Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label kajian serial. Show all posts
Showing posts with label kajian serial. Show all posts

Zikir dan Nalar, Dua Sayap Kesempurnaan Manusia


Salah satu bentuk terindah interaksi dengan Tuhan adalah zikir. Zikir memiliki arti mengingat. Mengingat Tuhan akan membuat jiwa seseorang bersih dan suci serta segala kekotoran yang bersarang di hati seseorang akan tersapu bersih. Oleh karena itu, zikir termasuk sifat para nabi dan nama Kitab Suci al-Quran. Dalam surat at-Talaq, ayat 10-11 Allah Swt menyebutkan, "Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya."

Selain itu, salah satu nama dari al-Quran adalah al-Dzikr seperti yang disebutkan oleh ayat 9 Surat al-Hijr yang artinya," Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr (Al Quran), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." Sebab dari penamaan nabi dan al-Quran dengan al-Dzikr, dikarenakan keduanya mengingatkan manusia kepada Tuhan, menyingkirkan awan kelalaian dan alpa dari hati manusia serta memberi cahaya Ilahi kepada hati-hati tersebut.

Salah satu dari manfaat mengingat Tuhan adalah ketenangan hati. Sejatinya mengingat Tuhan (Zikir) adalah obat untuk mengatasi stress dan penyakit jiwa. Stress kontradiksi dengan kestabilan jiwa yang diharapkan manusia serta akan menimbulkan berbagai penyakit kejiwaan. Ketenangan jiwa adalah tuntutan fitrah manusia serta berbagai aktivitas manusia sejatinya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan ini.

Masih banyak perbedaan dalam menentukan hal-hal yang membuat tenang kehidupan seseorang. Banyak yang memandang ketenangan jiwa dapat diraih dengan kekayaan dan harta yang melimpah serta kesejahteraan hidup dari sisi materi. Sebagian lain memandang pangkat dan kedudukan sebagai faktor ketenangan jiwa. Namun dalam pandangan al-Quran ketenangan jiwa hanya dapat diraih dengan mengingat Tuhan (berzikir) dan hal ini dijelaskan secara transparan dalam Surat al-Raad ayat 28, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."

Mencapai hikmah Ilahi merupakan manfaat dan dampak lain dari berzikir dan mengingat Tuhan. Zikir meningkatkan kekuatan penalaran manusia, karena Allah Swt mengulurkan bantuan-Nya terhadap kekuatan berfikir manusia yang menggunakan akalnya. Selain itu, al-Quran yang juga disebut sebagai al-Dzikr dan pengingat Tuhan, dalam berbagai ayatnya banyak memberi wejangan dan perintah untuk berfikir. Sejatinya Allah Swt menjadikan berfikir sebagai penyempurna mengingat Diri-Nya. Allah Swt dengan beragam cara menyeru manusia untuk memperhatikan urgensitas berfikir dan memperhatikan alam sekitarnya.

Dalam Surat Aali Imran ayat 191 Allah Swt berfirman, "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

Berdasarkan ayat ini, sifat pertama orang yang berakal adalah senantiasa mengingat Tuhan dalam kondisi apapun. Dalam persepsi ayat ini, orang berakal satu detik pun tidak pernah alpa mengingat Tuhan. Ia menyakini Allah Swt senantiasa mengawasinya dan hadir di sisinya. Ia juga meyakini dirinya selalu berada dalam pengawasan Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini, berbagai kondisi dan tempat tidak menjadi penghalang untuk mengingat Tuhan. Orang seperti ini persis seperti yang dijelaskan oleh ayat 37 Surat an-Nur, "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang."

Di bagian kedua ayat 191 Surat Ali Imran, orang-orang yang berakal selain merenungkan ciptaan Allah Swt juga berkata, "...Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." Sejatinga penggalan kedua ayat ini menjelaskan karakteristik lain orang berakal yakni berfikir. Islam sangat menekankan kepada manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Oleh karena itu tak heran, karakteristik kedua orang berakal setelah mengingat Tuhan adalah berfikir.

Perhatian besar pada potensi besar ini bukan hanya dimonopoli oleh al-Quran, para pemimpin agama suci ini dalam berbagai wejangan mereka juga kerap mewasiatkan umatnya untuk menjaga dan menggunakan dengan baik kekuatan berfikir yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Misalnya Imam Hasan Askari as bersabda, "Tolok ukur penghambaan dan ibadah bukan kwantitas puasa serta shalat, namun ibadah diukur dari banyaknya merenungkan ciptaan Allah dan memikirkan berbagai tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta."

Ayat 17-18 Surat al-Zumar Allah Swt berfirman, "Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal."

Dalam dua ayat ini, Allah Swt dengan jelas menguraikan sifat lain dari orang-orang berakal. Sifat tersebut adalah memilih kata-kata yang baik ketika berbicara. Bagi pribadi yang berakal, sosok yang berbicara bukan penting, namun kandungan dari pembicaraan tersebut yang mereka pandang. Mereka akan menerima nasehat dan pembicaraan yang baik, meski yang pembicara bukan pribadi yang ideal menurut mereka.

Hal ini dikarenakan orang berakal yakin atas sabda Rasulullah Saw, "Hikmah dan ilmu adalah milik mukmin yang hilang dan jika ia menemukannya maka harus diambil." Bagi orang berakal pembicaraan yang baik meski keluar dari mulut orang yang tidak seakidah dengannya atau tidak sejalan pemikiran dengan dirinya, pasti ia terima. Karena menurutnya, pembicaraan dan nasehat yang baik ibaratnya mutiara yang bersinar dalam diri orang-orang yang berperilaku buruk. Imam Ali as bersabda, "Ilmu dan kebenaran adalah milik mukmin yang hilang, maka jika ia menemukannya,pelajarilah meski dari orang munafik."

Akhirnya zikir dan berfikir ibaranya dua sayap untuk terbang. Jika salah satunya hilang maka kita tidak dapat terbang. Keduanya saling melengkapi. Seseorang yang hanya berzikir namun lalai dari berfikir, tidak mungkin menjadi manusia yang sempurna. Sebaliknya, manusia yang hanya mementingkan berfikir tanpa mengindahkan zikir, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang berakal.

Jika kita memperhatikan sejarah peradaban dan budaya manusia, kita saksikan bahwa kebanyakan bencana yang menimpa manusia disebabkan mereka lalai salah satu dari dua unsur vital ini. Artinya, mereka di sebagian kasus hanya mementingkan zikir dan di kasus lain hanya menggunakan nalar untuk berfikir tanpa diimbangi dengan zikir. Akibatnya mereka tidak pernah sampai pada tujuan yang ingin diraih, malah terjebak ke dalam kesesatan.

Mereka yang berpandangan zikir terpisah dari nalar serta hanya disibukkan dengan berzikir telah menebarkan irfan sesat dan menyimpang dengan irfan sejati yang maksudkan oleh Islam di tengah-tengah masyarakat. Mereka kemudian menyeret masyarakat ke arah kesufi-sufian. Sebagian lain menganggap nalar sudah cukup bagi manusia dan lalai dari zikir serta menginga Tuhan. Orang-orang seperti ini pada akhirnya terseret ke lembah materialisme. Sejumlah dari kelompok ini yang menfokuskan kekuatan nalarnya di bidang ilmu eksakta  dan segala sesuatu diukur dengan ilmu empiris maka ia akan menyeleweng sangat jauh dan bahkan akan mengingkari keberadaan Tuhan.

Sebutir Kurma Berbuah Surga


Apakah sedemikian remeh kau tawarkan surga hanya dengan sebutir kurma?

Suatu ketika, seorang pemuda Muslim merasa lapar dan tidak memiliki sedikit pun harta untuk membeli makanan. Batinnya pun tergerak untuk keluar rumah dan berusaha mencari apa pun yang mungkin bisa ia kerjakan dan kiranya dapat menghasilkan pundi uang guna ditukar dengan makanan.

Sayangnya, setelah ia melintasi padang pasir yang cukup jauh, tak satu pun orang yang ia temui. Alhasil, ia pun memilih berteduh di bawah salah satu pohon kurma. Tanpa sengaja, dia tertubruk jumputan buah kurma yang menjuntai hampir menyentuh tanah.

Melihat tak ada satu manusia pun melihat dirinya, dan didorong rasa lapar nan haus yang amat sangat, ia pun memutuskan untuk segera memetik dan melahapnya.

Namun, tanpa diduga, sang pemilik kebun datang memergoki perbuatannya. Tak menunggu lama, sang pemilik kebun yang terkenal kikir itu langsung saja menghardik dan mengacungkan parang ke depan matanya.

“Dasar pemuda miskin, akan aku adukan perbuatanmu ini ke hadapan Rasulallah. Biar tanganmu dipotong!”
Pria miskin itu hanya diam dan menurut ketika tangannya ditarik dengan keras menuju rumah Nabi akhiruzzaman. Tentu ia merasa bersalah dengan apa yang barusan saja dilakukan. Namun, hati kecilnya sedikit berontak, “Mengapa tanganku akan dipotong hanya dengan memakan sebutir kurma? Begitukah kekejaman Islam terhadap orang miskin sepertiku?” batinnya terus menggerutu seraya pasrah digiring oleh sang pemilik kebun.

“Ya Rasul, ia telah mencuri di kebunku. Bukankah balasan sang pencuri adalah potong tangan? Maka potonglah tangan pemuda miskin ini!” ujar pemilik kebun kepada Rasul Saw.

“Apa yang kau curi, wahai saudaraku?” tanya Rasul dengan lembut.

“Maafkan aku, ya Rasulullah. Aku telah mencuri sebutir kurma dari kebun bapak ini. Rasa laparku membuatku khilaf akan harta orang lain,” jawab pemuda itu seraya merunduk malu.

Rasul Saw. menghela napas sejenak. Beliau memandang keduanya, satu persatu. Dipandangnya perlahan, dan kemudian berkata kepada sang pemilik kebun, “Saudaraku, mengapa tidak engkau sedekahkan saja sebutir kurma milikmu itu?”

“Memangnya aku akan dapat apa kalau menyedakahkan kurma itu?” Jawab sang pemilik kebun, bernada menantang.

“Allah akan menggantinya dengan pahala yang berlipat dan surga.” Jawab Rasul sambil tersenyum penuh optimis.

Sang pemilik kebun terlihat diam. Ia menerawang seraya mengangkat kepalanya ke arah langit. Menimbang-nimbang kebenaran janji yang baru saja disebutkan Rasulullah untuknya.

“Ah, apakah sedemikian remeh kau tawarkan surga hanya dengan sebutir kurma? Lagi pula, hari akhirat masih terlalu jauh. Pahala dan surga masih begitu tak terlihat. Tidak ya Rasul, aku tidak mau menukar hartaku untuk sesuatu yang belum jelas dilihat. Sudahlah, potong saja tangan pemuda ini, biar dia kapok.” Sergah pemilik kebun tak percaya.

Rasul tersentak, tak terbayang olehnya kekikiran yang dimiliki oleh umatnya yang satu ini. Tiba-tiba, datanglah seorang pria di hadapan mereka.

“Wahai pemilik kebun, bagaimana jika engkau jual saja kebun itu padaku?” tawar sang pria berusaha menengahi.

Rasul dan pemilik kebun itu tertegun. Pada saat bersamaan keduanya menoleh pada sumber suara. Pemilik kebun itu berkata padanya, ”Aku tidak akan menjual pohon kurma itu dengan harga murah.”
“Baik, berapa yang kau minta demi pohon kurma itu?”.

“Apakah kau berani menukar sebatang pohon kurmaku dengan 40 batang?” nada kesombongan terlihat.
“Harga yang amat fantastis,” jawab sang pria. “Tapi, aku akan membelinya dengan harga yang kau patok itu. Kenikmatan surga tidak sebanding dengan mahalnya dunia.” lanjutnya.

Akhirnya, pohon itu dijual dengan 40 batang kurma. Kemudian, pembeli pohon tadi mengikhlaskan sebutir kurma yang telah dimakan pria miskin tersebut sebagai sedekah.
-----
Konon, kisah ini menjadi penyebab bagi turunnya surat Al-Lail ayat 5-11, yang artinya, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), Maka Kami (Allah) kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. Al-Lail (92): 5-11).

Begitulah manusia. Kadang, kita lebih cenderung menyukai hal-hal yang tampak oleh mata dan bersifat materi ketimbang percaya dengan janji Allah. Bahkan, Rasul sendiri yang menawarkan langsung pahala dan surga itu. Namun, sang kikir masih enggan percaya. Lantas, bagaimana dengan umat di zaman sekarang—yang telah jauh ditinggalkan Rasul—dan hanya diberikan warisan berupa ayat dan hadis? Bukankah hanya dengan mempercayai apa yang diucapkan Rasul dan dituangkan dalam warisannya (Qur’an dan hadis), niscaya kita akan selamat?

Saudara Kembar Setan


“Tidaklah beriman kepada-Ku (Allah) orang yang tidur, kenyang, sedangkan tetangganya lapar, padahal ia mengetahuinya”(HR. Al Bazzar).

Ada seorang laki-laki begitu menginginkan anak. Namun, di usia pernikahannya yang menginjak sepuluh tahun, keinginannya itu tak jua terlaksana. Padahal, segala hal sudah ia lakukan. Bahkan, ia sudah mengucap berbagai nadzar, dari yang ringan hingga dirasa berat sekali pun. Namun, Allah tidak juga mengabulkan.

Hingga pada suatu hari ia mengucap, “Andai aku dikaruniai anak, aku akan bersedekah kepada saudara setan 50 Dinar,” gerutunya putus asa.

Tak lama kemudian, istrinya hamil dan melahirkan seorang putra yang sehat lagi menggemaskan. Selang beberapa waktu pasca kelahiran putranya, laki-laki itu bertemu setan dalam mimpinya.

“Jangan lupakan nadzarmu untuk bersedekah kepada saudara-saudaraku!” Ujar setan.
“Siapakah saudara-saudaramu?” tanya sang lelaki.
“Carilah pezina, pemabuk, penjudi, pendurhaka kepada kedua orangtua dan orang kikir lagi serakah. 
 Mereka itulah saudara-saudaraku,” jawab setan.

Setelah terbangun dari tidurnya, ia segera bergegas keluar rumah. Dengan bekal uang yang pernah dijanjikan dalam nadzarnya, ia berkeliling mencari saudara-saudara setan yang disebutkan dalam mimpi.

Orang pertama yang ditemui adalah pezina. Ketika disodorkan uang 50 Dinar, pezina itu heran dan bertanya, “Mengapa kau memberiku uang?” Laki-laki itu lalu mengisahkan nadzar dan mimpinya.

Mendengar cerita laki-laki itu, sang pezina langsung meneteskan air mata, dan kemudian tersungkur dalam sujud taubat. “Tidak, berikan saja ini pada yang lain. Demi Allah, saya bertaubat. Demi Allah, saya tidak mau menjadi saudara setan,” ucapnya seraya menolak pemberian lelaki tersebut.

Melihat usahanya sia-sia, ayah sang bayi pun segera mencari saudara setan berikutnya. Dan, ia pun bertemu dengan pemabuk. Hal yang sama ia lakukan pada sang pemabuk, menyodorkan uang 50 Dinar berikut cerita nadzarnya. Namun, sang pemabuk pun melakukan hal yang sama dengan pezina. Ia tersungkur lemas, bersujud dan tak henti-hentinya mengucap istighfar.

Begitu pula saat ia bertemu dengan penjudi dan pendurhaka kedua orang tua. Mereka langsung menangis seraya tak henti mengucap istighfar. Mereka pun melakukan hal yang sama, menolak uang 50 Dinar dari laki-laki tersebut.

Dalam kondisi lelah, ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Namun, melihat ada sebuah rumah mewah, ia pun mengurungkan niatnya dan mengetuk pintu rumah. Ia berharap, pemilik rumah tersebut dapat menolongnya menemukan saudara setan sesungguhnya—yang tentu saja sedang ia cari.

Dengan napas terengah-engah, ia lalu mengetuk pintu rumah megah itu. “Assalamualaikum…!”
Tak lama sang pemilik rumah keluar. “Waalaykumsalam, ada keperluan apa?”
“Aku ingin memberimu uang 50 Dinar.”
Dengan penuh heran dan rasa ingin tahu, sang pemilik rumah menjawab, “Benarkah? Mengapa kau memberiku uang sebanyak itu, apa kau pernah punya utang padaku?”

Sang tamu, yang bahkan belum dipersilakan masuk kemudian menceritakan nadzar dan ketakutannya bila tidak segera melaksanakan nadzar itu. Ia juga menceritakan tentang mimpinya, pertemuannya dengan pezina, pemabuk, penjudi dan orang durhaka pada orangtuanya.

Mendengar kisah ini, sang pemilik rumah tersenyum, lalu berkata, “Oh, kalau mereka tidak mau menerima uang itu, berikan saja semuanya padaku!” jawabnya gembira.

Dengan mata terbelalak, ayah satu anak itu kemudian menyerahkan uangnya dan beranjak pergi seraya berkata, “Subhanallah, Engkau (Allah) benar-benar menunjukkan siapa saudara kembarnya setan.”

Terkait Berita: