Pesan Rahbar

Home » » Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab III: Pengaruh Kematian Ayah

Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab III: Pengaruh Kematian Ayah

Written By Unknown on Monday 10 October 2016 | 19:20:00


Banyak sekali pengaruh yang menimpa keluarga dan anak- anak pascakematian ayah yang dapat dihilangkan dengan penyadaran, perhatian, dan komunikasi. Dalam kehidupan anak-anak, pengaruh tersebut dapat berupa hilangnya nafsu makan, gangguan pencernaan, terhentinya pertumbuhan, berubahnya warna kulit dan raut wajah, kacaunya waktu tidur, dan munculnya berbagai penyakit lain.

Sementara pengaruhnya secara mental dan kejiwaan bisa berupa menurunnya kecerdasan, tujuan, harapan, semangat, dan kepribadian. Sedang pada perasaan, ia akan memunculkan rasa gelisah, ketakutan, kemarahan, rasa dendam, depresi, bahkan kehilangan rasa belas kasih.

Alhasil, akan muncul berbagai kelainan pada sikap dan perbuatan si anak, seperti membangkang, melanggar aturan, hubungan yang tak baik terhadap sesama, memamerkan diri, dan berbagai kebiasaan yang tidak baik.


Pengaruh Umum

Kematian memang menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap perasaan dan kejiwaan dalam hidup rumah tangga. Adalah manusiawi bila seseorang yang kehilangan orang yang dicintainya menjadi bingung dan gelisah. Bahkan, boleh jadi, sebuah rumah tangga akan merasa kehilangan dalam waktu yang cukup lama.
Sebenarnya, keadaan seperti itu amat bergantung pada kapasitas dan kemampuan masing-masing individu dalam menanggung beban.

Berdasarkan kajian dan penelitian terhadap keluarga para syahid, kami berhasil menyimpulkan beberapa poin berikut:
1. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak mesti menimpa anak-anak dan anggotakeluarga para syahid. Artinya, tidak setiap anggota keluarga yang kehilangan orang yang dicintai pasti mengalami salah satu atau semua pengaruh negatif tersebut. Hanya sebagian anak dan anggota keluarga yang akan mengalami pengaruh- pengaruh tersebut.
2. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak hanya menimpa keluarga para syahid saja. Bahkan, kelompok lain yang bukan keluarga syahid pun dapat tertimpa berbagai pengaruh dan kesulitan tersebut.


Beragam Pengaruh dan Kesulitan

Berdasarkan sensus yang kami lakukan, pengaruh kematian para syahid terhadap keluarganya adalah sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan jiwa. Sebagian orang yang ditinggalkan dapat mengalami penderitaan semacam: depresi, suka berkhayal, kegelisahan, merasakan adanya kontradiksi dalam hidup, perasaan miskin dan berkekurangan, merasa rendah-diri, hilangnya kepercayaan pada orang lain, menjadi pemarah, suka menghisap jari, menggigit kuku, dan seterusnya.


2. Problem perasaan.

Sebagian anak, bahkan orang dewasa, dapat tertimpa masalah ini. Ia menjadi sensitif dan mudah menangis, dengki pada orang lain, malu dan rendah diri, dingin dan pesimis, terlalu senang dan tertawa berlebihan, merasa berdosa atas perbuatan sendiri, dan berbagai gangguan emosional lainnya.


3. Menimbulkan kesulitan.

Sebagian anak, lantaran tak mampu menanggung beban derita, menjadi sering mencari-cari alasan, suka mengada-ada, sering marah-marah, suka melawan dan membantah, mencari-cari masalah, mendendam, mendengki, suka bertengkar, bermalasan, hidup tanpa aturan, bahkan minggat dari rumah.


4. Kerusakan akhlak.

Kematian ayah dapat menimbulkan perubahan pada akhlak dan etika anak sehingga muncul berbagai sikap dan perbuatan tak terpuji. Misal, berbohong untuk menarik perhatian, menipu demi mengubah keadaannya, fanatisme tak rasional, berlagak dan berbangga diri, egois, serakah mencari-cari kesalahan orang lain untuk menunjukkan kemuliaan diri, anak laki-laki cenderung pada pekerjaan perempuan―karena sering bergaul dengan sang ibu dan perempuan lain―dan seterusnya.


5. Menimbulkan berbagai kelainan.

Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian anak-anak yang ditinggal mati ayahnya menjadi seperti masa kanak-kanaknya. Mereka menderita berbagai kelainan, seperti tak mampu menahan air seni, melompat saat tidur, berbincang dalam keadaan tidur (mengigau), berjalan- jalan saat tidur, gugup dan tergesa-gesa, tak mampu berbicara lancar (gagap), menjadi pelupa, berpandangan kosong (bengong), waswas, dan seterusnya.


6. Problem di sekolah.

Sebagian anak yang ditinggal mati ayahnya, mengalami berbagai kesulitan belajar di sekolah. Bahkan ada yang―lantaran tak memperoleh perhatian keluarganya―dibiarkan begitu saja dan hidup bebas tanpa kendali sehingga tak memperoleh pendidikan selayaknya. Banyak juga di antara mereka yang menjadi lemah dalam belajar, malas, dan hanya sibuk berolahraga. Bahkan, ada yang tak mau mengerjakan pekerjaan rumah dan tulisannya jelek dan tak teratur. Demikian pula, ada di antara mereka yang takut ke sekolah. Mereka sering menanyakan hal-hal tak rasional, tanpa perhitungan, dan cenderung menyombongkan diri. Juga, terjadi kelainan dalam caranya berbicara sehingga tak dapat menerangkan sesuatu secara lancar.


Catatan Penting

Pertama, kami akan mengulangi poin yang telah disebutkan pada awal pembahasan, yakni tidak setiap anak yang ditinggal mati ayah atau orang yang dicintainya akan mengalami berbagai kelainan dan kesulitan tersebut. Kedua, ketika kami mengungkapkan berbagai pengaruh tersebut, itu bukan berarti mereka tak meniliki kekuatan untuk mengendalikan diri.

Betapa banyak keluarga dan anak yang menjadi laksana pelita penerang umat dan menjadi penerus jalan para syahid yang mulia. Ya, perbuatan dan perilaku mereka telah mem-bangkitkan rasa bangga kita semua. Oleh karena itu mestilah disusun program-program yang dapat mendukung perjuangan mereka.

Di satu sisi, ini merupakan tugas dan upaya individual mereka (keluarga yang ditinggal). Namun, di sisi lain, pemerintah dan masyarakat mesti berupaya membimbing, mengarahkan, dan membantu mereka untuk menyingkirkan berbagai rintangan, pengaruh, dan kesulitan yang ada. Dengan begitu, generasi penerus para syahid dapat tumbuh sebagai generasi yang stabil, cerdas, dan menjadi kebanggaan umat Islam.


Pengaruh dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagi seorang anak, kehancuran rumah tangga sebagai akibat kematian ayah atau ibu, merupakan sebuah kehilangan yang teramat berat. Karenanya, menjadi tidak mudah untuk membahas masalah ini dari berbagai seginya. Di sini, kami akan berupaya memaparkan masalah ini sebagian saja.

Sekali lagi, pembahasan ini tak mungkin sempurna. Terdapat banyak kajian yang ditulis sekaitan dengan masalah ini. Karenanya, para peneliti mesti mencari dan menelaah pula tulisan-tulisan tersebut. Ala kulli hal, berbagai pengaruh kematian ayah terhadap seorang anak dapat diurai sebagai berikut:

1. Tidak nafsu makan.

Seorang anak yang kehilangan ayah atau ibu, sebenarnya telah kehilangan tempat berlindung dan bersandar. Ini menyebabkannya merasa tak aman. Perasaan semacam ini, baik pada anak-anak maupun orang dewasa, mengakibatkan melorotnya nafsu makan.

Dalam beberapa kasus, lantaran tak mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi baru, si anak terus melamun sampai lupa akan rasa lapar dan makan. Misal, seorang anak yang terbiasa―setiap kali akan tidur atau meninggalkan rumah menuju sekolah―dibelai dan dicium sang ayah. Setelah kematian belahan hatinya itu, ia teramat kehilangan dan merasa tak memiliki apa-apa lagi. Segalanya kini menjadi tak teratur, baik makan, minum, tidur, bahkan nafsu makannya.


2. Gangguan pencernaan.

Perasan sedih dan duka pada diri anak, dalam beberapa kasus, dapat mengganggu sistem pencernaannya, sehingga tak dapat berkerja secara baik dan normal. Akibatnya, muncullah berbagai dampak yang lain. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terjadinya perubahan dalam aktivitas bermain anak-anak dan hilangnya rasa gembira, akan mengakibatkan berkurangnya cairan yang diperlukan sistem pencernaan. Dengan begitu, terjadilah kesulitan dalam mencerna makanan dan memproses pembuangannya.


3. Pertumbuhan badan yang terganggu.

Jika tak mengkonsumsi makanan dengan kandungan gizi yang diperlukan tubuh―lantaran nafsu makan hilang―maka pencernaan anak akan mengalami gangguan sehingga tubuhnya tak dapat lagi tumbuh dengan baik. Anda tentu sering menyaksikan di televisi anak-anak yang kekurangan gizi dengan kondisi tubuh yang kurus-kering dan tak mampu berdiri. Meski telah berusia 10 tahun, namun berat tubuhnya tak seberat anak umur tujuh tahun. Mungkin tulang kakinya panjang, namun lemah dan tak bertenaga. Gangguan pertumbuhan itu tampak jelas pada raut wajahnya. Adakalanya, gangguan ini bahkan menyebabkan tulang anak menjadi bengkok dan amat kurus.


4. Gerakan tak terkontrol.

Pengaruh lainnya terhadap anak―juga orang dewasa―dalam kehidupan sehari-hari adalah gerakan anggota tubuh tanpa disadari. Yang dimaksud di sini adalah gerakan syaraf sebagai tanda terjadinya pergolakan jiwa, keinginan tak terpenuhi, dan kontradiksi batin. Akibatnya, ia akan sangat menderita. Secara tiba-tiba, ia akan melompat. Atau, kelopak mata dan telinganya bergerak-gerak sendiri tanpa disadari dan tanpa dikehendaki.

Penderita gangguan tersebut tak dapat disembuhkan dengan membentak atau memarahinya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya adalah, pertama, dengan mewujudkan ketenangan dan ketenteraman dalam lingkungan rumah dan sekolah. Kedua, mengingatkannya untuk selalu memperhatikan gerakan dan perbuatannya. Namun, bila kondisinya semakin parah, maka diperlukan bantuan seorang psikiater. Meskipun, masalah ini lak begitu berbahaya. Toh dengan bertambahnya usia, semua itu akan terlupakan.


6. Perubahan pada raut wajah.

Lantaran tak mengonsumsi makanan secara sempurna sebagai akibat kurangnya nafsu makan, mengalami depresi, dan mengasingkan diri, maka terbukalah peluang bagi terwujudnya berbagai ketidak- seimbangan, seperti perubahan raut wajah sang anak. Wajahnya akan tampak muram, sendu, dan kekuning-kuningan. Ini lantaran rasa sedih, tak adanya ketenteraman batin, guncangnya pikiran, dan pengucilan diri. Adakalanya, keadaan seperti itu terjadi lantaran anggota keluarganya tak memiliki kesempatan mengelus-elus kepalanya seraya mendengarkan berbagai keluhannya. Akibatnya, si anak pun menjadi sibuk dengan dunia dan urusannya sendiri sehingga melupakan hal-hal yang dapat membantu pertumbuhan dan kemaslahatan dirinya.


7. Waktu istirahat yang tak teratur.

Kematian ayah dapat mengganggu waktu istirahat dan tidur si anak. Maksud kami, perasaan sedih dan duka seorang anak atas kematian ayah, dapat mencegahnya tidur dan beristirahat dengan baik. Misal, si anak memiliki kebiasaan: sebelum tidur selalu rnendengarkan cerita yang dibawakan ayahnya. Karena selalu rnengenang peristiwa itu, ia tak mampu tidur dan memejamkan mata, kecuali bila benar-benar letih. Sekalipun dapat tidur, maka tidurnya tidak pulas dan tidak lama. Mungkin ia akan mengalami mimpi-mimpi yang menakutkan, bermimpi digendong ayahnya sehingga melompat dalam tidurnya, atau memanggil-manggil nama ayah selagi tidur. Ia pun akhirnya terjaga. Ketika tak melihat ayah di sampingnya, ia pun tak dapat tidur kembali.

Gangguan ketika tidur menyebabkan munculnya berbagai gangguan yang lain. Misalnya pusing, mencari-cari masalah, tak nafsu makan, pikiran kacau, malas dan tak bersemangat, dan mudah marah. Gangguan ini biasanya terjadi pada anak usia 4 sampai 6 tahun, lebih-lebih bila memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Sedang perasaan takut dan cemas, tetap akan bersemayam dalam jiwa sang anak hingga berumur 8 tahun.


8. Penyakit.

Dalam beberapa kasus, terdapat anak-anak yang tak mampu sama sekali menahan diri atas kematian ayahnya. Juga ditemukan anak-anak―lantaran memiliki kecerdasan lebih dan untuk menjaga ibunya tidak merasa sedih dan pilu―mampu memendam perasaan sedih dan dukanya. Anak-anak dengan dua keadaan tersebut akan banyak menderita penyakit, rneskipun di tubuhnya tak terdapat tanda-tanda yang jelas mengenai penyakit tersebut. Dengan kata lain, kesedihan dan perasaan duka yang dipendam itulah yang menyebabkan munculnya penyakit dalam dirinya.

Begitulah, penyebab utama munculnya penyakit adalah kurangnya gizi dan tak adanya nafsu makan. Padahal di masa pertumbuhannya, seorang anak memerlukan makanan dan gizi dalam jumlah cukup besar. Problem lain yang menimpa anak- anak tersebut adalah gemetarnya anggota tubuh, sehingga tak mampu berbicara lancar.


Tidak Bersifat Umum

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengaruh dan gangguan tersebut tidak menimpa semua anak yang ditinggal mati ayahnya. Betapa banyak anak yang ditinggal mati ayahnya tak mengalami gangguan sebagaimana telah disebutkan. Bahkan, mereka tetap hidup dalam keadaan normal dan stabil.

Adakalanya, setelah kematian atau kesyahidan ayahnya, sang anak berada dalam keadaan atau suasana yang tak begitu menyedihkan. Keadaan ini terutama terjadi pada anak-anak yang hidup dalam sebuah rumah tangga yang sibuk atau tak memiliki hubungan baik dengan ayahnya sewaktu masih hidup. Juga, bila sang ibu merupakan seorang wanita cerdas dan bijaksana, yang selalu mengawasi dan mengarahkan kehidupan anak-anaknya dengan benar.

Jika saja para ibu atau anggota rumah tangga lainnya, di awal peristiwa kematian atau kesyahidan, bersedia meluangkan sedikit waktunya untuk memikirkan dan memahami nasib dan perasaan anak-anak, maka takkan terjadi perasaan kehilangan yang begitu berat. Ya, yang sering kita temukan adalah mereka malah tenggelam dan hanyut dalam kesedihan, sehingga melupakan rumah tangga dan anak-anaknya. Mereka menangis sejadi-jadinya sampai merasa letih dan tak lagi memperhatikan kondisi kejiwaan anak-anaknya.

Dengan begitu, anak-anak akan mengalami berbagai gangguan dan kelainan sebagaimana yang telah dipaparkan.

Anak-anak akan lebih terpukul dan menanggung beban yang lebih berat bila menghadapi keadaan berikut:
1. Sebelum kematian ayah, sang anak telah menanggung berbagai beban mental.
2. Si anak memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ayahnya, ibarat bunga yang masih menempel ditangkai.
3. Si anak sangat dimanjakan ayahnya, memperoleh curahan kasih sayang secara berlebihan, dan keinginannya selalu dipenuhi.
4. Sewaktu ayahnya masih hidup, si anak, karena kesal, pernah mengharapkan ayahnya segera mati. Kini, ia merasa berdosa dan menganggap kematian ayahnya sebagai akibat harapannya itu.
5. Dalam rumah, si anak merasa tak memiliki pelindung, tertekan, dan keinginannya tak terpenuhi.
6. Sang ibu juga meninggal atau dalam keadaan sakit, sehingga si anak benar-benar merasa seorang diri.


Pengaruh Mental dan Kejiwaan

Kematian, manakala menghampiri rumah atau kota mana saja, akan merenggut semuanya. Ya, tak seorang pun yang dapat melarikan diri darinya dan pasti akan menemuinya, kecuali Allah yang Mahahidup. Semuanya pasti akan mati, bahkan nabi kita Muhammad saww. Mungkin ada yang lebih cepat menemui sang ajal, sementara yang lain lambat. Namun, ketetapan Allah swt adalah bahwa kematian akan dialami semua orang.

Kematian, bagi semua orang, adalah peristiwa yang meng- guncangkan ketenangan dan melenyapkan berbagai kesenangan, kegembiraan, dan harapan. Setelah mati, orang yang baik akan tinggal di tempat yang layak, sementara mereka yang ditinggal mati akan merasa kehilangan, tanpa pelindung, dan terkadang hidup miskin dan menderita.

Di antara berbagai bentuk kematian, kesyahidan mendatangkan kebanggaan. Namun, ia juga membawa pengaruh yang cukup besar, mengguncang perasaan mereka yang ditinggalkan. Manakala sang isteri melihat luka dan darah yang terdapat di tubuh suaminya dan ketika si anak menyaksikan kepala atau tangan ayahnya terputus, menjadi sulit bagi mereka untuk mengendalikan diri atau melupakan kesedihan dan duka tersebut.

Betapa banyak orang yang telah menyaksikan peristiwa seperti itu, namun bayangannya yang amat memilukan tetap tertanam kuat dalam ingatannya.


Kapasitas Mental dan Tingkat Ketabahan

Tampak atau tidak nampaknya perasaan sedih dan duka, amat bergantung pada kapasitas mental dan kejiwaan masing- masing individu. Mereka yang tak memiliki sistem pertahanan yang kuat dalam menghadapi musibah atau tak memiliki kesanggupan yang kuat untuk mengendalikan jiwanya, akan mengalami berbagai gangguan dan kesulitan berat.

Berbagai kajian terhadap pasien yang menderita kelainan jiwa, menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kelainan tersebut adalah akibat perpisahan dengan orang yang amat dicintainya, baik perpisahan lantaran perceraian, pertengkaran, kematian, atau kesyahidan. Mereka yang tak tabah dalam menghadapi peristiwa seperti itu atau tak mampu melupakan duka laranya, biasanya menderita gangguan dan kelainan syaraf yang sangat serius.

Ya, kemampuan anak kecil memang sangatlah minim, khususnya yang memiliki sensitivitas atau pernah tertimpa musibah. Sedikit saja benturan terhadap mental dan jiwanya, akan mengakibatkan gangguan syaraf, guncangan kepribadian, serta lenyapnya ketenangan dan ketenteraman mereka.


Pengaruh Rasa Kehilangan

Telah kami ungkapkan bahwa anak-anak yang sensitif dan tak memiliki ketabahan, akan merasa sangat kehilangan, khususnya yang kurang memperoleh curahan kasih sayang. Ini mengakibatkan munculnya perasaan tak aman dan tak memiliki tempat berlindung, bahkan terkadang dapat menyebabkan terjadinya berbagai gangguan kejiwaan. Tentunya, kami tak mampu mengkaji dan meneliti seluruh sisinya. Oleh karena itu, kami akan cukupkan dengan hanya menyebutkan sebagiannya saja.

1. Pengaruh terhadap pikiran dan kecerdasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasaan putus asa, miskin, dan sedih, memberikan pengaruh yang besar terhadap kecerdasan anak, di mana dirinya akan menjadi terbelakang dan tak mampu berpikir baik. Lantaran si anak terlalu lama tenggelam dalam perasaan sedih dan duka, maka pertumbuhan otaknya akan terganggu dan melemah, sehingga menjadikannya memiliki tingkat kecerdasan yang jauh lebih rendah dari teman-teman sebayanya.

Umumnya, anak yang tertimpa peristiwa menyedihkan tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan, suasana, dan aktivitas sosial. Pikirannya akan mati dan tak berkembang. Mereka jarang sekali menggunakan kecerdasan, hafalan, ketelitian, dan daya pikirnya, sehingga tidak tangkas dan tidak mahir.


2. Kesulitan belajar dan menuntut ilmu.

Peristiwa kematian dan kesyahidan ayah bagi sebagian anak memang terasa begitu berat, sehingga menyulitkannya dalam belajar dan menuntut ilmu. Ketika berada di sekolah atau di kelas, mereka tak merasa tengah berada dalam kelas. Mereka mengalami kesulitan meng-hubungkan pelajaran yang telah lalu dengan yang sekarang. Boleh jadi pandangannya melayang dan terbang ke tempat lain.

Mereka juga tak mampu melakukan kajian secara mendalam dan tak mampu menarik kesimpulan dari pelajaran yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 33 persen di antara mereka menghadapi kesulitan belajar dan tak berada dalam kondisi normal.

Kegagalan mereka dalam aktivitas belajar itu biasanya menimbulkan kekecewaan para guru dan staf pengajar. Lantaran menjadi sasaran dan luapan kekecewaan para gurunya, anak-anak tersebut menjadi bingung dan gelisah, sehingga kondisinya menjadi semakin parah.

Sikap lemah-lembut dan musyawarah secara santun, sedikit-banyak akan dapat memberikan ketenangan dan mengembalikan pada kondisi normal seperti sedia kala. Yang mesti pertama kali dilakukan para pendidik adalah menumbuhkan perasaan aman dan percaya diri mereka. Setelah itu, mereka dapat diajak untuk kembali mengikuti pelajaran.


3. Tujuan dan cita-cita.

Sebagian besar anak-anak yatim dan mereka yang ditinggal mati, biasanya tenggelam dalam kesedihan yang menimpanya sehingga tak mampu menyusun program yang akan dikerjakannya di masa datang. Atau, mereka tak mampu memanfaatkan pengalaman masa lalu untuk meraih tujuan dan cita-cita di masa datang.

Ya, mereka tak menyusun tujuan dan cita-cita yang tinggi dan hanya sibuk dengan berbagai perkara remeh. Juga, nampak dalam diri mereka rasa acuh dan pesimistis akan masa depan. Dengan begitu, mereka menjadi tak mampu memahami akibat buruk yang akan mereka rasakan bila mengerjakan atau membiarkan pekerjaan tertentu.

Anak-anak, bahkan remaja, setelah kematian sang ayah biasanya cenderung tak mem- perhatikan pelajaran sekolah kebersihan dan kesehatan dirinya. Sementara, kondisi kejiwaan anggota keluarga yang lebih dewasa, yang sensitif dan tak mampu menahan diri, biasanya mengharapkan kematian yang lebih cepat. Karenanya, mereka melupakan tujuan dan cita-cita mulia dan hanya menyibukkan diri dengan berbagai perkara yang tak berharga dan bersifat sesaat.


4. Berharap dan menanti.

Adakalanya, guncangan kejiwaan memaksa mereka menahan berbagai keinginan dan tuntutan yang biasa dan wajar. Misal, jika lapar atau haus, mereka takkan meminta air dan roti. Juga, jika dizalimi atau dirampas hak- haknya, mereka takkan mengadakan perlawanan.

Namun, terdapat juga berbagai kondisi yang merupakan kebalikan dari sikap dan kondisi anak-anak di atas. Yakni, mereka sama sekali tak rela bila hak-haknya dirampas atau diabaikan, meskipun itu berkaitan dengan masalah remeh. Ini biasanya dialami anak-anak yang selalu dimanja dan di-agungkan.

Secara kejiwaan, kebiasaan berharap dan menanti merupakan pengalihan atas berbagai kekurangan yang ada. Terkadang, itu dilakukan untuk menutupi keinginannya akan suatu hal. Biasanya, anak-anak seperti itu akan selalu berusaha melakukan sesuatu, meskipun sia-sia belaka. Bahkan, boleh jadi, ia akan makan secara berlebihan dan selalu mengunyah makanan, yang tentunya berbeda dengan anak-anak lain yang justru kehilangan nafsu makannya. Ya, anak-anak seperti itu tak mau mengharapkan dan meminta sesuatu dari orang lain untuk memenuhi keperluan hidupnya.


5. Kepribadian dan mental.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak miskin dan tak berayah―bila tak diasuh dan dibimbing dengan baik―pertumbuhan dan perkembangan mental serta kepribadiannya akan mengalami gangguan, sehingga tidak memiliki perilaku yang normal dan stabil.
Hasil penelitian Dr. John Balby menunjukkan bahwa keterpisahan dalam rentang waktu yang cukup panjang, terlebih pada usia tiga tahun pertama akan memberikan dampak dan pengaruh yang tidak baik secara kejiwaan dan kepribadian. Bahkan anak-anak akan melakukan perbuatan tercela, membangkang, merasa terhina dan rendah diri, bermuka- masam, serta berperilaku buruk.

Terdapat pula sejumlah kasus di mana anak-anak tak memiliki semangat hidup. Misal, mereka lebih cenderung tidur, berkhayal, hanyut dalam mimpi-mimpi, pembicaraannya tak jelas, tidak teratur, dan sulit dipahami, serta sering ribut dan berteriak-teriak hanya lantaran persoalan kecil. Bahkan cara berjalan mereka pun menjadi tidak normal.


6. Kelainan jiwa.

Boleh jadi, peristiwa kematian tersebut mengakibatkan munculnya kelainan jiwa. meskipun ini sangat jarang terjadi. Ini bukan hanya menimpa anak-anak namun juga orang-orang dewasa. Mereka menjadi gila dan tenggelam dalam khayalan serta angan-angan. Kami menjumpai beberapa orang―lantaran kelainan jiwa atau tak mampu menanggung derita―menjadi cenderung mengamuk, melawan, dan merasa rendah diri. Ada pula di antara mereka yang menjadi suka ber- saing dan tak mau dikalahkan. Sifat inilah yang menyebabkan munculnya berbagai perilaku buruk lainnya, seperti depresi, suka mengurung diri, dan tak memiliki belas-kasih


Metode Pembenahan

Di sini, kita mesti memperhatikan poin penting berikut ini. Yakni, bahwa semua perbuatan dan perilaku tersebut masih dapat dibenahi dan diperbaiki. Bahkan, mereka dapat disembuh- kan hanya dengan belaian, perbincangan, dan pengarahan. Alhasil, jika mulai nampak tanda-tanda terjadinya kelainan, maka itu tak boleh dianggap remeh. Sebab, boleh jadi, lantaran meremehkannya, gejala tersebut justru akan semakin parah.

Ya, kita mesti meningkatkan pengawasan dan perhatian terhadap anak-anak seperti itu, melebihi perhatian kita terhadap diri sendiri. Sebab, anak-anak memiliki kemampuan untuk menanggung derita yang lebih minim dibanding kita. Mengulur waktu untuk membenahi dan menyembuhkan mereka, hanya akan memperburuk keadaannya.

Kita mesti senantiasa berupaya dengan gigih dan penuh kelembutan untuk membenahi mereka. Juga, kita mesti mampu menguasai kondisi kejiwaan mereka. Kata-kata yang kita ucapkan mestilah tegas dan kuat. Dengan begitu, kita telah meneguhkan hati mereka. Kita juga mesti menunjukkan bahwa kita masih tabah dan bertahan dalam menghadapi peristiwa menyedihkan itu. Kita juga dapat meminta bantuan ahli psikologi dan psikoterapi atau orang-orang yang dapat di- percaya, supaya kelainan tersebut segera lenyap.


Bahaya yang Muncul

Kematian atau kesyahidan merupakan kehilangan besar bagi mereka yang ditinggal mati. Selain itu, ia juga dapat menyebabkan guncangnya rumah tangga dan hilangnya arah serta kepemimpinan. Sebagian anak-anak―khususnya yang senantiasa di bawah perintah dan larangan keras ayahnya, pada akhir masa kanak-kanak atau di awal masa remaja―lantaran merasa tak lagi diawasi secara ketat, merasa bebas dari berbagai tekanan dan ikatan, sehingga tak lagi mengindahkan berbagai aturan dan nilai-nilai moral.

Bahaya lain yang dapat mengancam kehidupan anak-anak adalah bila kita terlalu memanjakan dan memenuhi semua keinginan mereka, di antaranya adalah menyayangi dan mem- perhatikan mereka secara berlebihan.
Sebagian anak-anak tersebut, pada gilirannya akan berdiri di tubir jurang penyimpangan dan penyelewengan, terutama bila terbiasa bergaul dengan orang-orang yang tak memperhatikan nilai-nilai moral. Penyimpangan ini, selain mencemarkan nama-baik anak tersebut juga dapat mencemarkan citra keluarganya Oleh karena itu, kita mesti benar-benar berusaha mencegahnya.

Para ibu―yang merupakan penanggung jawab masalah pendidikan anak setelah kematian sang ayah―mesti mengambil sikap dan tindakan dengan berlandaskan nilai-nilai Islam. Dalam upaya melanjutkan kehidupan rumah tangga, mereka kepada seluruh anggota rumah tangga secara adil dan bijaksana.


Menuntut Kebebasan dan Kemerdekaan

Kematian ayah bagi seorang anak merupakan bencana yang teramat besar dan menyakitkan. Ia juga dapat menjadi salah satu faktor, munculnya berbagai penyimpangan dan pe- nyelewengan berbahaya. Sebagian anak-anak―meskipun merasa sedih dan duka atas kematian ayahnya―adakalanya juga merasa gembira dan bahagia lantaran merasa telah terbebas dari berbagai ikatan dan belenggu yang sebelumnya membatasi kebebasan mereka. Kini, mereka dapat berjalan dan melangkah- kan kaki secara leluasa.

Perasaan semacam itu nampak lebih jelas pada anak-anak yang berada dalam kondisi berikut ini. Pertama, berusia kurang lebih di akhir masa kanak-kanaknya, awal memasuki usia remaja, dan akil baligh. Kedua, sang ayah sangat keras dan kaku dalam mengawasi dan memperhatikan gerak-geriknya, sehingga menjadikannya merasa berada dalam ikatan dan belenggu peraturan serta tata tertib. Ketiga, sang ibu tak mampu mengawasi dan mengontrol aktivitas si anak, sehingga dilepas begitu saja.

Anak-anak seperti itu mengidap perasaan yang menuntut kebebasan tak terbatas, sehingga tak mempedulikan lagi berbagai tatatertib dan peraturan dalam rumah tangga. Selanjutnya, mereka menjadi semakin berani meremehkan berbagai perintah dan larangan sang ibu.


Upaya Merengkuh Kebebasan

Setelah kematian sang ayah, mulailah upaya-upaya untuk meraih kebebasan. Si anak berusaha keras membebaskan diri dari berbagai belenggu dan ikatan dirinya (menurut pandangannya). Selain itu, ia berusaha menengok kembali peristiwa sedih yang telah menimpanya dan kemudian menentukan sikap dan posisinya yang baru.

Sejak peristiwa kematian, karena anggota keluarganya sibuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan si mayat dan penataan kembali kehidupan baru, si anak semakin memperkuat semangatnya untuk meraih usaha dan cita-citanya. Dengan bantuan orang lain, ia mulai melakukan persiapan untuk melakukan uji coba terhadap ibu dan para pembimbingnya agar menunjukkan reaksi mereka. Manakala uji cobanya memperoleh hasil sebagaimana diinginkan, ia pun akan menyusun dan menemukan konsep perjalanan hidupnya yang baru.


Bentuk Tuntutan

Terdapat beragam bentuk tuntutan anak akan kebebasan. Bentuk pertama adalah tidak mengindahkan berbagai tatatertib dan peraturan rumah tangga, tempat di mana dirinya tinggal selama ini dan telah membemuk kepribadiannya. Jika dalam tahap ini berhasil, ia akan melanjutkan langkahnya.
Langkah berikutnya adalah membangkang dan melanggar perimah yang diarahkan kepadanya. Ia akan selalu berusaha melakukan berbagai aktivitas tanpa pengawasan orang lain.

Di sini, ia takkan lagi menghiraukan ucapan sang ibu dan para pembimbing lainnya. Padahal, sebelumnya ia adalah anak yang patuh dan taat terhadap perintah dan larangan orang tuanya. Kini, ia memanfaatkan kematian ayahnya sebagai alasan untuk menjadi anak yang bermuka-masam, pemuram, pelanggar aturan, pengabai perintah dan larangan, serta egois. Bahkan, tak segan-segan ia membentak dan memarahi ibunya. Dalam keadaan seperti ini, ia harus segera dibimbing dan diarahkan sebelum tenggelam terlalu jauh dalam berbagai kesulitan.


Akar Permasalahan

Penyebab dan akar permasalahan munculnya sikap-sikap tersebut dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut ini:
1. Kecenderungan untuk menghilangkan berbagai gangguan dan kesulitan yang muncul akibat kematian sang ayah. Dengan memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan yang ada, ia berusaha menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain untuk menghilangkan perasaan cemas dan putus- asanya.
2. Si anak tak menyukai keadaan masa lalunya dan tak puas dengan kondisinya sekarang. Ia ingin mandiri dan merasa bahwa keadaan sekarang ini amat mendukung usahanya itu.
3. Di rumah, si anak merasa tak memiliki seseorang untuk meruahkan isi hatinya. Atau, sang ibu tidak mampu me- ngontrol dan mengawasi anak-anaknya secara sempurna.
4. Bayangan buruk yang muncul akibat kematian sang ayah. Ia merasa pesimistis terhadap masa depannya.
5. Si anak merasa kehidupannya tertekan. Ia merasa harus menanggung berbagai tugas dan tanggung jawab baru. Sikap yang diambilnya itu merupakan cara untuk me- nyelamatkan diri dari berbagai tekanan tersebut dan supaya tegar dalam menjalankan berbagai tugas dan tanggung jawab itu.
6. Sebagaimana telah disebutkan, berbagai suara-suara dan tipuan orang lain sangat berpengaruh dalam hal ini. Adakalanya, bahkan orang-orang di sekitarnyalah yang menyediakan sarana bagi terwujudnya sikap-sikap semacam itu.
7. Boleh jadi, sikap-sikap semacam itu muncul lantaran salah paham atas ucapan orang lain. Misal, setelah kematian sang ayah ada yang berkata kepadanya, “Alhamdulillâh, kini Engkau telah dewasa dan tak lagi memerlukan ayah. Engkau dapat berdiri sendiri. Kini, Engkau mesti menjadi laki-laki dalam rumah ini. Engkau mesti...” Ucapan seperti itu niscaya akan sangat menghantui dirinya.


Tingkatan Usia

Sebagaimana telah disebutkan, sikap di atas semakin meningkat pada akhir usia kanak-kanak dan memasuki usia remaja. Namun, pada dasarnya, sejak mampu berjalan, anak- anak telah menuntut kebebasan. Setelah mampu berbicara. maka kecenderungannya untuk menuntut kebebasan makin meningkat. Manakala dapat bersikap madiri dan tak banyak bergantung pada ayah dan ibunya, anak-anak akan terus berupaya meraih kebebasannya sampai masa dewasa dan akhir hayatnya.

Dengan demikian, kecenderungan untuk menuntut kebebasan terdapat pada semua tingkatan usia. Ini menjadi nampak jelas ketika mereka telah memiliki kepribadian (jati- diri). Oleh karena itu, ketika si anak selalu dalam kungkungan orang tuanya dan tak melakukan pemberontakan, ia pun melihat bahwa kematian ayahnya merupakan kesempatan untuk melepaskan diri darinya.

Tatkala usia mereka bertambah, tuntutan dan kecenderungan ini semakin kuat dan meningkat. Bahkan sampai pada taraf tidak lagi mau mendengarkan nasihat orang lain dan ingin hidup mandiri. Kalau saja mampu, mereka akan melarikan diri dari tempat tinggalnya agar tak mendengar perintah dan larangan orang lain.


Bahaya dan Kerugian

Sikap semacam itu sangat berbahaya. Sebab, anak-anak belum memiliki pemikiran yang matang, sementara meng- hendaki kehidupan bebas dan merdeka serta lepas dari pengawasan dan bimbingan orang lain. Keadaan ini tak ubahnya anak burung dengan bulu sayap yang belum tumbuh secara sempurna kemudian hendak terbang mengangkasa. Ya, sayapnya akan patah dan tubuhnya akan jatuh ke bumi. Atau, lantaran kebodohan dan kelalaiannya, ia akan menjadi sasaran empuk para pemburu.

Ada kalanya, mereka mengartikan kebebasan sebagai melepaskan diri dari berbagai peraturan dan tatatertib serta meremehkan berbagai nilai-nilai kehidupan. Padahal, kehidupan tanpa aturan tak mungkin berlangsung lama. Juga, lantaran kurang perhatian, mereka takkan dapat menggunakan kecerdasan dan potensi dirinya. Mereka akan selalu meremeh- kan pelajaran sekolah dan sering membolos, sehingga selalu mengalami kegagalan, serta tak mengalami kemajuan dan perkembangan.

Banyak anak-anak, lantaran dorongan untuk meraih kebebasan, merasa tidak melakukan kesalahan bila bergaul dengan orang-orang yang tak menghormati nilai-nilai moral. Akibatnya, mereka terjerumus dalam berbagai penyimpangan dan tindak kriminal. Jika membuka file orang-orang yang melakukan berbagai penyimpangan. Anda akan menemukan bahwa sebagian besar melakukannya lantaran pergaulan yang salah sejak usia dini.


Perlu Pengawasan

Melihat banyaknya bahaya dan kerugian yang dapat me- ngancam masa depan anak, maka kita mesti memantau dan mengawasi berbagai sudut kehidupannya.
1. Dari sisi hak untuk memperoleh pendidikan, seorang anak berhak menuntut orang tuanya agar memberikan pen- didikan dan pengawasan; terlebih tatkala dirinya belum memahami kepentingannya.

2. Secara rasional, pengawasan dan bimbingan sangat di- perlukan. Sebab, jika tidak demikian, maka per- kembangan, kemaslahatan, dan kebahagiaan anak akan terganggu. Kebodohan dan ketidaktahuan akan men- jerumuskannya pada berbagai kesalahan dan bahaya.

3. Secara moral pun, sang anak mesti memperoleh pengawasan dan bimbingan. Lantaran berada dalam kondisi tertindas (mazlum), tak mengetahui bahaya di hadapannya, serta tidak memaharni sesuatu yang merugikan dan mendatangkan manfaat baginya, maka ia mesti mendapatkan seorang wali yang menjaga dan melindungi berbagai kepentingan/nya.

4. Alhasil, lantaran merupakan generasi syahid dan darah syuhada telah memberikan kedudukan serta kehormatan kepadanya, maka ia mesti memiliki etika mulia dan jauh dari berbagai kesalahan dan penyimpangan.

Ya, semestinyalah kita menunjukkan arah menuju kebebasan yang benar, bukan kebebasan tanpa aturan. Sebab, seorang anak tak ubahnya sebatang pohon yang masih lemah. Untuk menjaganya agar tidak patah dan mati, diperlukan tiang penyangga yang kuat. Jika salah satu dari orang tuanya meninggal, maka yang satunya mesti menjadi tiang penyangga- nya. Secara bertahap, kita harus menyiapkan baginya berbagai sarana yang dapat memberikan keterampilan, keahlian, penentuan sikap, dan pemikiran. Juga, agar dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, ia senantiasa bersandar pada pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki.


Memanfaatkan Kecenderungan

Kita mengetahui bahwa kecenderungan pada kebebasan dalam diri anak merupakan hal yang pasti. Para orang tua sepatutnya dapat menerima kenyataan tersebut. Lantaran kecenderungan tersebut muncul dari dalam jiwa mereka, maka semua itu mestilah disikapi secara bijak dan dengan cara yang dapat mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan dan ke- pentingan anak. Para ibu dapat melakukannya dengan cara memberikan perintah untuk menjalankan tugas-tugas di rumah dan memberi mereka tanggung jawab tertentu. Misal, menghitung keluar-masuknya keuangan atau berbelanja untuk keperluan rumah tangga.

Dengan begitu, anak-anak akan memperoleh berbagai manfaat dan terarah ke jalan yang benar.

Anda juga dapat mengajukan dua-tiga bentuk pilihan tertentu dan meminta mereka memilih salah satu di antaranya. Atau, memberikan kebebasan pada mereka untuk melakukan berbagai pekerjaan yang tak merugikan, baik dirinya maupun orang lain. Upaya ini, selain dapat menurunkan gejolak dalam batinnya, juga akan sedikit memberikan perasaan bebas bagi mereka. Namun, perlu diperhatikan, jangan sampai mereka terlalu berlebihan merasakan kebebasan, agar tak membahayakan diri mereka sendiri maupun orang lain. Anda mesti memegang asas berikut: “Anak adalah mulia, tetapi sopan-santun jauh lebih mulia.”


Manja dan sering menuntut

Manusia adalah makhluk yang senantiasa memerlukan bantuan orang lain. Dalam masalah ini, para filosof dan teolog menyatakan bahwa manusia dapat berdiri tegak lantaran orang lain, bukan diri sendiri. Seluruh sisi kehidupannya dipenuhi kebutuhan, keperluan, dan kekurangan. Adakah manusia yang merasa tak memiliki keperluan? Manusia yang merasa tak memerlukan bantuan orang lain?

Keperluanlah yang menyebabkan terjadinya interaksi dan keterikatan. Pabila kebutuhan semakin besar, maka interaksi dan keterikatan akan bertambah kuat. lni tentunya lebih nampak dalam hubungan antara anak-anak dengan orang tuanya, di saat belum mampu bahkan untuk mengusir lalat atau nyamuk yang mengganggunya sekalipun. Bila pada tahun-tahun tersebut tak memperoleh pengawasan dan perawatan yang memadai, mereka bahkan akan meninggal dunia.

Allah memang telah menyematkan rasa kasih sayang di hati ayah dan ibu sebelum kelahiran si anak. Khususnya di hati sang ibu, di mana jauh-jauh hari sebelumnya, ia telah sangat merindukan kelahiran bayinya dan menginginkan agar anaknya itu selalu berada di sampingnya. Sang anak, demi memenuhi berbagai keperluannya dan lantaran kasih sayang yang ia peroleh dari keduanya, semakin memiliki keterikatan dengan mereka. Apalagi, ia berupaya memperoleh perlindungan yang aman bagi dirinya.

Ya, sejak masa kelahirannya, seorang bayi telah memiliki keterikatan dan hubungan yang kuat dengan kedua orang tuanya. Namun, keterikatan tersebut pertama kali adalah dengan ibunya. Secara perlahan, ia semakin bertumbuh dan berkembang. Kemudian, ia pun memiliki hubungan yang dekat dan kecintaan dengan sang ayah. Perasaan cinta tersebut akan mencapai puncaknya ketika si anak berusia tiga atau empat tahun. Perasaan itu akan terpatri di hati si anak, bila sang ayah memiliki hubungan yang baik dengannya dab selalu bermain bersamanya.

Apabila secara tiba-tiba sang ayah meninggal atau syahid maka hubungan dan ikatan itu menjadi terputus. Si anak akan benar-benar merasa kehilangan dan merasa tanpa perlindungan. Untuk menutupi kehilangan tersebut, ia akan menjalin hubungan dekat dengan orang lain atau, adakalanya, semakin mempererat hubungannya dengan sang ibu. Karenanya, ia semakin dekat dan akrab dengan ibunya. Ya, semua harapan dan tempat bersandar baginya hanyalah sang ibu.


Soal Memanjakan

Dalam menangani anak-anak setelah kematian ayahnya, terdapat bermacam cara yang dilakukan orang. Adakalanya dalam bentuk yang wajar, namun tak jarang dalam bentuk yang tidak bijak. Bentuk yang tidak bijak dapat dibagi dalam dua bentuk perlakuan. Pertama, sangat kurang dalam mencurahkan kasih sayang, sehingga menimbulkan berbagai macam ketidakseimbangan. Kedua, terlalu berlebihan dalam mencurahkan asih sayang, sehingga si anak menghadapi berbagai macam benturan.

Biasanya, setelah kematian atau kesyahidan sang ayah, si anak memperoleh curahan kasih sayang ibu yang sangat ber-lebihan. Juga, curahan belas kasih dan usapan kepala tanda sayang dari keluarga dan sanak kerabatnya.

Dalam pada itu, bila si anak telah memiliki kematangan dalam berfikir dan memiliki kemampuan untuk memahami alasan bagi curahan kasih sayang tersebut, maka tak ada masalah atau setidaknya menjadi lebih ringan. Namun yang menyulitkan adalah bila si anak tak mampu menampung semua bentuk curahan kasih itu secara benar. Ia akan menjadi manja dan masa depannya akan runyam dan suram.


Kesalahan Sanak-Kerabat

Sungguh banyak cara-cara keliru yang dilakukan sanak- keluarga, yang dapat mengakibatkan kerusakan dari sisi pendidikan dan moral anak-anak. Para pengasuh tersebut, mangkin tidak sadar dengan alasan merasa kasihan, sebenarnya telah menjadi musuh bagi anak-anak. Curahan cinta yang ber-lebihan akan menjadikan si anak sebagai orang yang lemah, manja, banyak menuntut, dan keras kepala. Sungguh, sulit sekali untuk mengembalikan mereka yang telah memperoleh asuhan dan pendidikan semacam itu pada keadaan normalnya.

Kesalahan tersebut terkadang mengambil bentuk kurangnya kasih sayang atau berlebihanannya kasih sayangnya mereka terhadap si anak. Dalam keadaan semacam ini, si anak akan mcnghadapi berbagai benturan dalam kehidupan. Sebenarnya, setelah kematian atau kesyahidan sang ayah, perlu diadakan kajian ulang terhadap si anak untuk mengenal kondisi kejiwaan, mental, dan ketabahan hatinya dalam menghadapi musibah tersebut. Dengan dernikian, kita akan mampu untuk menentukan sikap yang tepat dalam menanganinya.


Bentuk-bentuk Kesalahan

Sekaitan dengan sifat manja dan banyak menuntut, yang muncul akibat kesalahan para pengasuh dan pendidik anak, dapat disebutkan beberapa poin berikut ini:

1. Kasih sayang berlebihan.

Curahan kasih berlebihan menjadikan si anak beranggapan bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting dan mulia. Kita mungkin pernah menyaksikan seseorang yang menjumpai anak yatim, yang lalu segera menggendong, mencium, dan mengusap kepalanya. Orang tersebut juga menyediakan berbagai jenis mainan dan makanan, sehingga si anak merasa muak dan bosan dengan perlakuan semacam itu.

Menurut hemat kami, cinta dan kasih sayang, khususnya cinta kasih seorang ibu, merupakan hal yang sangat penting dan menentukan bagi masa depan anak-anak. Kasih sayang memberikan pengaruh luar biasa bagi pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun ruhani anak. Namun, bahayanya adalah bila berlebihan.

Sebab, si anak akan keluar dari jalur asli kehidupannya dan tak dapat membedakan antara jalan yang lurus dan menyimpang. Ya, seorang anak memang harus memperoleh cinta kasih, namun dalam kadar yang semestinya; adil dan seimbang.


2. Bantuan dan perlindungan berlebihan.

Tak diragukan, seorang anak memang harus ditolong dan dilindungi. Namun, dalam taraf di mana secara perlahan ia akan melangkah pada kematangan berpikir dan kemandirian hidup.

Ya, berlebihan dalam menolong dan melindungi anak, akan menjadikannya harus berhadapan dengan berbagai benturan dalam kehidupan ini. Boleh jadi kita pernah menyaksikan seorang anak yang telah cukup dewasa, namun memperoleh perlindungan dan bantuan secara berlebihan dari sanak keluarganya, lantaran kematian atau kesyahidan ayahnya. Sampai-sampai mereka memuji seluruh perbuatan si anak tersebut, benar ataupun salah, baik ataupun buruk. Bila ia melakukan sebuah kesalahan, tak ada seorang pun yang akan menolongnya dengan mengatakan bahwa itu adalah perbuatan yang salah.

Secara ilmiah, berlebihan dalam menyayangi dan melindungi akan mengakibatkan munculnya tindak kriminal dan berbagai perbuatan tak terpuji lainnya. Semua itu akan mengakibatkan berbagai kegagalan, secara langsung maupun tidak. Mereka sebenarnya tengah menjerumuskan si anak dalam jurang kesengsaraan. Ya, selain menghambat pertumbuhan dan perkembangan pemikiran serta kecerdasan si anak, sikap mereka itu akan menjadikannya terikat terhadap mereka dalam mengambil keputusan.


3. Berlebihan dalam menyediakan makanan.

Ketika sang ayah meninggal dunia, sebagian anggota keluarga mengira bahwa si anak menderita kekurangan gizi. Mereka pun kemudian me- nyajikan berbagai jenis makanan baginya, camilan, kue-kue, dan sebagainya.

Semestinya, kita memperhatikan keadaan si anak sebelum kematian ayahnya. Seandainya sang ayah masih hidup, apakah anak tersebut akan memperoleh makanan sebanyak itu? Kami hendak mengatakan bahwa semakin besar penyimpangan yang kita lakukan terhadap kebiasaan anak-anak, semakin besar pula kita melakukan kesalahan dalam mendidiknya, dan semakin besar pula mereka harus menghadapi problematika hidup. Dalam beberapa kasus, boleh jadi nafsu makan si anak akan berkurang. Dalam hal ini, kita mesti menempuh cara pendekatan tertentu. Sebab, terlalu berlebihan dalam menyediakan makanan, akan menimbulkan dampak negatif bagi jasmaninya dan akan menjadikannya memiliki kebiasaan buruk dan tercela. Ya, biarkanlah ia makan, minum, dan hidup secara normal.


4. Berlebihan dalam menyediakan keperluan hidup lain.

Tidak ada salahnya, bila Anda menyediakan berbagai sarana dan perlengkapan yang diperlukan si anak. Namun, semua itu mesti disediakan dalam kadar di mana dirinya dapat mengarungi ke- hidupannya secara normal. Ya, kita mesti mengingat poin penting ini. Dalam menyediakan itu, kita tidak boleh me- nyertakan pengaruh buruk terhadap pendidikannya. Seperti, menumbuhkan berbagai kebiasaan dan pengharapan yang tidak semestinya.

Setiap bulan, katakanlah si anak memerlukan satu-dua alat atau sarana untuk bermain. Jika lantaran meninggalnya sang ayah kemudian kita membelikan bermacam alat permainan, ini berarti kita telah menjadikannya kaget dan kebingungan. Begitu pula, jika dengan alasan untuk memuliakannya kemudian kita membelikan berbagai peralatan yang mahal dan mewah, maka, selain menghamburkan uang, boleh jadi kita telah membawanya ke dalam bahaya―diculik atau dirampok. Sebab, si anak mungkin tak mengetahui harga alat-alat tersebut, atau hanya menyukai satu saja di antaranya.

Alhasil, yang perlu diingat adalah bahwa kita hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Di samping, tentu saja, menenangkan hati dan gejolak jiwanya. Selebihnya adalah tindakan keliru yang hanya akan mendatangkan problem baginya.


5. Berlebihan dalam pengawasan.

Anak kecil yang tengah berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, adakalanya terjatuh ketika melangkah. Namun, beberapa saat kemudian, ia akan bangkit kembali dan berjalan. Terkadang terserang penyakit dan sehat kembali. Sesekali menangis, sesekali tertawa. Adakalanya bermain secara hangat, adakala- nya saling bertengkar. Berbagai keadaan ini, dengan segala dinamikanya, akan membentuk corak kehidupannya.

Tak diragukan lagi, kita memang mesti menjaga dan memperhatikan perilaku anak. Namun kami berpesan agar pengawasan tersebut jangan sampai berlebihan. Sebab, selain membahayakan anak itu sendiri, juga akan membahayakan kita.

Boleh jadi, suatu saat, anak akan menderita demam. Dalam keadaan demikian, kita memang mesti benar-benar mengawasi- nya agar suhu tubuhnya tak semakin tinggi dan semakin parah. Namun, kebingungan, kegelisahan, dan lari tak tentu arah, yang kita perlihatkan ketika menghadapi kondisi seperti itu, akan menjadikan si anak merasa takut dan gelisah dalam menghadapi penyakit yang dideritanya. Sikap semacam itu akan membawa pengaruh buruk bagi pendidikannya.

Banyak anak-anak yang memanfaatkan suasana yang kita ciptakan itu sebagai sarana meraih berbagai keinginannya. Seringkali, kelainan yang kita anggap sebagai penyakit jasmaniah, sebetulnya hanyalah gangguan kejiwaan dan perasaan, bahkan ketika seseorang muntah-muntah, demam, atau menggigil.


Kerugian Akibat Kesalahan

Kerugian yang diderita akibat kesalahan dan kekeliruan para pengasuh dan pendidik dalam mendidik anak-anak, tidaklah ringan dan sederhana. Terkadang, itu dapat mengakibatkan berbagai tekanan psikologis yang sangat berat, yang untuk memaparkannya diperlukan pembahasan tersendiri. Di sini, kami hanya akan menyebutkan beberapa poin penting saja.

1. Anak-anak akan menjadi sulit bertumbuh dan berkembang, lantaran tak mampu menikmati masa kanak-kanaknya.

Nantinya, mereka memang telah dewasa, namun masih menginginkan boneka sebagai teman bermainnya. Para psikolog mengatakan bahwa mereka telah dewasa secara jasmani namun dari sisi ruhani masih kanak-kanak.


2. Anak-anak tersebut akan cepat tersinggung, mudah menangis, biasa berteriak dan menjerit, terutama bila keinginannya tidak terpenuhi.

Bahkan, ia akan berani berbicara kasar terhadap ibunya.


3. Mereka akan memiliki sifat dan perbuatan tak terpuji, seperti tak mau mengalah dan suka membalas dendam.

Mereka juga tak memiliki keberanian, dan lantaran khawatir dicemooh orang lain, maka pergaulannya di sekolah dan kelas menjadi terbatas. Adakalanya, mereka menjadi tak sopan dan tak berakhlak.

4. Dalam aktivitas individual, mereka akan kekanak-kanakan, malas, ragu-ragu, bergantung pada orang lain, dan selalu mengharapkan pertolongan ibunya.

Sementara, kita mengetahui bahwa pertolongan ibunya itu tidak untuk selamanya.


5. Dalam kancah kehidupan sosial, mereka akan menjadi orang-orang yang tak memiliki peran aktif dalam kehidupan, menjadi lemah, acuh tak acuh, tak mandiri, tak dapat menentukan sikap dan keputusan, selalu mengikuti arah angin bertiup, serta tak mampu mempertahankan kebebasan dan kemerdekaannya.


6. Tidak memiliki ketabahan hati dalam menghadapi berbagai problem dan kesulitan hidup, lebih-lebih bila sendiri.

Tak memiliki perasaan aman serta cenderung menyerah dan tak melakukan perlawanan bila menghadapi berbagai tantangan hidup.


7. Mereka menjadi manja dan durhaka terhadap kedua orang tuanya.

Di masa datang, mereka mungkin akan menjadi orang-orang yang suka mencari-cari alasan, serta tak mau saling memahami dan bekerja sama. Padahal, semua itu merupakan keharusan dalam kehidupan sosial atau ke- hidupan bersama dalam sebuah rumah tangga. Mereka me- miliki keinginan dan harapan yang sangat banyak dan sering mengeluarkan tuntutan, bahkan terhadap para individu di tengah masyarakat. Tentunya, ini merupakan sebuah bencana dan penyakit bagi masyarakat.

Mengingat berbagai kerugian dan bahaya tersebut, maka untuk menjaga kepentingan umat dan masyarakat, para pengasuh dan pendidik anak jangan sampai membuat anak- anak menjadi manja, suka menuntut, dan banyak keinginan. Selayaknya, kita tak hanya memikirkan kebahagiaan mereka pada masa sekarang ini, namun juga pada masa-masa yang akan datang. Sebab, nantinya mereka pasti akan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Kita harus selalu memperhatikan keseimbangan dalam berbagai situasi dan kondisi serta dalam setiap perrnasalahan. Membantu dan menolong anak merupakan perbuatan terpuji, bahkan sudah menjadi panggilan tugas. Namun, bantuan dan pertolongan tersebut tidak berarti memenuhi seluruh keinginannya.
Mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak memang merupakan keharusan, namun jangan sampai membuat mereka menjadi tidak sopan dan tidak bermoral. Ya, anak-anak memang memerlukan bimbingan dan pengarahan, namun jangan sampai itu menjadikan mereka selalu bergantung dan terikat dengan Anda.


Bentuk Penyimpangan

Manusia adalah makhluk yang peka dan sensitif. Sensitivitas ini sangat berkait-erat dengan tingkat pemikiran dan perasaannya. Tak adanya kepekaan dalam diri manusia, selain mengganggu pembentukan kepribadiannya, juga menjadikan rasa kemanusiaan, etika, dan akhlak manusia berada dalam bahaya. Dengan demikian, kita hams menunjukkan sensitivitas kita ketika menghadapi masalah dan kita tunjukkan sikap yang semestinya sewaktu menghadapinya. Di antara perkara yang dapat membangkitakan sensitifitas kita adalah kematian sanak kerabat, terutama ayah dan ibu.

Sensitivitas anak memberikan berbagai pengamh dan itu bergantung pada tingkat usia dan kondisi masing-masing. Adakalanya, sensitivitas anak begitu kuat sehingga dapat membahayakan keadaannya. Sementara di sisi lain, tak adanya control, pengawasan, dan panutan bagi anak-anak akan mengakibatkan munculnya keinginan untuk bebas tanpa kendali, aturan, dan ikatan. Terlebih, bila mereka bergaul dengan orang yang tak bermoral. Dalam pada itu, si anak akan memiliki lahan untuk melakukan berbagai bentuk penyimpangan, penyelewengan, dan tindak kriminal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah kematian ayah dapat mengakibatkan terjadinya interaksi antara si anak dengan orang-orang yang tidak bermoral.


Bentuk-bentuk Penyimpangan

Sebelumnya, perlu kami kemukakan bahwa kematian ayah bukanlah penyebab terjadinya penyimpangan.

Namun, berbagai faktor dan kondisi setelah kematianlah yang sangat berpengaruh dalam mewujudkan penyimpangan. Bentuk dan jenis penyebab terjadinya penyimpangan jumlahnya cukup banyak, di antaranya adalah menipu dan mencuri. Suatu saat kelak, ia akan menjadi pencuri yang ulung dan mahir. Begitu juga dengan penyimpangan seksual, berjudi untuk memperoleh nafkah, bergabung dalam kelompok orang-orang yang tak bermoral, serta melakukan tindak kekerasan yang tidak manusiawi. Semua itu merupakan tanda bagi adanya berbagai tekanan dalam jiwanya.

Penelitian terhadap anak-anak yang berada dalam kekurangan menunjukkan bahwa dirinya mengharapkan berbagai hal, namun tak berhasil meraihnya sehingga merasa sedih dan kecewa. Untuk mewujudkan apa yang diinginkan, boleh jadi mereka akan melakukan berbagai tindakan me- nyimpang. Semua itu mereka lakukan untuk meringankan beban berat dalam jiwanya.

Keadaan sernacam itu lebih banyak dialami anak-anak yatim yang, setelah kematian ayahnya, tak memperoleh bimbingan selayaknya. Tak seorang pun yang berusaha menanyakan apa yang mereka rasakan serta mengawasi perbuatan dan tingkah laku mereka. Meskipun, kita mungkin pernah menyaksikan anak-anak yang berada dalam keadaan semacam itu (tak memperoleh bimbingan layak), namun tidak terseret ke dalam jurang penyimpangan dan penyelewengan.

Terdapat berbagai masalah lainnya yang perlu disebutkan. Yakni, jika ingin mengetahui asal-usul berbagai penyimpangan tersebut, maka kita harus menelusuri kebudayaan, tingkat pen- didikan, moral, cara berpikir, dan ideologi keluarganya. Setelah itu. baru kita dapat meneliti bentuk-bentuk kelainan jasmani, ruhani, dan cara berpikir anak-anak tersebut.


Cara Penanggulangan

Untuk menanggulangi berbagai penyimpangan dan penyelewengan tersebut, mestilah dilakukan suatu penanganan yang serius dalam upaya mencari akar pennasalahannya. Juga, diperlukan pendidikan dan pembinaan dalam jangka panjang. Pada umumnya, hasil pendidikan dan pembinaan tersebut akan nampak setelah bertahun lamanya, bukan sekarang ini. Oleh karena itu, selain menyusun program untuk masa sekarang, kita juga mesti memikirkan masa yang akan datang. Langkah-langkah yang harus disusun dan dilaksanakan dalam upaya penanggulangan tersebut, di antaranya:

1. Memperkuat dasar-dasar akhlak.

Kuatnya dasar-dasar akhlak akan mampu mencegah munculnya berbagai sikap dan perbuatan yang mengarah pada penyimpangan. Bila tidak memiliki dasar dan fondasi akhlak yang kuat, mereka akan mudah tergelincir dalam berbagai bentuk perbuatan me-nyimpang.

Pada dasarnya, pendidikan moral merupakan salah satu tugas utama orang tua terhadap anak-anaknya. Selain pula, merupakan hak setiap anak. Akhlak merupakan penjamin bagi munculnya berbagai sikap dan perbuatan terpuji. Kita dapat mengajarkan pendidikan akhlak pada anak-anak melalui kisah dan dongeng serta dengan mengenalkannya pada tokoh dan figur tertentu. Dengan demikian, kita telah menanamkan dasar-dasar akhlak dalam jiwanya


2. Memanfaatkan kekuatan agama.

Jiwa manusia memiliki kecenderungan terhadap agama, peribadahan, dan doa. Fitrah manusia cenderung menerima berbagai ajaran dan peraturan keagamaan. Ya, manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga memiliki daya tarik ke arah agama. Keyakinan akan keberadaan Allah dan hari pembalasan, biasanya nampak dengan jelas pada anak-anak yang berumur tujuh sampai 10 tahun. Dengan ber- lalunya waktu, disertai usaha orang tuanya, akan muncullah tunas keimanan dalam jiwanya, yang akan terwujud dalam amal perbuatannya.

Pada mulanya, seorang anak melakukan perbuatan lantaran rasa cinta dan persahabatannya dengan kedua orang tua. Dengan berlalunya waktu, ia akan melakukannya demi rasa cintanya kepada Allah dan demi memperoleh keridhaan-Nya. Keyakinan pada agama dapat menjadi pengawas dan pengontrol yang tepat bagi amal perbuatan anak. Tentunya dengan catatan bahwa semua keyakinan itu benar-benar memiliki landasan dalam agama. Dalam hal ini, kaum ibu memiliki peran yang sangat signifikan dalam menanamkan keyakinan tersebut pada diri sang anak.


3. Memperkuat keberanian.

Dalam beberapa kasus, anak-anak terjerumus dalam penyimpangan moral dan seksual serta melakukan tindak kriminal, lantaran tak memiliki kekuatan untuk berdiri tegar dalam menghadapi dan menolak berbagai perbuatan buruk yang menyesatkan. Atau, mereka merasa minder dan tak mampu menolak ajakan orang-orang yang memaksanya melakukan berbagai perbuatan tercela. Kalaupun memberikan jawaban negatif atas ajakan itu, mereka tetap merasa berat kalau-kalau nantinya dikucilkan teman-temannya.

Ya, anak-anak tersebut tidak memiliki ketegaran dan keberanian untuk menolak dan menentang ajakan buruk teman- temannya itu. Namun, para ibu dan anggota keluarga lainnya sebenarnya mampu mengubah keadaan anak-anak tersebut menjadi berani menolak dan menentang ajakan itu dan bersikap tak peduli meskipun dikucilkan. Dengan begitu, mereka akan selalu menjaga dan mempertahankan kehormatannya serta senantiasa menjauhkan diri dari berbagai perbuatan tercela.


4. Mengenali kedudukan pribadi.

Anak-anak para syuhada mestilah menghargai posisi dan kedudukan diri dan keluarganya. Siapa dan apa kedudukannya? Mengapa mereka lebih dituntut untuk memiliki akhlak dan moral yang baik ketimbang orang lain? Mengapa mereka dituntut untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarganya?

Di antara penyebab munculnya perbuatan buruk dan me- nyimpang seseorang adalah tidak diketahui dan tidak disadarinya posisi dan kedudukannya sendiri. Ini sebagaimana yang dikatakan Imam Muhammad al-Jawad, “Siapa saja yang meremehkan dirinya, maka takkan aman dari kejahatannya.” Oleh karena itu, kita mesti menjelaskan dan menyadarkan mereka akan posisi dan kedudukannya.


5. Mengisi waktu.

Adakalanya, perbuatan buruk dan me- nyimpang muncul akibat tak dimilikinya aktivitas, kesibukan, dan pekerjaan. Mereka tak tahu cara memanfaatkan waktu dan membuat kesibukan. Setelah kematian sang ayah, merupakan tugas kaum ibu untuk menentukan waktu tidur dan kegiatan anak sehari-hari. Sebagian besar waktu anak memang dihabis- kan di sekolah. Narnun mesti juga dipikirkan waktu kosong mereka ketika di rumah. Itu dapat dimanfaatkan dengan keterampilan tangan, bermain dengan teman-teman yang baik, bertamasya atau berekreasi, ikut-serta dalam aktivitas sosial, hadir dalam majelis-majelis yang tepat, dan seterusnya. Waktu mereka harus diisi penuh dengan acara dan kegiatan, sehingga tak ada kesempatan untuk melakukan berbagai perbuatan buruk dan menyimpang.


6. Pengawasan pergaulan.

Di antara penyebab munculnya kerusakan moral adalah pergaulan dengan orang-orang yang tak bermoral atau dengan anak-anak yang tak mernperoleh pendidikan layak. Setelah kernatian atau kesyahidan sang ayah, anak―terutama jika pada usia mumayyiz dan remaja―akan merasa bebas dan terlepas dari berbagai belenggu dan ikatan. Mereka beranggapan bahwa dirinya bebas bergaul dan ber- teman dengan siapapun. Jika mereka bergaul dengan orang- orang yang shalih dan agamis, di sini tak memerlukan pem- bahasan. Narnun yang menyulitkan adalah ketika mereka ber- gaul dengan orang-orang yang tak bermoral dan tak ber- pendidikan. Pergaulan tersebut akan rnenyebabkan terhalangnya pertumbuhan dan perkembangan si anak.

Para ibu mestilah secepat mungkin menggunakan metode yang tepat dalam mengawasi dan mengontrol pergaulan anak. Ya, mereka harus mengawasi teman-temannya; berusaha men- carikan teman-teman yang baik, mengantarkan anak ke rumah temannya atau mengundang temannya datang ke rumah dan bermain bersama si anak. Dengan begitu, akan muncul per- sahabatan di antara mereka sehingga akhirnya si anak memiliki akhlak yang terpuji.


7. Melenyapkan berbagai perasaan negatif.

Kita rnengetahui bahwa banyak perasaan negatif yang ada dalam jiwa, yang akan mendorong manusia untuk melakukan berbagai penyimpangan dan perbuatan buruk. Misal, merasa gagal, merasa hina dan rendah diri, merasa berdosa, merasa dihina atau direndahkan, dan seterusnya. Semua itu merupakan sarana bagi munculnya berbagai bentuk pembangkangan, pelanggaran, dan penyimpangan. Selama perasaan tersebut masih bersemayam di hatinya, si anak tak mungkin menjadi baik. Bila kita melakukan upaya lain (tanpa melenyapkan perasaan negatif tersebut), kemudian si anak ternyata menghentikan perbuatan buruknya, maka ini sifatnya hanyalah sementara.

Ya, mestilah dilakukan upaya sungguh-sungguh untuk melenyapkan berbagai perasaan negatif yang menghantui diri sang anak sehingga ia tidak sampai tumbuh menjadi orang yang mudah putus asa dan rendah diri. Dalam benaknya jangan sampai muncul gambaran bahwa dunia ini penuh dengan penipuan dan penghinaan. Ia mesti memiliki prinsip bahwa dirinya bertanggung jawab untuk memanfaatkan dunia ini demi pertumbuhan dan perkembangannya. Sang Anak mesti me- miliki rasa bangga dan percaya diri serta mampu berdiri tegar dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup, sehingga dapat berjalan dengan tegak dalam mengarungi kehidupan ini.


8. Nasihat dan kasih sayang.

Pada dasarnya, manusia cenderung pada kebaikan. Dirinya akan menerima dan mendengarkan nasihat baik orang lain dan akan selalu berusaha memperhatikan dan mengamalkannya. Kecenderungan semacam ini dimiliki setiap orang. Yakni, seseorang akan menerima nasihat dari siapa saja bila yang menyampaikan nasihat merniliki niat dan tujuan yang baik. Apalagi bila yang menyampaikan nasihat tersebut adalah ibu, tentu sang anak akan lebih mudah untuk menerimanya. Sebab, si anak telah merasakan sendiri kasih, saying, dan ketulusan sang ibu. Dengan demikian, nasihat tersebut akan semakin melekat kuat dalam dirinya.


Peran Musyawarah

Pabila dalam rumah terdapat beberapa orang anak, maka, ketimbang berbicara dengan mereka satu-per-satu, lebih baik bila setiap malam selama setengah jam saja, Anda menentukan waktu untuk berkumpul bersama. Mereka dapat duduk ber- dampingan sementara Anda menyampaikan berbagai masalah yang berhubungan dengan akhlak dan pendidikan dalam bentuk cerita, kisah, dan pengalaman para pendahulu kita.

Dalam pertemuan semacam itu, anak-anak akan semakin mudah menyerap nasihat dan pengetahuan. Bahkan seandainya Anda hendak menyampaikan suatu peringatan dengan nada keras, niscaya anak-anak takkan merasa jengkel dan sakit hati.

Majelis dan pertemuan semacam itu, tentu akan mendekatkan sang anak kepada ibunya dan menjadikannya semakin erat dengan keluarga. Tampaknya, jalan satu-satunya untuk menghindarkan anak-anak dari berbagai penyimpangan dan kerusakan moral adalah dengan menggunakan cara tersebut. Dalam bergaul dengan anak-anak, Anda mestilah tegas namun penuh dengan kasih sayang. Ya, Anda harus membentuk hubungan persahabatan dengan mereka, agar mereka tak melakukan perbuatan buruk dan tercela.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: