembunyi
dibalik ketiak AS, meskipun harus menjadi tidak ubahnya negara boneka
yang bekerja untuk kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah.
Ayatullah al Uzhma Nuri Hamadani salah seorang ulama marja taklid umat muslim Syiah dalam pernyataan tertulisnya menyikapi agresi Arab.
Berikut pernyataan sikap Ayatullah al Uzhma Nuri Hamadani:
Bismillahirrahamanirrahim
Disaat umat Islam dinegara-negara mayoritas umat Islam
memikirkan langkah-langkah untuk melakukan revolusi untuk mendapatkan
kemerdekaan dan kemuliaannya serta berlepas dari dari penjajahan dan
intervensi asing, dan melakukan penentangan keras terhadap Zionis dan
Amerika Serikat yang merupakan otak dibalik kebangkrutan dan kemiskinan
Negara-negara Islam, justru kelompok takfiri, ISIS, Bokou Haram, dan
kelompok-kelompok militant salafi lainnya (yang disponsori Arab Saudi)
menghalangi-halangi revolusi tersebut dengan menumpahkan darah sesama
umat Islam. Kekayaan alam umat Islam mereka rampas, mereka ciptakan
konflik seperti di Suriah, Lebanon, Irak dan Bahrain, melakukan
pengrusakan dan aksi pembunuhan massal, tidak peduli perempuan maupun
anak-anak.
Sampai saat ini rezim Arab Saudi memperkenalkan dirinya
sebagai pelayan dua tanah Haram (Mekah dan Madinah) dan tiap tahun
mencetak dan menyebarkan jutaan mushaf Al-Qur’an ke Negara-negara dunia
dan menyebut mereka adalah pendukung Islam. Namun hari ini, Negara yang
mengklaim diri membela Islam ini justru melakukan agresi militer ke
Negara Yaman yang merupakan Negara berpenduduk muslim yang sedang
memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatannya. Yang sayangnya agresi
irasional ini justru didukung oleh mayoritas Negara Arab dan juga
terlibat langsung dalam agresi militer tersebut.
Jika mereka berdalih melakukan agresi karena peduli
dengan nasib rakyat Yaman, lantas dalam menyikapi agresi atas Suriah,
Lebanon dan Irak mengapa mereka hanya bungkam saja, demikian pula dengan
konflik di Bahrain, mereka hanya diam saja. Demikian pula agresi Israel
yang berkali-kali menghancurkan Gaza dan Palestina mereka pun tidak
memberikan reaksi apa-apa. Patut diketahui dan tidak diragukan lagi Arab
Saudi dan koalisinya hakikatnya adalah kaki tangan dan bawahan AS dan
Israel. Mereka bukan laskar Islam, mereka adalah laskar dan pasukan
Zionis yang hendak menjajah Negara-negara Islam.
Pada akhirnya, rakyat telah sadar dan mengetahui AS ada
dibalik dari semua konspirasi ini. Mereka sadar AS dan koalisinya tidak
akan memberi pengaruh apa-apa, dan kaum mustadhafien siap untuk
menghadapi mereka. Pernyataan kami ini terisinpirasi dari pernyataan
Islam dan al-Qur’an. Dan kami secara tegas menentang keras agresi Arab
Saudi dan koalisinya atas Yaman. Dan kami yakin, ditengah semua tekanan
dan intervensi yang mereka dapatkan, rakyat akan menentukan takdir akan
masa depannya sendiri dan insya Allah, mereka akan mencapai kemenangan.
(Syiahali/ABNS)
(Syiahali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email