Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Berjama'ah. Show all posts
Showing posts with label Berjama'ah. Show all posts

Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.


Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:



Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.


Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.



Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:

1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA’AH

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Zikir Berjama’ah.

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami Dalil LARANGAN ZIKIR BERJAMA’AH

Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan zikir berjama’ah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan acara tahlilan dan zikir berjama’ah serta melabelkan padanya tuduhan hukum bid’ah (padahal bid’ah itu bukan hukum).


Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy’ari Ra. Dan berkata, ‘Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas’ud) telah keluar pada kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’ Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar.

Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy’ari berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Abu Musa menjawab, ‘ Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.’ Abu Musa lalu berkata, ‘Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, ‘Bacalah takbir 100 kali,’ mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tahlil 100 kali‘, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tasbih 100 kali‘, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Apa yang kamu katakan pada mereka?’ Abu Musa menjawab, ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?’ Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.’

Mereka menjawab, ‘Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.’ Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.” (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi).

Riwayat tersebut sepertinya oleh kaum Salafi & Wahabi dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama’ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid’ah amalan zikir berjama’ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw, “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red).”

(Hadis Shahih di atas adalah riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas’ud Ra tidak mungkin tak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.

2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘ala kulli syai’in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.

3. Rasulullah Saw tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda’ Ra dan Abu Hurairah Ra memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu ‘Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya’, juz 1 hal. 383, dan lain-lain).

4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas’ud Ra di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu ‘Adi.

5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan / sabda Rasulullah Saw, melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas’ud Ra (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw, karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy’ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, “alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan“.

Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas’ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah” (Riwayat Ahmad). Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama’ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.

6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud Ra sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaah-nya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas’ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw tentang akan munculnya “sekelompok orang yang membaca al Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja”, yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama ‘Amr bin Salamah, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.”.

2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW

Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:

بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.

“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”

Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).

Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.

Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.


Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.

Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.

Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid“. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.

3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Menyanjung Rasulullah Saw

PENJELASAN DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw, dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau sesat sya’ir-sya’ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw tentang hal itu bunyinya begini:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)

“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).

Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah dan secara mutlak memahami hadis ini sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya “pengkultusan” yang dapat dikategorikan sebagai syirik – musyrik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan “mengkultuskan”.

Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu “menyadari” bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.

Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah “mengkultuskan” Rasulullah Saw dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al Quran yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.

Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu’ (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap “memuliakan” itu sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.

Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al Quran, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
“… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya ( Al Quran ), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).

Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid’ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap “berlebihan” dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan Pas’nya” dan “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, “kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?”

Bila Rasulullah Saw sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?

Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’ bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).
Anas bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al Quran” (HR. Ahmad).

Delegasi Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw, “Engkau adalah tuan kami.” Rasulullah Saw menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.” Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw berkata, “Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.

Cover Buku Salafi Wahabi Melarang Menyanjung Rasulullah Saw. Di atas adalah Judul Cover buku terbitan kaum salafi dan Wahabi.

Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.

Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan” (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt, sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.

Para ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi” makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.

Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al Quran dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz ‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban” (QS. Al-Muzzammil: 17).

Pada ayat pertama di atas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah “hari” lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab” tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy-Syuuraa: 52).

Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)

“Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.

Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.

Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal “bekal” kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?
Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?

Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw, lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw, bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah berkata:

عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)

“Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).

وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)

Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh” (Siyar A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)

Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw, karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:

1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al Quran dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.

2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.

Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” ( yaitu Rasulullah Saw ) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.

Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw telah bersabda:

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ (روا مسلم)

“Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah” (HR. Muslim).

Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:

أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)

Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’, Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21).

Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti “ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha “membunuh karakter” Rasulullah Saw dari hati para pengikutnya??!

4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Acara Kematian Acara Tahlilan.

PENJELASAN DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN ACARA TAHLILAN

Di antara dalil khusus dari kaum Salafi & Wahabi yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap” (HR. Ibnu Majah).

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk daripada meratap” (HR. Ahmad).

Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah Saw juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.

Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.

Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada ‘illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali.

Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan “oncom” sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.

Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.

Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I’anatuth-Thalibiin.


Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:

ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)

Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
“Dan di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.” (I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).

Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan ‘pengharaman’ agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
“… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram.”

Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.

Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)

(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?” (lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).

Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta’ziyah itu dalam hal mana “mereka menunggu makanan” di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram” kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.

Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta’ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta’ziyah yang datang.

Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang “keberatan” dan “beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikit pun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu.
Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang “makruh” tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!

Jika alasan “berkumpulnya orang akan menambah kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?

Sungguh, hukum “makruh” yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi “menambah kesedihan atau beban kerepotan” meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.

Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.

********

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid’ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan.

Akibatnya, “larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa “larangan” tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw sendiri saat beliau minum sambil berdiri.


Semoga bermanfaat dan berkah, amin …

Shalat Berjama’ah, Menjamak Sholat, Menurut Fiqih Syi’ah dan penjelasan lainnya.


Salamun alaikum wa rahmatollah. Bismillahi Taala
Solat berjemaah bermaksud melaksanakan solat bersama Muslim yang lain, dengan salah seorang dari mereka memimpinnya. Orang yang memimpin dikenali sebagai Imam, dan yang mengikuti dikenali sebagai makmum. Untuk solat fardhu, jumlah minimum untuk solat fardhu adalah 2 orang. Untuk solat Jumaat, minimun 5 orang termasuk Imam.

Tiada solat berjemaah untuk solat mustahab, kecuali Solat al Istiqa(mohon hujan) dan Solat al Eid, yang mana mustahab di era keghaiban Imam Zaman(a).

Kepentingan Solat.
Solat merupakan ibadah yang paling penting dalam Islam, dan jika ianya diterima oleh Allah swt, maka ibadah lain juga turut diterima. Telah diriwayatkan dari Imam Jaafar Sodiq, yang meriwayatkan dari para bapanya, yang meriwayatkan dari Rasulullah(s) bersabda:
“Jika wujud satu saliran di rumah mana-mana dari kalian, yang mana beliau menyucikan dirinya 5 kali sehari, adakah akan wujud lagi kotoran di badan kalian? Sesungguhnya solat adalah sama dengan saliran itu. Seseorang yang menunaikan solat fardhu, menyucikan dosa-dosanya, kecuali dosa yang mengeluarkan beliau dari keimanan yang diimaninya”. (Bihar al-Anwar, Vol. 82, hal. 236)
Di dalam Islam, mungkin tiada lagi amalan mustahab yang memberi manfaat dan ganjaran yang lebih besar dari solat berjemaah. Berkaitan dengan kepentingannya, kami nukilkan satu riwayat yang mengatakan bahawa:
· Jika dua orang berjemaah, ganjarannya adalah sebanyak 150 solat untuk satu rakaat
· Jika 3 orang berjemaah, ia akan menjadi 600 solat untuk satu rakaat
· Jika 4 orang berjemaah ia akan menjadi 1200 solat untuk satu rakaat
· Ganjaran untuk 5 orang solat berjemaah adalah seperti 2400 solat untuk satu rakaat, dan begitulah seterusnya ganjaran itu berganda jika lebih ramai orang menyertai solat jemaah itu. Diibaratkan bahawa jika lebih dari sepuluh orang berjemaah, maka walaupun jika semua awan itu adalah kertas, semua lautan itu adalah dakwat, semua pokok adalah pen, dan semua manusia, jin dan malaikat adalah penulis, maka mereka tidak akan mampu merekodkan ganjaran untuk satu rakaatnya.

Di dalam riwayat yang sama, disebutkan takbir yang disebutkan selepas seorang imam adalah lebih baik dan disayangi Allah dari 60,000 Haji dan Umrah, lebih baik dari dunia dan segala isinya. Setiap rakaat dalam solat berjemaah adalah lebih baik dari sedekah 100,000 dinar kepada orang miskin, dan sujudnya lebih baik dari membebaskan 100 orang hamba.

Adalah sangat digalakkan untuk menunaikan semua solat fardhu secara berjemaah, penekanan diberikan kepada subuh, Maghrib dan Isyak, serta kepada mereka yang tinggal berjiran dengan masjid, atau kawasan yang kedengaran azannya dari rumah mereka.

Oleh itu, adalah satu perkara yang sangat tidak disukai untuk mengambil ringan atau mengabaikan Solat al Jamaat, dan mengikut hukum Islam, adalah tidak dibenarkan untuk menjauhkan diri dari Solat al Jamaat tanpa sebarang sebab yang munasabah.

Satu lagi tindakan mustahab adalah untuk menunggu sedikit waktu untuk Solat al Jamaat, kerana solat berjemaat yang pendek adalah lebih baik dari solat bersendirian yang panjang. Malah, sekiranya solat telah pun didirikan, namun secara berseorangan, adalah mustahab untuk solat sekali lagi secara berjemaah

Susunan Solat al Jamaat.
Imam Jemaah berdiri di hadapan para makmum, yang membentuk satu barisan lurus, berdiri hampir, bahu membahu antara satu sama lain. Berkaitan jarak antara barisan(saf), mengikuti ihtiyat mustahab, jaraknya haruslah cukup untuk bersujud.

Apabila hanya dua orang sahaja untuk bersolat Jamaat, adalah mustahab untuk seorang makmun, berdiri sedikit belakang, bahagian kanan seorang Imam, walaubagaimanapun, dibenarkan untuk berdiri selari dengan seorang Imam. Apabila ramai makmum, mengikut ihtiyat wajib, makmum itu tidak boleh berdiri di tepi Imam, tetapi di belakangnya.

Tempat berdiri seorang Imam tidak boleh lebih tinggi dengan ketinggian 4 jari dirapatkan dari kedudukan para makmum. Bagaimanapun kedudukan makmum boleh lebih tinggi dari Imam, sudah tentu ia perlulah munasabah bagi memastikan tampak solat itu sebagai solat berjemaah.

Disiplin Dalam Solat al Jamaat.
Sebagai seorang Imam, beliau mesti mengambil kira bahawa ada kemungkinan para makmum mungkin ada orang yang sudah tua, lemah dan tidak sihat, maka atas sebab itu beliau perlulah mengelakkan surah, bacaan qunut, rukuk,sujud yang panjang. Kelajuan beliau perlulah sederana agar sesuai dengan semua peringkat umur dan keadaan.

Di dalam solat yang mana bacaan surah perlu dikuatkan, suara Imam perlulah sesuai agar boleh didengari oleh semua makmum.

Apabila seorang Imam yang sedang berada di dalam keadaan rukuk mengetahui bahawa ada seorang makmum baru ingin menyertai solat jemaah, maka mustahab bagi beliau memanjangkan rukuk itu 2 kali dari panjang yang biasa, kemudian bangunlah tanpa perlu lagi menunggu jika ada lagi orang baru.

Untuk para makmum, saf haruslah lurus, dan setiap orang perlu rapat antara satu sama lain, bahu membahu. Selagi ada kekosongan di sesuatu saf itu, maka, ia harus dipenuhi sebelum saf baru diwujudkan, dan adalah makruh untuk seseorang itu berdiri berseorangan(terpisah).

Adalah makruh untuk seorang makmum, membaca zikir sehingga dapat didengari oleh Imam. Jika seseorang makmum itu ingin menyertai seorang Imam ketika beliau sedang rukuk, tetapi risau tidak sempat, maka beliau boleh membuat isyarat secara sopan kepada Imam untuk memberitahu kepada beliau akan keinginan kita untuk meyertai solat itu. Kemudian bersegeralah menyertai jemaah, kerana mungkin akan menimbulkan ketidak senangan kepada para jemaah yang lain

Kelayakan Imam Solat al Jamaah.
  • Baligh Samada sudah berumur 15 tahun atau keluarnya air mani melalui mimpi
  • Waras (‘ Aqil)
  • Syiah Imamiah(Mempercayai Wilayah 12 orang Imam dari Ahlulbait) Ini adalah sebagai ihtiyat(precaution) dari para ulamak seperti Sayyid Sistani, tetapi ramai juga ulamak seperti Ayatollah Khamenei, yang mengeluarkan fatwa sah berimamkan Sunni, asalkan beliau melepasi syarat kelayakan yang lain.
  • Adil  Bermakna tidak melakukan dosa-dosa besar secara terbuka, serta sah taraf kelahirannya
  • Mampu membaca dengan sempurna
  • Seorang wanita boleh mengimamkan solat hanya jika semua makmumnya orang wanita sahaja.
Bagaimana untuk menyertai Solat Jemaah.
Berniatlah untuk bersolat di belakang seorang Imam. Solat anda tidak akan dikira sebagai solat al jamaah jika anda tidak berniat, ini adalah penting
Sebutkanlah takbiratul ihram selepas Imam mengucapkannya, agar terjaga solat jemaah itu.

Mendengar Bacaan Imam.
Di dalam 2 rakaat pertama, Imam akan membaca Surah al Fatihah, dan sebuah lagi surah yang lengkap dari Al Quran. Jika anda bersolat Subuh, Maghrin atau Isyak, maka seorang Imam itu akan membaca secara kuat, maka anda haruslah senyap dan mendengar bacaan Imam. Di dalam solat Zuhur dan Asar, Imam akan membaca secara perlahan, dan anda juga masih perlu untuk senyap, dan tidak membaca apa-apa bacaan atau surah.

Selain dari 2 buah surah itu, bacaan lain perlu dibaca sendiri oleh makmum. Ringkasnya, selain dari 2 surah di dalam 2 rakat pertama, bacaan yang lain harus di baca sendiri oleh makmum

Mengikut Imam.
Telah disebutkan sebelum ini, bahawa takbiratul Ihram  perlu disebutkan terlebih dahulu selepas Imam melakukannya. Jika anda menyebut terlebih dahulu, tiada jamaah untuk anda
Begitu juga dengan tindakan yang lain, janganlah mendahului Imam. Rukuk hanya setelah Imam rukuk. Bagaimanapun, dari segi bacaan, tiada masalah jika mendahului Imam, malah boleh memberi salam lebih dahulu dari Imam.
Jikalau anda secara terlupa, telah mendahului Imam, maka kembalilah ke posisi asal Imam sedang berada.

Masa dan ketika untuk menyertai Solat al Jamaah.
Anda boleh menyertai solat al jamaah pada mana-mana ketika sebelum Imam bangun dari rukuk. Jika beliau telah bangun, maka anda harus menunggu sehingga Imam berdiri untuk rakaat seterusnya.
Anda tidak boleh menyertai Imam ketika beliau sedang bersujud, juga tidak boleh ketika beliau bangun sebentar dari rukuk.

Beberapa Soalan Lazim.
Q. Bolehkah saya menyertai Imam ketika beliau membaca surah kedua
A. Ya.
Q. Ketika beliau membaca qunut?
A. Ya, malah boleh turut mambaca qunut
Q. Bagaimana saya menyertai ketika Imam sedang rukuk?
A. Niat, takbir dan terus rukuk. Ini dikira sebagai 1 rakaat.
Q. Bagaimana saya boleh menyertai ketika rakaat ketiga atau keempat?
A. Di dalam rakaat ketiga atau keempat, Imam selalunya tidak akan membaca surah al fatihah, tetapi membaca Tasbihatul Arbaah. Oleh itu jika anda menyertai ketika Imam masih berdiri, maka anda harus membaca surah al Fatihah, dan tidak boleh berdiam diri. Jika anda merasakan anda tidak sempat menghabiskan Fatihah kerana mungkin tidak sempat rukuk bersama Imam, maka sertailah solat al jamaah ketika Imam sedang rukuk. Adalah sentiasa digalakkan untuk menyertai Imam ketika rukuk untuk rakaat ketiga dan keempat.
Q. Jika saya menyertai Solat al Jamaah di rakaat ketiga bagi Imam itu, apa yang perlu saya lakukan untuk rakaat kedua bagi saya, dan rakaat keempat bagi Imam itu?
A. Anda harus lakukan sebagaimana rakaat kedua dan membaca surah al Fatihah serta satu lagi surah lengkap, dan cbalah sedaya upaya untuk rukuk bersama Imam, jika tidak sempat, al Fatihah juga sudah memadai.
Q. Perlukah solat saya sama dengan Imam saya dari segi waktu?
A. Tidak semestinya. Anda boleh solat maghrib di belakang Imam yang sedang bersolat Isyak, contohnya.

Peserta Lambat.
Menjadi satu perkara yang mustahab untuk berada dalam Solat al jamaah dari mula. Malah, wujud satu ganjaran yang sangat besar untuk menyebut takbir sejurus selepas Imam menyebutnya, dan sebelum pembacaan surah al Fatihah.

Bagaimanapun, jika terdapat sebab yang tidak dapat dielakkan dan anda terlambat berjemaah, maka, anda harus berjemaah seberapa rakaat yang boleh dan bakinya secara berseorangan.
Sebagai contoh, jika anda menyertai solat Asar ketika Imam sedang berada di rakaat kedua, apabila Imam menghabiskan solatnya di rakaat keempat, maka anda harus menukar niat ke solat secara furada dan menghabiskan baki 1 rakaat secara berseorangan.

Jika anda di rakaat pertama, tetapi Imam sudah di rakaat kedua, ketika beliau di posisi tashahud, maka mengikut ihtiyat, anda harus berada di dalam kedudukan Tajafi, iaitu jari dan kaki masih di permukaan, dalam keadaan separa bangun, dan mendengar bacaan Tashahud Imam. Kes yang sama juga jika anda berada di rakaat ketiga tetapi Imam di rakaat keempat.

Apabila seseorang itu sampai dan Imam sudah berada di posisi Tshahud terakhir, beliau masih boleh mendapat ganjaran berjemaah dengan cara niat, takbir dan terus ke posisi tashahud. Apabila Imam sudah memberikan salam, terus berdiri dan mulakan rakaat pertama tanpa perlu niat dan takbir semula.

Sambungan Saf dalam Solat al-Jamaat.
Orang pertama yang berdiri betul-betul di belakang Imam adalah bersambung dengan Imam, dan seterusnya orang-orang di sebelahnya. Apabila saf semakin menjauhi Imam, sambungan dengan Imam adalah melalui bahu membahu antara makmum.

Sambungan harus selalu di jaga dalam solat berjemaah, kerana jika ia terputus, maka tiada lagi solat secara berjemaah. Jika seseorang itu solat secara Qasar, maka beliau harus cuba mengelakkan dari berada di saf hadapan, kerana jika beliau memilih untuk duduk di 2 rakaat terakhir, maka sambungan saf akan terputus dan menyebabkan terbatalnya solat secara jemaah(bukan terbatal solat) para makmum lain. Bagaimanapun jika beliau dengan segera menyambung solat lain secara berjemaah, maka hubungan saf itu akan tersambung semula dan tiada masalah.

Jika seorang musafir berada di saf yang lain, maka tiada masalah walaupun jika beliau memilih untuk duduk di dua rakaat yang terakhir.

Kecemasan Di dalam Salat al-Jama’at.
# Jika solat seorang Imam terbatal akibat apa sahaja sebab, Makmum dibelakangnya boleh sahaja ke hadapan untuk menggantikannya, dengan syarat beliau memenuhi syarat seorang imam. Para makmum lain akan menukar niat untuk mengikut Imam yang baru itu.
# Jika tiada orang lain yang pergi ke hapadan untuk meneruskan Solat al Jamaah, maka para makmum akan menukar niat solat mereka kepada secara furada dan menyempurnakannya secara sendirian.
#  Jika seseorang itu pengsan atau terjatuh ketika solat berjemaah, orang-orang di sampingnya boleh membatalkan solat untuk membantu beliau.
#  Jika seseorang di saf hadapan terbatal solatnya, beliau mesti keluar dari saf itu secepat mungkin, jangan berhenti atau meneruskan, kerana beliau akan menjadi penghalang kepada sambungan saf. Apabila beliau keluar dari saf, akan wujud satu kekosongan, maka para makmum di sebelahnya, mesti memenuhi kekosongan itu secara beransur-ansur.
# Walau atas sebab apa pun, Solat al Jamaah itu terbatal, seorang makmum dilarang membatalkan solatnya, tetapi mesti menukar niat solatnya kepada furada.

Sedikit Riwayat Tentang Berjemaah.
1]. Rasulullah(s) bersabda: “Sesungguhnya, bila seorang hamba menunaikan solat secara berjemaah, dan memohon sesuatu kepadaNya, maka Allah swt berasa malu selagi Dia tidak menunaikannya.”
2]. : Rasulullah(s) bersabda:”Satu solat yang ditunaikan secara berjemaah, adalah lebih bail dari 40 tahun berseorangan.”

benarkah syi’ah solat tiga waktu? Memang benar syi’ah solat tiga waktu tetapi bukan mengerjakan tiga solat dalam tiga waktu tetapi mengerjakan lima solat dalam tiga waktu. Syi’ah sama seperti ASWJ mengerjakan solat yang lima iaitu – Zuhur, Asr, Maghrib, Isya’ dan Subuh dalam tiga waktu solat. Dalam keadaan tertentu Syi’ah menjamak solat Zuhur dan Asr waktu di antara Zuhur dan Asr, kemudian Maghrib dan Isya’ dalam satu waktu di antara Maghrib dan Isya’ dan seterusnya solat Subuh dalam waktu Subuh.

Syi’ah Solat Tiga Waktu?
Persoalannya benarkah syi’ah solat tiga waktu?
Memang benar syi’ah solat tiga waktu tetapi bukan mengerjakan tiga solat dalam tiga waktu tetapi mengerjakan lima solat dalam tiga waktu. Syi’ah sama seperti ASWJ mengerjakan solat yang lima iaitu – Zuhur, Asr, Maghrib, Isya’ dan Subuh dalam tiga waktu solat. Dalam keadaan tertentu Syi’ah menjamak solat Zuhur dan Asr waktu di antara Zuhur dan Asr, kemudian Maghrib dan Isya’ dalam satu waktu di antara Maghrib dan Isya’ dan seterusnya solat Subuh dalam waktu Subuh.

Ahlul Sunnah membolehkan solat jamak sama ada Jamak Takdim atau jamak Takhir ketika dalam musafir tetapi Syi’ah memboleh solat jamak walaupun seseorang tidak dalam perjalanan. Mazhab Syafie membolehkan jamak solat walau tidak dalam perjalanan tetapi tidak boleh dijadikan kebiasaan. Menurut al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari:
“Sekelompok ulama mengambil hadith itu sebagai bukti dan mereka membolehkan menjamak solat dalam keadaan bermukim secara mutlak jika diperlukan, asal tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Dan di antara yang membolehkan hal itu adalah: Ibnu Sirrin, Robi’ah, Asyhab bin Mundzir, al-Qoffal al-Kabir, al-Khottobi menceritakan atau mengutip pendapat ini dari sekelompok ulama ahli hadith (Tuhfazul Ahwazi oleh: al-Mubarokfuri al-Hindi Juz I, hlm. 558, Anjazul Masalik ila Muwatto’I Malik oleh: Mualana Muhammad Zakaria al-Kandahlawi Juz 3, hlm. 79. Syarh Zarqoni Ila Muwatho’i Malik oleh: Muhammad Zarqani Juz I, hlm. 294. Sahih Muslim Syarh Nawawi Juz 5, hlm. 218-219.

Menurut Mazhab Syi’ah solat jamak dalam keadaan biasa boleh dilakukan sepanjang tahun. Dalam hal ini Syi’ah berdasarkan hadith yang sahih. Hadith yang menyatakan bahawa Rasulullah SAWAW pernah solat jamak Zuhur dan Asr sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Bab Jamak baina solatani fil-Hadhor, Juz 2, hlm. 152, dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAWAW menjamak Solat di Madinah tujuh dan delapan rakaat antara Zuhur –Asr serta Maghrib-Isya’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah SAWAW menjamak antara Zuhur dan Asr serta antara Maghrib dan Isya’ tanpa ada sebab, sama ada takut, uzur (sakit) atau berpergian (musafir). Lihat Muslim, Sahih, Bab al-Jam’u bain salataini fi hadhor, Juz, 2, hlm. 150. Dalam kitab al-Muwatta, Ibnu Abbas meriwayatkan bahawa Rasulullah SAWAW solat Zuhur dan Asr secara jamak, juga Maghrib dan Isya’. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahawa Rasulullah SAWAW pernah menjamak solat-solat beliau di Madinah sedangkan beliau dalam keadaan tidak dalam perjalanan. Lihat Musnad Ahmad bin Hanbal Juz I, hlm. 221,m cetakan Maktab Islami Beirut, tahun 1398H.

Imam Malik dalam al-Muwatha’, meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahawa Rasulullah SAWAW solat Zuhur dan Asr secara jamak, juga Maghrib dan Isya’. Tanpa alasan perang atau perjalanan, Imam Muslim di dalam Sahihnya bab jamak antara dua solat di dalam kota meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAWAW pernah solat Zuhur dan Asr, dan Maghrib-Isya’ di Madinah tanpa alasan apa pun dan dijamak di kotanya sendiri. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah SAWAW menjamak antara Zuhur dan Asr dan Maghrib-Isya’ di Madinah tanpa ada satu alasanpun. Kemudian perawi hadith ini bertanya kepada Ibnu Abbas? Mengapa beliau berbuat demikian? Ibnu Abbas menjawab: Agar ummat Islam tidak merasa sulit. Diriwayatkan dari Syaqiq, dia berkata: “Pada satu hari Ibnu Abbas memberikan ceramah mulai dari setelah Asr hingga matahari tenggelam dan bintang-bintang pun bermunculan. Lalu orang-orang berteriak mengajak solat. Ia (perawi) berkata: Lalu datanglah sesuatu dari Bani Tamim dengan sikap kasar dan berteriak solat-solat, kemudian Ibnu Abbas menjawab: “Apakah anda datang untuk mengajarku Sunnah, mudah-mudahan ibumu mati (la umma lak), ia (Ibnu Abbas) berkata: “Rasulullah menjamak antara solat Zuhur dan Asr serta Maghrib dan Isya’, Abdullah (perawi) berkata mendengar ucapan Ibnu Abba situ, aku belum berasa puas, kemudian aku datang pada Abu Hurairah dan aku tanyakan kepadanya tentang hal itu dan ia pun membenarkan ucapan Ibnu Abbas.

Bukhari juga meriwayatkan dalam bab waktu solat Maghrib. Dalam Sahih Bukhari, diriwayatkan Amer bin Dinar berkata: Saya dengan Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas berkata: Nabi SAWAW solat tujuh dan delapan rakaat (tujuh – Maghrib dan Isya’ sedangkan delapan Zuhur dan Asr) di Madinah.

Benarkah Kaum Syi’ah Sembahyang 3 x Sehari ?? Benarkah Kaum Syi’ah Shalat 3 x Sehari ??… Sembahyang kaum Syi’ah Tetap 5 kali Sehari…. Shalat kaum Syi’ah Tetap 5 kali Sehari….tapi dalam kondisi tertentu boleh di’jama’ menjadi 3x/hari (a.dhuhur-Ashar dijamak, b. Magrib-Isha dijamak, c. Subuh) sesuai dengan hadith sahih Bukhari/Muslim dan hadith lainnya… Adapun Soal Ada Orang Iran Selalu Shalat 3 waktu ya kami tidak taklid pada mereka.


saat saya tanya ke orang2 Syi’ah di milis FB, mereka bilang bahwa sholat mereka tetap 5x. Namun dilakukan di 3 waktu sebagaimana Muslim Sunni melakukannya saat shalat Jamak di perjalanan. Misalnya shalat Dzuhur waktunya digabung dgn shalat Ashar, Shalat Maghrib dgn  Isya.

Syiah dikenal menggabung dua shalatnya. Misalnya, ketika seorang Syiah telah melakukan shalat dhuhur, secara langsung setelahnya ia dapat melakukan shalat ashar. Begitu juga setelah shalat maghrib ia bisa langsung shalat isya’.Itu tidak diperbolehkan bagi Ahlu Sunah.

Doktor Muhammad Tijani Samawi sebelum Syiah memiliki pengalaman menarik berkaitan dengan hal ini. Ia bercerita bahwa saat itu ia sedang shalat menjadi makmum Ayatullah Bagir Shadr, seorang marj’a besar Syiah di Iraq.

Saat itu mereka sedang shalat dhuhur berjama’ah. Seusai shalat dhuhur, setelah melakukan shalat-shalat sunah, imam langsung berdiri lagi untuk melakukan shalat ashar. Doktor Tijani pun bingung apakah dia harus ikut shalat ashar langsung setelah dhuhur atau tidak. Karena ia berada di tengah-tengah shaf jama’ah dan tidak memungkinkan baginya untuk keluar, akhirnya ia pun ikut shalat ashar berjama’ah. Namun sampai seusai shalat ia tetap bingung apakah shalat asharnya benar atau tidak karena dilakukan langsung seusai shalat dhuhur.

Ia pun menanyakan hal itu kepada Ayatullah Baqir Shadr, apakah perbuatan itu betul?
Shahid Shadr berkata: “Ya, betul. Kita diperbolehkan melakukan dua shalat wajib bersamaan (shalat dhuhur dan asar, shalat maghrib dan isya’). Yakni seusai shalat yang satu, dilanjutkan shalat yang kedua secara langsung; meskipun tidak ada udzur atau hal-hal yang menuntut kita untuk melakukannya bersamaan.”


Shalat
Setiap umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan sholat lima waktu dimana Suni memiliki lima waktu terpisah untuk melaksanakan ibadah tersebut sementara umat Islam Syiah memiliki pilihan untuk melakukannya tiga kali namun dengan men¬double dua sholat mereka pada waktu sholat pilihan mereka. Jadi misalnya Anda seorang Muslim Syiah dan hari ini Anda ingin Sholat tiga waktu saja serta Anda sudah memilih untuk sholat pada waktu ashar, maghrib, dan Isya maka Anda harus sholat dua kali pada dua waktu sholat dari tiga waktu sholat yang Anda akan lakukan.

Nabi (s) bersabda “Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan sembahyang (Shahih Bukhari Klang Book Centre, hadis no. 1939)”. Shalat merupakan salah satu daripada Furu’ ud-Din (cabang agama) yang tanpanya maka tidak sempurnalah agama seseorang itu. Waktu-waktu Shalat dalam mazhab Syiah ialah:
1 – Waktu Shalat Subuh, dari terbit fajar hingga terbit matahari
2- Waktu Shalat Zuhur dan Asar, ketika matahari tegak di atas kepala hingga bergerak ke arah maghrib (barat)
3- Waktu Shalat Maghrib dan Isya’, selepas terbenam matahari hingga ke pertengahan malam.

Nabi (s) telah menghimpunkan shalat zuhur dalam waktu asar, asar dalam waktu zuhur (mengerjakan shalat zuhur 4 rakaat kemudian terus shalat asar 4 rakaat), maghrib dalam waktu isya’, dan Isya dalam waktu maghrib (mengerjakan shalat Maghrib 3 rakaat dan terus mengerjakan Isya’ 4 rakaat) bukan kerana ketakutan, bukan kerana peperangan atau bukan kerana perjalanan supaya tidak menyulitkan umatnya. Shalat seperti telah diamalkan oleh orang-orang Syiah sejak zaman Rasulullah (s). (Rujukan Sahih Muslim, cetakan Klang Book Centre, Hadis no 666 – 671.




Hadis tentang Shalat itu ditemui juga dalam sahih Bukhari (Shahih Bukhari Klang Book Centre, hadis no. 307, 310).
 
Shalat Asar saat matahari belum tergelincir:





Shalat Asar sesudah Shalat Zuhur:



Ada buku tentang Shiah “Syiah Dalam Sunah”, terjemahan dari Iran –
Yang menarik di buku ini mengenai ketentuan shalat Shiah terkadang boleh 3x/hari.. Pada dasarnya, mereka mengakui bahwa sesuai Qur’an, shalat adalah 5x/hari, tapi dalam kondisi tertentu boleh di’jama’ menjadi 3x/hari (a.dhuhur-Ashar dijamak, b. Magrib-Isha dijamak, c. Subuh) sesuai dengan hadith sahih Bukhari/Muslim dan hadith lainnya.

Malik, Book 9, Hadith 9.1.4 (Ucapan Malik bahwa 2I believe that was during rain” bukan termasuk hadits Nabi.. karna, antara Malik dgn Abdullah ibn Abbas terdapat 2 orang….

Yahya related to me from Malik from Abu’z Zubayr al-Makki from Said ibn Jubayr that Abdullah ibn Abbas said, “The Messenger of Allah, may Allah bless him and grant him peace, prayed dhuhr and asr together and maghrib and isha together, and not out of fear nor because of travelling.” Malik said, “I believe that was during rain.”

Hadits dari Ibnu Abbas yang dimaksudkan dalam riwayat Muslim itu adalah:
Artinya: ”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menjama’ sholat Dhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ di Madinah, bukan karena dalam ketakutan atau hujan.” Lalu ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:”Kenapa Nabi shallallahu alaihi wasallam berbuat itu?” Ujarnya:”Maksudnya ialah agar beliau tidak menyukarkan ummatnya.”

ALQURAN 17:78 “”dirikanlah sholat dari matahari tergelincir (dzuhur dan ashar) sampai gelap malam (maghrib dan isya) dan subuh. Sesungguhnya sholat subuh disaksikan oleh para Malaikat
Berdasarkan AlQuran ; kaum Syiah terkadang melakukan shalat wajib 5X sehari dalam 3 waktu.
Jika kita membaca SHOHIH BUKHARI dan SHOHIH MUSLIM pada Kitab Sholat; maka kita akan dapat melihat bahwa Rasulullah sering menggabungkan sholat dzuhur dengan sholat ashar dan sholat maghrib dengan sholat isya; sehingga Rasulullah melakukan sholat wajib 5X sehari di dalam 3 waktu. Padahal Rasulullah tidak dalam perjalanan dan tidak dalam keadaan darurat.

Kaum Syiah terkadang melakukan sholat wajib 5X sehari di dalam 3 waktu; karena Kaum Syiah mentaati AlQuran dan mentaati Sunnah Rasulullah.

Kaum Syiah diwajibkan untuk membaca AlQuran dan diwajibkan untuk belajar Bahasa Arab supaya dapat mengerti AlQuran dengan baik dan benar. Kaum Syiah hanya disarankan membaca sejarah Rasulullah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain supaya Kaum Syiah mengerti sejarah Islam.

Berhentilah menyebarkan kebohongan tentang kaum Syiah; supaya dosa dosa antum tidak bertambah banyak.


Menjamak Shalat Menurut Syiah Imamiah.

Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang bersifat harian, memiliki waktu tertentu, dan waktu-waktu shalat harian adalah Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Yang paling penting adalah melakukan setiap shalat pada waktunya yang khusus. Hanya saja, mereka melakukan jamak antara dua shalat Zuhur dan Ashar dan antara Magrib dan Isya karena Rasulullah saw. melakukan jamak dua shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan tanpa berpergian, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan kitab hadis lainnya, “Sebagai keringanan untuk umat serta untuk mempermudah bagi mereka”. 
Dan itu telah menjadi masalah biasa pada masa kita sekarang ini..Menjamak Shalat Dibolehkan, Walaupun Tidak Sedang Dalam Perjalanan telah ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Shahih dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Berikut akan ditunjukkan hadis-hadis shahih dalam Musnad Ahmad yang penulis ambil dari Kitab Musnad Imam Ahmad Syarah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Penerjemah : Amir Hamzah Fachrudin, Hanif Yahya dan Widya Wahyudi, Cetakan pertama Agustus 2007, Penerbit : Pustaka Azzam Jakarta.
 
Yunus menceritakan kepada kami, Hammad yakni Ibnu Zaid menceritakan kepada kami dari Az Zubair yakni Ibnu Khirrit dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata “Ibnu Abbas menyampaikan ceramah kepada kami setelah shalat Ashar hingga terbenamnya matahari dan terbitnya bintang-bintang, sehingga orang-orang pun mulai berseru, “Shalat, Shalat”. Maka Ibnu Abbas pun marah, Ia berkata “Apakah kalian ingin mengajariku Sunnah? Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ “. Abdullah mengatakan “Aku merasa ada ganjalan (keberatan) pada diriku karena hal itu, lalu aku menemui Abu Hurairah, kemudian menanyakan tentang itu, ternyata Ia pun menyepakatinya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2269, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir).
Hadis di atas dengan jelas menyatakan bahwa Menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ adalah Sunnah Rasulullah SAW , sebagaimana yang disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Dari hadis itu tersirat bahwa Ibnu Abbas RA akan menangguhkan melaksanakan Shalat Maghrib yaitu menjama’nya dengan shalat Isya’ dikarenakan beliau masih sibuk memberikan ceramah. Tindakan beliau ini adalah sejalan dengan Sunah Rasulullah SAW yang beliau saksikan sendiri bahwa Rasulullah SAW menjama’ Shalat Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam perjalanan.Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut (khawatir)”. Ia (Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2557, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir).
 
Kata-kata yang jelas dalam hadis di atas sudah cukup sebagai hujjah bahwa Menjama’ shalat dibolehkan saat tidak sedang bepergian. Hal ini sekali lagi telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan agar tidak memberatkan Umatnya. Jadi mengapa harus memberatkan diri dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan.
 
Yahya menceritakan kepada kami dari Daud bin Qais, ia berkata Shalih maula At Taumah menceritakan kepadaku dari Ibnu Abbas, ia berkata “Rasulullah SAW pernah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalat Maghrib dengan shalat Isya’ tanpa disebabkan turunnya hujan atau musafir”. Orang-orang bertanya kepada Ibnu Abbas “Wahai Abu Abbas apa maksud Rasulullah SAW mengerjakan yang demikian”. Ibnu Abbas menjawab “Untuk memberikan kemudahan bagi umatnya SAW” (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3235, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir).

Lantas apa yang akan dikatakan oleh mereka yang seenaknya berkata bahwa hal ini adalah bid’ah dan seenaknya menuduh orang yang Menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ sebagai Sesat. Begitulah akibatnya kalau membiarkan diri tenggelam dalam prasangka-prasangka. Sufyan menceritakan kepada kami dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata ” Aku pernah shalat bersama Nabi SAW delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas “Mengapa Rasulullah SAW melakukannya?”. Beliau menjawab “Dia ingin tidak memberatkan umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3265, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir).

Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa kebolehan Menjama’ Shalat itu mencakup juga untuk shalat berjamaah. Hal ini seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh Ibnu Abbas RA bahwa Beliau pernah melakukan shalat jama’ bersama Nabi SAW. Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Ibnu Bakar berkata Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, ia berkata Amr bin Dinar mengabarkan kepada kami bahwa Abu Asy Sya’tsa mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas mengabarkan kepadanya, Ia berkata “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW delapan rakaat secara jamak dan tujuh rakaat secara jamak”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3467, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir).

Begitulah dengan jelas hadis-hadis shahih telah menetapkan bolehnya Menjamak Shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ ketika tidak dalam perjalanan atau dalam uzur apapun. Hal ini adalah ketetapan dari Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan memberikan kemudahan pada umatnya. Bagi siapapun yang mau berpegang pada prasangka mereka atau pada doktrin Ulama mereka bahwa hal ini tidak dibenarkan maka kami katakan Rasulullah SAW lebih layak untuk dijadikan pegangan.


Solat Jamak menurut Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Sembahyang tetap 5 kali sehari semalam. Cuma waktunya sahaja yang ditakrifkan sebagai waktu bersama (jamak) – Subuh, Zohor bersama Asar, dan Maghrib bersama Isyak. Ini telah difirmankan dalam Al-Quran dan diterangkan dalam sunah Nabi. Dan, sememangnya yang lebih afdal adalah 5 kali dalam lima waktu.
Berikut adalah petikan ayat suci Al-Quran dan Hadis Nabi yang menerangkan lebih lanjut sekitar perkara ini:
1. Surah al-Israk ayat 78:
“Dirikanlah solat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula) solat subuh. Sesungguhnya solat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
a. Sesudah matahari tergelincir: Waktu bersama (jamak) Zuhur dan Asar.
b. Gelap malam: Waktu bersama (jamak) Maghrib dan Isyak.
c. Solat Subuh.
(Inilah konsep 3 waktu tapi 5 kali sehari semalam- namun afdalnya dipisahkan seperti yang dilaksanakan sekarang).

2. Surah al-Israk ayat 79:
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagi kamu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.
Sebahagian malam hari: Sesudah waktu bersama (jamak) Maghrib dan Isyak habis (Sesudah lebih kurang 12.30  t/malam)- Inilah waktu solat tahajjud yang sebenarnya.
Ayat al-Quran berikut ini lebih mengkhususkan lagi:

3. Surah Hud ayat 114:
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam”.
Kedua tepi siang (pagi dan petang): Mengisyaratkan waktu solat subuh (pagi) dan waktu solat Zuhur bersama Asar (petang).
Bahagian permulaan daripada malam: Mengisyaratkan waktu bersama antara Maghrib dan Isyak. Digunakan istilah bahagian permulaan daripada malam sebab bahagian akhir daripada malam adalah untuk solat tahajjud. (Lihat Surah al-Israk ayat 79).
Sehubungan itu, dikemukakan sebahagian kecil daripada hadis-hadis tentang solat jamak. Dalam kitab hadis Shahih Bukhari (diterjemah H. Zainuddin Hamidy – H.Fachruddin Hs, H. Hasharuddin Thaha – Johar Arifin, A. Rahman Zainuddin M.A; cetakan 2003 oleh Darel Fajr Publishing House, No. 37, Geylang Street, Singapore):
Hadis no. 306 Berita dari Ibnu Abbas ra. mengatakan, bahawa Nabi saw salat di Madinah tujuh dan lapan rakaat. Yaitu salat zohor dan asar (dikerjakan berturut-turut pada waktu yang sama tujuh rakaat).
Hadis no 310 kata Abu Umammah ra. “Kami solat zohor bersama Umar bin Abdul Aziz, setelah itu kami pergi menemui Anas bin Malik dan kami dapati dia sedang salat asar. kataku kepadanya ‘Hai pakcik! salat apakah yang pakcik kerjakan ini?’ jawabnya, ‘Salat Asar! dan inilah (waktunya) salat asar Rasulullah saw, dimana kami pernah salat bersama-sama dengan beliau’.

……dan dalam kitab Sahih Muslim (diterjemah Ma’Mur Daud ditashih Syekh H. Abd. Syukur Rahimy; cetakan 2003 oleh Darel Fajr Publishing House, No. 37, Geylang Street, Singapore):
Hadis no. 666 Dari Ibnu’ Abbas r.a., katanya: “Rasulullah saw pernah (baca: telah) menjama’ salat Zuhur dan Asar, Maghrib dan Isyak tidak ketika takut dan tidak pula dalam perjalanan (baca: musafir)”.
Hadis no. 667. dari Ibnu Abbas ra. katanya: “Rasulullah saw pernah menjama’ salat suhur dan asar di Madinah tidak pada waktu takut (perang atau dalam keadaan bahaya) dan tidak pula dalam perjalanan. Kata Abu Zubair, dia menanyakan hal itu kepada Sa’id, “Kenapa Rasulullah saw sampai berbuat demikian?’ Jawab Sa’id, “Aku pun pernah bertanya seperti itu kepada Ibnu Abbas, maka jawab Ibnu Abbas: ‘Beliau ingin untuk tidak menyulitkan umatnya’.

Hadis no. 670 dari Ibnu Abbas ra. katanya: ‘Ketika Rasulullah berada di Madinah, beliau pernah menjamak solat zohor dengan asar, dan salat maghrib dengan Isya’, tidak pada saat perang dan tidak pula ketika hujan. Waki’ bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa sebabnya Nabi saw berbuat demikian?’ Jawab Ibnu Abbas, “Supaya tidak menyulitkan umatnya”…. .

Hadis no. 671 dari Abdullah bin Syaqiq ra. katanya: ‘Pada satu hari sesudah asar, Ibnu Abbas memberikan pengajian dihadapan kami hingga terbenam matahari dan bintang-bintang sudah terbit. lalu jemaah berteriak, “salat! salat!” bahkan seorang laki-laki Bani Tamim langsung berdiri ke hadapan Ibnu Abbas, lalu ia berkata “salat! salat!” Kata Ibnu Abbas, “Apakah engkau hendak mengajariku tentang Sunnah Nabi, yang engkau belum tahu? Aku melihat Rasulullah saw menjama salat Zuhur dan Asar dan Maghrib dengan Isya'”. Kata Abdullah bin Syaqiq, ‘Aku ragu kebenaran ucapan Ibnu Abbas itu. Kerana itu aku bertanya kepada Abu Hurairah. Ternyata Abu Hurairah membenarkan ucapan Ibnu Abbas itu”.

Berdasarkan hadis-hadis ini dapat disimpulkan bahawa di kalangan para sahabat sendiri telah berlaku perselisihan pendapat sama ada boleh atau tidak menjamakkan solat tanpa musafir. Lihat misalnya Abu Umammah (bertanya kepada Anas bin Malik) dan Abdullah bin Syaqiq (merujuk kepada Abu Hurairah) bagi memastikan kebenarannya. Jika para sahabat Nabi yang terkenal dengan ilmunya masih berselisih pendapat maka tidak hairanlah jikalau kita masih meneruskan tradisi saling berselisih pendapat seperti pada zaman para sahabat. Bukankah sahabat itu seperti bintang-bintang?

Yang pastinya hadis-hadis tentang solat jamak ini bukan sahaja terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim namun terdapat juga dalam kitab-kitab hadis yang lain.


Hukum Shalat Jamak Ketika Tidak Sedang Dalam Perjalanan.

Hal yang sangat dikenal di kalangan umat islam adalah diperbolehkannya Menjamak Shalat Ketika Sedang Dalam Perjalanan. Tetapi sangat disayangkan banyak orang Islam yang tidak tahu kalau sebenarnya Menjamak Shalat Dibolehkan Walaupun Tidak Sedang Dalam Perjalanan. Tidak jarang diantara mereka yang tidak tahu itu, pikirannya dipenuhi dengan prasangka-prasangka yang merendahkan ketika melihat orang lain Menjamak Shalat padahal tidak ada Uzur apapun. Beberapa dari mereka berkata “Jangan berbuat Bid’ah” atau “Ah itu mah kerjaan orang Syiah”. Coba lihat dialog ini
Si A :Ntar bareng kesana ya
Si B :Ok, tapi kita shalat dulu
Si A :hmm lagi nanggung, ntar aja deh aku jama’ dengan Ashar
Si B :( terpana)…. emang boleh seenaknya dijamak gitu, bukannya Jama’ itu boleh kalau dalam perjalanan.
Si A :he he he boleh, boleh.
Si B : kamu Syiah ya
Si A : bukan kok
Si B : ya udah terserah kamulah, yang penting saya shalat dulu
Saya cuma bisa tersenyum sinis mendengarkan mereka yang dipermainkan oleh Wahamnya ini. Pikiran mereka ini dipengaruhi oleh Syiahpobhia yang keterlaluan sehingga berpikir setiap amalan yang dilakukan oleh Syiah adalah sesat. Saya katakan Tidak ada urusan mau bagaimana Syiah mengamalkan Ritualnya. Sekarang yang sedang dibicarakan adalah Shalat Jama’ yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. ;)

Menjamak Shalat Dibolehkan Walaupun Tidak Sedang Dalam Perjalanan telah ditetapkan berdasarkan hadis-hadis Shahih dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad. Berikut akan ditunjukkan hadis-hadis shahih dalam Musnad Ahmad yang penulis ambil dari Kitab Musnad Imam Ahmad Syarah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Penerjemah : Amir Hamzah Fachrudin, Hanif Yahya dan Widya Wahyudi, Cetakan pertama Agustus 2007, Penerbit : Pustaka Azzam Jakarta.
Yunus menceritakan kepada kami, Hammad yakni Ibnu Zaid menceritakan kepada kami dari Az Zubair yakni Ibnu Khirrit dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata “Ibnu Abbas menyampaikan ceramah kepada kami setelah shalat Ashar hingga terbenamnya matahari dan terbitnya bintang-bintang, sehingga orang-orang pun mulai berseru, “Shalat, Shalat”. Maka Ibnu Abbas pun marah, Ia berkata “Apakah kalian mengajariku Sunnah? Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ “. Abdullah mengatakan “Aku merasa ada ganjalan pada diriku karena hal itu, lalu aku menemui Abu Hurairah, kemudian menanyakan tentang itu, ternyata Ia pun menyepakatinya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2269, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di atas dengan jelas menyatakan bahwa Menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ adalah Sunnah Rasulullah SAW , sebagaimana yang disaksikan oleh Ibnu Abbas RA. Dari hadis itu tersirat bahwa Ibnu Abbas RA akan menangguhkan melaksanakan Shalat Maghrib yaitu menjama’nya dengan shalat Isya’ dikarenakan beliau masih sibuk memberikan ceramah. Tindakan beliau ini adalah sejalan dengan Sunah Rasulullah SAW yang beliau saksikan sendiri bahwa Rasulullah SAW menjama’ Shalat Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam perjalanan.
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut(khawatir)”. Ia(Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 2557, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Kata-kata yang jelas dalam hadis di atas sudah cukup sebagai hujjah bahwa Menjama’ shalat dibolehkan saat tidak sedang bepergian. Hal ini sekali lagi telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan agar tidak memberatkan Umatnya. Jadi mengapa harus memberatkan diri dengan prasangka-prasangka yang tidak karuan :mrgreen:
Yahya menceritakan kepada kami dari Daud bin Qais, ia berkata Shalih maula At Taumah menceritakan kepadaku dari Ibnu Abbas, ia berkata “Rasulullah SAW pernah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalat Maghrib dengan shalat Isya’ tanpa disebabkan turunnya hujan atau musafir”. Orang-orang bertanya kepada Ibnu Abbas “Wahai Abu Abbas apa maksud Rasulullah SAW mengerjakan yang demikian”. Ibnu Abbas menjawab “Untuk memberikan kemudahan bagi umatnya SAW” (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3235, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Lantas apa yang akan dikatakan oleh mereka yang seenaknya berkata bahwa hal ini adalah bid’ah atau dengan pengaruh Syiahpobhia seenaknya menuduh orang yang Menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ sebagai Syiah. Begitulah akibatnya kalau membiarkan diri tenggelam dalam prasangka-prasangka. :P
Sufyan menceritakan kepada kami dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “ Aku pernah shalat bersama Nabi SAW delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus”. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas “Mengapa Rasulullah SAW melakukannya?”.Beliau menjawab “Dia ingin tidak memberatkan umatnya”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3265, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa kebolehan Menjama’ Shalat itu mencakup juga untuk shalat berjamaah. Hal ini seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh Ibnu Abbas RA bahwa Beliau pernah melakukan shalat jama’ bersama Nabi SAW.
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, Ibnu Bakar berkata Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami, ia berkata Amr bin Dinar mengabarkan kepada kami bahwa Abu Asy Sya’tsa mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas mengabarkan kepadanya, Ia berkata “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW delapan rakaat secara jamak dan tujuh rakaat secara jamak”. (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid III no 3467, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Begitulah dengan jelas hadis-hadis shahih telah menetapkan bolehnya Menjamak Shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ ketika tidak sedang dalam perjalanan atau dalam uzur apapun. Hal ini adalah ketetapan dari Rasulullah SAW sendiri dengan tujuan memberikan kemudahan pada umatnya.
Bagi siapapun yang mau berpegang pada prasangka mereka atau pada doktrin Ulama mereka bahwa hal ini tidak dibenarkan maka kami katakan Rasulullah SAW lebih layak untuk dijadikan pegangan:) Wassalam

Catatan: Tulisan ini saya buat dalam kondisi sakit-sakitan, gak nyangka ternyata saya masih bisa-bisanya buat tulisan. Tolong doakan agar saya cepat sembuh ya, hmmm eh salah ding doakan agar badan saya enakan aja deh :mrgreen:



Syiah menjadikan tanah sebagai tempat meletakkan dahi ketika sujud. Dalam bahasa Arab kata kerja ‘Sajada’ di tambah mim dalam perkataan ‘Masjid’ adalah ‘isim makan’ (kata nama tempat) yang membawa maksud tempat sujud. Nabi (s) menjadikan bumi sebagai tempat sujud, dalam Sunan Tirmidzi cetakan Victory Agencie Kuala Lumpur 1993, jil 1 menyatakan nabi (s) ketika sujud, baginda meletakkan hidung dan wajah baginda di bumi:



Nabi juga memerintahkan supaya sujud di atas Turab (tanah):



Ada buku tentang Shiah “Syiah Dalam Sunah”, terjemahan dari Iran –Yang menarik di buku ini mengenai ketentuan shalat Shiah terkadang boleh 3x/hari.. Pada dasarnya, mereka mengakui bahwa sesuai Qur’an, shalat adalah 5x/hari, tapi dalam kondisi tertentu boleh di’jama’ menjadi 3x/hari (a.dhuhur-Ashar dijamak, b. Magrib-Isha dijamak, c. Subuh) sesuai dengan hadith sahih Bukhari/Muslim dan hadith lainnyaMalik, Book 9, Hadith 9.1.4 (Ucapan Malik bahwa 2I believe that was during rain” bukan termasuk hadits Nabi.. karna, antara Malik dgn Abdullah ibn Abbas terdapat 2 orang….

Yahya related to me from Malik from Abu’z Zubayr al-Makki from Said ibn Jubayr that Abdullah ibn Abbas said, “The Messenger of Allah, may Allah bless him and grant him peace, prayed dhuhr and asr together and maghrib and isha together, and not out of fear nor because of travelling.” Malik said, “I believe that was during rain.”.

Hadits dari Ibnu Abbas yang dimaksudkan dalam riwayat Muslim itu adalah:
Artinya: ”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menjama’ sholat Dhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ di Madinah, bukan karena dalam ketakutan atau hujan.” Lalu ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:”Kenapa Nabi shallallahu alaihi wasallam berbuat itu?” Ujarnya:”Maksudnya ialah agar beliau tidak menyukarkan ummatnya.”ALQURAN 17:78 “”dirikanlah sholat dari matahari tergelincir (dzuhur dan ashar) sampai gelap malam (maghrib dan isya) dan subuh. Sesungguhnya sholat subuh disaksikan oleh para Malaikat. 

Berdasarkan AlQuran ; kaum Syiah terkadang melakukan shalat wajib 5X sehari dalam 3 waktu.Jika kita membaca SHOHIH BUKHARI dan SHOHIH MUSLIM pada Kitab Sholat; maka kita akan dapat melihat bahwa Rasulullah sering menggabungkan sholat dzuhur dengan sholat ashar dan sholat maghrib dengan sholat isya; sehingga Rasulullah melakukan sholat wajib 5X sehari di dalam 3 waktu. 

Padahal Rasulullah tidak dalam perjalanan dan tidak dalam keadaan darurat.Kaum Syiah terkadang melakukan sholat wajib 5X sehari di dalam 3 waktu; karena Kaum Syiah mentaati AlQuran dan mentaati Sunnah Rasulullah.Kaum Syiah diwajibkan untuk membaca AlQuran dan diwajibkan untuk belajar Bahasa Arab supaya dapat mengerti AlQuran dengan baik dan benar. Kaum Syiah hanya disarankan membaca sejarah Rasulullah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain supaya Kaum Syiah mengerti sejarah Islam.Berhentilah menyebarkan kebohongan tentang kaum Syiah; supaya dosa dosa antum tidak bertambah banyak.


Orang yang tidak sengaja sehingga telat bangun sehingga telat shalat subuh.
Hal ini ada keringanan dalam Syari’at sebagaimana dalam hadits berikut ini :
Dari Anas bin Malik Rodhiyalloohu ‘Anh. Bahwa Rosululloh Shollalloohu ‘Alayhi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang ketiduran (sampai tidak menunaikan sholat) atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia menyadarinya.” (HR Muttafaqun ‘alayh).

Waktu solat mengikut al-Quran.
Allah (swt) berfirman dalam kitabNya yang suci:
“Dirikanlah olehmu sembahyang ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam, dan (dirikanlah) sembahyang subuh sesungguhnya sembahyang subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya).” Qur’an 17:78

Waktu solat menurut al-Quran adalah tiga, bukan lima.
  1. Gelincir Matahari
  2. Waktu Gelap Malam
  3. Waktu Subuh.
Imam Fakhruddin Razi, pengulas al-Quran terkenal Sunni, menulis berkenaan ayat yang dipetik (Surah 17, Ayat 78):


“Jika kita menafsirkan waktu gelap malam (ghasaq) sebagai masa apabila kegelapan mula muncul maka terma ghasaq merujuk kepada bermulanya Maghrib. Berdasarkan hal ini, tiga waktu disebut dalam ayat: ‘waktu tergelincir matahari, waktu bermulanya Maghrib dan waktu Fajar’. Ini menyatakan bahawa waktu tergelincir matahari adalah waktu untuk Zuhur dan Asar, waktu ini dikongsi oleh dua solat ini. 

Waktu bermulanya Maghrib adalah adalah waktu untuk Maghrib dan Isyak maka waktu ini juga dikongsi oleh dua solat ini. Hal ini memerlukan kebolehan untuk menjamak antara Zuhur dan Asar serta antara Magnrib dan Isyak pada setiap masa. Akan tetapi terdapat bukti yang menunjukkan bahawa manjamak ketika di rumah tanpa sebarang alasan adalah tidak dibenarkan. Hal ini menjurus kepada pandangan bahawa menjamak adalah dibolehkan apabila sedang bemusafir atau apabila hujan dll.”


Tafseer Kabeer, m.s 107
Sementara kami akan InsyaAllah menyangkal komentar Razi berkenaan menjamak tanpa sebab adalah tidak dibenarkan, apa yang kita dapat dari sini adalah masa untuk solat fardhu hanyalah tiga:
1). Masa untuk dua solat fardhu, Zuhur (tengah hari) dan Asar (petang), yang dikongsi oleh keduanya.
2). Masa untuk dua solat fardhu, Maghrib (senja) dan Isyak (malam) yang juga dikongsi oleh keduanya.
3). Masa untuk solat Subuh (pagi) yang hanya spesifik untuknya sahaja.

Kami melaksanakan solat Zuhur dan Asar dan kemudian solat Maghrib dan Isyak dalam satu satu masa. Kami tidak melakukannya hanya berdasarkan penghakiman kami, malah hal ini dilakukan kerana ianya adalah Sunnah Nabi Muhammad (s). Adalah dilaporkan dalam Sahih Bukhari bahawa Ibn Annas [r] berkata:
“Aku mengerjakan lapan rakaat (Zuhur dan Asar) dan tujuh rakaat (Maghrib dan Isyak) pada satu satu masa bersama Nabi Muhammad (s) (dengan tiada solat sunat diantaranya.)” Umru berkata bahawa dia berkata kepada Abul Shaqa: “Aku fikir Nabi (s) mengerjakan Zuhur sedikit lewat dan Asar sedikit awal, dan Isyak sedikit awal, Maghrib sedikit lewat, Abul Shaqa menjawab bahawa dia juga merasakan yang sama.”

Kita baca dalam Sahih Bukhari Jilid 1, Buku 10, Nombor 537, Bab Waktu Solat:
Diriwayatkan Ibn ‘Abbas:
Rasul Allah (salam dan salawat ke atasnya) melakukan di Madinah tujuh (rakaat) dan lapan (rakaat), i.e. (menjamak) solat tengah hari (Zuhur) dan petang (Asar) (lapan rakaat) dan solat senja (Maghrib) dan malam (Isyak) (tujuh rakaat).

Dalam mengulas mengenai hadis ini, pada muka surat yang sama dalam Tayseer al-Bari, Allamah Waheed uz Zaman berkata:
“Hadis ini agak jelas di mana dua solat boleh dilakukan pada satu masa. Hadis yang kedua memberitahu kita mengenai insiden di Madinah sewaktu tiada rasa takut mahupun sebarang paksaan. Telah pun disebut di atas bahawa Ahli Hadis menganggapnya dibolehkan, dan dalam kitab-kitab Imamiah terdapat banyak hadis-hadis dari Imam Hadis dalam bab menjamak (solat) dan tiada alasan untuk hadis-hadis ini dikategorikan sebagai palsu”.


Kita juga baca dalam Sahih Bukhari Jilid 1, Buku 10, Nombor 518:
Diriwayatkan Ibn ‘Abbas:
“Nabi (s) melakukan solat lapan rakaat untuk Zuhur dan Asar, dan tujuh untuk solat Maghrib dan Isyak di Madinah.” Aiyub berkata, “Berkemungkinan ianya pada malam yang hujan.” Anas berkata, “Mungkin.”.


Dalam ulasan berbahasa Urdu Tayseer al-Bari Sharh Sahih Bukhari, dalam mengulas ungkapan terakhir Jabir di mana dia menduga bahawa berkemungkinan ianya malam yang hujan, Allamah Waheed uz-Zaman menulis:
“Kata-kata Jabir adalah berdasarkan kemungkinan, kesalahannya telah dibuktikan oleh riwayat Sahih Muslim yang menyatakan bahawa tiada hujan mahupun sebarang perasaan takut yang wujud.”.

Maulana Waheed uz-Zaman menulis lagi:
“Ibn Abbas dalam riwayat yang lain berkata bahawa Nabi Muhammad (s) melakukannya untuk menyelamatkan umatnya dari sebarang kesukaran.”


 Tayseer al-Bari Sharh Sahih Bukhari, Jilid 1, m.s 370, Kitab Waktu Solat, diterbitkan oleh Taj Company Limited.
Dalam perkaitan ini riwayat Sunni juga menyingkirkan sebarang tanggapan bahawa jamak tersebut mungkin dilakukan kerana keadaan cuaca yang buruk:
Nabi Muhammad (s) bersolat di Madinah, ketika bermastautin di sana, tidak bermusafir, tujuh dan lapan (ini merujuk kepada tujuh rakaat Maghrib dan Isyak dijamakkan, dan lapan rakaat Zuhur dan Asar dijamakkan).
 
Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, Jilid 1, m.s 221
“Nabi Muhammad (s) melakukan solat Zuhur dan Asar secara jamak serta Maghrib dan Isyak secara jamak tanpa perasaan takut mahupun dalam bermusafir.”
 
Malik ibn Anas, al-Muwatta’, Jilid 1, m.s 161
Sekarang mari kita lihat kepada hadis dari Sahih Muslim:
Ibn ‘Abbas melaporkan bahawa Rasul Allah (s) menjamak solat Zuhur dan Asar serta solat Maghrib dan Isyak di Madinah tanpa berada dalam keadaan merbahaya mahupun hujan. Dan di dalam sebuah hadis yang dirawikan oleh Waki’ (kata-katanya ialah): “Aku berkata kepada Ibn ‘Abbas: Apa yang membuatkan baginda melakukan hal tersebut? Dia berkata: Supaya umatnya (Rasulullah) tidak diletakkan dalam keadaan sukar (yang tidak diperlukan).”

Kami telah mengambil hadis ini dari sumber Sunni berikut:
  1. Sahih Muslim (terjemahan Inggeris), Kitab al-Salat, Buku 4, Bab 100 Menjamak solat apabila seseorang dalam bermastautin, hadis no. 1520;
  2. Jami al-Tirmidhi, Jilid 1, m.s 109, diterjemah oleh Badee’ uz-Zaman, diterbitkan oleh kedai buku No’mani, bazaar Urdu Lahore.
  3. Sunan Abi Daud, jilid 1, m.s 490, Bab: ‘Menjamak Solat’, diterjemah oleh Maulana Waheed uz-Zaman
Dalam ulasannya mengenai hadis ini, Zaman menyatakan:
Terdapat dua jenis jamak solat, Jamak Taqdeem dan Jamak Takheer, yang awal bermaksud melaksanakan solat Asar pada waktu Zuhur dan Isyak pada waktu Maghrib, dan yang terkemudian adalah melakukan solat Zuhur pada waktu Asar dan Maghrib pada waktu Isyak, kedua-dua jenis adalah terbukti sah dari Sunnah Rasulullah.
 
Sunan Abu Daud, jilid 1, m.s 490, diterjemah oleh Maulana Waheed uz-Zaman, diterbitkan di Lahore
Maulana Waheed uz-Zaman membuat rumusan pada muka surat yang sama dengan menyatakan:
“Hujah-hujah yang menentang jamak solat adalah lemah, sementara yang membenarkannya adalah kuat.”
 
Sunan Abu Daud, volume 1, page 490, translated by Maulana Waheed uz-Zaman, published in Lahore
Shah Waliullah Dehalwi menyatakan dalam Hujutallah Balagha, m.s 193:
Masa untuk solat sebenarnya adalah tiga, iaitu pagi, Zuhur dan pada waktu gelap malam dan ini adalah maksud kepada firman Allah ‘Dirikanlah olehmu sembahyang ketika gelincir matahari’. Dan Dia berfirman hingga waktu gelap malam’ kerana masa untuk menunaikan solat Zuhur adalah sehingga matahari terbenam oleh kerana tiada kerenggangan antara duanya, maka, dalam keperluan, adalah dibolehkan untuk menjamak Zuhur dan Asar serta Maghrib dan Isyak

Sekarang kami sediakan testimoni Sahabat yang disayangi Ahli Sunnah bernama Abu Hurairah mengenai dibolehkan untuk menjamak solat. Kita baca dalam Musnad Ahmad:
Abdullah bin Shaqiq meriwayatkan bahawa pernah sekali selepas Asar, Ibn Abbas tinggal sehingga matahari terbenam dan bintang muncul, lalu orang berkata: ‘Solat’ dan di antara yang berkata adalah seorang lelaki dari Bani Tamim yang berkata: ‘Solat, solat’. Lalu dia (Ibn Abbas) manjadi marah dan berkata: ‘Bolehkah kamu mengajarku Sunnah!! Aku melihat Rasul Allah (sawa) menjamak solat Zuhur dan Asar, serta Maghrib dan Isyak’. Abdullah (bin Shaqiq) berkata: ‘Aku mempunyai keraguan mengenai perkara ini maka aku berjumpa Abu Hurairah dan bertanya kepadanya dan dia bersetuju dengan beliau (Ibn Abbas)’.


 Musnad Ahmad, Jilid 1 m.s 251 Hadis 2269
Shaykh Shu’aib al-Arnaout berkata:
‘Rataiannya adalah Sahih mengikut standard Muslim’.

Kami juga akan menyebut amalan Sahabat terkenal Anas bin Malik dan testimoninya mengenai mengerjakan solat Asar pada waktu Zuhur. Kita bca dalam Sahih Bukhari Jilid 1, Buku 10, Nombor 524:
Diriwayatkan Abu Bakr bin Uthman bin Sahl bin Hunaif:
bahawa dia mendengar Abu Umama berkata: Kami melakukan solat Zuhur bersama ‘Umar bin Abdul Aziz dan kemudian pergi kepada Anas bin Malik dan menjumpainya melakukan Solat Asar. Aku bertanya kepadanya, “Wahai pakcik! Solat apa yang kamu lakukan?” Dia berkata ‘Solat Asar dan ini adalah (waktu) solat Rasul Allah yang mana kami pernah bersolat bersama baginda.”

Riwayat ini memperkukuhkan tafsiran ayat 17:78 oleh Fakhruddin al-Razi yang mana menurutnya masa untuk melakukan Zuhur dan Asar adalah sama.

Melakukan dua solat dengan satu Azan.
Apabila sudah terbukti bahawa jamak solat bukanlah satu pembaharuan, malah adalah Sunnah Nabi Muhammad (s) untuk menyelamatkan umatnya dari kesukaran, kita dibenarkan untuk menggunakan kemudahan ini. Mereka perlu tahu bahawa oleh kerana Sunnah Nabi membenarkan para jemaah untuk berkumpul di dalam masjid untuk solat Zohor dan Asar, kemudian panggilan kedua untuk solat Asar dan Isyak dilaungkan didalam masjid tanpa pembesar suara dan kemudian solat ditunaikan. Cara yang sama juga turut dipetik oleh ulama Sunni.

Allamah Abdul Rehman al-Jazeeri menulis:
“Cara yang betul untuk menghimpun orang untuk bersolat adalah dengan melaungkan azan Maghrib dengan suara kuat yang biasa, kemudian selepas azan, masa diperlukan untuk melakukan solat tiga rakaat perlu ditangguhkan. Kemudian solat Maghrib perlu dilaksanakan dan kemudian adalah elok untuk melaungkan azan Isyak di dalam masjid, azan sepatutnya tidak dilaungkan dari menara supaya ianya tidak akan memberi tanggapan bahawa masa tersebut adalah masa kebiasaan untuk solat Isyak, oleh sebab itulah azan tersebut perlu dilaungkan dengan suara perlahan dan kemudian solat Isyak boleh dilaksanakan.” 
Al-Fiqa al-Al Madahib al-Arba’a, jilid 1 m.s 781, diterjemah oleh Manzoor Ahmed Abbas, diterbitkan oleh Akademi Ulama, Charity department Punjab.

Jelas dari sini, berdasarkan dalil-dalil yang sahih,menjamakkan solat walaupun bukan dalam keadaan yang memerlukan adalah mubah dan sah. Ini bertepatan dengan cara yang diikuti oleh pengikut Mazhab Ahlulbait(as).

Keutamaan Sholat di Awal Waktu; Pandangan Al-Quran, Hadits dan Sirah Imam-imam Maksum dan Ulama.

Pendahuluan.

Alhamdulillah, puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt dan sholawat serta salam kita haturkan kepada junjungan nabi besar islam Muhammad saww dan kepada keluarganya yang suci dan jauhkanlah rahmatmu ya Allah atas orang-orang yang memusuhi mereka.

Sholat adalah salah satu dari rukun-rukun islam yang sangat ditekankan kepada seluruh ummat islam untuk menjalankannya bahkan anjuran dari nabi besar Muhammad saw untuk tidak meninggalkannya, karena seluruh perbuatan baik dan buruk  tergantung pada yang satu ini. Jika sholat kita baik maka seluruh perbuatan kita juga akan baik, karena sholat yang kita lakukan setiap hari sebanyak lima waktu itu subuh, dzuhur, asar, magrib dan isya akan mencegah kita dari perbuatan jelek, namun sebaliknya jika kita mendirikan sholat dan masih juga melakukan hal yang tidak terpuji maka kita harus kembali pada diri kita masing-masing dan mengkoreksi kembali apakah sholat yang kita dirikan itu benar-benar sudah memenuhi syarat atau ketika kita mendirikannya, benak dan pikiran kita masih dikuasai atau diganggu oleh pikiran-pikiran selain Allah. Itu semua perlu juga kita perhatikan.

Sholat di awal waktu dalam pandangan Al-Quran.
Allah swt berfirman: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[*]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”  [1]

Imam Shadiq as bersabda:

 امتحنوا شيعتنا عند مواقيت الصلاة كيف محافظتهم عليها

Ujilah syiah kami pada waktu-waktu sholat, bagaimana mereka menjaganya. [2]
Allah swt juga berfirman: “Celaka bagi orang-orang yang mendirikan sholat, yang mana mereka mendirikannya secara lalai.” [3] Berkenaan dengan ayat ini, Imam Shadiq as ditanya, beliau menjawab: “Yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang yang melalaikan sholatnya, dan ia tidak mendirikannya di awal waktu tanpa ada halangan (uzur).[4]

Keutamaan sholat di awal waktu dalam pandangan riwayat.

Imam Bagir as bersabda:

اعلم ان اول الوقت ابدا افضل فتعجل الخيرابدا ما استطعت

 “Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal waktu itu adalah sebuah keutamaan, oleh karena itu laksanakanlah secepatnya pekerjaan baikmu selagi kamu mampu,.”[5]

Imam Shodiq as bersabda:

لفضل الوقت الاول على الاخير خير من ولده وماله

“Sesungguhnya keutamaan yang ada di awal waktu dibandingkan akhirnya lebih baik bagi seorang mukmin dari anak-anaknya dan hartanya.”[6]

Beliau juga dalam haditsnya yang lain bersabda:

فضل الوقت الاول على الاخير كفضل الآخرة على النيا

“Keutamaan awal waktu atas akhirnya sebagaimana keutamaan akherat terhadap dunia.”[7]
Imam Musa bin Jakfar as bersabda: “Sholat-sholat wajib yang dilaksanakan pada awal waktu, dan syarat-syaratnya dijaga, hal ini lebih wangi dari bunga melati yang baru dipetik dari tangkainya, dari sisi kesucian, keharuman dan kesegaran. Dengan demikian maka berbahagialah bagi kalian yang melaksanakan perintah shalat di awal waktu.”[8]

Imam Shadiq as bersabda: “Seorang yang mengaku dirinya haq (Syiah) dapat diketahui dengan tiga perkara, tiga perkara itu adalah: 1. Dengan penolongnya, siapakah mereka. 2. Dengan sholatnya, bagaimana dan kapan ia melaksanakannya. 3. Jika ia memiliki kekayaan, ia akan teliti dimana dan kapan akan ia keluarkan.[9]

Sholat di awal waktu cermin kesuksesan ruhani.

Diantara salah satu rahasia penting sholat di awal waktu adalah keteraturan hidup dengan tolak ukur agama dan tidak lalai kepada tuhan. Adapun orang yang mendirikan sholat, namun tidak terikat dengan awal waktu, dasar tolak ukur hidup mereka adalah ditentukan oleh permasalahan selain tuhan, dan ketika masuk waktu sholat, mereka mendirikannya, namun terkadang di awal waktu, pertengahan dan atau diakhirnya, permasalahan ini sudah sangat merendahkan dan meremehkan sholat itu sendiri sebagai tiang dan pondasi agama bahkan merupakan rukun islam bagi setiap muslim, dan dengan demikian seseorang akan merasa bahwa setiap permasalahan duniawi yang datang, akan lebih ia dahulukan ketimbang mengerjakan sholat, seperti contoh: Di tengah pekerjaan, makanan sudah dihidangkan, dikarenakan teman atau tamu yang bertandang kerumah dan lain sebagainya dari permasalahan dunia yang menyebabkan kita lalai dan tidak mengerjakannya di awal waktu. Hal semacam ini adalah sebuah kejangkaan dan tidak komitmen terhadap urusan agama.

Adapun orang yang terikat -dengan urusan agama- mereka mendirikan sholat di awal waktu. Tolak ukur kehidupan mereka, mereka susun sesuai dengan tolak ukur yang sudah ditentukan oleh Ilahi. Dalam artian bahwa setiap pekerjaan telah disusun sedemikian rupa sehingga ketika datang waktu sholat, mereka tidak disibukkan dengan pekerjaan yang lain selain ibadah sholat. Dan perhatikanlah jika menjanjikan sasuatu jangan mendekati waktu sholat, dan jika hendak menyantap makan siang atau malam, hendaknya tidak pada waktu sholat, dan jika hendak mengundang tamu atau berpergian untuk tamasya, hendaknya disusun sesuai dengan waktu sholat. Dengan demikian ia telah menunjukkan bahwa untuknya agama dan sholat adalah segala-galanya. Permasalahan inilah yang memiliki pengaruh yang sangat dalam untuk membentuk jiwa seorang insan menuju kesempurnaan.

Sholat di awal waktu adalah rumus untuk dapat menguasai jiwa, hawa nafsu dan pikiran serta menentang keinginan syahwat, karena dengan cara mengatur waktu dan janji yang kuat, seorang manusia seiring dengan berjalannya waktu dapat menemukan dan berhadapan dengan berbagai ragam hawa nafsu. Ketika keragaman seperti makan, istirahat, rekreasi dan pekerjaan menghadang, yang mana seseorang berkeinginan untuk melakukannya, namun dikarenakan waktu sholat telah tiba, hal itu dikesampingkan demi beribadah kepada Tuhannya (sholat), hal yang demikianlah yang disebut dengan tegarnya jiwa dan kuatnya iman.
Seorang yang ingin mendirikan sholatnya di awal waktu, tentu telah mengatur jadwal kehidupannya, misalnya: untuk dapat sukses melaksanakan sholat subuh di awal waktu, dia akan tidur lebih awal dan meninggalkan sebagian menu(kegiatan) yang menyebabkan ia begadang malam, karena hal itu bertentangan dengan keterjagaan di awal waktu. Di lain hal kita mengetahui bahwa bangun diwaktu(azan) subuh itu memiliki banyak barakah  dari sisi kejiwaan dan bahkan dari sisi materi.

Nah yang terpenting sekarang adalah kita harus mementingkan peranan sholat dalam diri kita, dan mulailah sejak saat ini mengambilnya sebagai rancangan yang mau tidak mau harus kita mulai dan kita kerjakan walaupun terkadang sering kali dalam memulainya kita ketinggalan untuk mengerjakan sholat itu di awal waktu, namun secepatnya kita mendirikannya. Bukan sebaliknya kemudian kita menaruhnya di akhir waktu, sehingga dengan cara ini, secara perlahan hal tersebut akan menjadi adat bagi kita untuk menjalankannya secara mudah dan tidak merasa beban. Dan ketika itulah sholat seseorang akan berbentur dengan keharuman dan kesucain yang luar biasa.

Dan Jika Tidak Sampai Laknatlah Aku
Almarhum Alamah Thabatabai dan Ayatullah Bahjat menukil dari almarhum Qadhi ra, ketika itu beliau berkata: “Kalau saja seorang yang mendirikan sholat wajibnya pada awal waktu dan ia tidak sampai pada jenjang yang tinggi (dari sisi keruhaniannya), maka laknatlah aku!.” (dalam naskah lain beliau berkata: “…maka ludahilah wajahku!”).

Awal waktu adalah rahasia yang sangat agung, karena firman allah swt yang berbunyi  “ حافظوا على الصلوات Peliharalah segala sholatmu…”, adalah salah satu poros dan sebagai pusat, dan selain itu juga terdapat firman Allah yang lain yang berbunyi “ واقيموا الصلاة Dan dirikanlah sholat…”, seorang insan yang mementingkan dan mengikat dirinya untuk mendirikan sholat di awal waktu, pada dasarnya itu adalah baik, dan memiliki pengaruh yang sangat besar dan positif untuk dirinya, walau tanpa dihadiri dengan sepenuh hati.[10]

Dari mana engkau dapatkan kedudukan ini.

Mullah Mahdi Naroki yang sangat melatih dirinya dengan sifat-sifat baik seperti wara, kesucian, kesehatan, ketakwaan dan lain-lainnya, sehingga dengan itu semua beliau berhasil dapat melihat dengan mata akherat, berkata: “Pada hari raya, saya pergi berziarah ke tempat pemakaman, dan saya berdiri ke sebuah makam dan kepadanya saya katakan: “Adakah hadiah yang dapat engaku berikan padaku di hari raya ini?”.
Malam harinya ketika saya beranjak tidur, dalam mimpi, saya  melihat seseorang yang wajahnya indah dan bercahaya datang menghampiriku, dan berkata: “Datanglah esok hari ke makamku, akan aku berikan sesuatu kepadamu sebagai hadiah di hari raya”. Keesokan harinya aku datang kepemakaman yang diisyaratkan oleh mimpiku itu. Sesampainya aku di sana, tiba-tiba tersingkaplah alam barzah untukku. Ketika itu tampaklah sebuah taman yang indah dan sangat menakjubkan, di dalamnya ada sebuah pintu dan pepohonan yang sebelumnya tidak pernah seorang pun melihatnya, tapi aku dapat temukan di sana. Di tengahnya terdapat sebuah istana yang sangat megah berdiri kokoh. Kemudian saya diajak memasuki ke ruangan dalam istana, ketika aku masuk, aku melihat seseorang yang duduk penuh dengan keagungan di atas singgasana yang bertahtakan intan permata. Kepadanya aku katakan: “Dari golongan manakah engkau?. Ia menjawab: “Aku dari golongan orang-orang yang beribadah. Kemudian aku tanyakan kembali: “Dari manakah engkau dapatkan kedudukan ini?. Ia berkata: “Pekerjaan yang sehat, dan sholat berjamaah diawal waktu.[11]

Perjalanan Ahlul Bait as dalam Sholat di Awal Waktu:
Sholat Awal Waktu pada Perang Shiffiin (Shofain).
Dalam cuaca panas peperangan Shiffin, ketika imam Ali as sedang sibuk-sibuknya berperang, Ibnu Abbas ra melihat beliau yang sedang berada di tengah dua barisan perang itu, secara tiba-tiba menegadahkan wajahnya ke arah matahari, ia bertanya: “Wahai imam, Ya Amirul Mukminin, untuk apa hal itu engkau lakukan?. Beliau menjawab: “Aku melihatnya karena ingin memastikan apakah sudah masuk waktu sholat dzuhur, sehingga kita mendirikannya?. Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Apakah sekarang ini saatnya untuk mendirikan sholat?. Peperangan telah menghalangi kita untuk mendirikan sholat, imam menjawab: “Untuk apa kita berperang melawan mereka?, Bukankah kita berperang dengan mereka supaya kita dapat mendirikan sholat?, hanya karena sholat kita berperang melawan mereka. Setelah itu perawi berkata: “Imam Ali sama sekali tidak pernah meninggalkan sholat malamnya walaupun pada malam “Lailatul Harrir”[12] (Lailatul Harrir adalah sebuah malam yang sangat genting dimana pasukan  Imam Ali dan Muawiah (laknat Allah kepadanya) meneruskan perang mereka sampai pagi.)

Sholat Terakhir Imam Husain as.

Siang hari dari sepuluh Muharram yang dikenal dengan hari Asyura, keadaan yang begitu menyengat karena teriknya matahari, dan cuaca yang panas dengan peperangan yang tidak seimbang  sedang terjadi di tanah Karbala, salah seorang dari pembela Sayyidus Syuhada Imam Husain as bernama Abu Tsamamah Asshoidi kepada Imam berkata: “Wahai Aba Abdillah (Lakqab panggilan Imam Husain as), jiwaku aku korbankan untukmu, saya lihat para musuhmu ini sudah dekat denganmu, aku bersumpah demi Allah sungguh engkau tidak akan terbunuh, kecuali dengan seizin Allah aku kobankan dulu nyawaku, namun aku akan senang sekali menemui Tuhanku dalam keadaan aku telah menjalankan tugasku yaitu mendirikan sholat yang sekarang ini sudah saatnya melakukankan sholat dzuhur.

Seketika Imam Sayyidus Syuhada menengadahkan wajah suci beliau kearah langit dan melihat matahari (yang sudah condong) kemudian bersabda: “Engkau ingat akan sholat!, Semoga Allah swt menjadikan engkau termasuk orang-orang yang selalu ingat akan mendirikan sholat. Ya sekarang ini saatnya mendirikan sholat di awal waktu, mintalah dari mereka waktu sesaat untuk mengangkat senjata sehingga kita dapat mendirikan sholat. Seketika itu seorang yang terlaknat bernama Hashin bin Tamim berkata: “Sholat yang kalian dirikan tidak akan diterima., Kemudian perkataan itu dijawab oleh Habib bin Madzohir, dikatakan padanya: “Wahai peminum arak, kau pikir sholat yang didirikan oleh keluarga rasulullah saww tidak diterima Allah swt, sedangkan sholat yang kau dirikan diterima!, jangan kira begitu”.
Kemudian Imam Husain as mendirikan Sholat Khauf bersama segelintir para pembela beliau yang tersisa.[13]

Perjalanan Imam Khomaini dalam mendirikan sholat di awal waktu.
Dalam sebuah media penerbitan yang menukil perkataan salah seorang dari putra Imam yang menceritakan bahwa: “Hari pertama kali Muhammad Reza Syah pergi, saat itu kami berada di kota Novel Losyatu. Hampir tiga atau empat ratus wartawan berkumpul mengelilingi rumah Imam, sebuah ranjang kecil disiapkan, dan Imam berdiri di atasnya. Seluruh kamera yang ada aktif mengontrol seluruh ruangan. Dan sesuai perjanjian setiap orang dari mereka melontarkan satu pertanyaan, setelah dua tiga pertanyaan, tiba-tiba suara azan terdengar, tanpa ada aba-aba Imam langsung meningalkan ruangan dan berkata: “Saat fadhilahnya (waktu yang diutamakan)  melaksanakan sholat dzuhur”. Semua orang yang hadir merasa heran dan takjub karena Imam meninggalkan ruangan begitu saja. Kemudian ada seseorang yang memohon kepada beliau untuk sedikit bersabar sampai minimalnya empat atau lima pertanyaan yang akan disampaikan beberapa wartawan, kemudian Imam dengan marahnya berkata: “Tidak bisa sama sekali” dan pergi meninggalkan ruangan.[14]

Imam Khomaini ra sampai akhir hayatnya, selalu merasa khawatir untuk tidak dapat menjalankan sholatnya di awal waktu, walaupun ketika beliau dirawat di rumah sakit. Dinukil dari Syekh Ansori ketika datang menjenguk beliau yang sedang dirawat, berkata: “Apakah engkau hendak mendirikan sholat?, kemudian beliau menggerakkan tangannya dan kami pun sadar bahwa beliau sedang beribadah sholat.[15]
Semua yang aku miliki dari menjalankan sholat di awal waktu.

Hujjatul Islam Haji Hasyimi Nejad berkata: “Tempo lalu ada orang tua yang datang ke sebuah masjid bernama Loleh Zar pada bulan Ramadhan, ia termasuk seorang yang sukses di zaman itu, dan sebelum azan dikumandangkan ia selalu hadir di dalam masjid.

Kepadanya aku katakan: “Haji Fulan, saya lihat engkau termasuk orang yang sangat sukses, karena setiap hari saya datang ke masjid ini, pasti engkau lebih dahulu datang dariku dan mengambil tempat di salah satu bagian masjid. Ia menjawab: “Sebenarnya, semua yang aku miliki ini, karena sholat yang aku dirikan di awal waktu. Kemudian setelah itu ia meneruskan perkataannya: “Pada masa mudaku, aku pergi ke Masyhad dan aku berjumpa dengan Almarhum Haji Syekh Hasan Ali Bagceh-i, aku katakan padanya: “Aku memiliki tiga keinginan, dan aku ingin Allah memberikan ketiganya di masa mudaku, bisakah engkau mengajarkan sesuatu sehingga aku dapat mencapai semua keinginanku tadi.

Kemudian beliau bertanya, “Apa yang engkau inginkan; , aku katakan padanya: “Aku ingin di masa mudaku, aku bisa mengamalkan ibadah haji, karena ibadah haji di masa muda memiliki kelezatan tersendiri”.
Lalu ia berkata: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Dan kembali aku katakan: “Keinginanku yang kedua adalah aku ingin Tuhan memberikanku istri yang baik dan sholehah”.

Beliau pun menjawab: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.
Keinginanku yang terakhir aku katakan: “Aku ingin Allah memberikanku sebuah pekerjaan yang terhormat”.
Kemudian beliau menjawab sama seperti jawaban yang pertama dan kedua: “Sholatlah di awal waktu dan berjamaah”.

Setelah itu aku mulai jalankan amalan yang diajarkan Syekh itu kepadaku, dan dalam jangka waktu tiga tahun, Allah memberikan aku jalan untuk dapat menjalankan ibadah haji, dan mendapatkan istri yang mukminah dan sholehah dan memberikan padaku sebuah pekerjaan yang mulia.[16]  Allahu A’lam
Penulis: S2 Jurusan ulumul Quran di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran
Sumber: http://www.Islamalternatif.net

* Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat Ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dan ada yang mengatakan bahwa sholat wusthaa itu adalah sholat dzuhur.


[1]  Surah Al-Baqarah ayat 238.
[2]  Biharul Anwar jilid 80 hal: 23, dinukil dari kitab Qurbul isnad.
[3]  Surah almaaun ayat 3-4.
[4]  Biharul Anwar jilid 80 hal: 6.
[5]  Idem dinukil dari kitab Asrar
[6]  Idem hal: 12, dari kitab Qurbul Isnad.
[7]  Idem dari kitab Tsawabul ‘Amaal.
[8]  Idem hal: 18-20, dinukil dari kitab Tsawabul ‘Amaal dan Almahasin
[9]  Idem.
[10]  Dar Mahzare Digaran, hal, 99.
[11]  Qeseha-e Namaz, hal: 92
[12]  Biharul Anwar, jilid 80 hal: 23 dinukil dari Irsyadul Qulub, Dailami.
[13]  Nafsul Mahmum, hal: 164.
[14]  Simo-e Farzonegan, hal: 159.
[15]  Dostonho-e Namaz, hal: 87. kemudian dikatakan bahwa Imam Khomaini setelah itu berkata: “Panggil perempuan-perempuan itu, ada sesuatu yang ingin aku katakan pada mereka”. Ketika mereka datang, beliau berkata: “Jalan, jalan yang sangat sulit dan meletihkan, kemudian beliau mengulangi perkataan beliau dan berkata: “janganlah kalian berbuat dosa”.

Catatan dari Keterangan diatas:
1. Shalat Syi’ah Tetap Lima Waktu, Hanya Saja Ada Keringanan Menjama’ dari Nabi SAW Agar Tidak Memberatkan Umatnya.
2. Menjamak Shalat Menurut Syiah Imamiah adalah pilihan/keringanan, bukan kewajiban.
3. Diperbolehkannya menggabung dua shalat.

Terkait Berita: