Pesan Rahbar

Home » » Para Pemimpin Muatadh’afin; Bagian Pertama: Muhammad dan Ali: Khalifah Orang Tertindas

Para Pemimpin Muatadh’afin; Bagian Pertama: Muhammad dan Ali: Khalifah Orang Tertindas

Written By Unknown on Saturday 8 October 2016 | 20:50:00


Kalau aku percaya padamu, itu karena aku mati berbagi pengalaman pribadiku denganmu. Ada persoalan yang sangat menggangguku. Sesuatu berkenaan dengan golonganku, kelasku negara dan sejarahku.
Aku terbiasa dengan pemikiran-pemikiran para cendekiawan. Para pendahuluku, yang hilang ditelan arus sejarah adalah orang- orang yang tertindas, miskin dan teraniaya. Aku sendiri, dinisbahkan pada keningratan, tapi bukan keningratan yang dilahirkan oleh emas, perak dan permata.

Aku betul-betul tertarik pada peradaban dan khazanah kemanusiaan. Ketertarikan utamaku selalu mengenai orang-orang dan karya-karya mereka yang menghuni bumi ini sebelum kita.

Di Yunani, aku melihat tempat pemujaan di Delphi yang membuatku tercengang karena keindahan artistik dan kepiawaian para pembuatnya. Di Roma, aku kunjungi museum-museum seni, arsitektur, biara, kastil dan istana. Di Timur Jauh, di Cina dan Vietnam, gunung-gunung diubah oleh tangan dan otak manusia menjadi candi-candi pemujaan untuk para dewa dan biksu-biksu. Warisan masa lalu itu sungguh luar biasa bagiku!
Musim panas yang lalu, dalam kunjunganku ke Afrika, aku memutuskan untuk melihat tiga piramida terkenal di Mesir. Lingkungan sekitarnya yang luas menaklukkan pikiranku. Aku betul- betul tidak sanggup menahan rasa sabar untuk melihat satu di antara tujuh keajaiban masa lalu-piramida mesir.

Dengan hati yang terbuka, aku sirnak uraian dari pemanduku. Kami ketahui bahwa enam piramida besar dan tiga piramida kecil itu terbuat dari 800 juta keping batu yang diangkut oleh para budak dari Aswan sampai Kairo. 800 juta keping batu dibawa ke Kairo dari sebuah tempat yang berjarak 980 mil dari ibukota mesir itu, hanya untuk membangun sebuah tempat peristirahan tubuh-tubuh Fir’aun yang dibalsem untuk dijadikan mumia. Di dalam piramida, kuburan-kuburan penguasa Mesir masa lalu itu dihiasi oleh lima bongkah besar batu kelereng: empat bongkah jadi tembok yang mengelilinginya dan satu bongkah lagi menjadi atapnya. Cukup untuk mengetahui diameter bongkahan itu dengan membayangkan bahwa di atas bongkah kelereng yang menjadi atap itu ditumpukkan jutaan batu yang ditata satu demi satu hingga menjadi sebuah piramida besar. Sejak 5000 tahun yang lalu, bongkah atap itu telah menopang beban yang demikian berat.

Aku betul-betul takjub melihat keajaiban karya manusia ini. Pada sebuah sudut, aku melihat ada goresan besar pada batu-batu piramida itu. “pakah ini?” tanyaku pada pemanduku. “Bukan apa- apa. Hanya sekumpulan batu” jawabnya. Tempat itu, setahuku, adalah kuburan para budak yang dijejalkan di bawah piramida itu. Dari 30 ribu budak yang membawa bongkahan batu yang berat dari tempat berjarak ratusan mil itu, setiap hari ratusan di antara mereka tertindih batu raksasa itu. Begitu tidak berartinya mereka dalam sistem perbudakan, sehingga jenazah-jenazah itu dilemparkan dan dikuburkan di satu tempat. Mereka yang bertahan hidup harus meneruskan membawa sisa-sisa bongkahan batu itu. Aku berkata pada pemanduku bahwa aku ingin melihat sisa-sisa budak yang dihancurkan menjadi debu itu. “Tak ada yang dapat dilihat!” jawab pemanduku sambil menggerakkan tangannya ke arah tempat para budak itu dikubur atas perintah Fir’aun di sam ping makamnya; menurut kepercayaan mereka, ruh para budak itu akan tetap melayani Fir’aun di alam berikutnya.

Aku meminta waktu sendirian tanpa pemanduku. Lalu aku pergi ke kuburan para budak itu dan merenung. Aku rasakan kedekatanku dengan mereka. Seolah-olah kami berasal dari ras yang sama. Adalah benar bahwa kita datang dari daerah geografis yang berbeda, tapi perbedaan ini tidaklah seharusnya menjadi dasar pemisahan dan pemecahan manusia. Dari fenomena geografis inilah kemudian lahir konsep “asing” dan “kerabat”. Aku tidak pernah setuju dengan klasifikasi dan pemisahan rnanusia berdasarkan ras. Karena itu, yang kurasakan dari jiwa-jiwa yang tertindas di bawah piramida itu adalah rasa hangat dan simpati. Lalu aku layangkan pandanganku pada piramida besar itu, dan aku sadari, di balik kemegahan dan keagungan bangunan itu, aku betul-betul merasa asing dan jauh darinya! Dengan kata lain, ada rasa kebencian yang dalam pada monumen-monumen peradaban megah sepanjang sejarah yang dibangun di atas tulang-belulang para pendahuluku! Adalah mereka juga yang membangun tembok besar Cina. Yang lemah di antara mereka kini terkubur di atas himpitan batu-batu besar itu. Beginilah semua karya besar umat manusia telah dibangun―dengan biaya darah dan daging nenek moyangku!

Menurutku, peradaban tidak lebih sebagai sebuah kutukan. Aku rasakan kebencian itu kian membakar selama ribuan tahun penindasan terhadap nenek moyangku itu. Aku sadar bahwa perasaan mereka yang terkubur itu sama denganku. Aku kembali dari kunjunganku dan aku tulis surat untuk seorang dari mereka. Sebuah surat imajiner. Aku katakan padanya perubahan yang sudah terjadi selarna 5000 tahun. Tapi satu hal tetap tidak berubah: perbudakan itu tetap ada, dari satu bentuk ke bentuk yang lain!

Aku duduk, dan mulai menulis:
Sahabatku, engkau sudah tinggalkan dunia ini, tapi kami emban beban dari peradaban-peradaban yang besar itu. Kemenangan-kemenangan yang patriotis dan karya-karya yang heroik. Mereka mendatangi tanah ladang kita, dan memaksa kita untuk keluar, menjadikan kita binatang buas, hanya untuk membangun kuburan mereka. Apabila kita tidak sanggup lagi membawa beban yang berat itu, tubuh kita dilemparkan, dihempaskan dan dikubur bersama bebatuan itu! Orang lain yang kelak membanggakan diri mereka dan mendapatkan pujian karena pekerjaan yang kita lakukan. Tak ada komentar sedikitpun tentang kontribusi yang kita berikan.

Mereka paksa kita ke garis depan. Bertempur dengan orang yang tidak pernah kita kenai, tidak juga mereka mengenali kita. Kita dipaksa untuk membunuh orang yang tidak kita benci. Sebagian dari mereka adalah saudara-saudara kita, sekasta, seras dan senasib. Selama bertahun-tahun, orangtua kita yang lemah dan tak berdaya mencari kita ke sana kemari. Namun mata mereka tak pernah menemukan jawabannya. Menurut seorang pintar, pertempuran yang terjadi bukanlah peperangan antara dua golongan yang tidak mengenal satu sama lain, melainkan peperangan itu dilakukan untuk orang-orang yang mengenal sesamanya dengan baik! Mereka paksa kita untuk bertempur, untuk mengorbankan dan dikorbankan. Orangtua kita menderita kerugian dari kehilangan ternak dan hancurnya ladang mereka. Kalau kemenangan pada akhirnya tercapai, orang lainlah yang menikmati kejayaan itu, tidak pernah kita.

Sahabatku, seteiah kematianmu terjadi perubahan besar. Para Fir’aun dan kekuatan-kekuatan besar sejarah mengubah pandangan mereka. Kenyataan ini membahagiakan kami. Dulu mereka percaya bahwa jiwa itu abadi; mereka percaya apabila jasad mati kita ini diabadikan, maka jiwa dapat menjaga hubungannya dengan jasad itu. Inilah mengapa mereka memaksa kita membangun monumen- monumen besar yang kejam itu. Bagaimanapun, mereka menjadi lebih bijak. Mereka tidak lagi berfikir tentang kematian. Aku punya kabar gembira! Mereka tidak lagi mempercayai ideologi kuno itu. Kita kini terlepas dari kewajiban membawa 800 juta keping batu selama ratusan mil itu hanya untuk dijadikan kuburan.

Tapi sayang sekali, sahabatku, “kabar gembira” ini berumur pendek! Setelah kematianmu, mereka datangi negeri-negeri kami, dan menangkap kami sebagai buruh. Sekali lagi, kami harus membawa beban berat. Kali ini bukan untuk kuburan mereka; mereka tidak lagi mempedulikannya. Kali ini, beban yang harus kami pikul adalah untuk membangun istana-istana mereka yang megah, di mana di sampingnya generasi kita terkubur.
Kami hidup dalam keputusasaan, tapi sekali lagi seberkas cahaya harapan kembali terbersit. Nabi-nabi besar berdatangan. Ada Zoroaster, Budha, Confucius sang filusuf dan lain-lain. Pintu ke arah selamat kini terbuka. Para “tuhan” mengirim rasul-rasul mereka untuk menyelamatkan kita dari kehinaan perbudakan; peribadatan menggantikan penindasan. Sayang sekali, untung masih belum bisa kita raih. Para nabi, yang meninggalkan rumah kenabian mereka menelantarkan kita, dan mereka bergerak ke arah istana.

Kami menaruh kepercayaan pada Confucius, sang filusuf, karena dia merujuk dirinya pada pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan lingkungan. Bagaimanapun, dia menjadi sahabat seorang putri. Budha, sang pangeran, juga meninggalkan kita. Ia berpaling dalam dirinya untuk mencapai “Nirvana,” meski kami tak tahu di mana sesungguhnya Nirvana itu berada. Dari Budha kami pelajari cara hidup sederhana dan metode-metode asketis. Zoroaster memulai misinya dari Azerbaijan, Iran. Ia lupakan duka dan kesedihan kita. Ia melaju sampai Balkh hingga istana Kashtasib, sang raja di masa itu.

Sahabatku, engkau dikorbankan untuk membangun kuburan, sementara kami dikorbankan untuk membangun istana-istana. Tiba- tiba, di samping para Fir’aun dan para tuan yang menjadikan kami budak-budak mereka, kami saksikan berdiri juga mereka yang mengangkat dirinya sebagai wakil-wakil dari para nabi dan penghulu spiritual.

Dari Palestina hingga Iran, Mesir sampai daratan Cina, pada peradaban apa pun di muka bumi ini, kami harus membawa bongkah- bongkah batu itu untuk membangun kuil, kuburan dan istana. Sekali lagi, atas nama amal shalih, perwakilan “tuhan”, penerus para nabi mendera kami setiap saat. Lagi-lagi, atas dalih “perang suci”, kami dipaksa untuk bertempur. Kami harus korbankan anak-anak kami yang lugu hanya untuk kepentingan “tuhan”, kuil, dan berhala!

Sahabatku, selama ribuan tahun, takdir kami menjadi lebih buruk dibandingkanmu. Tiga per lima kekayaan alam Iran mengalir pada para Mobedan (gelar ulama Persia tempo dulu) atas nama para dewa. Kami menjadi budak dan pelayan mereka. Empat per lima kekayaan Perancis berasal dari kami melalui tangan-tangan para pendeta, Para Fir’aun dalam jubah pandita selalu meraih apa yang mereka inginkan.

Sahabatku, aku hidup ribuan tahun sesudahmu. Aku saksikan penderitaan sahabat-sahabatku. Aku mulai merasa bahwa para dewa itu membenci budak belian, Agama malah tampak mendukung perbudakan. Bahkan orang-orang yang lebih terpelajar dari kita, seperti Aristoteles, berpendapat bahwa secara alami sebagian dari kita terlahir untuk menjadi budak dan yang lain terlahir untuk menjadi penguasa. Aku mulai mempercayai bahwa aku dilahirkan untuk menjalani takdir sebagai seorang budak.

Di tengah keputusasaan ini, aku mendapat berita bahwa seorang manusia telah turun dari gunung dan berkata, “Aku telah diutus Tuhan”, Aku termangu, Mungkin saja ini sebuah penipuan baru, sebuah metode baru dari penindasan. Orang dari gunung itu kemudian berkata, “Aku telah diutus Tuhan yang menjanjikan kasih sayang bagi budak belian dan mereka yang lemah di muka bumi.” Aku terkejut! Aku masih tak dapat mempercayainya. Mungkinkah ini benar? Tuhan berkata kepada para budak, memberi mereka berita baik tentang keselamatan, kesejahteraan, dan menjadikan mereka pewaris bumi ini.

Aku ragu. Mungkin ia sama seperti para nabi dari Cina, India dan Persia, Namanya Muhammad. Aku dikabari bahwa Muhammad adalah seorang yatim, gembala kambing di pegunungan itu. Kembali aku terkejut. Mengapa Tuhan memilih seorang gembala untuk menjadi nabi-Nya? Kabaruya, para pendahulu Muhammad pun adalah nabi-nabi yang dikirim Tuhan untuk umat-Nya; semuanya dipilih dari para penggembala, Muhammad menjadi yang terakhir pada silsilah itu. Dalam keharuan, kekaguman, dan kegembiraan, mulutku kelu untuk bicara. Apakah Tuhan akhirnya memilih nabi dari golongan kami?

Lalu aku mulai mengikutinya. Aku lihat sahabat-sahabatku di sekitarnya. Beberapa di antara mereka menjadi pemimpin kelompoknya: Bilal, seorang budak, anak seorang budak dari Abyssinia; Salman, gelandangan dari Persia yang diciduk menjadi budak; Abu Zar, manusia gurun yang ditimpa kemiskinan, dan terakhir Salim, seorang budak istri Khuzaifah, seorang hitam yang terasing dan diremehkan.

Aku percaya pada kenabian Muhammad karena istananya tidak lebih dari tumpukan tanah liat. Ia terlihat di antara para pekerja yang mengangkut barang dan membangun ruangan. Balairungnya terbuat dari kayu dan pelepah pohon kurma. Inilah segala yang dimilikinya. Inilah istananya.

Lalu aku lari dari Persia. Aku lari dari kekuasaan para Mobedan yang memaksa kami menjadi budak-budak mereka untuk melindungi kekuasaan mereka, untuk menjadi tumbal dari musuh-musuh mereka. Aku lari dan berlindung di negara Nabi itu untuk hidup bersama para budak, mereka yang terlantar, yang tak berdaya. Dan tentu saja, untuk hidup bersama sang Nabi. Namun ketika beliau mangkat, “kelopak mata beliau yang berat oleh bayangan maut perlahan menutupi matahari kami yang tengah bersinar.” Sekali lagi, keadaan menjadi memburuk.

Sahabatku, lagi-lagi, atas nama sang Nabi, kuil-kuil dibangun menjulang ke angkasa. Pedang yang diukir dengan ayat-ayat Qur’ani menghunus kami dalam perang suci. Yang lain, mengatasnamakan diri sebagai perwakilan sang Nabi, mendobrak rumah kami dan mengambil para pemuda kami menjadi budak-budak. Mereka jual ibu-ibu kami di pasar yang jauh. Mereka bunuh orangtua kami atas nama peperangan di jalan Tuhan, dan merampas harta kami sebagai sumbangan di jalan Tuhan.

Aku putus asa. Aku tidak dapat berbuat apa pun! Sebuah kekuasaan muncul, dalam jubah monoteisme, yang ternyata menyembunyikan berhala-berhala dalam tempat pemujaan Tuhan! Api buatan mulai menjalar. Atas nama kekhalifahan Tuhan dan gelar sebagai penerus para nabi, wajah-wajah para Fir’aun dan pandita- pandita palsu berjabat tangan. Mereka mulai mengejar kami dengan dalih hukum. Sekali lagi, rantai perbudakan dikalungkan pada leher kami untuk membangun sebuah masjid agung di Damaskus. Diadakan lomba untuk membangun masjid-masjid yang megah, istana yang indah, dan puluhan rumah untuk khalifah di Damaskus. Cerita seribu satu malam di Baghdan menunjukkan dengan jelas bagaimana itu semua dibangun dalam darah dan nyawa kami; tapi kali ini, itu semua dilakukan atas nama Tuhan! Kami pikir tidak ada jalan lain bagi keselamatan kami. Perbudakan dan pengorbanan adalah takdir kami yang tak dapat diubah!
Siapakah lelaki yang dipanggil Muhammad itu? Apakah misinya gagal? Ataukah ia dan kami semua dikorbankan untuk sebuah sistem-sistem yang membuat kami melepuh di penjara, sambil menyaksikan barang kami dirampas, dan keluarga kami dikorbankan?

Aku tidak tahu harus ke mana lagi aku pergi! Haruskah aku kembali pada para Mobedan? Bagaimana mungkin aku kembali pada kuil-kuil yang dibuat untuk memperbudakku? Atau haruskah aku bergabung dengan merea yang menjadi model kebebasan nasional kami, walalupun dalam hati mereka ingin merebut kejayaan masa lalu mereka? Ternyata masjid-masjid itu tidak lebih baik dari kuil- kuil!

Sudah aku saksikan pedang terhunus diukir dalam ayat-ayat tentang perang suci. Aku lihat tempat-tempat peribadatan. Aku lihat mereka yang salat. Aku lihat wajah-wajah santa yang berbicara sebagai pemimpin spiritual, para khalifah, dan mereka yang menjaga tradisi kenabian. Apa pun bentuknya, secara kolektif, mereka membawa kita pada PERBUDAKAN! Mereka, jauh sebelum masaku, membunuh seseorang dengan pedang mereka di dalam masjid. Orang itu adalah Ali, sepupu Nabi dari glinting itu. Ia terbunuh di tempat peribadatan Tuhan. Ia datang sebelumku. Keluarganya datang sebelumku. Mereka, sebagaimana penderitaan sejarah perbudakan, dihancurkan sepanjang sejarah. Atas nama amal shalih, rumahnya dijarah. Al-Qur’an, jauh sebelum ia menjadi instrumen untuk merampas dan mengeksploitasi kami, diangkat di atas pedang untuk mengalahkan Ali!

Betapa anehnya! 5000 tahun sesudahmu, aku temukan manusia yang berbicara tentang Tuhan, tidak untuk para majikan, tapi untuk para budak. Ia beribadah, tidak untuk mencapai “Nirvana” atau untuk mengelabui orang banyak. Ia beribadah untuk kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia. Aku temukan pemimpin untuk seluruh dunia ini. Ialah suara keadilan umat manusia. Ia belajar dari pengorbanan saudara tertuanya. Ialah lelaki yang istrinya―putri dari sang Nabi Muhammad―bekerja keras, menderita dan hidup kelaparan selama hidupnya. Aku temukan seorang lelaki yang keturunannya menjadi para penerus pembawa panji merah sepanjang sejarah, panji yang mewakili golongan kami.

Sahabatku, aku telah berlindung di dalam rumah yang terbuat dari tanah liat ini karena ketakutanku akan kuil, dan istana-istana yang berisikan para penguasa yang kuat. Sementara para sahabat sang nabi sedang sibuk, rumah ini sendirian. Istri Ali menghadapi saat-saat akhir hidupnya sementara suaminya sedang bekerja di kebun Bani Najjar. Ali bekerja sambil bermunajat kepada Tuhan, menceritakan padanya segala keluh kesah kita. Karena rasa takutku pada kuil-kuil yang menyeramkan, tumpukan harta dan istana yang dikumpulkan di atas darah dan keringat kami, aku berlindung dalam kedamaian di rumah ini untuk merenungkan pengorbanan- pengorbanan yang sudah dilakukan!

Sahabatku, mereka yang tetap setia pada Ali adalah orang-orang yang berasal dari kelompok kita, kelompok yang menderita. Ketika Ali menyampaikan khotbah-khotbahnya yang indah, ia tidak menggunakannya untuk ambisi kekuasaan atau justifikasi dari kelemahan. Khotbah-khotbah itu disampaikannya untuk mendidik dan menyelamatkan kita. Ali tidak mengayunkan pedangnya untuk melindungi dirinya, keluarganya, rasnya, atau untuk kepentingan satu penguasa. Ali ayunkan pedangnya untuk menyelamatkan kita pada setiap tahapan hidup ini. Ali jauh lebih bijak daripada Socrates. Ia tidak memikirkan kebajikan-kebajikan abadi dari pihak ningrat di mana budak tidak mempunyai hak sama sekali. Ali berpikir untuk nilai-nilai yang kita anut. Ia bukanlah pewaris Fir’aun atau berasal dari golongan mereka. Ali menampakkan pemikirannya tidak dalam perpustakaan yang tertutup, sekolah, atau pusat-pusat akademi yang berkutat dalam dunia teori namun lupa pada penderitaan dan kesusahan kelompoknya. Pikiran Ali terbang tinggi dan melesat jauh. Pandangannya yang luas dan hatinya yang mulia terwakili pada simpatinya melihat wajah seorang yatim. Ketika ia salat, menyadari kelemahannya di depan Tuhan, ia tidak merasakan perih di tubuhnya ketika belati menusuknya. Walau demikian, karena penindasan dari seorang perempuan Yahudi, ia berteriak, “Jika seorang harus mati karena penghinaan ini, ia tidak boleh disalahkan!” Ali mempunyai kemampuan luar biasa dalam mengekspresikan dirinya, tapi tidak seperti Shahnama, seorang penyair kerajaan, yang hanya menyebut kelompok tertindas sekali saja dalam 60 ribu bait puisinya.

Sahabatku, pada masa seperti ini, dalam lingkungan kita sekarang ini, kita betul-betul membutuhkan seorang Ali. Ia tidak termasuk para intelek, filusuf, dan cendekiawan lain yang berpikir tanpa aksi dan perjuangan. Ia juga bukan pahlawan yang berjuang tanpa pikiran, kebijaksanaan, dan ketakwaan. Ali adalah manusia yang hakikat dirinya melebihi setiap batas dimensi kemanusiaan. Seperti engkau dan aku, Ali adalah seorang pekerja. Tangan yang sama yang menuliskan ayat-ayat suci dari langit adalah tangan yang juga terbenam dalam genangan lumpur, yang mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering. Ia tidak pernah bekerja untuk siapapun! Ketika ia menggali tanah untuk mencari air, keluarganya memandanginya dengan tatapan kebahagiaan. Sebelum ia dan istrinya beristirahat di malam hari, ia berkata, “berita baik untuk keturunanku yang tidak akan mewarisi setetes pun dari air ini sebagai bagiannya.” Sahabatku, Ali mewakafkan air itu untuk engkau dan aku.

Kita membutuhkan Ali. Kita memerlukan seorang pemimpin sepertinya. Semua peradaban, sistem pendidikan, dan agama-agama telah mengubah manusia menjadi binatang-binatang yang hanya tertarik pada urusan keuangan, ego pribadi, ibadah-ibadah hampa, atau manusia yang penuh dengan dalih dan alasan, tapi kekurangan perasaan, cinta, inspirasi, kesucian, pengetahuan, kebijakan dan logika. Ali adalah manusia yang menggabungkan semua dimensi itu dalam pribadinya. Ia pemimpin kelas buruh dan mereka yang menderita. Ialah yang berdiri tegak memperjuangkan hak-hak masyarakat. Kejujuran, kesetiaan, kesabaran, keteguhan, revolusi dan keadilan adalah sifat-sifat yang tercermin dalam kesehariannya.

Sahabatku, aku hidup di tengah lingkungan di mana sebuah sistem menguasai setengah alam ini, mungkin hampir semuanya. Umat manusia kini tengah digiring pelan-pelan pada bentuk baru dari perbudakan. Walaupun kami tidak terbelenggu oleh perbudakan secara lahiriah, perbudakan baru yang akan dikalungkan pada leher kami lebih buruk dari apa yang terjadi di zamanmu! Pikiran, hati, dan kekuasaan kami akan terpasung. Atas nama sosiologi, pendidikan, seni, kebebasan seks, kebebasan finansial, eksploitasi cinta, ekspresi diri, visi dan misi, atas nama itu semua ideologi tujuan, kepercayaan pada tanggung jawab kemanusiaan, pemihakan pada mazhab-mazhab pemikiran kini tercerabut dari hati-hati kami! Sistem ini telah mengubah kita menjadi vas-vas kosong yang menampung apa saja yang dituangkan ke dalamnya.

Kini, kami―mengatasnamakan partai, darah, tanah air, sistem melawan sistem―secara sadar memecahbelah diri kami. Pengikut satu golongan saling menumpahkan darah sesamanya. Mengapa, dalarn pengaruh yang mendunia mereka harus menganggap satu sama lain sebagai musuh? Ketika yang satu membukakan jemarinya untuk berdoa, sahabatnya akan menutupkannya kembali. Yang lain beribadah di atas tanah yang keras, sementara kawannya sujud di atas karpet. Untungnya pembedaan itu menjadi makin sedikit! Pikiran kami kini digiring ke pengasingan; mereka menjadi penjaga-penjaga.

Sahabatku, engkau adalah seorang budak. Engkau mengenali majikanmu. Engkau bisa menahan deraan cambuk menerpa tubuhmu. Mengapa, bagaimana, dan siapa yang menjadikanmu seorang budak? Kami kini menghadapi takdir yang sama denganmu, tapi kami tidak tahu bagaimana itu terjadi. Siapa yang menjadikan kami budak belian abad ini? Dari arah mana kami tiba-tiba dijajah? Mengapa kita menyerah pasrah pada pemikiran-pemikiran yang menyesatkan? Mengapa kita sibuk dalarn ibadah-ibadah duniawi? Layaknya binatang, kita telah menjadi korban eksploitasi―mungkin lebih parah dari zamanmu dulu!

Kini kami bekerja untuk sistem, kekuasaan, mesin, dan istana- istana yang dipelihara melalui kerja keras kami. Kekayaan dikumpulkan dari hasil keringat kami, tapi bagian yang kami terima hanya potongan yang terkecil; kami diharuskan kembali bekerja pada hari berikutnya. Kini kami lebih tersiksa daripadamu! Kekejaman dan diskriminasi yang kini terjadi jauh lebih menyakitkan dari zamanmu!

Sahabatku, Ali mengorbankan hidupnya untuk beberapa hal: pengembangan pemikiran, persatuan, dan keadilan. Jelas sekali dalam 23 tahun perjuangannya, banyak pengorbanan telah ia lakukan untuk menanamkan kepercayaan pada hati masyarakat jahiliahnya. Dalam 25 tahun kebisuannya, ia bersabar demi menjaga persatuan Islam dan menyelamatkannya dari bahaya kekaisaran Romawi dan Persia. Jelas sekali dalam 5 tahun kepemimpinannya, ia berjuang keras untuk menegakkan keadilan, menggunakan pedangnya untuk menghancurkan kebencian dan untuk memerdekakan manusia. Walaupun Ali belum berhasil meraih semua itu, ia sukses menanamkan dalam benak kita arti dari kepemimpinan dalam agama dan kemanusiaa. Ia tempatkan hidupnya dan hidup keluarganya dalam tiga slogan: pengembangan pemikiran, persatuan, dan keadilan!

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: