Apakah sedemikian remeh kau tawarkan surga hanya dengan sebutir kurma?
Suatu ketika, seorang pemuda Muslim merasa lapar dan tidak memiliki sedikit pun harta untuk membeli makanan. Batinnya pun tergerak untuk keluar rumah dan berusaha mencari apa pun yang mungkin bisa ia kerjakan dan kiranya dapat menghasilkan pundi uang guna ditukar dengan makanan.
Sayangnya, setelah ia melintasi padang
pasir yang cukup jauh, tak satu pun orang yang ia temui. Alhasil, ia pun
memilih berteduh di bawah salah satu pohon kurma. Tanpa sengaja, dia
tertubruk jumputan buah kurma yang menjuntai hampir menyentuh tanah.
Melihat tak ada satu manusia pun melihat
dirinya, dan didorong rasa lapar nan haus yang amat sangat, ia pun
memutuskan untuk segera memetik dan melahapnya.
Namun, tanpa diduga, sang pemilik kebun
datang memergoki perbuatannya. Tak menunggu lama, sang pemilik kebun
yang terkenal kikir itu langsung saja menghardik dan mengacungkan parang
ke depan matanya.
“Dasar pemuda miskin, akan aku adukan perbuatanmu ini ke hadapan Rasulallah. Biar tanganmu dipotong!”
Pria miskin itu hanya diam dan menurut
ketika tangannya ditarik dengan keras menuju rumah Nabi akhiruzzaman.
Tentu ia merasa bersalah dengan apa yang barusan saja dilakukan. Namun,
hati kecilnya sedikit berontak, “Mengapa tanganku akan dipotong hanya
dengan memakan sebutir kurma? Begitukah kekejaman Islam terhadap orang
miskin sepertiku?” batinnya terus menggerutu seraya pasrah digiring oleh
sang pemilik kebun.
“Ya Rasul, ia telah mencuri di kebunku.
Bukankah balasan sang pencuri adalah potong tangan? Maka potonglah
tangan pemuda miskin ini!” ujar pemilik kebun kepada Rasul Saw.
“Apa yang kau curi, wahai saudaraku?” tanya Rasul dengan lembut.
“Maafkan aku, ya Rasulullah. Aku telah
mencuri sebutir kurma dari kebun bapak ini. Rasa laparku membuatku
khilaf akan harta orang lain,” jawab pemuda itu seraya merunduk malu.
Rasul Saw. menghela napas sejenak.
Beliau memandang keduanya, satu persatu. Dipandangnya perlahan, dan
kemudian berkata kepada sang pemilik kebun, “Saudaraku, mengapa tidak
engkau sedekahkan saja sebutir kurma milikmu itu?”
“Memangnya aku akan dapat apa kalau menyedakahkan kurma itu?” Jawab sang pemilik kebun, bernada menantang.
“Allah akan menggantinya dengan pahala yang berlipat dan surga.” Jawab Rasul sambil tersenyum penuh optimis.
Sang pemilik kebun terlihat diam. Ia
menerawang seraya mengangkat kepalanya ke arah langit. Menimbang-nimbang
kebenaran janji yang baru saja disebutkan Rasulullah untuknya.
“Ah, apakah sedemikian remeh kau
tawarkan surga hanya dengan sebutir kurma? Lagi pula, hari akhirat masih
terlalu jauh. Pahala dan surga masih begitu tak terlihat. Tidak ya
Rasul, aku tidak mau menukar hartaku untuk sesuatu yang belum jelas
dilihat. Sudahlah, potong saja tangan pemuda ini, biar dia kapok.”
Sergah pemilik kebun tak percaya.
Rasul tersentak, tak terbayang olehnya
kekikiran yang dimiliki oleh umatnya yang satu ini. Tiba-tiba, datanglah
seorang pria di hadapan mereka.
“Wahai pemilik kebun, bagaimana jika engkau jual saja kebun itu padaku?” tawar sang pria berusaha menengahi.
Rasul dan pemilik kebun itu tertegun.
Pada saat bersamaan keduanya menoleh pada sumber suara. Pemilik kebun
itu berkata padanya, ”Aku tidak akan menjual pohon kurma itu dengan
harga murah.”
“Baik, berapa yang kau minta demi pohon kurma itu?”.
“Apakah kau berani menukar sebatang pohon kurmaku dengan 40 batang?” nada kesombongan terlihat.
“Harga yang amat fantastis,” jawab sang
pria. “Tapi, aku akan membelinya dengan harga yang kau patok itu.
Kenikmatan surga tidak sebanding dengan mahalnya dunia.” lanjutnya.
Akhirnya, pohon itu dijual dengan 40
batang kurma. Kemudian, pembeli pohon tadi mengikhlaskan sebutir kurma
yang telah dimakan pria miskin tersebut sebagai sedekah.
-----
Konon, kisah ini menjadi penyebab bagi
turunnya surat Al-Lail ayat 5-11, yang artinya, “Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), Maka Kami (Allah) kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang bakhil dan
merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami
akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak
bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. Al-Lail (92): 5-11).
Begitulah manusia. Kadang, kita lebih
cenderung menyukai hal-hal yang tampak oleh mata dan bersifat materi
ketimbang percaya dengan janji Allah. Bahkan, Rasul sendiri yang
menawarkan langsung pahala dan surga itu. Namun, sang kikir masih enggan
percaya. Lantas, bagaimana dengan umat di zaman sekarang—yang telah
jauh ditinggalkan Rasul—dan hanya diberikan warisan berupa ayat dan
hadis? Bukankah hanya dengan mempercayai apa yang diucapkan Rasul dan
dituangkan dalam warisannya (Qur’an dan hadis), niscaya kita akan
selamat?