Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ziarah. Show all posts
Showing posts with label Ziarah. Show all posts

Khumus untuk Uang Pendaftaran


Pertanyaan: 
Saat ini bagi mereka yang mempunyai keinginan berangkat haji atau umrah, terlebih dahulu harus menyerahkan sejumlah uang tertentu ke pihak bank untuk mempertahankan giliran, dimana uang ini diserahkan sesuai dengan perjanjian mudharabah (bagi hasil) dan memiliki keuntungan. Setelah jangka waktu sekitar 3 tahun, dan giliran mereka tiba, maka mereka akan memperoleh uang pokok dan keuntungannya, untuk kemudian diserahkan kepada lembaga haji dan ziarah untuk keberangkatan haji atau umrah. Sekarang, dengan memperhatikan bahwa penyerahan uang ke bank ini merupakan pendahuluan dan langkah awal untuk berangkat haji atau umrah, dan apabila seseorang tidak menyerahkan uangnya ke bank, tidak akan mendapatkan giliran untuk pergi haji atau umrah, dan saat ini cara untuk pergi haji dan umrah pun demikian, apakah di dalam uang pokok dan keuntungannya terdapat khumus?

Jawab: 
Dengan asumsi di atas, jika dia berangkat haji pada tahun penyerahan khumus, maka tidak akan terdapat khumus. Akan tetapi apabila gilirannya untuk berangkat haji tiba setelah tahun khumus, maka untuk uang pokoknya terdapat khumus. Sedangkan keuntungannya merupakan pendapatan tahun tersebut.

Ziarah Kubur: Bukan hanya tidak bidah, bahkan sunah


Kenapa orang-orang Syi’ah hobi ziarah ke kuburan orang-­orang suci, apakah itu sunnah?

Ziarah ke pemakaman manusia suci, bahkan ke kuburan umum di setiap kota dan desa, mempunyai macam-macam dampak yang positif dan membangun. Antara Iain:
Ziarah kubur, yang mencerminkan ketidakberdayaan manusia dan kesirnaan kuasa serta fasilitas materialnya, sangat berpengaruh positif bagi kehidupan manusia. Kala menyaksikan pemandangan yang menyesakkan hati ini, setiap orang yang waspada akan merasakan betapa dunia ini cepat berlalu dan sama sekali tidak tetap, karena itu dia segera memikirkan jalan keluar hidupnya dan mencoba untuk mengetahui lebih detil tujuan dari penciptaan alam semesta ini, sehingga dengan cara ini dia berusaha menyelematkan diri dari gelombang kelalaian dan keangkuhan seraya berupaya meraih kebahagiaan akhirat yang kekal.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw telah mengingatkan kita semua dengan sabdanya, ‘Pergilah berziarah kubur, karena itu akan mengingatkanmu kepada alam akhirat.’[1] Di kesempatan lain beliau bersabda, ‘Pergilah berziarah kubur, karena di sana terdapat pelajaran untukmu.’[2]

Dampak-dampak positif yang tersebut di atas masih berkaitan dengan kuburan orang biasa, adapun mengenai kuburan orang suci seperi korban perang di jalan Allah Swt maka dampak positifnya jauh lebih besar dari itu. Ziarah ke makam para pejuang yang telah mengorbankan jiwa mereka demi membela kemuliaan bangsa dan cita-cita besar kemanusian Ilahi sungguh lebih mulia daripada ziarah ke makam orang biasa.

Selain berpengaruh dari sisi kejiwaan dan pendidikan, ziarah ke makam syuhada’ di jalan yang benar adalah satu bentuk perjanjian dengan mereka. Seorang peziarah, dengan kehadira nnya di sisi makam syuhada’, menyatakan kesetiaannya di jalan mereka dan berjanji akan senantiasa membela cita-cita suci mereka.
Untuk lebih jelasnya, kami akan membawakan sebuah contoh nyata:
Peziarah Baitullah mengusap Hajar Aswad sebelum bertawaf, dengan meletakkan tangan di atas batu itu dia menyatakan baiatnya kepada Nabi Ibrahim as bahwa dirinya akan tetap teguh di jalan Tauhid dan berusaha untuk menyebarkannya. Karena dia tidak dapat menemui pahlawan tauhid itu secara langsung, maka dia meletakkan tangan di atas peninggalannya dan melakukan baiat kepadanya.

Dalam hadis disebutkan bahwa ketika seorang peziarah Baitullah mengusap Hajar Aswad, hendaknya dia mengucapkan, ‘Aku tunaikan amanat yang ada padaku, dan aku perbarui baiatku agar engkau memberi kesaksian atas itu.’[3]

Ziarah makam syuhada Perang Badar, Uhud, Karbala dan lain sebagainya juga mencerminkan hal yang sama. Dengan hadir di sisi kuburan mereka dan mengucapkan salam kepada arwah suci mereka, para peziarah berjanji akan meneruskan jalan yang telah mereka tempuh. Dengan kata lain, ziarah makam syuhada adalah satu bentuk penghormatan terhadap mereka, dan mengingat bahwa syuhada mengorbankan nyawa demi cita-cita dan nilai-nilai tertentu maka siapa pun yang menghormati mereka pada hakikatnya juga menghormati cita-cita suci mereka dan memandang dirinya sebagai penerus jalan mereka.

Ziarah Kubur Nabi Muhammad Saw
Ziarah ke makam Rasulullah Saw atau pengganti suci beliau juga selain berarti penghargaan dan terimakasih atas pengorbanan mereka dalam memberi hidayah kepada umat manusia, adalah satu bentuk baiat atau perjanjian dengan mereka. Imam Ali bin Musa Ridho as di salah satu sabdanya mengenai ziarah kubur manusia suci as berkata, ‘Setiap imam punya perjanjian yang harus ditepati oleh para pecinta dan Syi’ahnya, dan ziarah kubur imam adalah bagian dari penunaian janji itu.’[4]

Dengan demikian, seorang peziarah ketika berkunjung ke kuburan Nabi Muhammad Saw atau imam-imam suci as pada hakikatnya dia sedang berjanji kepada mereka bahwa dalam hidupnya tidak akan menempuh jalan selain jalan yang telah mereka tunjukkan.

Secara bahasa tindakan, peziarah kubur Nabi Muhammad Saw ingin mengatakan bahwa, ‘Wahai Rasulullah! Bila sahabat Muhajirin dan Ansar berbaiat kepadamu di Hudaibiyah untuk membela risalahmu,[5] bila sahabat wanita mukmin Mekah berbaiat kepadamu untuk menghindari kesyirikan dan dosa,[6] dan bila orang-orang mukmin yang berbuat dosa diperintahkan untuk datang ke sisimu dan memohon doa kepadamu agar mendapat ampunan Allah Swt,[7] maka dengan hadir di sisi kuburanmu dan menyentuh tanah makammu, wahai Rasul yang mulia dan pemberi syafaat umatnya! Aku juga berbaiat kepadamu untuk membela norma-normamu dan menjauhi kesyirikan serta dosa yang lain, karena itu pula aku mohon doa kepadamu agar mendapat ampunan Ilahi.’

Mengingat bahwa seluruh mazhab Islam meyakini kesunnahan hukum ziarah kubur, maka di sini kami tidak menukil hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini. Bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri terkadang pergi ke Pemakaman Baqi’ dan setiap kali sampai ke sana beliau berkata kepada ahli kubur, ‘Salam untuk kalian wahai penghuni rumah orang-orang yang beriman. Esok, Allah Swt pasti memberikan apa yang telah Dia janjikan kepada kalian. Kalian sekarang sedang berada di antara kematian dan kebangkitan, dan kita juga pasti bergabung dengan kalian. Ya Allah! Ampunilah penghuni kuburan Baqi’ yang mulia.’[8]

Referensi:
[1] Sunan Ibnu Majah, jld. 1, hal. 500, hadis no. 1569.
[2] Kanz Al-‘Ummal, jld. 1, hal. 647, hadis no. 42558.
[3] Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 1, hal. 400, bab 12 dari bab-bab tawaf, hadis no. 1.
[4] Ibid., hal. 346, bab 44 dari bab-bab ziarah, hadis no. 2.
[5] Lihat: QS. Al-Fath [48] : 18.
[6] Lihat: QS. AJ-Mumtahanah [60] : 12.
[7] Lihat: QS. Al-Nisa’ [4] : 64.
[8] Shohih Muslim, jld. 3, hal. 63, kitab jenazah.

Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.


Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:



Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.


Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.



Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:

1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA’AH

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Zikir Berjama’ah.

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami Dalil LARANGAN ZIKIR BERJAMA’AH

Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan zikir berjama’ah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan acara tahlilan dan zikir berjama’ah serta melabelkan padanya tuduhan hukum bid’ah (padahal bid’ah itu bukan hukum).


Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy’ari Ra. Dan berkata, ‘Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas’ud) telah keluar pada kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’ Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar.

Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy’ari berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Abu Musa menjawab, ‘ Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.’ Abu Musa lalu berkata, ‘Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, ‘Bacalah takbir 100 kali,’ mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tahlil 100 kali‘, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tasbih 100 kali‘, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Apa yang kamu katakan pada mereka?’ Abu Musa menjawab, ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?’ Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.’

Mereka menjawab, ‘Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.’ Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.” (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi).

Riwayat tersebut sepertinya oleh kaum Salafi & Wahabi dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama’ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid’ah amalan zikir berjama’ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw, “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red).”

(Hadis Shahih di atas adalah riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas’ud Ra tidak mungkin tak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.

2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘ala kulli syai’in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.

3. Rasulullah Saw tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda’ Ra dan Abu Hurairah Ra memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu ‘Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya’, juz 1 hal. 383, dan lain-lain).

4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas’ud Ra di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu ‘Adi.

5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan / sabda Rasulullah Saw, melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas’ud Ra (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw, karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy’ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, “alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan“.

Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas’ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah” (Riwayat Ahmad). Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama’ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.

6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud Ra sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaah-nya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas’ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw tentang akan munculnya “sekelompok orang yang membaca al Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja”, yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama ‘Amr bin Salamah, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.”.

2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW

Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:

بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.

“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”

Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).

Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.

Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.


Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.

Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.

Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid“. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.

3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Menyanjung Rasulullah Saw

PENJELASAN DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw, dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau sesat sya’ir-sya’ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw tentang hal itu bunyinya begini:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)

“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).

Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah dan secara mutlak memahami hadis ini sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya “pengkultusan” yang dapat dikategorikan sebagai syirik – musyrik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan “mengkultuskan”.

Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu “menyadari” bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.

Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah “mengkultuskan” Rasulullah Saw dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al Quran yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.

Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu’ (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap “memuliakan” itu sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.

Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al Quran, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
“… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya ( Al Quran ), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).

Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid’ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap “berlebihan” dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan Pas’nya” dan “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, “kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?”

Bila Rasulullah Saw sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?

Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’ bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).
Anas bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al Quran” (HR. Ahmad).

Delegasi Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw, “Engkau adalah tuan kami.” Rasulullah Saw menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.” Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw berkata, “Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.

Cover Buku Salafi Wahabi Melarang Menyanjung Rasulullah Saw. Di atas adalah Judul Cover buku terbitan kaum salafi dan Wahabi.

Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.

Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan” (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt, sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.

Para ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi” makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.

Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al Quran dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz ‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban” (QS. Al-Muzzammil: 17).

Pada ayat pertama di atas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah “hari” lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab” tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy-Syuuraa: 52).

Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)

“Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.

Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.

Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal “bekal” kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?
Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?

Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw, lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw, bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah berkata:

عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)

“Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).

وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)

Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh” (Siyar A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)

Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw, karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:

1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al Quran dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.

2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.

Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” ( yaitu Rasulullah Saw ) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.

Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw telah bersabda:

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ (روا مسلم)

“Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah” (HR. Muslim).

Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:

أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)

Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’, Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21).

Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti “ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha “membunuh karakter” Rasulullah Saw dari hati para pengikutnya??!

4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Acara Kematian Acara Tahlilan.

PENJELASAN DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN ACARA TAHLILAN

Di antara dalil khusus dari kaum Salafi & Wahabi yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap” (HR. Ibnu Majah).

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk daripada meratap” (HR. Ahmad).

Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah Saw juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.

Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.

Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada ‘illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali.

Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan “oncom” sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.

Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.

Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I’anatuth-Thalibiin.


Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:

ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)

Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
“Dan di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.” (I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).

Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan ‘pengharaman’ agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
“… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram.”

Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.

Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)

(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?” (lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).

Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta’ziyah itu dalam hal mana “mereka menunggu makanan” di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram” kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.

Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta’ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta’ziyah yang datang.

Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang “keberatan” dan “beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikit pun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu.
Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang “makruh” tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!

Jika alasan “berkumpulnya orang akan menambah kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?

Sungguh, hukum “makruh” yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi “menambah kesedihan atau beban kerepotan” meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.

Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.

********

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid’ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan.

Akibatnya, “larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa “larangan” tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw sendiri saat beliau minum sambil berdiri.


Semoga bermanfaat dan berkah, amin …

Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw

Oleh: Ustadz Ahmad Samanhudi – Ustadz Imam Mustofa Mukhtar

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW.

Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:

بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.

“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”

Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).

Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.

Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.


Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.

Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.

Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid“. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.

Jejak Islam di Sulawesi Selatan; Menemukan Jejak Syekh Jamaluddin al Husaini

Makam Sayyid Jamaluddin Al Akbar Al Husaini di Wajo. Sayang, makam ini kini tak terawat sama sekali, padahal beliau adalah salah satu penyebar Islam yang paling awal di Sulawesi Selatan

Oleh: Mubarak Idrus*

Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut.

Tetapi kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.


Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan nabi atau ahl al-bayt yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Padahal memelihara peninggalan para 'auliya Allah sama dengan meninggikan ayat-ayat Allah

Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan.

Kiai Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila, raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M. Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Sayyid Jamaluddin al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa pemerintahan raja itu. (KH. S. Jamaluddin Assagaf, tt: 26).

Keterangan serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Jamaluddin al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid, 1998: 161).

Lalu mengapa nama Jamaluddin al-Husaini tak pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah. Padahal perannya cukup penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Bahkan sebelum para wali songo menyebarkan Islam di Jawa, Jamaluddin al-Husaini telah memulainya dan konon wali songo sempat berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan Islam di kerajaannya, terlebih dahulu meminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah di bawa lebih dahulu oleh kakeknya, Sayyid Jamaluddin al-Husaini pada tahun 1320 M di daerah Bugis Sulawesi Selatan (KH. Jamaluddin, op. cit: 31).

Boleh jadi karena Jamaluddin al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan kerajaan Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu kerajaan yang terbesar saat itu di Sulawesi Selatan sehingga proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan sesungguhnya tidaklah tunggal.

Yang menarik kemudian, dalam beberapa versi “resmi” tentang masuknya Islam di kerajaan Gowa-Tallo disebutkan bahwa sebelum Datuk ri Bandang tiba di Tallo, raja Tallo Sultan Abdullah diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah nabi sendiri. Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi lalu menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu. Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya (Noorduyn, 1972: 31).

Ini kemudian menjadi menarik karena bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai sejarah islamisasi di Nusantara atau Sulawesi secara khusus. Tapi bagaimana akar polarisasi keberagamaan sampai pada nalar agama, itu bisa dilacak dari proses islamisasi itu. Misalnya, ada perbedaan model dakwah yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Husaini dengan Datuk ri Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo, dia dan para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam. Sayyid Jamaluddin justru mengadakan pencak silat secara tertutup dengan para pengikutnya. Masyarakat sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa gerangan yang diadakan tiap sore itu. Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan tamu-tamu itu adalah permainan langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan yang bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang memainkan permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat setempat menamainya dengan langka arab.

Masyarakat pun kemudian memohon menjadi anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena permainan latihan berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Sayyid Jamaluddin dan rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut latihan juga turun shalat meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada akhirnya peserta latihan itu banyak yang mengucapkan syahadatain.

Masjid yang sedianya dibangun di areal pemakaman, namun terbengkalai

Belakangan, arena latihan yang bernama langka arab menjadi langkara. Kata ini yang kemudian menjadi langgara, lalu berubah menjadi mushallah dan masjid. (KH. Jamaluddin, op. cit: 28). Berbeda dengan Datuk ri Bandang dkk, ketika datang ke Makassar, sistem dakwah yang dikembangkan selain mengajarkan syahadatain mereka langsung mengajarkan sembahyang lima waktu, puasa ramadhan dan melarang perbuatan dosa besar seperti zina, menyembah berhala, membunuh, mencuri dan minum khamar. Dua tahun setelah kedatangan Datuk ri Bandang dkk diadakanlah shalat jum’at di masjid kerajaan Tallo setelah diumumkannya oleh raja Gowa bahwa agama Islam adalah agama resmi yang dianut kerajaan. (Ibid: 35).

Islam yang dikembangkan oleh Datuk ri Bandang dkk inilah yang di kemudian hari lekat dengan negara. Dan memang dalam sejarah mainstream, hampir semua penyebar atau pendakwah Islam dekat dengan kerajaan.
Wali songo pun sangat akrab dengan kerajaan. Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang adalah orang-orang yang akrab dengan kerajaan. Karena itu, dapat dimaklumi kalau nalar keislaman yang dikembangkan oleh para pengikutnya adalah nalar-nalar negara. Jadi agama ya sekaligus negara. Dan nalar keislaman yang dikembangkan ini yang nantinya melahirkan nalar atau praktik keagamaan yang formalistik dan “tidak ramah” pada budaya setempat. Bahkan hancurnya beberapa aliran tarekat diduga karena dibabat habis oleh tokoh agama yang mengembangkan nalar formalistik yang berkolaborasi dengan kekuasaan.

Lain halnya dengan yang dikembangkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Husaini atau yang seperti beliau. Hampir semua penganjur Islam model terakhir ini menjaga jarak dengan kekuasaan. Mereka pun tidak mendapat ruang dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Lihat saja bagaimana Hamzah Fansuri yang dianggap sesat oleh Ar-Raniri karena dianggap menyebarkan paham wihdatul wujud. Hak serupa dialami Siti Jenar, Syekh Mutamakkin dsb. Mereka adalah orang yang dianggap sesat oleh ulama-ulama kerajaan saat itu. Begitu pun di Sulawesi. Sebutlah misalnya Latola seorang wali di Desa Samaenre Pinrang, kecamatan Mattiro Sompe, yang bergelar Ipua Walie Pallipa Putewe Matinroe Massiku’na (Tuan Wali yang Bersarung Putih Dan Yang Tidur dengan berbaring pada sikutnya), oleh orang-orang luar dianggap sebagai biang keladi kemusyrikan dan bid’ah di desa tersebut. Padahal dia penganjur Islam yang justru dianggap wali oleh penduduk setempat. Atau Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang sama sekali tidak dikenal dalam sejarah sebagai penganjur Islam. Padahal, perannya sangat vital karena tokoh ini adalah penyebar Islam generasi pertama. Tidak hanya di Sulawesi Selatan tapi justru wali songo pernah berguru kepadanya.

Ada yang menarik dari proses islamisasi di Luwu. Sebelum Datuk ri Patimang sampai di Luwu untuk mengislamkan raja Luwu, dia lebih dahulu singgah di daerah Bua. Di daerah itu, Datuk ri Patimang mengadakan singkarume atau dialog tentang Islam dengan Madika Bua Tandi Pau, pemimpin adat daerah Bua dan beberapa anggota hadat lainnya. Dalam singkarume itu Madika Bua memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apa itu Islam. Bahkan Madika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya oleh Datuk ri Patimang dianggap pertanyaan waliyullah tingkat ketiga.

Akhirnya Datuk Sulaiman atau Datuk ri Patimang mengakui bahwa Madika Bua sesungguhnya telah Islam. Setelah dialog, Madika Bua dan Datuk ri Patimang saling uji kesaktian dan tidak satu pun ada yang kalah atau menang. Tapi pada akhirnya Madika Bua mau mengucapkan syahadatain dan mengikuti Datuk ri Patimang. Setelah Madika Bua mengucapkan syahadatain, barulah Madika Bua bersama Datuk ri Patimang menghadap ke raja Luwu untuk mengislamkan raja Luwu. Nah, jangan-jangan, Madika Bua mendapatkan pengetahuan keislamannya dari Jamaluddin al-Husaini. (SS-Jib)

*Penulis; Staf Divisi Agama dan Kebudayaan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel.

Masjid Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra di Jalan Masjid Tua, Desa Teroja,Kacamatan Manjeuleng, Kabupaten Wajo, Propensi Sulawesi Selatan.

Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Amir Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan adalah anak ke-1 dari Al-Imam Ahmad Syah Jalaluddin Azmatkhan, dia adalah seorang Raja Ke-4 di Kesultanan Islam Nasarabad India Lama, naik tahta setelah wafatnya sang ayah, yaitu pada tahun 1310 M.

NASAB LENGKAP

Nasab lengkapnya adalah Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Amir Abdullah  bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi Shohib Bait Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shouma'ah bin Alwi Al-Mubtakir bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja'far Shodiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Wa Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad.  

JABATAN

Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra adalah Raja/ Sultan Ke-4 Kesultanan Islam Nasarabad India Lama, sekaligus muballigh yang bekeliling hingga ke Nusantara.  

NAMA GELAR HUSAIN JAMALUDDIN AKBAR JUMADIL KUBRO
  1. Sayyid Husain Jamaluddin
  2. Syekh Maulana Akbar
  3. Syekh Maulana Jumadil Kubra I
  4. Syekh Maulana Jumadil Kubra Wajo
  5. Maulana Jamaluddin Akbar Gujarat
  6. Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubra

NAMA ISTERI HUSAIN JAMALUDDIN AKBAR JUMADIL KUBRO


Al-Imam Maulana Husain Jamaluddin Jumadil Kubro dikenal sebagai seorang muballigh terkemuka, di mana sebagian besar penyebar Islam di Nusantara (Wali Songo), berasal dari keturunannya. Beliau dilahirkan pada tahun 1270 M di negeri Nasarabad, dan wafat di Wajo tahun 1453 M. Jadi usianya 183 tahun.

Syekh Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra, beliau tercatat memiliki isteri 9 orang (pada tahun yang berbeda-beda), yaitu :

1. Amira Fathimah binti Amir Husain bin Muhammad Taraghay (Pendiri Dinasti Timuriyyah, Raja Uzbekistan, Samarkand), (Menikah tahun 1295 M), melahirkan 5 anak. yaitu: Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandiy (Ibrahim Asmoro) saat berdakwah di Samarqand (yaitu antara tahun 1295M-1308 M), Ibrahim Zainuddin Asmaraqandi lahir tahun 1297 M. kemudian lahir putra-putra yang lain yaitu: Pangeran Pebahar As-Samarqandiy (lahir di Samarkan 1300 M), Fadhal As-Samarqandiy (Sunan Lembayung) (lahir di Samarqand tahun 1302 M), Sunan Kramasari As-Samarqandiy (Sayyid Sembahan Dewa Agung) (lahir di Samarkand pada tahun 1305 M), Syekh Yusuf Shiddiq As-Samarqandiy (lahir di Samarkand pada tahun 1307 M), 

2. Puteri Nizamul Muluk bin Sultan Nizamul Muluk dari Delhi (India) (menikah tahun 1309 M), Pernikahan ini dilakukan saat Maulana Husain Jamaluddin kembali dari dakwahnya dari Samarkand ke India, dari isteri ini memiliki 3 anak yaitu: Maulana Muhammad Jumadil Kubra (lahir di Nasarabad India, tahun 1311 M), Maulana Muhammad 'Ali Akbar (lahir di Nasarabad, tahun 1312 M), Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir, Lahir di Nasarabad India, tahun 1314 M), Syaikh Maulana Wali Islam (lahir di Nasarabad, tahun 1317 M)

3. Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Morocco) (Menikah tahun 1319 M), pernikahan ini dilakukan Husain Jamaluddin saat adanya hubungan diplomatik antara Kesultanan India dengan Kerajaan Marokko, dari pernikahan ini memiliki 1 anak yaitu: Maulana Muhammad Al-Maghribi (lahir di Maghrib (Morocco), tahun 1321 M)

4. Fathimah binti Hasan At-Turabi bin 'Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam Al-Hadrami Al-Husaini (menikah tahun 1323 M) melahirkan seorang anak laki-laki bernama Maulana Ibrahim Al-Hadrami Azmatkhan (leluhur Azmatkhan di Yaman) lahir di Hadramaut pada tahun 1325 M.

5. Puteri Linang Cahaya binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia)/ Raja Langka suka (menikah pada tahun 1350 M), melahirkan 1 anak, yaitu: Puteri Siti Aisyah (Putri Ratna Kusuma) (lahir pada tahun 1351 M) yang kemudian menjadi isteri Syeikh Khalid Al Idrus (Adipati Jepara)

6. Puteri Ramawati binti Sultan Zainal Abidin I Diraja Champa (Menikah tahun 1355 M) memiliki 1 anak laki-laki, yang diberi nama Ibrahim Zainuddin Asghar Champa yang bergelar Sultan Zainal Abidin II Diraja Champa (lahir di Champa, tahun 1357 M).

7. Puteri Syahirah atau Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II) binti Sultan Baki Shah ibni al-Marhum Sultan Mahmud, Raja of Chermin dari Kelantan Malaysia (menikah tahun 1390M), melahirkan 2 anak. yaitu Sayyid 'Ali Nurul Alam bin Husain Jamadi al-Kubra, alias Pateh Arya Gajah Mada. Perdana Mantri of Kelantan-Majapahit II menjabat antara 1432-1467 M (lahir pada tahun 1402 M) dan Sayyid Muhammad Kebungsuan alias (Prabhu Anum/Udaya ning-Rat/Bhra Wijaya) lahir pada tahun 1410 M.

8. Puteri Jauhar binti Raja Johor Malaysia, menikah tahun 1399 M melahirkan 2 anak. yaitu 'Abdul Malik (lahir di Johor, 1404 M) dan Sultan Berkat Zainul Alam (lahir di Johor, tahun 1406 M).

9. Pada tahun 1411 Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra menikah dengan Putri Raja Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna (Raja Gowa Sulawesi Selatan), dan melahirkan beberapa anak, yaitu : 1. Sayyid Hasan Jumadil Kubra lahir tahun 1413 M (Menjadi Syekh Mufti Kesultanan Gowa, tahun 1453 M, bertepatan dengan wafatnya Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, dan wafat tahun 1591 M, berusia 138 tahun). 2. Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443 M.

* Sayyid Hasan Jumadil Kubra bin Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, menikah dengan Sepupunya yaitu Puteri Tunggal Halimah binti I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (Raja Gowa, berkuasa 1590 -1593), melahirkan:
1. Sultan Gowa Islam Pertama (I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna), kemudian ia melahirkan putera bernama:
2. Sultan Gowa Islam Kedua (I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna), kemudian ia melahirkan putera bernama:
3. Sultan Gowa Islam Ketiga (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana) , bergelar SULTAN HASANUDDIN alias AYAM JANTAN DARI TIMUR, (PAHLAWAN NASIONAL). Dan keturunannya sampai sekarang terdata di Kitab Al-Mausu'ah Li Ansabi Al-Imam Al-Husaini.

* Adapun Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443 M, Pada tahun 1473 M menikah dengan Puteri Wajo binti La Tadampare Puangrimaggalatung (Raja Wajo), pada tahun 1483 M melahirkan putera bernama Sulaiman alias Dato Sulaiman (Qadhi & Mufti Kesultanan Wajo Pertama). Dato Sulaiman ini keturunannya banyak di Wajo dan di Pasuruan dan Bangil, Jawa timur.

NAMA ANAK HUSAIN JAMALUDDIN AKBAR JUMADIL KUBRA

Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan memiliki 19 anak dari 9 isteri, yaitu:
  1. Ibrahim Zainuddin Asmaraqandi lahir tahun 1297 M. 
  2. Pangeran Pebahar As-Samarqandiy (lahir di Samarkan 1300 M), 
  3. Fadhal As-Samarqandiy (Sunan Lembayung) (lahir di Samarqand tahun 1302 M), 
  4. Sunan Kramasari As-Samarqandiy (Sayyid Sembahan Dewa Agung) (lahir di Samarkand pada tahun 1305 M), 
  5. Syekh Yusuf Shiddiq As-Samarqandiy (lahir di Samarkand pada tahun 1307 M), 
  6. Maulana Muhammad Jumadil Kubra (lahir di Nasarabad India, tahun 1311 M), 
  7. Maulana Muhammad 'Ali Akbar (lahir di Nasarabad, tahun 1312 M), 
  8. Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir, Lahir di Nasarabad India, tahun 1314 M), 
  9. Syaikh Maulana Wali Islam (lahir di Nasarabad, tahun 1317 M)
  10. Maulana Muhammad Al-Maghribi (lahir di Maghrib (Morocco), tahun 1321 M)
  11. Maulana Ibrahim Al-Hadrami Azmatkhan (leluhur Azmatkhan di Yaman) lahir di Hadramaut pada tahun 1325 M.
  12. Puteri Siti Aisyah (Putri Ratna Kusuma) (lahir pada tahun 1351 M) yang kemudian menjadi isteri Syeikh Khalid Al Idrus (Adipati Jepara)
  13. Ibrahim Zainuddin Asghar Champa yang bergelar Sultan Zainal Abidin II Diraja Champa (lahir di Champa, tahun 1357 M)
  14. Sayyid 'Ali Nurul Alam bin Husain Jamadi al-Kubra, (bergelar Maulana 'Abdul Malik Israil / Sultan Qanbul) alias Pateh Arya Gajah Mada. Perdana Mantri of Kelantan-Majapahit II menjabat antara 1432-1467 M (lahir pada tahun 1402 M) 
  15. 'Abdul Malik (lahir di Johor, 1404 M) d
  16. Sultan Berkat Zainul Alam (lahir di Johor, tahun 1406 M)
  17. Sayyid Muhammad Kebungsuan alias (Prabhu Anum/Udaya ning-Rat/Bhra Wijaya) lahir pada tahun 1410 M.
  18. Sayyid Hasan Jumadil Kubra lahir tahun 1413 M (Menjadi Syekh Mufti Kesultanan Gowa, tahun 1453 M, bertepatan dengan wafatnya Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, dan wafat tahun 1591 M, berusia 138 tahun). 
  19. Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443 M.
WAFAT
Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan meninggal dunia tahun 1453 M dan dimakamkan di hadapan masjid beliau di Jalan Masjid Tua, Desa Teroja,Kacamatan Manjeuleng, Kabupaten Wajo, Propensi Sulawesi Selatan.

Makam Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan

Makam Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan

DAFTAR PUSTAKA:
As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, Al-Mausuu'ah Li Ansaab Itrati Al-Imam Al-Husaini, Jakarta: Penerbit.Madawis, Cetakan 1, 2011.

Terkait Berita: