Orang-orang berakal dan bijak tidak akan membuang dan membiarkan undang-undang yang bersumber dari hukum alam dan tidak hanya mencukupkan undang-undang buatannya sendiri. Kemestian perkara manusia memutuskan untuk tidak berpaling dari keteraturan alam sehingga terpaksa menerima resiko-resikonya.
Ayatullah Muhammad Khamenei, Direktur Institut Hikmah Islam Sadra,
menulis dalam makalahnya yang berjudul ‘Filsafat dan Keteraturan Umum’
di dalam acara peringatan filosof besar Mulla Sadra pada hari yang lalu
bahwa keteraturan umum, berdasarkan sabda Imam Ali As dalam khutbah 151
Nahjul Balaghah adalah dasar pilar-pilar ketaatan, ibaratnya sebagai
tali yang merajut masyarakat untuk menggapai tujuannya sendiri, jika
tujuan itu digambarkan sebagai lapisan jiwanya dan lapisan-lapisan ini
dijalin dan dirangkai bersama, maka tali ini akan semakin kuat dan
manusia dapat menjaga dirinya dari keterjatuhan ke dalam jurang dengan
berpegang kepadanya.
Menurutnya ‘keteraturan’ bermakna, menyusun segala sesuatu secara berdampingan dengan sistimatis, teratur, dan sesuai. “Dalam ungkapan lain, keteraturan adalah setiap sesuatu ditempatkan pada posisinya masing-masing, definisi ini juga diterapkan dalam makna keadilan,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, “Jika dipandang secara teliti maka definisi itu sama dengan definisi hikmah dan sejatinya hikmah adalah menguatkan sesuatu dan setiap pilar, dasar, cabang ditempatkan pada posisinya masing-masing.”
Menurutnya kata ‘umum’ berarti tidak terkhusus kepada individu, kelompok, dan suku tertentu melainkan mencakup semua individu, oleh karena itu ‘keteraturan umum’ bermakna suatu keteraturan yang meliputi seluruh individu dan karena dalam bidang hukum tertera bahwa setiap undang-undang mencakup seluruh individu masyarakat untuk keberlangsungan kehidupannya masing-masing.
Mengenai urgensi keteraturan umum ini, ia menegaskan, “Tanpa keteraturan, yang akan muncul adalah kekacauan dan anarkis, dan hal ini buruk bagi semua individu. Di samping keteraturan hukum, kita juga memiliki keteraturan umum alam yang berlangsung di alam eksistensi. Keteraturan di alam ini bersifat alami dan hakiki yang Sang Pencipta alam yang Mahaesa dan Mahatunggal telah mencipta suatu kemajemukan yang teratur dan berhubungan satu sama lain serta saling mempengaruhi dan dipengaruhi, inilah keteraturan hakiki itu.”
Apakah keteraturan hukum dapat dikaitkan dengan keteraturan alam? Ia menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam mewujudkan keteraturan hakiki untuk sistem keteraturan kehidupan manusia, Dia mengetahui manusia memerlukan suatu keteraturan, karenanya Dia mengirimkannya yang kemudian kita namakan sebagai agama yang mencakup seluruh persoalan hukum, kewajiban, dan hak manusia serta ibadah. Agama ini dapat menjamin kemakmuran, kebaikan, dan kebahagiaan manusia yang al-Quran mengistilahkannya sebagai fitrah.
“Hubungan antara keteraturan hukum dan keteraturan hakiki (alam) seperti kaitan antara hikmah teoritis dan hikmah praktis,” tandasnya. Dan ia menambahkan bahwa hikmah teoritis adalah rangkaian pandangan-pandangan, perspektif-perspektif, dan pengetahuan-pengetahuan tentang hakikat alam, oleh karena itu pengetahuan tentang hakikat-hakikat inilah yang menyingkap bahwa keteraturan adalah fitrah manusia yang diinginkannya secara hakiki dan mendasar, dari sinilah kemudian muncul akhlak, pengaturan keluarga, pengaturan masyarakat, dan politik sipil (madani). Dan apabila hikmah teoritis itu tidak ada maka hikmah praktis pun tiada.
“Dengan demikian, keteraturan hukum dan sosial secara umum harus bersumber dari keteraturan alam dan pertentangannya dengan keteraturan umum di dalam masyarakat manusia akan mewujudkan kekacauan dan kerusakan, sebagaimana jika keteraturan di alam sudah sirna maka hancurlah alam. Mewujudkan keteraturan umum di dalam masyarakat berangkat dari kaidah alam. Manusia tidak dipaksa mengikuti suatu keteraturan (agama) yang akan menyampaikannya kepada tujuannya sebagaimana makhluk lainnya, melainkan diberikan dan ditunjukkan jalan (agama) dan diberikan kebebasan untuk menitinya. Orang-orang yang berakal niscaya menerima dan mengikutinya secara sukarela,” tegasnya.
(Shabestan)
Menurutnya ‘keteraturan’ bermakna, menyusun segala sesuatu secara berdampingan dengan sistimatis, teratur, dan sesuai. “Dalam ungkapan lain, keteraturan adalah setiap sesuatu ditempatkan pada posisinya masing-masing, definisi ini juga diterapkan dalam makna keadilan,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, “Jika dipandang secara teliti maka definisi itu sama dengan definisi hikmah dan sejatinya hikmah adalah menguatkan sesuatu dan setiap pilar, dasar, cabang ditempatkan pada posisinya masing-masing.”
Menurutnya kata ‘umum’ berarti tidak terkhusus kepada individu, kelompok, dan suku tertentu melainkan mencakup semua individu, oleh karena itu ‘keteraturan umum’ bermakna suatu keteraturan yang meliputi seluruh individu dan karena dalam bidang hukum tertera bahwa setiap undang-undang mencakup seluruh individu masyarakat untuk keberlangsungan kehidupannya masing-masing.
Mengenai urgensi keteraturan umum ini, ia menegaskan, “Tanpa keteraturan, yang akan muncul adalah kekacauan dan anarkis, dan hal ini buruk bagi semua individu. Di samping keteraturan hukum, kita juga memiliki keteraturan umum alam yang berlangsung di alam eksistensi. Keteraturan di alam ini bersifat alami dan hakiki yang Sang Pencipta alam yang Mahaesa dan Mahatunggal telah mencipta suatu kemajemukan yang teratur dan berhubungan satu sama lain serta saling mempengaruhi dan dipengaruhi, inilah keteraturan hakiki itu.”
Apakah keteraturan hukum dapat dikaitkan dengan keteraturan alam? Ia menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam mewujudkan keteraturan hakiki untuk sistem keteraturan kehidupan manusia, Dia mengetahui manusia memerlukan suatu keteraturan, karenanya Dia mengirimkannya yang kemudian kita namakan sebagai agama yang mencakup seluruh persoalan hukum, kewajiban, dan hak manusia serta ibadah. Agama ini dapat menjamin kemakmuran, kebaikan, dan kebahagiaan manusia yang al-Quran mengistilahkannya sebagai fitrah.
“Hubungan antara keteraturan hukum dan keteraturan hakiki (alam) seperti kaitan antara hikmah teoritis dan hikmah praktis,” tandasnya. Dan ia menambahkan bahwa hikmah teoritis adalah rangkaian pandangan-pandangan, perspektif-perspektif, dan pengetahuan-pengetahuan tentang hakikat alam, oleh karena itu pengetahuan tentang hakikat-hakikat inilah yang menyingkap bahwa keteraturan adalah fitrah manusia yang diinginkannya secara hakiki dan mendasar, dari sinilah kemudian muncul akhlak, pengaturan keluarga, pengaturan masyarakat, dan politik sipil (madani). Dan apabila hikmah teoritis itu tidak ada maka hikmah praktis pun tiada.
“Dengan demikian, keteraturan hukum dan sosial secara umum harus bersumber dari keteraturan alam dan pertentangannya dengan keteraturan umum di dalam masyarakat manusia akan mewujudkan kekacauan dan kerusakan, sebagaimana jika keteraturan di alam sudah sirna maka hancurlah alam. Mewujudkan keteraturan umum di dalam masyarakat berangkat dari kaidah alam. Manusia tidak dipaksa mengikuti suatu keteraturan (agama) yang akan menyampaikannya kepada tujuannya sebagaimana makhluk lainnya, melainkan diberikan dan ditunjukkan jalan (agama) dan diberikan kebebasan untuk menitinya. Orang-orang yang berakal niscaya menerima dan mengikutinya secara sukarela,” tegasnya.
(Shabestan)
Post a Comment
mohon gunakan email