Tulisan ini dibuat sebagai penjelasan terhadap tulisan sebelumnya yang ternyata mengundang keributan yang makin lama menjadi semakin aneh.
Inti dari tulisan ini adalah soal akhlak seorang muslim dalam ucapannya
yang ditujukan kepada saudaranya sesama Muslim. Terdapat beberapa jenis
ucapan yang harus dijaga dengan hati-hati oleh seorang Muslim agar
mereka tidak sembarangan melontarkannya kepada saudaranya sesama Muslim
karena ucapan tersebut memiliki konsekuensi yang berat.
حدثني زهير بن حرب حدثنا عبدالصمد بن عبدالوارث حدثنا أبي حدثنا حسين المعلم عن ابن بريدة عن يحيى بن يعمر أن أبا الأسود حدثه عن أبي ذر أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ليس من رجل ادعي لغير أبيه وهو يعلمه إلا كفر ومن ادعى ما ليس له فليس منا وليتبوأ مقعده من النار ومن دعا رجلا بالكفر أو قال عدو الله وليس كذلك إلا حار عليه
Telah menceritakan kepadaku Zuhair
bin Harb yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdus Shamad bin
‘Abdul Waarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang
berkata telah menceritakan kepada kami Husain Al Mu’allimi dari Ibnu
Buraidah dari Yahya bin Ya’mar bahwa Abul Aswad menceritakan kepadanya
dari Abi Dzar yang mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
bersabda “Tidaklah seseorang mengakui orang lain sebagai ayahnya padahal
ia mengetahui [bahwa ia bukan ayahnya] kecuali ia kafir. Barang siapa
mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami dan
hendaknya ia menyiapkan tempat duduknya di neraka. Barang
siapa yang memanggil seseorang dengan “kafir” atau berkata “musuh
Allah” padahal tidak demikian maka perkataan itu berbalik kepadanya [Shahih Muslim 1/79 no 61]
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Abu
Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari
Al Husain dari ‘Abdullah bin Buraidah yang berkata telah menceritakan
kepadaku Yahya bin Ya’mar bahwa Abul Aswad Ad Diyaliy telah menceritakan
kepadanya dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu yang mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Tidaklah
seseorang melempar [ucapan] kepada orang lain Fasiq dan tidaklah ia
melempar [ucapan] kafir kecuali perkataan itu kembali kepadanya jika
ternyata sahabatnya itu bukan demikian” [Shahih Bukhari 8/15 no 6045].
Hadis Abu Dzar radiallahu ‘anhu di atas menyebutkan bahwa seorang muslim harus berhati-hati dalam melontarkan ucapan “kafir” ucapan “fasik” atau ucapan “musuh Allah”
kepada saudaranya sesama Muslim. Karena konsekuensi dari ucapan ini
adalah berat yaitu jika ternyata orang tersebut bukanlah demikian maka
ucapan itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.
Disini yang ditekankan adalah akhlak
seorang muslim dalam menjaga lisannya. Tidak boleh karena ia merasa
seseorang melakukan dosa besar atau bermaksiat atau melanggar syariat
maka ia melontarkan ucapan “kafir” atau ucapan “fasik” atau ucapan
“musuh Allah”. Dikhawatirkan ternyata orang tersebut tidak demikian,
bisa jadi berita yang sampai kepada kita tentangnya adalah fitnah atau
bisa jadi ia telah bertaubat atas hal itu sehingga Allah SWT mengampuni
dosanya maka perkataan seperti itu akan berbalik kepada diri kita
sendiri.
Tidak benar jika dikatakan bahwa hadis
Abu Dzar radiallahu ‘anhu di atas itu hanya terkait dengan kekafiran.
Sehingga ada yang mengatakan kalau lafaz “musuh Allah” disana maksudnya
“musuh Allah” dalam hal kekafiran saja. Ini namanya membuat batasan
sendiri. Jika kita memperhatikan kedua hadis Bukhari dan Muslim di atas
maka kita dapat melihat kedua hadis itu memiliki sanad yang sama dan
matannya saling menjelaskan. Di hadis Muslim disebutkan ucapan “kafir” dan ucapan “musuh Allah” sedangkan di hadis Bukhari disebutkan ucapan “kafir” dan ucapan “fasik”.
Maka disini dapat dilihat bahwa perkataan “musuh Allah” disana juga
termasuk musuh Allah dalam hal kefasiqan tidak hanya kekafiran.
Sebagaimana telah ma’ruf kalau fasiq itu berbeda dengan kafir.
Jadi jika ada orang yang menuduh orang
lain melakukan suatu pelanggaran syariat atau dosa besar kemudian ia
berucap pada orang tersebut “wahai Musuh Allah” maka ia sudah
terkena ke dalam hadis Abu Dzar radiallahu ‘anhu di atas. Lantas
bagaimana jika hal seperti itu terjadi, bukankah salah seorang dari
kedua orang tersebut adalah musuh Allah?. Tentu kalau kita mengandalkan
silogisme [penarikan kesimpulan dua premis] maka pertanyaan seperti itu
adalah hal yang wajar. Tetapi patut diingat bahwa bukanlah tugas atau
hak seorang muslim untuk menetapkan seseorang itu sebagai Musuh Allah
atau bukan. Jadi kami pribadi menganggap bahwa penetapan seperti itu
adalah mutlak milik Allah SWT.
حدثنا سويد بن سعيد عن معتمر بن سليمان عن أبيه حدثنا أبو عمران الجوني عن جندب أن رسول الله صلى الله عليه و سلم حدث أن رجلا قال والله لا يغفر الله لفلان وإن الله تعالى قال من ذا الذي يتألى علي أن أغفر لفلان فإني قد غفرت لفلان وأحبطت عملك أو كما قال
Telah menceritakan kepada kami Suwaid
bin Sa’id dari Mu’tamar bin Sulaiman dari Ayahnya yang berkata telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Imran Al Jawniy dari Jundab bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam] menceritakan bahwa ada seorang
laki-laki berkata “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan”
dan Allah SWT berfirman “Siapakah yang bersumpah atas namaKu bahwa Aku
tidak mengampuni fulan, sungguh Aku telah mengampuni fulan dan
menghapuskan amalmu” atau seperti yang dikatakan [Shahih Muslim 4/2023 no 2621].
Larangan dalam berucap yang lain, adalah mengatasnamakan Allah SWT atau bersumpah dengan nama Allah SWT untuk perkara yang sebenarnya mutlak milik Allah SWT.
Perkara Allah SWT mengampuni atau tidak adalah mutlak milik Allah SWT
maka tidak boleh seseorang muslim mengeluarkan ucapan seperti itu kepada
seorang muslim lainnya. Kalau ada orang yang berkata atau berdalih bisa
saja sebenarnya orang tersebut cuma keceplosan bicara dan ia sendiri
tidak bermaksud demikian. Bisa jadi ucapan itu karena ia kesal atau
marah dengan saudaranya yang suka berlaku maksiat atau dosa besar
sehingga dalam kontkes ini bisa dimaklumi. Intinya akan ada saja orang
yang mengatakan harus dilihat konteksnya. Mari perhatikan hadis berikut
حدثنا محمد بن الصباح بن سفيان ثنا علي بن ثابت عن عكرمة بن عمار قال حدثني ضمضم بن جوس قال قال أبو هريرة سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ” كان رجلان في بني إسرائيل متواخيين فكان أحدهما يذنب والآخر مجتهد في العبادة فكان لا يزال المجتهد يرى الآخر على الذنب فيقول أقصر فوجده يوما على ذنب فقال له أقصر فقال خلني وربي أبعثت علي رقيبا ؟ فقال والله لا يغفر الله لك أو لا يدخلك الله الجنة فقبض أرواحهما فاجتمعا عند رب العالمين فقال لهذا المجتهد أكنت بي عالما ؟ أو كنت على ما في يدي قادرا ؟ وقال للمذنب اذهب فادخل الجنة برحمتي وقال للآخر اذهبوا به إلى النار قال أبو هريرة والذي نفسي بيده لتكلم بكلمة أوبقت ( أهلكت ) دنياه وآخرته
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Shabbaah bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada
kami Ali bin Tsabit dari Ikrimah bin ‘Ammar yang berkata telah
menceritakan kepadaku Dhamdham bin Jaus yang berkata Abu Hurairah
berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata
“ada dua laki-laki dari bani Israil yang bersaudara, salah satu dari
keduanya suka berbuat dosa dan yang satunya suka beribadah [ahli
ibadah]. Suatu ketika ahli ibadah itu melihat saudaranya berbuat dosa
maka ia mengatakan kepadanya “berhentilah” kemudian di saat lain ahli
ibadah itu mendapati saudaranya berbuat dosa, maka ia berkata
“berhentilah”. Saudaranya berkata “biarkanlah ini antara aku dan
Rabb-ku, apakah engkau diutus sebagai penjaga?”. Ahli ibadah itu berkata
“demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau Allah tidak akan memasukkanmu kedalam surga.
Kemudian keduanya meninggal dan berkumpul di sisi Rabb semesta Alam.
Allah SWT berfirman kepada ahli ibadah “Apakah kamu mengetahui tentang
Aku? Atau apakah kamu berkuasa atas apa yang ada di TanganKu?. Allah SWT
berfirman kepada saudaranya yang berbuat dosa “masuklah ke dalam surga
dengan RahmatKu” dan Allah SWT berfirman kepada saudaranya”masuklah ke
dalam neraka”. Abu Hurairah berkata “demi yang jiwaku ada di Tangan-Nya,
sungguh dia telah mengucapkan kalimat [ucapan] yang membinasakan dunia
dan akhiratnya [Sunan Abu Dawud 2/693 no 4901 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Tentu seorang hamba yang menyembah Allah
SWT dan mengabdi kepada Allah SWT seperti ahli ibadah itu mungkin tidak
bermaksud menganggap dirinya lebih mengetahui dari Allah SWT dan mungkin
tidak pula ia bermaksud atau menganggap dirinya memiliki kuasa atas
ketetapan Allah SWT. Tetapi ucapan atau kalimat yang keluar dari
lisannya itu membuatnya jatuh dalam kebinasaan yaitu masuk ke dalam
neraka. Mungkin saja si ahli ibadah itu tidak tahu atau tidak menyangka
bahwa ucapannya itu dapat membuatnya jatuh ke dalam neraka, jika ia tahu
pasti ia tidak akan mengucapkannya. Terlepas dalam konteks apa ia
mengucapkannya, ucapan atau kalimat itu adalah kalimat bathil yang dapat
menjerumuskan ke dalam neraka.
حدثنا محمد بن بشار حدثنا ابن أبي عدي عن محمد بن إسحق حدثني محمد بن إبراهيم عن عيسى بن طلحة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الرجل ليتكلم بالكلمة لا يرى لها بأسا يهوي بها سبعين خريفا في النار
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu
Abi ‘Adiy dari Muhammad bin Ishaq yang berkata telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Ibrahim dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah
yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “bahwa
seorang laki-laki mengatakan kalimat [ucapan] yang ia anggap tidak
apa-apa tetapi dengan sebab ucapan itu ia terjerumus kedalam neraka
selama tujuh puluh tahun [Sunan Tirmidzi 4/557 no 2314 dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy].
وحدثناه محمد بن أبي عمر المكي حدثنا عبدالعزيز الدراوردي عن يزيد بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن عيسى بن طلحة عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين ما فيها يهوي بها في النار أبعد ما بين المشرق والمغرب
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abi Umar Al Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada
kami ‘Abdul ‘Aziz Ad Darawardiy dari Yazid bin Al Haad dari Muhammad bin
Ibrahim dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bahwa seorang hamba mengucapkan
kalimat [ucapan] dimana ia tidak mengetahui dengan jelas apa yang ada
dalam kalimat itu dan karena kalimat itu ia terjerumus ke dalam neraka
lebih jauh antara timur dan barat” [Shahih Muslim 4/2290 no 2988].
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa seorang
muslim harus benar-benar menjaga lisannya terhadap saudaranya sesama
Muslim dan jangan menetapkan sesuatu yang sebenarnya adalah mutlak milik
Allah SWT. Terlepas apapun konteksnya dan terkadang ia tidak mengetahui
kalau kalimat itu bathil yang ia pikir tidak apa-apa [mungkin karena
tidak tahu atau bercanda] ternyata kalimat itu dapat menjerumuskannya
kedalam neraka.
Bagaimana kalau orang tersebut hanya
sekedar bercanda atau main-main terhadap saudaranya sesama muslim?.
Tetap tidak boleh, tidak ada penjelasan atau pembatasan dalam hadis di
atas apakah ucapan itu bersifat serius atau main-main. Terdapat dalil
yang menunjukkan kalau terkadang perkataan yang dianggap bercanda atau
tidak serius bisa berakibat fatal. Diantaranya dalil yang jelas telah
melarang untuk bermain-main tentang Allah dan Rasul-Nya atau tentang
ayat-ayat Allah SWT.
حدثني يونس قال أخبرنا ابن وهب قال حدثني هشام بن سعد عن زيد بن أسلم عن عبد الله بن عمر قال : قال رجل في غزوة تبوك في مجلس : ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء ، أرغبَ بطونًا ، ولا أكذبَ ألسنًا ، ولا أجبن عند اللقاء! فقال رجل في المجلس : كذبتَ ، ولكنك منافق ! لأخبرن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم ونزل القرآن. قال عبد الله بن عمر : فأنا رأيته متعلقًا بحَقَب ناقة رسول الله صلى الله عليه وسلم تَنْكُبه الحجارة ، وهو يقول : ” يا رسول الله ، إنما كنا نخوض ونلعب! ” ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : (أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤن لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم)
Telah menceritakan kepada kami Yunus
yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah
menceritakan kepadaku Hisyaam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam dari
‘Abdullah bin Umar yang berkata “seorang laki-laki berkata dalam suatu
majelis saat perang Tabuk “aku
belum pernah melihat orang yang seperti para qari [pembaca Al Qur’an]
kami, mereka suka makan suka berdusta dan pengecut saat bertemu musuh”.
Salah seorang dalam majelis berkata “engkau berdusta akan tetapi engkau
seorang munafik, sungguh aku akan memberitahukan Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka hal itu sampai kepada Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan turunlah Al Qur’an. ‘Abdullah bin
Umar berkata “aku melihat orang itu bergantung pada sabuk unta
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hingga tersandung batu dan
berdarah, sedangkan ia berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”.
Dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Apakah
terhadap Allah dan ayat-ayatNya serta kepada Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] kalian berolok-olok? Tidak usah meminta maaf, sungguh
kalian telah kafir sesudah kalian beriman” [Tafsir Ath Thabari 14/333-334 no 16912 tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan ia menshahihkannya]
ذَكَرَهُ أَبِي، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ الْكُوفِيِّ، ثنا عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَنْقَرِيُّ، ثنا خَلادٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ”وَأَمَرَ بِالْغَزْوِ إِلَى تَبُوكَ، قَالَ: وَنَزَلَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَانِبٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: وَاللَّهِ إِنَّ أَرْغَبَنَا بُطُونًا، وَأَجَبْنَا عِنْدَ اللِّقَاءِ وَأَضْعَفَنَا، لَقُرَّاؤُنَا، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَمَّارًا، فَقَالَ: اذْهَبْ إِلَى هَؤُلاءِ الرَّهْطِ فَقُلْ لَهُمْ: مَا قُلْتُمْ ؟” ” وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ “
Ayahku menyebutkan dari ‘Abdullah bin
Umar bin Aban Al Kufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami
‘Umar bin Muhammad Al ‘Anqaariy yang berkata telah menceritakan kepada
kami Khalid dari ‘Abdullah bin Isaa dari Abdul Hamid bin Ka’ab bin Malik
dari ayahnya yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
keluar pada apanas yang terik menuju perang Tabuk. [Ka’ab] berkata “ikut
dalam rombongan itu sekelompok sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain “demi Allah, para
qari [pembaca Qur’an] kami orang yang sangat suka makan, lemah dan
pengecut saat perang”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil
‘Ammar dan berkata “pergilah kepada orang-orang itu dan katakan kepada
mereka “apa yang kalian katakan? Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka tentu mereka akan menjawab
sesungguhnya kami hanya bersendagurau dan bermain-main saja. Katakanlah
apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok [Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1829 no 10046].
Riwayat Ibnu Abi Hatim di atas berasal
dari ayahnya [Abu Hatim] dimana keduanya telah dikenal sebagai ulama
yang terpercaya sedangkan sisa perawi lainnya adalah tsiqat.
- ‘Abdullah bin Umar bin Aban adalah perawi Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i dlam Khasa’is. Telah meriwayatkan darinya Muslim, Abu Zur’ah dan Abu Hatim [dimana mereka hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat]. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 5 no 568]. Ibnu Hajar berkata “shaduq ddan tasyayyu’ [At Taqrib 1/516]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2874]
- ‘Amru bin Muhammad Al Anqariy adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 158]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/745]
- Khalid bin Isa Ash Shaffaar adalah perawi Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in terkadang menyatakan ia tsiqat terkadang menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “hadisnya mendekati”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 330]. Ibnu Hajar berkata “tidak ada masalah padanya” [At Taqrib 1/276]
- ‘Abdullah bin Isa bin Abdurrahman adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Al Hakim berkata “ia lebih terpercaya dari Abu Laila”. [At Tahdzib juz 5 no 604]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan bertasyayyu’ [At Taqrib 1/521]
- Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik adalah tabiian perawi kutubus sittah. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 515]. Ibnu Hajar menyatakan ia tabiin yang tsiqat [At Taqrib 1/588]
Riwayat Ibnu Abi Hatim di atas jelas
shahih dan dikuatkan oleh riwayat Ath Thabari sebelumnya. Kedua riwayat
ini menyebutkan bahwa ada sebagian sahabat Nabi yang mengucapkan kalimat
bathil dengan tujuan bersenda gurau atau bermain-main. Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepada mereka firman Allah SWT
yang turun berkenaan soal ini bahwa tidak boleh bersenda gurau tentang Allah dan ayat-ayat Allah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sahabat Nabi di atas dinyatakan sebagai “orang yang kafir setelah mereka beriman”. Ini adalah konsekeuensi yang sangat berat.
Mungkin akan ada yang berdalih kalau
orang yang dimaksud dalam kedua riwayat di atas adalah kaum munafik.
Pernyataan ini tidak tepat dengan alasan riwayat Ibnu Abi Hatim jelas menyebutkan itu sahabat. Kemudian Allah SWT dan Rasulnya menyatakan kepada mereka yang dimaksud dengan kalimat “kalian telah kafir sesudah kalian beriman”.
Apakah orang munafik itu dikatakan sebagai orang yang beriman?. Jelas
tidak mereka kaum munafik tidak pernah mengimani Allah dan Rasul-Nya.
Mereka selalu menunjukkan pengingkaran [kekafiran] dalam hatinya tetapi
menampakkan keislaman di hadapan kaum muslimin lainnya.
Bukankah sudah jelas terdapat hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menunjukkan larangan ucapan “kafir” atau ucapan “musuh Allah” atau ucapan “fasik” kepada saudara sesama muslim.
Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengeluarkan ucapan
tersebut walaupun dengan tujuan bersenda-gurau atau olok-olok. Jangan
jadikan syariat baik Al Qur’an atau Hadis sebagai bahan permainan atau
candaan atau senda-gurau, konsekuensinya sangat berat.
Konsekuensi yang berat untuk berbagai
ucapan di atas hendaknya jangan dijadikan ajang untuk memvonis tetapi
dijadikan tameng bagi seorang muslim untuk senantiasa berhati-hati dalam
ucapannya kepada sesama Muslim. Soal konsekuensi kita serahkan semuanya
kepada Allah SWT. Kami mengajak diri kami sendiri dan pembaca sekalian
untuk senantiasa menjaga lisan terhadap saudara kita sesama muslim.
Semoga Allah SWT mengampuni dosa kami dan menjaga kami agar selalu
berada di atas jalan yang lurus.
Salam Damai