Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Makhluk. Show all posts
Showing posts with label Makhluk. Show all posts

Delapan Kelompok Makhluk Terburuk


ثَمَانِيَّةٌ أَبْغَضُ خَلِيقَةِ اللّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ: ألسَّقَارُوْنَ ـ وَ هُمْ الكَذَّابُوْنَ وَ الخَيَّالُوْنَ ـ وَ هُمْ المُسْتَكبِرُوْنَ ـ وَ الَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ البَغْضَاءَ لِإِخْوَانِهِمْ فِي صُدُوْرِهِمْ فَإِذَا لَقُوْهُمْ تَخَلَّقُوْا لَهُمْ وَ الَّذِيْنَ إِذَا دُعُوْا إِلىَ اللّهِ وَ رَسُوْلِهِ كَانُوْا بِطَاءً وَ إِذَا دُعُوْا إِلَى الشَّيْطَانِ كَانُوْا سِرَاعًا وَ الَّذِيْنَ لَا يُشْرِفُ لَهُمْ طَمَعٌ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ اسْتَحَلُّوْهُ بِأَيْمَانِهِمْ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ ذَلِكَ بِحَقِّ وَ المَشَّاؤُنَ بِالنَّمِيْمَةِ وَ المُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ الأَحِبَّةِ وَ البَاغُوْنَ البَرَآءِ الدَّحَضَةَ أُوْلَئِكَ يَقْذَرُهُمْ الرَّحْمَنُ عَزَّ وَ جَلَّ.

Rasulullah Saw bersabda:

"Ada delapan kelompok yang paling buruk di hari kiamat di antara makhluk Allah: 
(1) Para pembohong, 
(2) orang-orang yang sombong, 
(3) mereka yang menyimpan permusuhan dalam hatinya terhadap saudaranya tapi ketika bertemu mereka menunjukkan muka ramah, 
(4) mereka yang ketika diseru menuju Allah Swt dan Rasul-Nya (Saw) berlambat-lambat namun bergegas ketika diseru menuju setan, 
(5) mereka yang ketika menginginkan ketamakan dunia dia akan bersumpah-sumpah (untuk mendapatkannya) meski bukan haknya, 
(6) para pengadu, 
(7) mereka yang memisahkan di antara teman-teman, 
(8) mereka yang mezalimi orang-orang papa, dan Allah Swt menilai mereka  semua kotor."*
*Nahjul Fasahah hal 272

Sumber: Zubdah Al-Ahadits, Ahmad Ebrahimi, tahun 1392 HS, Entesharat Bani Az-Zahra, Qom.

Malaikat Maut Akan Mengambil Nyawa Setiap Makhluk Hidup


Apakah malaikat maut akan mengambil nyawa setiap makhluk hidup?
 
Jawaban Global:
Dari bentuk mutlak riwayat dapat disimpulkan bahwa malaikat maut (Izrail) adalah media Allah Swt dalam mencabut jiwa dan mengambil nyawa seluruh makhluk hidup.
Namun yang penting kita ketahui adalah bahwa sejatinya yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup adalah Allah Swt. Sunnatullah yang mengharuskan perbuatan mencabut nyawa harus didelegasikan melalui media, entai media itu adalah malaikat maut atau dengan perantara media lainnya.
 
Jawaban Detil:
Dalam al-Quran disebutkan bahwa Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).

Allah Swt dalam ayat ini, pencabutan nyawa diperkenalkan sebagai perbuatan-Nya dan apabila musnad ilaihi (yang disandarkan kepadanya) Allah lebih dahulu disebutkan atas musnad yatawaffa (pada ayat di atas) maka hal itu dimaksudkan sebagai hashr (pembatasan), artinya pencabutan ruh itu hanya merupakan perbuatan Tuhan bukan yang lain.[1]

Bagaimanapun terdapat ayat lain yang dapat disimpulkan bahwa Allah Swt mengatur alam semesta ini dengan perantara sekelompok malaikat sebagiamana pada ayat 5 surah Naziat, Allah Swt menyatakan, “Dan demi para malaikat yang mengatur urusan (dunia).”

Sunnah Ilahi mengharuskan urusan-urusan dan perbuatan-perbuatan di alam semesta ini dilakukan melalui kanal sebab-sebab. Karena itu, sekelompok malaikat yang bertugas untuk  mencabut nyawa dan yang paling top[2] di antara mereka adalah malaikat maut.[3]

Al-Quran dalam hal ini berkata, “Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.’” (Qs. Al-Sajdah [32]:11) dan “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (Qs. Al-An’am [6]:61).

Apabila dua ayat ini kita letakkan di samping ayat pertama maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan nyawa pada prinsipnya dilakukan oleh Allah Swt bukan selain-Nya. Dengan izin Allah, malaikat maut dapat menunaikan tugasnya dan dengan perantara malaikat maut, pekerjaan pembantu malaikat maut yang merupakan para malaikat Tuhan dapat menjalankan tugas membantu malaikat maut dalam mencabut nyawa.[4] Pada prinsipnya, seluruh pekerjaan di alam semesta berada di tangan Tuhan dan para malaikat adalah para pelaksana pekerjaan ini.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq tentang ayat ini dimana Allah Swt berfirman,  
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).
 
Dan di tempat lain berfirman,   
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.” (Qs. Al-Sajdah [32]:11).
 
 demikian juga pada ayat lainnya,
 “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (Qs. Al-Nahl [16]:32).
 
mengingat bahwa dalam satu jam di dunia ini terdapat ribuan orang yang meninggal yang jumlah persisnya hanya Allah yang tahu, lalu bagaimana hal ini dapat dilakukan para malaikat atau malaikat maut pada saat yang bersamaan mencabut ruh semua orang yang meninggal itu?

Imam As dalam menjawab pertanyaan ini berkata, “Allah Swt menempatkan para pembantu dan malaikat untuk malaikat maut yang berposisi sebagai komando untuk mereka dan mengirim mereka utuk menunaikan tugas-tugasnya  masing-masing. Karena itu, para malaikat (pembantu) yang mencabut ruh dan juga malaikat maut lalu Allah Swt mengambil ruh-ruh itu dari malaikat maut.”[5]

Seorang ateis datang kepada Amirul Mukminin Ali As. Katanya, “Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain. Karena pada satu tempat disebutkan “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.”.
Namun pada ayat lain disebutkan malaikat maut yang melakukan hal ini. Dan ditempat lainnya disandarkan pada sebagian malaikat?” Dalam menjawab pertanyaan ini Amirul Mukminin As berkata, “Malaikat maut memiliki pembantu dari kalangan malaikat rahmat dan azab yang perkerjaannya sama dengan pekerjaan malaikat maut (mencabut ruh) dan apa pun yang mereka lakukan maka perbuatan itu disandarkan kepada malaikat maut dan perbuatan malaikat maut itu adalah perbuatan Allah karena Allah yang mengambil jiwa setiap orang yang dikehendakinya, dan perbuatan-perbuatan lainnya seperti memberikan atau menahan, memberikan ganjaran atau azab, diserahkan kepada siapa pun yang dikehendaki dan sesungguhnya pekerjaan para petugas-Nya adalah perbuatan Allah Swt sendiri sebagaimana dalam al-Quran menyatakan, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” dan Al-Takwir [81]:20).

Dengan kata lain, tatkala malaikat maut tidak secara langsung mengambil jiwa juga dapat disandarkan pada malaikat maut dan kepada Tuhan karena seluruh sebab, kekuatan, dan kodratnya bersumber dari Allah Swt dan berada di bawah pengurusan Ilahi. Demikian juga perantara-perantara lain selain malaikat maut yang tergolong sebagai bala tentara malaikat maut dan sebagiamana pekerjaan ini dapat disandarkan secara langsung, juga dapat disandarkan dengan perantara medium dan perantara puncak sebagiamana penaklukan dan kemenangan pada perang yang sejatinya yang secara hakiki disandarkan pada prajurit, rakyat, panglima dan panglima besar.

Dengan pendahuluan ini kami akan menjawab pertanyaan Anda siapakah yang melakukan pencabutan nyawa makhluk-makhluk hidup selain manusia? Amirul Mukminin As dalam sebuah riwayat, “...Cukup bagimu engkau tahu Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dia mencabut nyawa siapa saja yang dikehendaki, dengan perantara malaikat atau tanpa perantara malaikat.”[6]

Karena itu penting untuk kita ketahui bahwa Allah Swt yang melakukan perbuatan ini dan Dia juga melakukannya dengan perantara, entah perbuatan mencabut nyawa ini dengan perantara malaikat maut atau tanpa malaikat maut.

Benar dalam riwayat lain disebutkan, “Sewaktu mikraj, Nabi Saw bertanya kepada malaikat maut, “Apakah jiwa orang-orang yang mati dan akan mati engkau yang mengambilnya?” Dia berkata, “Benar... seluruh dunia dan apa yang ditundukkan Tuhan bagiku di sisiku laksana sebuah koin di tangan seseorang yang dapat dipermainkan dan aku mendatangi seluruh rumah di dunia lima kali sehari (untuk melihat apakah ia mengerjakan salatnya tepat waktu atau tidak?)”[7]

Dari kemutlakan riwayat ini kemungkinan ini dapat dikuatkan bahwa malaikat maut yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup.  
 
Indeks Terkait:
  1. Pertanyaan 96, Indeks: Tidur dan Kematian Jiwa Manusia
  2. Pertanyaan 849, Setan dan Kematian
 

Referensi:
[1]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[2]. Karena tingkatan eksistensial para malaikat berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, tingkatan eksistensial Izrail (malaikat maut) lebih tinggi dari para malaikat yang membantu untuk mencabut nyawa.
[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemenuh, jil. 17, hal. 140.
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizān (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[5]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil 1, hal. 136.
[6]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hadis 6, hal. 143.
[7]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hadis 2, hal. 141.

dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah


Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Pertanyaan:
Salam dan terima kasih. Apakah dayyân itu merupakan sifat Jamaliyah Allah Swt atau sifat Jalaliyah?
Jawaban Global:
Kata dayyân akar katanya berasal dari kata din yang bermakna mememberi ganjaran dan hukuman. Karena itu, makna kata dayyân adalah pemberi ganjaran dan hukuman.[1] Akan tetapi terkadang juga digunakan makna sinonim pemberi hukuman seperti Qahir[2] dan lain sebagainya.[3]

Bagaimanpun nampaknya dayyan adalah sifat fi’il (perbuatan); lantaran bersumber dari hubungan Allah Swt dan makhluk-Nya; dengan demikian dayyân tidak termasuk sebagai sifat Jalal dan juga bukan sifat Jamal; karena jalal dan jamal merupakan bagian dari sifat zat.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa sifat yang disandarkan kepada Allah Swt atau konsep yang dapat digambarkan dari zat Ilahi dengan memperhatikan jenis kesempurnaan eksistensialnya; seperti ilmu, kudrat, hayat, atau nama-nama lainnya  yang dapat diabstraksikan akal dengan membandingkan antara zat Ilahi dan makhluk-makhluk-Nya dengan mencermati jenis hubungan eksistensial dan ontologisnya; seperti penciptaan makhluk (khâliqiyah) dan pemeliharaan alam semesta (rububiyah). Bagian pertama disebut sebagai sifat dzatiyah dan bagian kedua disebut sebagai sifat fi’liyah.[4]

Namun yang dimaksud dengan sifat jamal adalah sifat yang mengisahkan sifat-sifat kesempurnaan eksistensial pada level zat dan yang dimaksud dengan sifat jalal dalah sebuah sifat yang mewartakan tentanga sucinya zat dari segala jenis kekurangan. Pada hakikatnya, sifat jamal adalah tanda kesepumpurnaan dan keindahan. Sifat jalal adalah tanda keunggulan Allah dari pelbagai penyifatan kekurangan. Sifat jamal seperti ilmu, kodrat, hayat dan lain sebagainya. Sifat jalal seperti jauhnya Allah Swt dari segala bentuk fisikal, memiliki substansi, aksiden dan seterusnya...[5]

Akan tetapi boleh jadi sifat perbuatan ini kembali pada sifat zat; artinya sifat perbuatan (fi’il) harus dilihat sebagai bersumber dari zat Allah Swt,[6] sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa dayyân itu adalah sifat jamal Allah Swt.

Referensi:
[1]. Ismail bin Hamad Jauhari, al-Shihâh (Tâj al-Lughah wa Shihâh al-‘Arabiyah), Diriset dan diedit oleh Ahmad Abdul Ghagur Atthar, jil. 5, hal. 118, Beirut, Dar lil Malayin, Cetakan Pertama, 1410 H.
[2]. Mahmud bin Umar Zamakhsyari, al-Fâiq fi Gharib al-Hadits, Diriset dan diedit oleh Ibrahim Syamsuddin, jil. 1 hal. 390, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1417 H.
«الدَّيَّان: فَعَّال، من دان الناسَ إذا قَهرَهم على الطاعة. يقال: دِنْتُهُمْ فَدَانُوا، أيْ قهرتهم فأطاعوا».
[3]. Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 13, Beirut, Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414, “Al-Dayyan:Al-Sais.
[4]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2229 (Proses Hubungan Antara Sifat Fi’il dan Peristiwa-peristiwa dalam Rentang Waktu).
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 10379 (Sifat Jalal dan Jamal).
[6]. Silahkan lihat, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Nihâyat al-Hikmah, hal. 287-288, Qum, Muassasah Nasyr Islami, Cetakan Kelima, 1404 H.

Memahami Tauhid itu mudah


Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan adalah esa, tak ada sekutu baginya. Banyak pembahasan tauhid dalam ilmu kalam (teologi), filsafat dan tafsir, yang mungkin bagi sebagaian orang cukup rumit untuk dipahami.
Sebenarnya memahami keesaan Tuhan itu mudah. Coba ikuti pembahasan ringan yang akan diberikan di bawah ini.

Sebelumnya, saya ingin jelaskan bahwa keesaan Tuhan tidak bisa dimengerti sebagaimana kita memahami jumlah dan bilangan sesuatu. Mengapa tidak? Karena Tuhan tidak bisa dihitung dengan bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya.

Jadi pemahaman bahwa “Tuhan adalah satu” sebagaimana kita memahami “anak saya cuma satu” tidaklah sama. Karena “satu” untuk Tuhan dan “satu” untuk selain Tuhan berbeda pengertiannya (sebenarnya tidak benarj jika kita menggunakan istilah “satu” untuk Tuhan, yang benar adalah esa).

Segala sanggahan yang timbul di pikiran kita terhadap Tauhid dikarenakan kita salah memahaminya, kita memahaminya sebagai “menghitung Tuhan dengan bilangan satu”. Padahal itu tidak benar. Oleh karena itu Tauhid bukan berarti “menghitung Tuhan.”

Mengapa? Karena apa yang dapat kita hitung adalah obyek-obyek tertentu saja, tidak semuanya, bahkan di alam materi inipun. Buktinya kita hanya bisa menghitung jumlah anak kita, pensil yang kita punya, buku di rak kita, dan hal-hal serupa dengan bilangan satu, dua, tiga, empat dan seterusnya; namun apakah kita bisa menghitung jumlah air, gas, pasir, beras, atau gula dan hal-hal serupa dengan bilangan satu, dua, tiga dan…? Jelas tidak, ya kita menghitungnya dengan cara lain, kita menghitungnya dengan satuan kilo, misalnya beras satu kilo, gula tiga kilo, dan seterusnya.

Adapun Tuhan? Tuhan tidak bisa disamakan dengan obyek-obyek lain di sekitar kita yang dapat kita hitung, oleh karena itu kita tidak bisa menghitungnya dengan berkata “saya punya satu Tuhan.”
Lalu bagaimana kita memahami ke-satu-an Tuhan dan keesaan-Nya? Jawabannya adalah: “pengakuan kita dalam tidak bisa menghitung-Nya adalah Tauhid yang sebenarnya.” Segala yang dapat kita hitung adalah selain Tuhan; itu kaidahnya.

Lalu apakah itu berarti kita tidak memahami Tuhan? Ya, ada benarnya kita tidak bisa memahami Tuhan adalah Tauhid itu sendiri, dan mungkin lebih baik daripada memahami “Tuhan berjumlah satu” dengan pemahaman yang salah.

Tuhan yang menciptakan segala benda yang dapat kita lihat, rasa dan raba yang dapat kita hitung di sekitar kita. Jika Tuhan termasuk hal yang bisa dihitung sebagaimana benda-benda itu, jelas hal itu lucu.
Anggap saja Tuhan adalah seorang pembuat sepatu. Ia menciptakan berpuluh-puluh pasang sepatu yang dapat dihitung pembelinya. Pembeli bisa dan benar jika berkata “saya ingin membelii sepasang sepatu.” Namun ia tidak bisa berkata “Saya juga mau beli satu pencipta sepatu”; karena apa yang ia ucapkan tidak dalam koridor perannya sebagai pembeli sepatu. Kita makhluk ini hanya bisa menghitung apa yang tercipta di alam ini dengan bilangan-bilangan, dan tidak bisa menghitung pencipta alam beserta isinya dengan bilangan yang sama, karena keluar dari koridor peran kita sebagai makhluk.

“Allahu Akbar” yang sering kita ucapkan, seperti dalam shalat, cukup membantu kita untuk memahami Tauhid. “Allahu Akbar” artinya kita mengagungkan Tuhan dan menganggap-Nya “lebih” dari segala apa yang bisa kita fahami. Jika kita mengaku memahamii Tuhan, seperti halnya memahami Tauhid dan keesaan-Nya, maka “Allahu Akbar” itu mengingatkan kita bahwa Tuhan lebih dari yang kita fahami itu, artinya kita tidak memahaminya. Oleh karena itu “tidak memahami Tuhan” dengan syarat usaha sepenuh tenaga untuk memahami-Nya adalah Tauhid itu sendiri.

Perbedaan Sifat Dan Ciri-Ciri Qawiyyu Bagi Allah Swt Dan Bagi Makhluk-Nya


Apa perbedaan sifat dan ciri-ciri qawiyyu bagi Allah Swt dan bagi makhluk-Nya?
Pertanyaan:
 
Salam sejahterah selalu buat kita semua, mohon arti dari ya qowiyyu terimakasih?
 
Jawaban Global:
Sifat qawi adalah salah satu sifat Ilahi dan bermakna kuatnya intensitas kodrat dan kekuasaan. Mengingat bahwa seluruh entitas tercipta dalam hubungannya dengan kodrat Ilahi, jelas bahwa tiada kekuataan yang menggungguli kekuaatan dan kekuasaan Allah Swt.

Karena itu, segala sesuatu selain Allah, yang dicirikan sebagai yang mahakuasa, dalam bandingannya dengan sesuatu yang lebih lemah dari-Nya, namun kekuataan ini dibandingan dengan sesuatu yang kekuataannya lebih tentunya akan terhitung lemah.

Karena itu, segala kekuataan dibandingkan dengan di atasnya, tentunya lemah, sehingga silsilah kekuasaan dan kekautaan Tuhan ini dapat berujung pada satu titik, namun kekuataan Tuhan dibandingkan dengan segala sesuatu, tentunya tidak ada titik lemah dan kelemahan pada diri-Nya.
Dalam beberapa ayat al-Quran dan juga sebagian doa dan dzikir disebutkan tentang tipologi tentang quwwah terkait dengan Allah Swt.
 
Jawaban Detil:
Salah satu sifat tsubut Allah Swt adalah sifat qawwiyu yang telah disinggung dalam beberap ayat al-Quran[1] demikian juga dalam sebagian doa dan dzikir kita menyebut Allah Swt dengan nama ini.[2]
Untuk menjelaskan makna ini, kita akan mengulasnya pada beberapa sub bahasan berikut ini:

Mengenal Kata Qawi
Sifat Qawi bertimbangan fail yang bermakna subyek (fail) dari klausul qawi dan quwwah yang bermakna dahsyatnya kekuatan[3] dan kebalikannya adalah dhaif (lemah).[4]

Sifat Qawi dalam al-Quran
Sifat Qawi dan lafaz-lafaz yang semakna dengannya seperti yang digunakan dalam al-Quran dan hadis akan dijelaskan sebagai berikut:
  1. Dalam al-Quran, Allah Swt disifatkan dengan kata qawi dan quwwah seperti:
«إِنَّ اللَّهَ قَوِی شَدیدُ الْعِقاب»
 
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al-Anfal [8]:52).

«إِنَّ اللَّهَ قَوِی عَزیزٌ»
 
“Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Hadid [57]:25).

«إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتین»
 
“Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh. (Qs. Al-Dzariyat [51]:58).

Kata “dzu al-quwwah” merupakan salah satu nama Allah Swt dan bermakna qawi, bedanya kata ini lebih ekspresif ketimbang kata qawi. Kata matin juga merupakan salah satu nama Allah Swt yang bermakna kukuh yang tiada satu pun pekerjaan yang tidak dapat dilakukannya.  Ungkapan tiga nama ini menujukkan terbatasnya pemberian rezeki hanya pada Allah Swt (hanya Allahlah yang memberikan rezeki) dan memahamkan bahwa dalam menyampaikan rezeki kepada para pemakan rezeki – berapa pun banyaknya –Allah Sang Pemberi Rezeki tidak akan pernah lemah.[5]
  1. Lafaz quwwah terkadang digunakan bermakna kodrat sebagaimana disebutkan dalam al-Quran:
«خُذُوا ما آتَیناکُمْ بِقُوَّةٍ».
 
“Peganglah teguh-teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:63).

Terkadang potensi dan kesiapan pada sesuatu juga disebut sebagai quwwah. Namun dengan memperhatikan penggunaan kata quwwah dalam al-Quran dapat disimpulkan:
Quwwah adalah tingkatan paling dahsyat dari kekuataan dan kekokohan, entah itu kekuatan badan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran,
 
 «قالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنّا قُوَّةً»  
 
, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?” (Qs. Al-Fusshilat [41]:15) 
 
atau kekuatan mental sebagaimana pada ayat lainnya,
 
 «یا یحْیی خُذِ الکِتابَ بِقُوَّةٍ»  
 
“Hai Yahya, ambillah al-Kitab itu dengan kuat dan sungguh-sungguh.” (Qs. Maryam [19]:12).
 
atau maksudnya adalah kekuatan-kekuatan penolong sebagiamana yang diharapkan oleh Nabi Luth yang berkata, “sekiranya ada kekuatan sehingga dapat mencegah perbuatan-perbuatan tercela pada pelaku kejahatan,
 
 «لَوْ أَنَّ لِی بِکُمْ قُوَّةً»  
 
“Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu)’” (Qs. Hud [11]:80)
 
dan seperti ucapan para menteri Ratu Saba yang mendeskripsikan diri mereka,
 
  «نَحْنُ اُولُوا قُوَّةٍ وَ اُولُوا بَأْسٍ شَدِیدٍ»  
 
“Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan).” (Qs. Al-Naml [27]:33)[6]


Makna Kekuatan Tuhan
Imam Shadiq As bersabda, “Tuhan kami – yang mahabesar nan agung – disebut qawi karena ciptaan-Nya agung dan kukuh yang telah menciptakan bumi dan segala apa yang ada di dalamnya, gunung-gunung, laut-laut, pasir-pasir dan pepohonan serta apa yang diciptakan yaitu segala yang bergerak di dalamnya dari kalangan manusia dan hewan, Dialah yang menggerakkan angin, menahan awan-awan yang mengandung hujan yang berat dari air, matahari, bulan, dan kebesaran keduanya serta kebesaran cahayanya yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa manusia dan tidak terbatas, dan bintang gemintang, planet-planet  berputaran dan langit yang mahaluas menggantung di atas kita dan bumi yang menjuntai dan segala yang dikandungnya dan segala yang diciptakan... dengan demikian Dia disebut qawi, bukan dari apa yang kita kenal dari ciptaan-ciptaan, yang digenggam dan dicengkram kuat dan apabila kekuatan-Nya mirip dengan kekuatan ciptaan maka akan ada yang mirip dengan-Nya dan (Tuhan) dan kemungkinan Tuhan itu banyak dan apabila banyak maka hal itu menunjukkan kekurangan dan apa yang kurang itu  tidak sempurna dan apa yang tidak sempurna itu tidak mampu dan tidak berdaya sementara Allah Swt tidak ada yang serupa dengan-Nya dan sesungguhnya kita berkata, “Dia kuat bagi ciptaan yang kukuh dan demikian kita berkata, agung dan besar.”[7]

Ciri-ciri Kuat-Nya Allah Swt
  1. Rasulullah Saw bersabda, “Segala puji bagi Allah yang menguasai segala sesuatu dan kekuasaannya pada segala sesuatu dan berasal dari-Nya.”[8]
  2. Rasulullah Saw bersabda, “Tuhanku! Engkau hidup tidak akan mati.. engkau kuat dan tidak akan lemah, engkau tabah dan tidak tergesa-gesa.”[9]
  3. Imam Ali As bersabda, “Tuhanku! Aku bermohon kepadamu.. dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu dan segala sesuatu tunduk pada-Nya dan segala sesuatu tunduk di hadapan-Nya.”[10]
  4. Imam Ali As dalam menjelaskan makna Allahu Akbar dalam adzan, ucapan (muaddzin) yang berkata Allahu Akbar memiliki banyak makna: makna ketiga Allahu Akar, artinya bahwa Allah Swt berkuasa atas segala sesuatu dan berkehendak atas segala sesuatu. Kekuasaan-Nya disebabkan oleh kekuatan-Nya dan sangat berkuasa atas ciptaan-ciptaan-Nya, berkuasa pada dzat-Nya. Kekuasaannya kokoh di atas segala sesuatu. Tatkala Dia menghukumi sesuatu, Dia hanya berkata, “Jadilah”[11] Maka jadilah ia.”[12]
  5. Imam Musa Kazhim As bersabda, “Segala sesuatu yang berkuasa tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah Swt.”[13]
Dengan pandangan seperti ini disebutkan dalam beberapa doa dzikir Ya Qawiyyu[14] seperti Ya Qawiyyu irham da’fi (Wahai Yang Mahakuasa kasihilah kelemahanku.)[15]

Kesimpulan:
Dengan memperhatikan Al-Quran dan hadis-hadis dapat disimpulkan bahwa:
  1. Sifat qawi merupakan salah satu sifat dzati dan sifat fi’li. Allah Swt itu qawi artinya bahwa Dia itu tidak lemah dan kalimat Qawi «قَوِی لَا تَضْعُف‏»[16] Kuat dan takkan lemah tengah menyinggung makna ini. Dan Allah Swt itu qawwi sebagai sifat fi’li (perbuatan) bermakna menciptakan makhluk-makhluk yang kuat dan redaksi kalimat, “«إِنَّمَا قُلْنَا إِنَّهُ قَوِی لِلْخَلْقِ الْقَوِی» Sesungguhnya kami berkata bahwa Dia itu kuat lantaran menciptakan makhluk-makhluk kuat.” Tengah menyoroti makna qawi sebgai sifat perbuatan.
  2. Mengingat bahwa seluruh makhluk tercipta dalam kaitannnya dengan kodrat Allah Swt menjadi jelas tiada kekuatan yang lebih unggul melebihi kekuatan Allah Swt. Karena itu, apabila segala sesuatu selain Allah Swt disifatkan sebagai kuat, lantaran dibandingkan dengan sesuatu yang lebih lemah. Namun sesuatu yang kuat ini dibandingkan dengna sesuatu yang lebih kuat akan tergolong sebagai sesuatu yang lemah.  Karena itu segala sesuatu yang kuat ketika dibandingkan dengan sesuatu di atasnya maka ia akan lemah hingga silsilah ini berujung pada kodrat dan kekuatan Allah Swt. Allah Swt adalah Mahakuat dibandingkan dengan segala sesuatu dan tiada kelemahan yang terdapat pada diri-Nya.[17]
 

[1]. “Segala kekuatan adalah milik Allah.” (Qs. al-Baqarah [2]:165); Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” (Qs. Al-Dzariyat [51]:85); “Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Hud [11]:66); “Dia memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Syura [42]:19) dan lain sebagainya.  
[2]. Silahkan lihat, Muhammad bin Hasan Syaikh Thusi, Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 802, Tehran, al-Maktabah al-Islamiyah, Tanpa Tahun; Ali bin Musa IbnuThawus, Iqbal al-A’mal, jil. 1, hal. 412, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1367 S.  
[3]. Silahkan lihat, Ahmad bin Faris Ibnu Faris, Mu’jam al-Maqâyis al-Lughah, jil. 5, hal. 36, Maktabah al-I’lam al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1404 H; Fuad Afram Bastani, Farhang Abjadi ‘Arabi-Persia, Penj. Ridha Mihyar, hal. 711, Tehran, Intisyarat Islami, Cetakan Kedua, 1375 S.  
[4]. Nisywan bin Said Himyari, Syams al-‘Ulum wa Dawa Kalam al-‘Arab min al-Kulum, jil. 8, hal. 5677, Dimasyq, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1420 H.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabatabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 18, hal. 389, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, 1417 H.  
[6]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, hal. 694, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.   
[7]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal.. 193-194, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan Kedua, 1403 H.
[8]. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj ‘ala Ahli al-Lujâj, jil. 1, hal. 58, Masyhad, Nasyr Murtadha, Cetakan Pertama, 1403 H.  
[9]. Iqbâl al-A’mâl jil. 1, hal. 436.  
[10]. Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 844.  
[11]. Muhammad bin Ali Syaikh Shaduq, al-Tauhid, hal. 238, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1398 H.  
[12]. Ali bin Musa Ibnu Thawus, Mihaj al-Da’wah wa Minhâj al-Ibâdah, hal. 26, Qum, Dar al-Dzakha’ir, Cetakan Pertama, 1411 H.  
[13]. Silahkan lihat, Mishbâh al-Mutahajjid wa Silâh al-Muta’abbid, jil. 2, hal. 802; Iqbal al-A’mal, jil. 1, hal. 412.  
[14]. Bihâr al-Anwâr, jil 91, hal. 138.   
[15]. Iqbâl al-A’mâl, jil. 1, hal. 436.  
[16]. Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 194.
[17]. Ibnu Maitsam Bahrani, Syarh Nahj al-Balâghah, Penj. Qurban Ali Muhammadi Muqaddam, Ali Asghar Nawai Yahyazadeh, jil. 2, hal 367, Masyhad, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1417 H.

Kita Diciptakan Seperti Alquran Bukan Seperti Makhluq Lainnya.


Sayyidah Fatimah az-Zahra as bersabda:
 
من اصعد الى الله خالص عبادته اهبط الله اليه افضل مصلحته

“Barang siapa yang datang kepada Allah dengan sepenuh penghambaan, Allah akan menurunkan sebaik-baiknya kemaslahatan padanya”

Kita dengan menunggangi amal saleh yang kita lakukan setiap hari, maka kita akan sampai kepada Allah SWT, walau jalan untuk sampai kepadaNya masih membutuhkan petunjuk dan pertolonganNya, namun untuk tahap selanjutnya pasti akan Ia urus.

Penjelasan sabda yang disampaikan oleh Sayyidah Fatimah as adalah sebagai berikut:  Di setiap perjalanan yang kita lakukan, kita membutuhkan perbekalan yang memang khusus kita istimewakan untuk perjalanan tersebut. Oleh karena itu perjalanan yang hendak kita lakukan melewati darat, laut atau udara, perbekalan yang kita siapkan untuk setiap perjalanannya sangatlah berbeda. Begitu pula jika kita ingin melakukan perjalanan untuk sampai kepada Allah SWT, yang  dalam istilah Mulla Sadra “perjalanan dari makhluk kepada yang maha haq”, kita membutuhkan perbekalan.


Nah sekarang bekal apa kira-kira yang pantas untuk kita bawa dalam perjalanan ini? Bekal yang patut kita bawa adalah sebuah bekal kelembutan yang sangat, sehingga kalau bukan dengan itu, keadilan yang dipenuhi dengan kelembutan dan keindahannya pun tidak dapat kita jadikan bekal untuk sampai kepada Allah SWT, dengan kata lain keadilan pun tidak dapat menjadi tunggangan yang baik dalam menempuh perjalanan ini (perjalanan untuk sampai kepada Allah SWT). Karena keadilan adalah merupakan sebuah tangga seperti pesawat, yang hanya dapat menyampaikan manusia menuju penyembahan (kedekatan) kepada Allah SWT, tapi tidak memiliki seni mengangkat manusia adil untuk sampai kepadaNya. Karena seorang yang adil adalah seorang yang mengamalkan segala apa yang diperintah dan menjauhi segala apa yang dilarang, walaupun pada akhirnya Allah menjanjikan ia masuk surga. Adapun metode kita untuk sampai kepada Allah SWT, adalah seperti firman Allah SWT yang berbunyi: 

“ Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang berkuasa”. (QS, al-Qamar, 54-55).
 
Keadilan hanya dapat dijadikan sebagai alat untuk itu, namun untuk sampai kepada Allah bukan dengan keadilan, karena firman Allah SWT yang berbunyi: 
“Berlaku adillah kalian, karena keadilan itu lebih dekat dengan ketakwaan”.(QS, al-Maidah,8) .

karena keadilan adalah jalan bukan tujuan, keadilan adalah alat bukan wasilah penyembahan. 

Dari firman Allah diatas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah sebuah tangga yang  menyampaikan kita kepada ketaqwaan. Nah waktu itulah, ketika kita sampai pada ketaqwaan, yang mana taqwa adalah sebaik-baiknya bekal.  

Firman Allah:

تزودا فان خير الزاد التقوا

“Berbekallah kalian, karena sebaik-baiknya bekal adalah taqwa”(Surah Albaqarah 197).

Oleh karena itu sebaik-baiknya bekal untuk sampai kepada Allah adalah takwa. Inilah isi kandungan kalam dan sabda dari Sayyidah Fathimah Zahra as yang dengan amal saleh, kita dapat sampai dan merasakan kehadirat Allah SWT. Ia yang akan memenuhi segala kebutuhan dunia dan akherat.
            
Allah SWT menciptakan kita sebagaimana Ia menciptakan makhluk  lainnya, hanya saja penciptaan kita seperti Alquran, tidak seperti makhluk lainnya, karena seluruh makhluk (selain manusia) diciptakan dan diturunkan kebumi ini dengan cara dijatuhkan, seperti hujan, besi dan lain-lainnya, kemudian diletakkan di dalam perut bumi. Adapun  Alquran tidak dijatuhkan ke bumi akan tetapi digantungkan ke bumi, Allah berfirman:


انا انزلناه في ليلة القدر

Sesungguhnya kami turunkan alquran pada malam yang disebut dengan lailatul qadr  (Surah Alqadr 1). 

Alquran adalah merupakan sebuah tali Allah yang kuat dan tambangNya yang kokoh, yang tak akan pernah putus, yang pangkalnya ada di tangan Tuhan dan ujungnya ada di tangan kita, manusia. Nah jiwa dan ruh kita pun sama seperti alquran, yaitu ruh yang berada di badan kita, sifatnya bergantung, firman Allah:
و نفخت فيه من روحي

“Dan aku tiupkan ke dalam tubuhnya, sebagian dari ruhku” (Surah Alhijr 29. Surah shad 72).

Ini ruh, yang berada di dalam tubuh kita, telah disandarkan dan dinisbatkan Allah padaNya, oleh karena itu, ruh kita sifatnya peniupan dan bergantung, persis seperti alquran yang senantiasa kekal dan abadi; dan dengan ruh ini, kita selalu, bahkan senatiasa terus mengadakan kontak hubungan dengan Allah SWT. Dengan demikian, seandainya kita mengetahui kadar dan hakikat makna dan arti ruh penciptaan kita yang sebenarnya, maka saat itulah kita akan sadar bahwa dengan siapakah sebenarnya kita mengadakan hubungan…..????!!!!! 

Mengenai hal ini pun, Allah SWT dalam ayat lain berfirman:

 وطهر بيتي 

“Maka sucikanlah rumahku” (Surah Alhajj 26).

Allah SWT menisbatkan dan menghiasi Ka’bah dengan huruf “Ya” yang seakan menekankan bahwa ini rumah adalah rumahku, demikian pula hubungannya dengan ruh yang berada pada jasad kita ini, karena Allah SWT juga menisbatkan dan menghiasinya sama dengan “Ya” mutakalim, yang posisinya sama dengan rumahku tadi. Dengan demikian tidak semestinya ruh yang ada pada jasad kita ini, kita cemari dan hiasi dengan warna dan corak apapun, selainNya, karena seindah-indahnya hiasan untuk ruh kita adalah hubungan kita dengan Allah SWT. Dan hubungan ini sifatnya sangat berbeda dengan seluruh makhluk, dimana pada setiap malam, Allah SWT menarik dan mengambil ruh ini dan dibawa ke sisiNya, kemudian mengembalikannya untuk kesekian kalinya ke badan kita. Dan inilah yang disebut dengan kata bergantung dan berhubungan.

Firman Allah SWT:

هو الذي يتوفاكم باليل و يعلم ما جرحتم بالنهار

“Dialah yang mematikan kalian pada malam hari dan mengetahui apa yang kalian perbuat pada siang hari” (Surah Al-An’am 60).

Oleh karena itu, jangan sekali-kali kita anggap diri kita asing dari Tuhan, karena Tuhan  telah menerima kita untuk menjadi hambaNya dan kita telah menerimaNya sebagai Tuhan. Ia selalu ada dalam  diri kita dan kita ada dalam pandangannya. Hubungan kita dengan Allah tidak akan pernah putus dan akan tetap selalu ada. Sabda nabi saw dalam kitab Nahjul Fasohah:

قلب مؤمن بين اسبعين من اسابع الرحمن

“Hati dan jiwa seorang mukmin berada diantara jemari Tuhan” 

Ketika berada diantara jemari Tuhan, dan bukan berada ditangan Tuhan, yang hal itu adalah salah satu esensi penciptaan(*karena biasanya menciptakan dan membuat sesuatu itu selalu dinisbatkan pada tangan bukan pada jari jemari.) Dan karena hati dan jiwa kita adalah merupakan sebuah tempat yang lembut, yang hanya dapat disentuh dengan jari, maka Allah pun memperlakukannya dengan jari-jemari rahmatNya, dan hal yang demikian ini akan tetap selalu ada. Oleh karena itu jika kita berusaha dekat dan taat kepadaNya dengan melewati jalan yang lurus dengan baik, walaupun dalam perjalanan menuju Allah kita kehilangan kunci,   عنده مفاتيح الغيب  itu lebih baik, karena yang penting adalah kita tidak kehilangan pintu, yang seandainya tanpa kunci pun kita duduk didepannya, pada akhirnya pintu itu akan terbuka juga. 

Dengan demikian tugas terpenting yang harus kita lakukan dalam mengemban dan menjalankan amal sholeh adalah: Di setiap tempat dan dimanapun kita berada, hendaknya kita kaji dan pelajari kembali secara teliti dan cermat, bahwa pada setiap sudut dari apa yang ada di alam ini, terdapat rahasia dan hikmah Allah SWT.

Imam Shodiq as bersabda:
       
Jika  ada seorang yang hadir dihadapanmu, dan kamu ada dihadapannya, pertama yang kamu lakukan adalah melihatnya, setelah itu mengenalnya, baru kemudian kamu memperhatikan dan mengamati sifat-sifatnya, karena sebelum mengenal sifat-sifatnya, yang kamu kenal adalah sesuatu yang hadir dihadapanmu(sesuatu yang tampak/dzahir). Adapun jika ia absent(ghaib) , pertama yang engkau kenal dan ketahui adalah sifat-sifatnya, kemudian dengan jalan tersebut, engkau dapat mengetahui siapa  pemilik sifat-sifat itu, karena kita dapat mengetahui dan mengenal sesuatu yang absent, setelah mengetahui terlebih dahulu sifat-sifatnya. 

Kemudian untuk memperjelas hadits diatas Imam meneruskan sabdanya dengan mengambil sebuah contoh yang ada dalam Alquran, dengan suatu peristiwa yang terjadi pada saudara-saudara nabi Yusuf, Allah SWT berfirman:  انك لانت يوسف  setelah mengalami kepedihan dan kepahitan, dengan apa yang terjadi, baru mereka sadar dan mengetahui siapa sebenarnya tuan yang memberikan makanan kepada mereka, dan dengan terperanjat mereka mengatakan: “Apakah anda adalah yusuf yang kami kenal itu” yaitu mereka mengenal dan mengetahui Yusuf dari kata “anta” dengan kata lain dari kata   “anta”  kemudian mereka mengenal dan mengetahui siapa itu Yusuf. Bukan sebaliknya. Yaitu dari Yusuf kemudian ke “anta”.  

Demikian pula kita sebagai hambaNya, kita pun akan merasakan kelezatan dan kenikmatan ibadah, jika kita juga melakukannya dengan metode yang demikian ini.  

Jalan ini terbuka untuk semua kalangan dan golongan, karena setiap malam kita adalah merupakan tamu-tamu Allah SWT, oleh karena itu jika hari-hari yang kita miliki ini dapat kita kendalikan, maka pada malamnya kita akan mengalami mimpi yang indah. Dan jika suatu hari kita menjadi seorang yang memiliki kedudukan dan tanggung jawab, jalan orang lain tidak kita tutup dan tidak pula kita tersesat, kehilangan jalan.[]    


(Disadur dari ceramah Ayatullah Jawadi Amoli yang beliau sampaikan dalam acara peringatan hari kelahiran sayyidah Fathimah Azzahra, yang dimuat pada koran ufuq-e hauzeh. Dan artikel ini pernah juga dimuat dalam site islamalternatif.com)

Terkait Berita: