Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label zikir. Show all posts
Showing posts with label zikir. Show all posts

Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.


Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:



Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.


Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.



Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:

1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA’AH

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Zikir Berjama’ah.

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami Dalil LARANGAN ZIKIR BERJAMA’AH

Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan zikir berjama’ah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan acara tahlilan dan zikir berjama’ah serta melabelkan padanya tuduhan hukum bid’ah (padahal bid’ah itu bukan hukum).


Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy’ari Ra. Dan berkata, ‘Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas’ud) telah keluar pada kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’ Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar.

Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy’ari berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Abu Musa menjawab, ‘ Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.’ Abu Musa lalu berkata, ‘Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, ‘Bacalah takbir 100 kali,’ mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tahlil 100 kali‘, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tasbih 100 kali‘, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Apa yang kamu katakan pada mereka?’ Abu Musa menjawab, ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?’ Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.’

Mereka menjawab, ‘Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.’ Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.” (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi).

Riwayat tersebut sepertinya oleh kaum Salafi & Wahabi dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama’ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid’ah amalan zikir berjama’ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw, “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red).”

(Hadis Shahih di atas adalah riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas’ud Ra tidak mungkin tak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.

2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘ala kulli syai’in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.

3. Rasulullah Saw tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda’ Ra dan Abu Hurairah Ra memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu ‘Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya’, juz 1 hal. 383, dan lain-lain).

4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas’ud Ra di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu ‘Adi.

5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan / sabda Rasulullah Saw, melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas’ud Ra (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw, karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy’ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, “alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan“.

Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas’ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah” (Riwayat Ahmad). Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama’ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.

6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud Ra sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaah-nya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas’ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw tentang akan munculnya “sekelompok orang yang membaca al Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja”, yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama ‘Amr bin Salamah, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.”.

2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW

Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:

بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.

“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”

Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).

Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.

Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.


Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.

Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.

Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid“. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.

3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Menyanjung Rasulullah Saw

PENJELASAN DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw, dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau sesat sya’ir-sya’ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw tentang hal itu bunyinya begini:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)

“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).

Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah dan secara mutlak memahami hadis ini sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya “pengkultusan” yang dapat dikategorikan sebagai syirik – musyrik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan “mengkultuskan”.

Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu “menyadari” bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.

Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah “mengkultuskan” Rasulullah Saw dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al Quran yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.

Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu’ (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap “memuliakan” itu sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.

Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al Quran, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
“… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya ( Al Quran ), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).

Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid’ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap “berlebihan” dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan Pas’nya” dan “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, “kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?”

Bila Rasulullah Saw sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?

Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’ bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).
Anas bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al Quran” (HR. Ahmad).

Delegasi Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw, “Engkau adalah tuan kami.” Rasulullah Saw menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.” Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw berkata, “Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.

Cover Buku Salafi Wahabi Melarang Menyanjung Rasulullah Saw. Di atas adalah Judul Cover buku terbitan kaum salafi dan Wahabi.

Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.

Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan” (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt, sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.

Para ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi” makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.

Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al Quran dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz ‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban” (QS. Al-Muzzammil: 17).

Pada ayat pertama di atas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah “hari” lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab” tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy-Syuuraa: 52).

Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)

“Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.

Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.

Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal “bekal” kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?
Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?

Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw, lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw, bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah berkata:

عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)

“Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).

وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)

Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh” (Siyar A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)

Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw, karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:

1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al Quran dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.

2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.

Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” ( yaitu Rasulullah Saw ) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.

Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw telah bersabda:

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ (روا مسلم)

“Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah” (HR. Muslim).

Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:

أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)

Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’, Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21).

Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti “ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha “membunuh karakter” Rasulullah Saw dari hati para pengikutnya??!

4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Acara Kematian Acara Tahlilan.

PENJELASAN DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN ACARA TAHLILAN

Di antara dalil khusus dari kaum Salafi & Wahabi yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap” (HR. Ibnu Majah).

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk daripada meratap” (HR. Ahmad).

Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah Saw juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.

Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.

Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada ‘illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali.

Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan “oncom” sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.

Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.

Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I’anatuth-Thalibiin.


Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:

ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)

Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
“Dan di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.” (I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).

Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan ‘pengharaman’ agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
“… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram.”

Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.

Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)

(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?” (lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).

Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta’ziyah itu dalam hal mana “mereka menunggu makanan” di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram” kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.

Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta’ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta’ziyah yang datang.

Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang “keberatan” dan “beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikit pun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu.
Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang “makruh” tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!

Jika alasan “berkumpulnya orang akan menambah kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?

Sungguh, hukum “makruh” yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi “menambah kesedihan atau beban kerepotan” meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.

Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.

********

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid’ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan.

Akibatnya, “larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa “larangan” tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw sendiri saat beliau minum sambil berdiri.


Semoga bermanfaat dan berkah, amin …

Perkara yang Tidak Dilakukan Nabi Muhammad, Tidak Otomatis Haram


Oleh: Ustadz Abu Hilya

Perkara Perbuatan (amaliah) yang tidak dilakukan (tidak dicontohkan) oleh Nabi Muhammad Saw, itu tidak otomatis perbuatan (amaliah) tersebut menjadi haram untuk dilakukan oleh Umat Islam. Sebagai contoh, kita berdakwah via website / blog di dunia internet, dakwah semacam ini tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Apakah berdakwah via website / blog itu haram? 
Sudah pasti anda semua akan menjawab: “Tidak haram”.
Kalau begitu betapa dholimnya ada sebagian Umat Islam yang jahil-jahil itu membuat hujjah bahwa : Apa-apa yang tidak dicontohkan / tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammad adalah Bid’ah sesat (haram).

Nah.., bagi anda yang ingin menambah ilmu tentang masalah ini, berikut kami sampaikan hal-hal yang berkaitan dengan apa-apa perbuatan / amaliah yang tidak dilakukan / tidak dicontohkan oleh nabi Muhammad saw ditinjau dari berbagai sudut pandang ilmu ulama. Selamat menyimak semoga bermanfaat untuk kesmbuhan penyakit hobbi mengharamkan amaliah kaum muslimin.

Penjelasan Tentang At-Tark  (Perkara yang tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammadsaw)

  1. Pendahuluan
Penjelasan masalah At Tark berikut, kami sarikan dari kitab “ Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki “ karya al Hafizh Abdullah bin as Shiddiq Al Ghimmari al Husaini (w. 1413 H/1993 M).

Adalah hal yang ma’lum, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin melakukan semua perkara yang mubah, mengingat begitu banyaknya perkara mubah hingga sangat sulit untuk menghitung apalagi melakukan kesemuanya. Dan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud dan meninggalkan perkara yang lebih. Maka barang siapa menyangka haram-nya sesuatu dengan argument Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallamtidak pernah melakukannya, maka argumentnya tertolak.

Adapun terhadap perkara-perkara Mandzubah, Nabi Muhammad tidak melakukannya karena beberapa alasan, diantaranya :
  • Adanya perkara lain yang lebih urgent (penting), seperti menyampaikan dakwahnya, membantah argument-argument kaum musyrik jahiliyah, berperang, mendirikan masjid, mengadakan perundingan-perundingan damai dll, yang kesemuanya banyak menghabiskan waktu beliau.
  • Adanya nash-nash umum yang menanungi kebajikan-kebajikan dan ibadah yang tak terikat.
  1. Pengertian At Tark
الترك / At Tark menurut bahasa adalah : Meninggalkan.

الترك / At Tark dalam bahasan kali ini adalah :

أَنْ يَتْرُكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ أَوْ يَتْرُكَهُ السَّلَفُ الصَّالِحُ مِنْ غَيْرِأَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثٌ أَوْ أَثَرٌ بِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ يَقْتَضِي تَحْرِيْمَهُ أَوْ كَرَاهَتَهُ.

Perkara yang ditinggalkan tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam maupun para salaf as sholih tanpa adanya hadits atau atsar yang mencegah / melarang baik yang berindikasi haram atau makruh atas perkara yang ditinggal tersebut.
  1. Sebab-sebab Rosululloh shallallahu alaihi wasallam meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu perkara.
Perkara perbuatan (amalaiah) yang ditinggalkan oleh nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam tidak otomatis berindikasi perkara tersebut terlarang/tercegah baik makruh maupun haram.
Adapun di antara sebab-sebab Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mening-galkan atau tidak mengerjakan sesuatu adalah :

Ø  Rosululloh shallallahu alaihi wasallam meninggalkannya karena tidak sesuai dengan kebiasaan atau adat beliau.

Contoh dalam hal ini adalah Hadits Dhobb yang diriwayatkan Imam Bukhari :

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِأَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ فَقَالُوا هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللهِ فَرَفَعَ يَدَهُ فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ

Dari Kholid bin Walid –rodhiyallohu ‘anhu- ; sesungguhnya Kholid bersama Rosululloh shollallohu alaihi wasallam masuk ke rumah Maimunah, kemudian didatangkan (dihidangkan) biawak yang dimasak, maka Rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengulurkan tangan beliau untuk (mengambil)nya, berkatalah beberapa wanita : “Beritakan kepada Rosululloh shollallohu alaihi wasallam apa yang hendak beliau makan”,  para sahabat pun berkata “ Ya Rosulalloh ini adalah biawak “, maka Rosululloh pun mengangkat kembali tangan beliau (mengurungkannya), “ adakah ia (biawak) haram Ya Rosulalloh “ ?tanya Kholid, Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menjawab “ Tidak, akan tetapi tidak ada didaerah kaumku, maka aku merasa jijik (tdk terbiasa) “. Maka akupun (Kholid) memamah biawak tersebut dan memakannya, sementara Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memperhatikan. “ (HR. Imam Bukhari).

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan.Seperti masalah jama’ah sholat tarowih.

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkannya karena lupa, seperti kisah sujud sahwi dalam sholat.

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena belum terfikir sebelumnya, seperti masalah tempat khotbah yang sebelumnya berupa pelepah korma dan kemudian direnofasi oleh para sahabat dan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyetujuinya karena dipandang lebih baik dan menjadikan khotbah lebih dapat didengar oleh para jama’ah.

Ø  Kebajikan yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wasallam berada dalam naungan nash yang bersifat ‘Am (umum) semisaldan perbuatlah kebajikan supaya mendapat kemenangan “ (QS, Al Hajj : 77) dan juga seperti ayat  Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS, Al An’am : 160) dan juga ayat dan nash-nash yang lain. Kebaikan yang dimaksud adalah seperti solat Duha dan yang lainnya.

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkannya dan atau tidak melaksanakannyakarena mengkhawatirkan keimanan sebagian para sahabat, seperti dalam masalah renofasi ka’bah sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhari :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًاقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ خَلْفًا يَعْنِي بَابًا

Dari Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, ia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wasallam berkata padaku ; “ Seandainya tidak karena kembalinya kaummu pada kekufuran niscaya akan aku robohkan ka’bah dan kemudian aku sungguh aku bangun lagi diatas pondasi Nabi Ibrohim ‘alaihis salam, Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah mengurangi bangunannya, dan akan aku jadikan untuknya pintu belakang “ (HR. Imam Bukhari).

Disamping itu masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain (jika ditelusuri dalam sunnah/hadits) yang menjadi sebab Nabi Muhammad Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu perkara, sehingga perkara yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh Rosululloh tidak otomatis tercegah baik makruh ataupun haram.

Adapun perkara-perkara yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh para sahabat, al Imam al Hafizh Ibnu Hajar al Haitsami menjelaskan dalam kitabnya Fathul Mubin Syarah Arba’in an Nawawi sebagai berikut :

وَاَخْرَجَ أَبُو دَاوُوْدَ عَنْ حُذَيْفَةَ : (كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ تَفْعَلْهَا الصَّحَابَةُ .. فَلَا تَفْعَلُوْهَا) أَيْ : إِلَّا إِنْ دَلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ أَخَرُ,وَإِلَّا..فَكَمْ مِنْ عِبَادَاتٍ صَحَّتْ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا وَفِعْلًا وَلَمْ تُنْقَلْ عَنْ اَحَدٍ مِنْهُمْ.

Abu Dawud mriwayatkan dari Hudzaifah : ( Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat… maka janganlah kalian melakukannya ) maksudnya adalah : kecuali  jika ada dalil lain yang menjelaskannya, karena jika tidak demikian, maka berapa banyak ibadah yang sohih dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, baik ucapan maupun perbuatan yang tidak diriwayatkan (dilakukan) dari seorangpun dari para sahabat “ (Fathul Mubin Syarah Arba’in, hlm. 229).
  1. At Tark tidak mengindikasikan keharaman
At Tark / Ditinggalkannya atau tidak dilakukannya sebuah perkara tidak otomatis mengindikasikan ke-haram-annya, dengan penjelasan sebagai berikut:
  • At Tark alias ditinggalkannya suatu perkara jika tidak disertai dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang ditinggal tersebut adalah terlarang, maka At Tark seperti ini tidak dapat dijadikan Hujjah untuk larangan, cukup baginya dijadikan hujjah bahwa meninggalkan perkara tersebut adalah Masyru’ diakui oleh syara’ dan bukan sebuah kesalahan.
  • Seperti tentang pendapat yang menolak wiridan atau do’a setelah sholat dengan alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para Salaf as Solih kami berpendapat ; seandainya hal itu benar (tidak ada dari kalangan slaf as solih yang wiridan atau berdo’a sesudah solat) kenyataan itu tidak menghasilkan hukum apapun selain bahwa tidak wiridan atau berdo’a sesudah solat adalah boleh apapun kondisinya baik repot maupun longgar. Dan tidak akan berindikasi kemakruhan apalagi keharaman wiridan ba’da solat, terlebih jiga memperhatikan ke-mujmal-an dalil tentang dzikir dan do’a.
  • Didalam kitab Al Mahalli Imam Ibnu Hazm menuturkan hujjah para ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah yang memakruhkan sholat dua rokaat sebelum maghrib dimana mereka berhujjah dengan pendapat Ibrohim an Nakho’i yang menyatakan ; “sesungguhnya Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya”. Ibnu Hazm menjawab ; “ seandainya hal itu benar, sungguh tidak ada (bisa dijadikan hujjah) dalam hal tersebut, karena mereka (para sahabat) tidak melarang melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib “. (Al Mahalli, 2/254 dalam kitab Itqonus Shun’ah).
Lebih jauh dalam Al Mahalli disebutkan :

وَأَمَّا حَدِيْثُ عَلِيّ، فَلَا حُجَّةَ فِيْهِ أَصْلاً، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ إِلَّا إِخْبَارُهُ بِمَا عَلِمَ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَّهُمَا، وَلَيْسَ فِي هَذَا نَهْيٌ عَنْهُمَا وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُمَا، فَمَا صَامَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَطُّ شَهْرًا كَامِلاً غَيْرَ رَمَضَانَ وَلَيْسَ هَذَا بِمُوْجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا اهـ. فَهَذِهِ نُصُوْصٌ صَرِيْحَةٌ فِي أَنَّ التَّرْكَ لَا يُفِيْدُ كَرَاهَةً فَضْلاً عَنِ الْحُرْمَةِ.

Adapun hadits Sayyidina Ali, tidak terdapat hujjah sama sekali di dalamnya, karena Sayyidina Ali ra hanya menghabarkan bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi Muhammad Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sholat dua rokaat (ba’da ashar. red), dan didalamnya (perkataan Sayyidina Ali) tidak ada larangan dan kemakruhan solat dua rokaat ba’da ashar. maka (bukankah) Rosululloh tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali dibulan Romadhon, dan ini tidak menyebabkan makruh-nya puasa sunnah sebulan penuh. (Al Mahalli, 2/271 dalam kitab Itqonus Shun’ah).

Ini adalah bukti yang jelas bahwa tidak dilakukannya atau ditinggalkan-nya suatu perkara tidaklah otomatis mengindikasikan kemakruhannya, apalagi keharamannya.

Kontes Zikir Al-Quran di Moskow Bangun Toleransi

Kontes membaca Al-Quran di Moskow ini telah masuk ke dalam daftar acara kebudayaan UNESCO dan belum ada acara serupa yang diselenggarakan dengan skala sebesar ini di benua Eropa. – Foto: Galina Babich.

Moskow – Kontes Zikir Al-Quran Internasional Moskow ke-15 yang berlangsung di Aula Konser Balai Kota Crocus pada Sabtu 20 September 2014 lalu berhasil mengumpulkan peserta dari 35 negara dan lebih dari lima ribu penonton. Kompetisi ini dimeriahkan dengan pementasan lagu-lagu, master class dari para qari (sebutan untuk pembaca Al-Quran) tersohor, serta acara amal. Untuk pertama kalinya lomba ini juga disiarkan secara online.

Qari dari Iran Mehdi Golamnezhad, yang mengikuti kompetisi untuk kategori tilawah (kemahiran membaca Al-Quran dengan baik dan indah) berhasil membuat para penonton tercengang. Lantunan bacaan Mehdi yang mendalam dan penuh perasaan membuat para penonton yang menyaksikannya meneteskan air mata. Sayangnya, qari asal Iran ini tidak berhasil memenangkan lomba tilawah tersebut. Pemenang pertama dalam kategori tilawah di Moskow itu jatuh pada Muhammad bin Ali (27) dari Brunei Darussalam. Cara membaca Ali yang halus dan bernada merdu itu berhasil menyentuh perasaan para juri.

Sementara, untuk kategori hafiz (pembaca Al-Quran yang hafal di luar kepala), kemenangan jatuh pada Omar Anwari Nabrawi (24) asal Arab Saudi yang tampil tanpa cela.
Kompetisi ini  benar-benar menjadi tontonan yang menarik, dan seperti yang biasa dikatakan oleh semua panitia penyelenggara kompetisi serupa, “Dalam perlombaan ini tidak ada pihak yang kalah”.

Perluasan Garis Batas
Para juri kontes terdiri dari para profesor dan pakar ahli ternama Al-Quran dari Yordania, Lebanon, Turki, Algeria, dan juga Rusia. Acara ini dihadiri pula oleh qari kawakan asal Arab Saudi, Syekh Saad al-Ghamidi, yang datang sebagai tamu kehormatan.

Ketua Panitia Kontes Zikir Internasional Moskow ke-15, Rushan Abyassov, bercerita bahwa di negara-negara Arab kegiatan seperti ini dilakukan dengan lebih sederhana dan akrab. Di sana, kontes serupa diadakan dengan format yang sangat religius, hanya dihadiri oleh umat muslim dari lingkaran masyarakat yang sangat sempit.

“Kontes di Rusia ini unik, karena menyatukan berbagai suku dan ras. Saya tahu bahwa saat ini banyak penonton non-muslim yang hadir di aula ini, ada yang merupakan mahasiswa perguruan tinggi sekuler, ada pula orang-orang yang hanya ingin tahu apa sebenarnya Al-Quran,” kata Abyassov.

Kontes ini terus berkembang sejak penyelengaraan pertamanya 15 tahun lalu. Lomba yang awalnya dimulai dari kompetisi pengetahuan dua juz Al-Quran di dalam Masjid Agung Moskow berubah menjadi ajang kompetisi yang mendapat pengakuan dari pemerintahan Rusia dan dilaksanakan di salah satu tempat paling bergengsi di ibukota Rusia.

Kontes membaca Al-Quran di Moskow ini telah masuk ke dalam daftar acara kebudayaan UNESCO dan belum ada acara serupa yang diselenggarakan dengan skala sebesar ini di benua Eropa. Kompetisi ini diselenggarakan dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Rusia, Kementerian Kebudayaan Rusia, dan pemerintah kota Moskow.

Setiap tahun, kompetisi ini terus berkembang secara geografis. Tahun ini, kompetisi turut dihadiri oleh kontestan-kontestan baru dari Jerman dan Slovenia. Sejak awal penyelenggaraan, kontes ini telah diikuti lebih dari 160 hafiz dari 60 negara. Pembawa acara kompetisi ini, Dinara Sadretdinova, mengatakan bahwa ajang perlombaan ini merupakan lambang persatuan antara dunia Barat dan Timur.

Perayaan Al-Quran untuk Semua.
Dewan Mufti Rusia selaku penyelenggara acara ini berhasil mengubah lomba yang sangat spesifik menjadi sebuah perayaan akbar di Rusia. Saat peserta bersiap diri dan melakukan repetisi di balik pintu-pintu tertutup, para penonton disuguhkan master class yang dibawakan oleh para qari ternama dunia, aksi pengumpulan sumbangan, pameran suvenir kerajinan tangan dan cetakan Al-Quran edisi khusus, serta pembagian majalah-majalah Islami.

Abyassov berharap atmosfer yang tercipta dari lomba ini dapat membantu perkembangan hubungan toleransi yang baik. “Ketika kami menyelenggarakan acara yang tidak hanya bagi komunitas kami sendiri, melainkan di tempat-tempat umum yang besar, maka acara tersebut diselenggarakan tanpa batasan akses pengunjung. Setiap orang yang berminat dapat berkenalan dengan budaya serta tradisi yang bernuansa Islam di acara tersebut,” tutur Abyassov.

Ia menambahkan, melalui acara seperti ini mereka hendak mematahkan mitos mengenai Islam yang saat ini ada di dunia, termasuk di benak masyarakat Rusia. “Kami sekali lagi menegaskan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan ide-ide radikal. Islam dan Al-Quran benar-benar bersih dari hal-hal tersebut,” ujar Abyassov.

Hafiz dari Rusia.
Dalam lima tahun terakhir, empat sekolah hafiz Al-Quran berhasil didirikan di Chechnya, dan sekolah kelima sedang dalam tahap pembangunan. Selain itu, sekolah-sekolah yang sama pun dibuka di Dagestan, Ingushetia, serta Bashkortostan. Sejak 2003, pusat persiapan hafiz Al-Quran di bawah Universitas Islam Rusia di Kazan, Republik Tatarstan, sudah mendidik para hafiz, baik laki-laki maupun perempuan.
Para pengawas sekolah itu mengatakan, misi utama pusat pengajaran seperti itu adalah menumbuhkan kembali rantai hafiz serta qari yang sempat terputus di Rusia, menjaga keberlangsungan tradisi Islam, serta menumbuhkan generasi baru pakar ahli kitab suci Islam di Rusia.

Bacaan Al-Quran diajarkan dalam kurun waktu beberapa tahun, tergantung daya serap para pelajar, dengan mematuhi semua aturan resitasi Al-Quran dan tajwid yang ada. Secara paralel, para qari Al-Quran juga mempelajari fikih (kewajiban dan hak manusia sebagai hamba Allah), akidah (iman kepercayaan), akhlak (tingkah laku baik), tafsir (interpretasi Al-Quran), dan tentu bahasa Arab. Itulah program pendidikan tradisional secara Islam.

Para peserta lomba hafiz asal Rusia, yakni Wahid Askhabov dari Republik Chechnya dan Magomed Aligajiyev dari Dagestan, berhasil melalui babak penyisihan pada Juli lalu, namun mereka tidak berhasil memasuki babak final dan harus mengakui kekalahan dari para hafiz dan qari asal negara-negara Arab, Brunei, Iran, dan Turki. Sebelumnya, para qari asal Rusia pernah menjadi pemenang di berbagai kontes intenasional. Pada 2012 lalu, qari asal Dagestan Bilyal Abdulkhalikov (13) berhasil menjuarai Kontes Zikir Al-Quran Internasional di Bahrain.

Tanpa Cela.
Renat Nezametdinov, redaktur utama salah satu portal berita muslim Rusia, datang ke acara tersebut bersama istri dan seorang anak perempuannya.
Nezametdinov bercerita ia dan istrinya sengaja membawa anak mereka agar ia suka mendengarkan Al-Quran. “Tahun ini dia sudah masuk ke madrasah, dan ia perlu tahu bagaimana seorang qari sesungguhnya membaca kitab suci dengan tanda diakritik yang benar berdasarkan aturan-aturan tajwid. Mungkin di kemudian hari anak saya dapat ikut serta dalam kompetisi ini,” kata Nezametdinov.

Sebagai seorang pakar bahasa Arab, Nezametdinov mengatakan bahwa kesalahan yang dilakukan para peserta sulit diketahui bila seseorang tidak tahu tentang Al-Quran atau tidak ada teks tertulis di hadapan mereka.

Hafiz Al-Quran sangat banyak, dan saya pikir tidak hanya di antara juri saja, tapi juga di dalam ruangan ini. Lomba ini perlu dilakukan dengan menggunakan prinsip ‘di dalam Al-Quran tidak mungkin ada kesalahan’. Jika Qari melakukan sebuah kesalahan, maka Anda akan mendengar bunyi panggilan. Itu menunjukkan bahwa apa yang tertulis dalam Al-Quran tidak bisa diubah-ubah. Di sini terkandung makna penting bagi para penonton: Al-Quran adalah wahyu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, dan akan tetap seperti itu hingga hari penghakiman,” kata Nezametdinov.

Naile, istri Nezametdinov yang berprofesi sebagai pengajar di  pusat bimbingan bagi umat Islam menambahkan, “Ketika di sekitar kita kini bermunculan berbagai tulisan serta internet, kita sebagai orang dewasa sudah tidak terlalu memikirkan penjagaan isi dan makna Al-Quran. Padahal ketika anak-anak mempelajari surah (pembagian dalam Al-Quran), mereka memperhatikan dengan serius cara pelafalan yang benar serta isi dari surah itu sendiri.”.

Sementara orangtuanya berbincang dengan kami, anak perempuan berusia tujuh tahun itu berlari masuk ke dalam ruangan,  mencari tempat untuk mendengarkan dan belajar isi Al-Quran.

Zikir dan Nalar, Dua Sayap Kesempurnaan Manusia


Salah satu bentuk terindah interaksi dengan Tuhan adalah zikir. Zikir memiliki arti mengingat. Mengingat Tuhan akan membuat jiwa seseorang bersih dan suci serta segala kekotoran yang bersarang di hati seseorang akan tersapu bersih. Oleh karena itu, zikir termasuk sifat para nabi dan nama Kitab Suci al-Quran. Dalam surat at-Talaq, ayat 10-11 Allah Swt menyebutkan, "Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya."

Selain itu, salah satu nama dari al-Quran adalah al-Dzikr seperti yang disebutkan oleh ayat 9 Surat al-Hijr yang artinya," Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr (Al Quran), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." Sebab dari penamaan nabi dan al-Quran dengan al-Dzikr, dikarenakan keduanya mengingatkan manusia kepada Tuhan, menyingkirkan awan kelalaian dan alpa dari hati manusia serta memberi cahaya Ilahi kepada hati-hati tersebut.

Salah satu dari manfaat mengingat Tuhan adalah ketenangan hati. Sejatinya mengingat Tuhan (Zikir) adalah obat untuk mengatasi stress dan penyakit jiwa. Stress kontradiksi dengan kestabilan jiwa yang diharapkan manusia serta akan menimbulkan berbagai penyakit kejiwaan. Ketenangan jiwa adalah tuntutan fitrah manusia serta berbagai aktivitas manusia sejatinya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan ini.

Masih banyak perbedaan dalam menentukan hal-hal yang membuat tenang kehidupan seseorang. Banyak yang memandang ketenangan jiwa dapat diraih dengan kekayaan dan harta yang melimpah serta kesejahteraan hidup dari sisi materi. Sebagian lain memandang pangkat dan kedudukan sebagai faktor ketenangan jiwa. Namun dalam pandangan al-Quran ketenangan jiwa hanya dapat diraih dengan mengingat Tuhan (berzikir) dan hal ini dijelaskan secara transparan dalam Surat al-Raad ayat 28, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."

Mencapai hikmah Ilahi merupakan manfaat dan dampak lain dari berzikir dan mengingat Tuhan. Zikir meningkatkan kekuatan penalaran manusia, karena Allah Swt mengulurkan bantuan-Nya terhadap kekuatan berfikir manusia yang menggunakan akalnya. Selain itu, al-Quran yang juga disebut sebagai al-Dzikr dan pengingat Tuhan, dalam berbagai ayatnya banyak memberi wejangan dan perintah untuk berfikir. Sejatinya Allah Swt menjadikan berfikir sebagai penyempurna mengingat Diri-Nya. Allah Swt dengan beragam cara menyeru manusia untuk memperhatikan urgensitas berfikir dan memperhatikan alam sekitarnya.

Dalam Surat Aali Imran ayat 191 Allah Swt berfirman, "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

Berdasarkan ayat ini, sifat pertama orang yang berakal adalah senantiasa mengingat Tuhan dalam kondisi apapun. Dalam persepsi ayat ini, orang berakal satu detik pun tidak pernah alpa mengingat Tuhan. Ia menyakini Allah Swt senantiasa mengawasinya dan hadir di sisinya. Ia juga meyakini dirinya selalu berada dalam pengawasan Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini, berbagai kondisi dan tempat tidak menjadi penghalang untuk mengingat Tuhan. Orang seperti ini persis seperti yang dijelaskan oleh ayat 37 Surat an-Nur, "Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang."

Di bagian kedua ayat 191 Surat Ali Imran, orang-orang yang berakal selain merenungkan ciptaan Allah Swt juga berkata, "...Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." Sejatinga penggalan kedua ayat ini menjelaskan karakteristik lain orang berakal yakni berfikir. Islam sangat menekankan kepada manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Oleh karena itu tak heran, karakteristik kedua orang berakal setelah mengingat Tuhan adalah berfikir.

Perhatian besar pada potensi besar ini bukan hanya dimonopoli oleh al-Quran, para pemimpin agama suci ini dalam berbagai wejangan mereka juga kerap mewasiatkan umatnya untuk menjaga dan menggunakan dengan baik kekuatan berfikir yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Misalnya Imam Hasan Askari as bersabda, "Tolok ukur penghambaan dan ibadah bukan kwantitas puasa serta shalat, namun ibadah diukur dari banyaknya merenungkan ciptaan Allah dan memikirkan berbagai tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta."

Ayat 17-18 Surat al-Zumar Allah Swt berfirman, "Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal."

Dalam dua ayat ini, Allah Swt dengan jelas menguraikan sifat lain dari orang-orang berakal. Sifat tersebut adalah memilih kata-kata yang baik ketika berbicara. Bagi pribadi yang berakal, sosok yang berbicara bukan penting, namun kandungan dari pembicaraan tersebut yang mereka pandang. Mereka akan menerima nasehat dan pembicaraan yang baik, meski yang pembicara bukan pribadi yang ideal menurut mereka.

Hal ini dikarenakan orang berakal yakin atas sabda Rasulullah Saw, "Hikmah dan ilmu adalah milik mukmin yang hilang dan jika ia menemukannya maka harus diambil." Bagi orang berakal pembicaraan yang baik meski keluar dari mulut orang yang tidak seakidah dengannya atau tidak sejalan pemikiran dengan dirinya, pasti ia terima. Karena menurutnya, pembicaraan dan nasehat yang baik ibaratnya mutiara yang bersinar dalam diri orang-orang yang berperilaku buruk. Imam Ali as bersabda, "Ilmu dan kebenaran adalah milik mukmin yang hilang, maka jika ia menemukannya,pelajarilah meski dari orang munafik."

Akhirnya zikir dan berfikir ibaranya dua sayap untuk terbang. Jika salah satunya hilang maka kita tidak dapat terbang. Keduanya saling melengkapi. Seseorang yang hanya berzikir namun lalai dari berfikir, tidak mungkin menjadi manusia yang sempurna. Sebaliknya, manusia yang hanya mementingkan berfikir tanpa mengindahkan zikir, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang berakal.

Jika kita memperhatikan sejarah peradaban dan budaya manusia, kita saksikan bahwa kebanyakan bencana yang menimpa manusia disebabkan mereka lalai salah satu dari dua unsur vital ini. Artinya, mereka di sebagian kasus hanya mementingkan zikir dan di kasus lain hanya menggunakan nalar untuk berfikir tanpa diimbangi dengan zikir. Akibatnya mereka tidak pernah sampai pada tujuan yang ingin diraih, malah terjebak ke dalam kesesatan.

Mereka yang berpandangan zikir terpisah dari nalar serta hanya disibukkan dengan berzikir telah menebarkan irfan sesat dan menyimpang dengan irfan sejati yang maksudkan oleh Islam di tengah-tengah masyarakat. Mereka kemudian menyeret masyarakat ke arah kesufi-sufian. Sebagian lain menganggap nalar sudah cukup bagi manusia dan lalai dari zikir serta menginga Tuhan. Orang-orang seperti ini pada akhirnya terseret ke lembah materialisme. Sejumlah dari kelompok ini yang menfokuskan kekuatan nalarnya di bidang ilmu eksakta  dan segala sesuatu diukur dengan ilmu empiris maka ia akan menyeleweng sangat jauh dan bahkan akan mengingkari keberadaan Tuhan.

Terkait Berita: