Makam
Sayyid Jamaluddin Al Akbar Al Husaini di Wajo. Sayang, makam ini kini
tak terawat sama sekali, padahal beliau adalah salah satu penyebar Islam
yang paling awal di Sulawesi Selatan
Oleh: Mubarak Idrus*
Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut.
Tetapi kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan nabi atau ahl al-bayt yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan.
Kiai Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila, raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M. Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Sayyid Jamaluddin al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa pemerintahan raja itu. (KH. S. Jamaluddin Assagaf, tt: 26).
Keterangan serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Jamaluddin al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid, 1998: 161).
Lalu mengapa nama Jamaluddin al-Husaini tak pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah. Padahal perannya cukup penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Bahkan sebelum para wali songo menyebarkan Islam di Jawa, Jamaluddin al-Husaini telah memulainya dan konon wali songo sempat berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan Islam di kerajaannya, terlebih dahulu meminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah di bawa lebih dahulu oleh kakeknya, Sayyid Jamaluddin al-Husaini pada tahun 1320 M di daerah Bugis Sulawesi Selatan (KH. Jamaluddin, op. cit: 31).
Boleh jadi karena Jamaluddin al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan kerajaan Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu kerajaan yang terbesar saat itu di Sulawesi Selatan sehingga proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan sesungguhnya tidaklah tunggal.
Yang menarik kemudian, dalam beberapa versi “resmi” tentang masuknya Islam di kerajaan Gowa-Tallo disebutkan bahwa sebelum Datuk ri Bandang tiba di Tallo, raja Tallo Sultan Abdullah diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah nabi sendiri. Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi lalu menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu. Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya (Noorduyn, 1972: 31).
Ini kemudian menjadi menarik karena bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai sejarah islamisasi di Nusantara atau Sulawesi secara khusus. Tapi bagaimana akar polarisasi keberagamaan sampai pada nalar agama, itu bisa dilacak dari proses islamisasi itu. Misalnya, ada perbedaan model dakwah yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Husaini dengan Datuk ri Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo, dia dan para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam. Sayyid Jamaluddin justru mengadakan pencak silat secara tertutup dengan para pengikutnya. Masyarakat sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa gerangan yang diadakan tiap sore itu. Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan tamu-tamu itu adalah permainan langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan yang bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang memainkan permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat setempat menamainya dengan langka arab.
Masyarakat pun kemudian memohon menjadi anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena permainan latihan berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Sayyid Jamaluddin dan rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut latihan juga turun shalat meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada akhirnya peserta latihan itu banyak yang mengucapkan syahadatain.
Belakangan, arena latihan yang bernama langka arab menjadi langkara. Kata ini yang kemudian menjadi langgara, lalu berubah menjadi mushallah dan masjid. (KH. Jamaluddin, op. cit: 28). Berbeda dengan Datuk ri Bandang dkk, ketika datang ke Makassar, sistem dakwah yang dikembangkan selain mengajarkan syahadatain mereka langsung mengajarkan sembahyang lima waktu, puasa ramadhan dan melarang perbuatan dosa besar seperti zina, menyembah berhala, membunuh, mencuri dan minum khamar. Dua tahun setelah kedatangan Datuk ri Bandang dkk diadakanlah shalat jum’at di masjid kerajaan Tallo setelah diumumkannya oleh raja Gowa bahwa agama Islam adalah agama resmi yang dianut kerajaan. (Ibid: 35).
Islam yang dikembangkan oleh Datuk ri Bandang dkk inilah yang di kemudian hari lekat dengan negara. Dan memang dalam sejarah mainstream, hampir semua penyebar atau pendakwah Islam dekat dengan kerajaan.
Wali songo pun sangat akrab dengan kerajaan. Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang adalah orang-orang yang akrab dengan kerajaan. Karena itu, dapat dimaklumi kalau nalar keislaman yang dikembangkan oleh para pengikutnya adalah nalar-nalar negara. Jadi agama ya sekaligus negara. Dan nalar keislaman yang dikembangkan ini yang nantinya melahirkan nalar atau praktik keagamaan yang formalistik dan “tidak ramah” pada budaya setempat. Bahkan hancurnya beberapa aliran tarekat diduga karena dibabat habis oleh tokoh agama yang mengembangkan nalar formalistik yang berkolaborasi dengan kekuasaan.
Lain halnya dengan yang dikembangkan oleh Sayyid Jamaluddin al-Husaini atau yang seperti beliau. Hampir semua penganjur Islam model terakhir ini menjaga jarak dengan kekuasaan. Mereka pun tidak mendapat ruang dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Lihat saja bagaimana Hamzah Fansuri yang dianggap sesat oleh Ar-Raniri karena dianggap menyebarkan paham wihdatul wujud. Hak serupa dialami Siti Jenar, Syekh Mutamakkin dsb. Mereka adalah orang yang dianggap sesat oleh ulama-ulama kerajaan saat itu. Begitu pun di Sulawesi. Sebutlah misalnya Latola seorang wali di Desa Samaenre Pinrang, kecamatan Mattiro Sompe, yang bergelar Ipua Walie Pallipa Putewe Matinroe Massiku’na (Tuan Wali yang Bersarung Putih Dan Yang Tidur dengan berbaring pada sikutnya), oleh orang-orang luar dianggap sebagai biang keladi kemusyrikan dan bid’ah di desa tersebut. Padahal dia penganjur Islam yang justru dianggap wali oleh penduduk setempat. Atau Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang sama sekali tidak dikenal dalam sejarah sebagai penganjur Islam. Padahal, perannya sangat vital karena tokoh ini adalah penyebar Islam generasi pertama. Tidak hanya di Sulawesi Selatan tapi justru wali songo pernah berguru kepadanya.
Ada yang menarik dari proses islamisasi di Luwu. Sebelum Datuk ri Patimang sampai di Luwu untuk mengislamkan raja Luwu, dia lebih dahulu singgah di daerah Bua. Di daerah itu, Datuk ri Patimang mengadakan singkarume atau dialog tentang Islam dengan Madika Bua Tandi Pau, pemimpin adat daerah Bua dan beberapa anggota hadat lainnya. Dalam singkarume itu Madika Bua memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang apa itu Islam. Bahkan Madika Bua mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya oleh Datuk ri Patimang dianggap pertanyaan waliyullah tingkat ketiga.
Akhirnya Datuk Sulaiman atau Datuk ri Patimang mengakui bahwa Madika Bua sesungguhnya telah Islam. Setelah dialog, Madika Bua dan Datuk ri Patimang saling uji kesaktian dan tidak satu pun ada yang kalah atau menang. Tapi pada akhirnya Madika Bua mau mengucapkan syahadatain dan mengikuti Datuk ri Patimang. Setelah Madika Bua mengucapkan syahadatain, barulah Madika Bua bersama Datuk ri Patimang menghadap ke raja Luwu untuk mengislamkan raja Luwu. Nah, jangan-jangan, Madika Bua mendapatkan pengetahuan keislamannya dari Jamaluddin al-Husaini. (SS-Jib)
*Penulis; Staf Divisi Agama dan Kebudayaan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel.
Masjid Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra di Jalan Masjid Tua, Desa Teroja,Kacamatan Manjeuleng, Kabupaten Wajo, Propensi Sulawesi Selatan.
Husain
Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Amir
Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan adalah anak ke-1 dari Al-Imam Ahmad
Syah Jalaluddin Azmatkhan, dia adalah seorang Raja Ke-4 di Kesultanan
Islam Nasarabad India Lama, naik tahta setelah wafatnya sang ayah, yaitu
pada tahun 1310 M.
NASAB LENGKAP
Nasab
lengkapnya adalah Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra bin Ahmad Syah
Jalaluddin bin Amir Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul
Faqih bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi Shohib
Bait Jubair bin Muhammad Maula Ash-Shouma'ah bin Alwi Al-Mubtakir bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib
bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja'far Shodiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin
Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Wa
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad.
JABATAN
Sayyid Husain
Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra adalah Raja/ Sultan Ke-4 Kesultanan Islam
Nasarabad India Lama, sekaligus muballigh yang bekeliling hingga ke
Nusantara.
NAMA GELAR HUSAIN JAMALUDDIN AKBAR JUMADIL KUBRO
- Sayyid Husain Jamaluddin
- Syekh Maulana Akbar
- Syekh Maulana Jumadil Kubra I
- Syekh Maulana Jumadil Kubra Wajo
- Maulana Jamaluddin Akbar Gujarat
- Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubra
NAMA ISTERI HUSAIN JAMALUDDIN AKBAR JUMADIL KUBRO
Al-Imam
Maulana Husain Jamaluddin Jumadil Kubro dikenal sebagai seorang
muballigh terkemuka, di mana sebagian besar penyebar Islam di Nusantara
(Wali Songo), berasal dari keturunannya. Beliau dilahirkan pada tahun
1270 M di negeri Nasarabad, dan wafat di Wajo tahun 1453 M. Jadi usianya
183 tahun.
Syekh Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra, beliau tercatat memiliki isteri 9 orang (pada tahun yang berbeda-beda), yaitu :
1.
Amira Fathimah binti Amir Husain bin Muhammad Taraghay (Pendiri Dinasti
Timuriyyah, Raja Uzbekistan, Samarkand), (Menikah tahun 1295 M),
melahirkan 5 anak. yaitu: Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandiy
(Ibrahim Asmoro) saat berdakwah di Samarqand (yaitu antara tahun
1295M-1308 M), Ibrahim Zainuddin Asmaraqandi lahir tahun 1297 M.
kemudian lahir putra-putra yang lain yaitu: Pangeran Pebahar
As-Samarqandiy (lahir di Samarkan 1300 M), Fadhal As-Samarqandiy (Sunan
Lembayung) (lahir di Samarqand tahun 1302 M), Sunan Kramasari
As-Samarqandiy (Sayyid Sembahan Dewa Agung) (lahir di Samarkand pada
tahun 1305 M), Syekh Yusuf Shiddiq As-Samarqandiy (lahir di Samarkand
pada tahun 1307 M),
2.
Puteri Nizamul Muluk bin Sultan Nizamul Muluk dari Delhi (India)
(menikah tahun 1309 M), Pernikahan ini dilakukan saat Maulana Husain
Jamaluddin kembali dari dakwahnya dari Samarkand ke India, dari isteri
ini memiliki 3 anak yaitu: Maulana Muhammad Jumadil Kubra (lahir di
Nasarabad India, tahun 1311 M), Maulana Muhammad 'Ali Akbar (lahir di
Nasarabad, tahun 1312 M), Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir,
Lahir di Nasarabad India, tahun 1314 M), Syaikh Maulana Wali Islam
(lahir di Nasarabad, tahun 1317 M)
3.
Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Morocco)
(Menikah tahun 1319 M), pernikahan ini dilakukan Husain Jamaluddin saat
adanya hubungan diplomatik antara Kesultanan India dengan Kerajaan
Marokko, dari pernikahan ini memiliki 1 anak yaitu: Maulana Muhammad
Al-Maghribi (lahir di Maghrib (Morocco), tahun 1321 M)
4.
Fathimah binti Hasan At-Turabi bin 'Ali bin Muhammad Al-Faqih
Al-Muqaddam Al-Hadrami Al-Husaini (menikah tahun 1323 M) melahirkan
seorang anak laki-laki bernama Maulana Ibrahim Al-Hadrami Azmatkhan
(leluhur Azmatkhan di Yaman) lahir di Hadramaut pada tahun 1325 M.
5.
Puteri Linang Cahaya binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan
Baqiuddin Syah (Malaysia)/ Raja Langka suka (menikah pada tahun 1350 M),
melahirkan 1 anak, yaitu: Puteri Siti Aisyah (Putri Ratna Kusuma)
(lahir pada tahun 1351 M) yang kemudian menjadi isteri Syeikh Khalid Al
Idrus (Adipati Jepara)
6.
Puteri Ramawati binti Sultan Zainal Abidin I Diraja Champa (Menikah
tahun 1355 M) memiliki 1 anak laki-laki, yang diberi nama Ibrahim
Zainuddin Asghar Champa yang bergelar Sultan Zainal Abidin II Diraja
Champa (lahir di Champa, tahun 1357 M).
7.
Puteri Syahirah atau Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II) binti
Sultan Baki Shah ibni al-Marhum Sultan Mahmud, Raja of Chermin dari
Kelantan Malaysia (menikah tahun 1390M), melahirkan 2 anak. yaitu Sayyid
'Ali Nurul Alam bin Husain Jamadi al-Kubra, alias Pateh Arya Gajah
Mada. Perdana Mantri of Kelantan-Majapahit II menjabat antara 1432-1467 M
(lahir pada tahun 1402 M) dan Sayyid Muhammad Kebungsuan alias (Prabhu
Anum/Udaya ning-Rat/Bhra Wijaya) lahir pada tahun 1410 M.
8.
Puteri Jauhar binti Raja Johor Malaysia, menikah tahun 1399 M
melahirkan 2 anak. yaitu 'Abdul Malik (lahir di Johor, 1404 M) dan
Sultan Berkat Zainul Alam (lahir di Johor, tahun 1406 M).
9. Pada tahun 1411 Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra menikah dengan Putri Raja Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna (Raja Gowa Sulawesi Selatan), dan melahirkan beberapa anak, yaitu : 1. Sayyid Hasan Jumadil Kubra lahir tahun 1413 M (Menjadi Syekh Mufti Kesultanan Gowa, tahun 1453 M, bertepatan dengan wafatnya Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, dan wafat tahun 1591 M, berusia 138 tahun). 2. Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443 M.
9. Pada tahun 1411 Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra menikah dengan Putri Raja Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna (Raja Gowa Sulawesi Selatan), dan melahirkan beberapa anak, yaitu : 1. Sayyid Hasan Jumadil Kubra lahir tahun 1413 M (Menjadi Syekh Mufti Kesultanan Gowa, tahun 1453 M, bertepatan dengan wafatnya Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, dan wafat tahun 1591 M, berusia 138 tahun). 2. Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443 M.
* Sayyid Hasan Jumadil Kubra bin Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra,
menikah dengan Sepupunya yaitu Puteri Tunggal Halimah binti I
Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (Raja Gowa, berkuasa 1590
-1593), melahirkan:
1.
Sultan Gowa Islam Pertama (I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin
Tuminanga ri Gaukanna), kemudian ia melahirkan putera bernama:
2.
Sultan Gowa Islam Kedua (I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung
Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna), kemudian ia melahirkan
putera bernama:
3.
Sultan Gowa Islam Ketiga (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana) , bergelar SULTAN
HASANUDDIN alias AYAM JANTAN DARI TIMUR, (PAHLAWAN NASIONAL). Dan
keturunannya sampai sekarang terdata di Kitab Al-Mausu'ah Li Ansabi
Al-Imam Al-Husaini.
* Adapun Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar,
lahir tahun 1443 M, Pada tahun 1473 M menikah dengan Puteri Wajo binti
La Tadampare Puangrimaggalatung (Raja Wajo), pada tahun 1483 M
melahirkan putera bernama Sulaiman alias Dato Sulaiman (Qadhi &
Mufti Kesultanan Wajo Pertama). Dato Sulaiman ini keturunannya banyak di
Wajo dan di Pasuruan dan Bangil, Jawa timur.
NAMA ANAK HUSAIN JAMALUDDIN AKBAR JUMADIL KUBRA
Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan memiliki 19 anak dari 9 isteri, yaitu:
- Ibrahim Zainuddin Asmaraqandi lahir tahun 1297 M.
- Pangeran Pebahar As-Samarqandiy (lahir di Samarkan 1300 M),
- Fadhal As-Samarqandiy (Sunan Lembayung) (lahir di Samarqand tahun 1302 M),
- Sunan Kramasari As-Samarqandiy (Sayyid Sembahan Dewa Agung) (lahir di Samarkand pada tahun 1305 M),
- Syekh Yusuf Shiddiq As-Samarqandiy (lahir di Samarkand pada tahun 1307 M),
- Maulana Muhammad Jumadil Kubra (lahir di Nasarabad India, tahun 1311 M),
- Maulana Muhammad 'Ali Akbar (lahir di Nasarabad, tahun 1312 M),
- Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh Subaqir, Lahir di Nasarabad India, tahun 1314 M),
- Syaikh Maulana Wali Islam (lahir di Nasarabad, tahun 1317 M)
- Maulana Muhammad Al-Maghribi (lahir di Maghrib (Morocco), tahun 1321 M)
- Maulana Ibrahim Al-Hadrami Azmatkhan (leluhur Azmatkhan di Yaman) lahir di Hadramaut pada tahun 1325 M.
- Puteri Siti Aisyah (Putri Ratna Kusuma) (lahir pada tahun 1351 M) yang kemudian menjadi isteri Syeikh Khalid Al Idrus (Adipati Jepara)
- Ibrahim Zainuddin Asghar Champa yang bergelar Sultan Zainal Abidin II Diraja Champa (lahir di Champa, tahun 1357 M)
- Sayyid 'Ali Nurul Alam bin Husain Jamadi al-Kubra, (bergelar Maulana 'Abdul Malik Israil / Sultan Qanbul) alias Pateh Arya Gajah Mada. Perdana Mantri of Kelantan-Majapahit II menjabat antara 1432-1467 M (lahir pada tahun 1402 M)
- 'Abdul Malik (lahir di Johor, 1404 M) d
- Sultan Berkat Zainul Alam (lahir di Johor, tahun 1406 M)
- Sayyid Muhammad Kebungsuan alias (Prabhu Anum/Udaya ning-Rat/Bhra Wijaya) lahir pada tahun 1410 M.
- Sayyid Hasan Jumadil Kubra lahir tahun 1413 M (Menjadi Syekh Mufti Kesultanan Gowa, tahun 1453 M, bertepatan dengan wafatnya Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, dan wafat tahun 1591 M, berusia 138 tahun).
- Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443 M.
WAFAT
Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan meninggal dunia tahun 1453 M dan dimakamkan di hadapan masjid beliau di Jalan Masjid Tua,
Desa Teroja,Kacamatan Manjeuleng, Kabupaten Wajo, Propensi Sulawesi Selatan.
Makam Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan
Makam Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra Azmatkhan
DAFTAR PUSTAKA:
As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, Al-Mausuu'ah Li Ansaab Itrati Al-Imam Al-Husaini, Jakarta: Penerbit.Madawis, Cetakan 1, 2011.