Pesan Rahbar

Home » » Para Pemimpin Muatadh’afin; Bagian Kedua: Husein dan Syahadah: Terbebas dari Penindasan

Para Pemimpin Muatadh’afin; Bagian Kedua: Husein dan Syahadah: Terbebas dari Penindasan

Written By Unknown on Saturday 8 October 2016 | 20:45:00


Banyak yang sudah ditulis tentang Husein bin Ali bin Abi Thalib dan peranannya dalam sejarah. Orang-orang dulu menerangkannya begini, dan cendekiawan pembaru demikian. Namun, sebagaimana belakangan ini kusadari, ternyata kita tidak bisa mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Husein tanpa memahami makna sejati syahadah.

Kebesaran Husein di satu sisi, dan sifat-sifat kepribadiannya telah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari Husein di balik sinaran kharismanya. Apa yang lebih besar dari Husein itulah yang mengantarkannya pada pengorbanannya. Kita selalu berbicara tentang Husein, namun kita jarang membicarakan maksud pengorbanan diri Husein yang begitu sukarela.

Kini, aku bermaksud membicarakan konsep pengorbanan yang telah dilakukan Husein dan orang-orang sepertinya dan keagungan pengorbanan diri semacam itu dalam sejarah umat manusia dan agama kita.
Maka, di hadapan Anda, ciptaan dan Pencipta, ingin kupaparkan gagasan itu dan maknanya, sebagaimana telah ditampakkan oleh seluruh hidup dan mati manusia mulia itu, gagasan yang disebut syahadah. Ini merupakan suatu tugas yang sulit. Untuk memulainya, pengetahuan dan kemampuan pikirku tak mengizinkanku memikul tugas sulit semacam itu. Pola kontradiksi yang dikandung masalah ini (minimal bagiku) malah makin mempersulit posisiku.

Di satu pihak, syahadah harus kusajikan dari sudut pandang intelek, ilmu dan filsafat. Kepalalah yang bisa kugunakan. Ilmu dan logikalah yang dapat membantuku.

Di lain pihak, kisah syahadah dan yang ditantang syahadah begitu peka, begitu menawan, sehingga berkobarlah jiwa. Ia melumpuhkan logika. Ia mengelukan lidah. Ia bahkan sulit dipikirkan. Syahadah adalah paduan cinta suci dan kebijakan yang dalam dan kompleks. Keduanya tidak bisa diungkapkan pada saat yang sama. Karena itu, keduanya tidak dapat diperlakukan sama.

Khususnya, bagi orang semacamku ini, yang lemah emosi dan jiwa, malah semakin sulit. Namun, aku berharap bisa memaparkan beberapa hal yang hendak kusampaikan.

Untuk memahami makna syahadah, maka, jalur ideologi, yang menjadi sumber makna, ungkapan dan nilainya, harus dijelaskan.

Di dunia Barat, seorang syahid (martyr) adalah orang yang memilih ‘mati’ sebagai pilihan tunggal demi membela keyakinan- keyakinannya terhadap musuhnya. Namun, kata syahadah, yang ada dalam tradisi Islam, guna mengungkapkan orang yang telah memilih mati, sangat berbeda makna dengan kata Barat, martyrdom (syahadah). Ini menunjukkan salah satu perbedaan yang ada antara ritus-ritus Islami dan non-Islami. Di negara-negara Eropa, kata martyr (syahid) berasal dari ‘mortal’ yang maknanya ‘mati’. Salah satu prinsip dasar Islam, khususnya dalam tradisi Syi’ah, ialah ‘berkorban dan bersaksi’. Jadi, syahadah bukan bermakna mati, tetapi, pada hakikatnya, bermakna ‘hidup’, ‘bukti’ dan ‘kesaksian’. Kata-kata syahadah, bangkit, bersaksi ini menunjukkan perbedaan-perbedaan yang ada antara kultur Islam Syi’ah dan kultur-kultur lainnya di dunia.


Mazhab Pemikiran Syahadah

Untuk memahami konsep syahadah, kita harus mempelajarinya dalam konteks mazhab pemikiran dan aksinya. Perwujudan puncak dan sekolah ideologi ini adalah Husein. Dalam laju perjuangan sejarah, dalam kisah umat manusia, Husein adalah acuan perjuangan ini.

Karbala Husein hanyalah satu medan tempur di antara sekian medan peperangan lainnya. Husein dan Karbala adalah penghubung tunggal yang menyatukan berbagai front, generasi dan masa, di sepanjang sejarah, sejak dulu, kini sampai masa yang akan datang.

Makna Husein akan menjadi jelas bila kita memahami pertaliannya dengan laju perjuangan sepanjang sejarah yang dimulai dari Ibrahim. Makna ini harus diperjelas dan revolusi Husein harus ditafsirkan. Memandang Husein dan pertempuran Karbalanya secara terpisah dari situasi-situasi sejarah dan sosial akan memaksa kita― sebagaimana dialami oleh banyak dari kita―untuk memandang kematian lelaki itu dan pesan yang dibawanya sebagai sebuah keniscayaan takdir yang tragis. Padahal, peristiwa menyedihkan yang dialami Husein adalah sebuah fenomena yang abadi dan transendental. Memisahkan Husein dan Karbala dari konteks historis dan ideologis mereka, sama dengan membedah jasad yang hidup, mengambil satu bagian darinya dan menelaahnya tersendiri terpisah dari sistem-sistem hidup lainnya dalam jasad itu.


Dua Tipe Nabi

Sepanjang sejarah manusia, gerakan-gerakan agamawi―entah berkaitan dengan doktrin ideologis agama, hubungan kelas sosial pemimpin-pemimpin agama itu dan maksud seman mereka atau tidak―dibagi menjadi dua tipe. Berdasarkan klasifikasi ini, semua nabi dalam sejarah, benar atau palsu, dan orang yang telah memulai gerakan agamawi, dibagi menjadi dua tipe berbeda.

Tipe pertama adalah rantai agamawi yang didirikan oleh Ibrahim. Rantai nabi ini, secara historis, lebih dekat pada kita, karena itu kita tahu benar mereka. Mereka adalah para nabi yang pandangan sosialnya tumbuh dari kelas sosial dan ekonomi suatu masyarakat yang paling terzalimi. Menurut sabda Muhammad Saw, kebanyakan para nabi ini adalah penggembala. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, mereka menggembalakan domba. Ada juga di antara mereka yang menjadi tukang atau pekerja bersahaja yang terbiasa merasakan kelaparan.

Para nabi ini berbeda dengan para “utusan” dari tipe lain atau para pendiri jalur pikir dan moral seperti yang ada di Cina, India, Iran dan para pendiri jalur-jalur ilmiah dan etika seperti di Athena. Tipe kedua ini, tanpa kecuali, adalah para aristokrat. Mereka tumbuh dari kelas-kelas masyarakat yang ningrat, terhormat, dan berkuasa.

Sepanjang sejarah, penguasa masyarakat selalu terdiri dari kerjasama tiga kelompok: si kuat (militer), si kaya (bangsawan) dan si paderi (rohaniwan). Mereka saling menjalankan kekuasaan politik dan ekonomi sambil mengendalikan kepercayaan rakyat. Mereka bekerja sama dalam memerintah rakyat. Kolaborasi mereka―entah benar atau salah―ditujukan demi mengatur rakyat dan demi kemaslahatan umat.

Semua pemuka agama non-Ibrahimi dari Indocina sampai Athena itu memiliki garis nasab yang terhubung pada para kaisar, paderi dan aristokrat. Kong Hu Cu, Lao Tse, Buddha, Zoroaster, Mani, Mazdak, Socrates, Plato dan Aristoteles semuanya dinisbahkan pada keningratan, baik melalui ibu, ayah, atau keduanya. Padahal Al-Quran menegaskan, “...ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (Q.S. Ali Imran [3]:163). Mereka adalah orang-orang biasa. Para nabi Ibrahimi dilahirkan di tengah-tengah rakyat biasa.

Atas dasar itu jugalah kemudian, Muhammad berbicara dengan bahasa Arab, atau Musa, yang diutus untuk orang-orang Yahudi, berbahasa Ibrani. Untuk menyampaikan risalah Allah, para nabi harus berbicara dengan bahasa massa, dengan lidah dan istilah-istilah yang dipahami massa umat. Para nabi kemudian memahami kebutuhan-kebutuhan dan kesulitan-kesulitan mereka. Tidak seperti para filusuf, penyair, cendekiawan dan kaum terdidik yang menggunakan bahasa dan istilah-istilah yang hanya mereka gunakan di lingkungan mereka sendiri. Mereka tidak pernah memhami pikiran dan emosi massa, karena mereka tidak pernah mengerti bahasa mereka.

Berbeda dengan para nabi Ibrahimi yang berbicara tentang massa, misi para nabi non-Ibrahimi selalu berkaitan dengan struktur kekuasaan yang ada, sehingga ide-ide para utusan ini didukung oleh kekuatan itu. Para nabi Ibrahimi, di sisi lain, selalu didukung orang- orang biasa dalam menentang para penguasa di masa mereka.

Lihatlah Ibrahim. Begitu Allah memilihnya, Ia ayunkan gadanya untuk menghancurkan berhala-berhala. Musa mengangkat tongkat gembalanya, memorak-porandakan istana Fir’aun. Musa menjatuhkan konglomerat yang kuat, Karun, dan menguburkannya di bumi. Ia menenggelamkan Fir’aun di laut. Rasulullah Muhammad Saw melewati tahap pembinaan diri, kemudian memulai perjuangan spiritualnya. Dalam masa sepuluh tahun, beliau melakukan enam puluh lima pertempuran. Berarti, setiap lima puluh hari, satu petempuran, satu clash militer. Mukjizat-mukjizat para nabi Ibrahimi juga seirama dengan misi mereka. Pengubahan tongkat menjadi seekor ular besar digunakan untuk menghancurkan sihir yang menjadi senjata para rohaniwan di zaman Fir’aun.

Al-Quran, dengan jelas, memaklumkan bahwa Islam bukanlah agama baru. Setiap nabi diutus untuk menegakkan agama yang sama, selaras dengan situasi zaman dan kebutuhan-kebutuhan di zaman itu.

Hanya ada satu agama. Ialah kepasrahan, “Islam”. Muhammad Saw datang dan membawa kepasrahan ini secara universal dan historis. Beliau mengaitkan gerakan Islami dengan gerakan-gerakan lain yang, sepanjang sejarah, berjuang membebaskan rakyat. Mereka bangkit menentang si kuat, si kaya dan si pengecoh.

Mereka menunjukkan kesatuan pandangan mereka: satu perjuangan spiritual, satu agama, satu semangat dan satu slogan di seluruh sejarah manusia, di mana saja, kapan saja, siapa saja.

Marilah kita lihat ayat Al-Quran ini, dan renungkan konteks historisnya serta pilihan kata-katanya, dan lihatlah bagaimana perspektif historis diungkapkan dalam Al-Quran, dan lihatlah bagaimana ia menempatkan gerakan-gerakan ini berurutan.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil ...” (3:21).

Dalam ayat di atas disebutkan tiga hal secara berurutan. Pertama, ayat-ayat Allah, kedua, para nabi, dan ketiga, para penyeru keadilan.

Para nabi disejajarkan dengan para penyeru keadilan. Ayat ini dengan jelas menggambarkan gerakan sosial dan filsafat sejarah manusia.

Muhammad Saw adalah utusan terakhir agama kepasrahan ini. Risalah para nabi-Ibrahimi terdiri atas kebijaksanaan, Kitab dan keadilan untuk dunia. Muhammad Saw adalah utusan terakhir dari gerakan-gerakan di dunia yang, atas nama Islam, menyeru manusia untuk mengabdi kepada Allah yang Satu, agar mereka terbebas dari pengabdian kepada selain-Nya.

Muhammad Saw datang untuk mengukuhkan pandangan universal Tauhid dan bahkan membawanya ke dalam sejarah manusia, kepada semua ras, bangsa, kelompok, keluarga dan kelas sosial serta mengikis habis pertentangan yang ditimbulkan agama-agama politheis. Slogan tauhid Islami adalah slogan kemerdekaan. Sebelum kaum intelek, cendekiawan, terdidik dan filusuf menyadarinya, kaum budak, kaum tersiksa, kaum lapar dan kaum hina sudah merasakan dan menyadarinya. Karena inilah, kelompok yang mengelilingi Muhammad Saw di Makkah, berasal dari golongan masyarakat yang lemah, hina dan rendah. Rasulullah dihina oleh musuh-musuhnya lantaran beliau dikelilingi manusia-manusia ampas. Tetapi, bukankah inilah aspek yang paling mengagumkan dari gerakan ini, sementara kita menyaksikan bahwa para pemimpin agama Buddha adalah kaum terhormat dan kaum aristokrat Cina dan India. Kini, nilai-nilai sudah berubah!

Perubahan yang dibawa Rasulullah meruntuhkan keyakinan para budak yang merasa bahwa takdir telah menentukan mereka untuk ditindas. Para budak dan hina diyakinkan oleh lidah agama, ilmu, filsafat, syair dan sastra bahwa mereka memang ditakdirkan untuk menjadi pengabdi para tuan. Mereka percaya bahwa mereka hidup hanya untuk menderita, memikul beban-beban berat dan lapar, agar orang lain bisa senang dan kenyang. Mereka dilahirkan dan diciptakan untuk ini.

Kelas lemah ini―yang kemudian yakin bahwa para dewa atau Tuhan adalah musuh mereka―percaya, agar dunia ini berfungsi dan agar pekerjaan-pekerjaan orang terlaksana, mereka diciptakan sebagai kuli pengangkut beban. Sebagaimana kata nabi Mani, ketika membicarakan terang dan gelap, “Si bedebah dan si kalah beresensi gelap, sedang si penakluk beresensi terang.” Sang jenius Aristoteles dan Plato pernah berkata, “Tuhan atau alam telah menciptakan sebagian manusia sebagai budak dan sebagian lagi sebagai orang bebas, agar si budak melaksanakan pekerjaan-pekerjaan biasa, agar yang bebas bisa mengurus masalah yang lebih tinggi seperti moral, syair, musik dan peradaban.”

Muhammad Saw diutus untuk menyempurnakan gerakan penentang tipu-daya, kepalsuan, kesyirikan, kemunafikan, aristokrasi dan pertentangan kelas, yang semuanya ini merupakan sasaran perjuangan spiritual, yang telah ada di sepanjang sejarah. Dengan pemahaman bahwa semua manusia adalah sama, satu ras, satu asal, satu alam dan satu Tuhan. Rasulullah mendeklarasikan persamaan bagi semua, dengan penerangan filosofis. Dengan melawan rezim ekonomi yang kuat, beliau menegakkan keadilan sosial.

Karena itulah kemudian, Bilal, seorang budak hina dianggap lebih mulia dan diperlakukan dengan lebih hormat ketimbang para aristokrat masyarakat Arab. Semua orang menerima kedudukannya. Mendadak, penduduk Madinah, Arab, Yahudi, dan Quraish menghormati budak muda Huzaifah, yang pernah mondar-mandir di lorong-lorong sempit sebagai budak hina nan lemah. Kini, di Masjid Quba, ia mengimami salat para Muhajirin dari Quraish. Ia adalah salah satu figur terhormat. Pribadi-pribadi ternama era pra-Islam, kini, salat di belakangnya.

Segala nilai hancur tatkala Rasulullah memulai usaha-usaha menghancurkan nilai jahiliyah dan pikiran aristokrat. Beliau menyuruh mereka memendekkan jubah-jubah dan jenggot-jenggot mereka yang panjang yang menjadi lambang-lambang aristokrasi. Beliau melarang orang berjalan angkuh di jalan. Beliau meyuruh orang untuk meluluhkan nilai-nilai aristokrasi di mata umum.

Pada suatu hari, seorang wanita tua, yang telah bertahun-tahun mendengar keagungan dan kehebatan Nabi, menghadap beliau. Ia berdiri terpana di hadapannya. Dengan lembut, ramah dan bersahaja beliau menghampirinya dan memapahnya seraya berucap, “Kenapa takut? Aku adalah putra seorang wanita Quraish pemerah domba.

Siapa yang Anda takuti?”

Namun, ketika penggembala ini―nabi terakhir dalam silsilah Ibrahimi―mangkat menuju kekasihnya, segala sesuatu mendadak berubah. Pertentangan-pertentangan kemudian muncul begitu beliau wafat. Sudut yang muncul kemudian antara Jalur Islam (das Sollen) dan Sejarah Islam (das Sein), antara kebenaran dan realitas pelan-pelan mulai melebar. Jarak dengan kejujuran, kemurnian, kebenaran, dan keadilan semakin besar.

Setelah Nabi wafat, jurang yang menganga antara keduanya kemudian semakin lebar seirama dengan laju sejarah. Kedua garis itu melebar, hingga jarak keduanya berkilometer jauhnya.


Munculnya Penyimpangan-Penyimpangan

Awalnya, sepeninggal Nabi, penyimpangan itu begitu kecil. Ia kemudian berkembang dari generasi demi generasi. Jarak dengan kejujuran, kemurnian, kebenaran dan keadilan semakin lebar. 14 tahun kemudian, Usman bin Affan, bagai sebuah kutub magnit, menarik semua agen kontra-revolusi yang tercerai-berai. Ia mengumpulkan mereka di pusat kekuasaan Islam dan gerakan Islami. Usman menjadi penghubung mentalitas zaman jahiliah dan zaman revolusi Islam. Kekhalifahannya bertindak sebagai jembatan bagi unsur-unsur terhina aristokrasi buangan yang terkatung-katung. Mereka menjarah keberhasilan-keberhasilan yang dicapai melalui perjuangan spiritual para Muhajirin dan Anshar.

Pemerintahan Usman menjadi jembatan yang lewat di atasnya para agen-agen aristokrasi ternajis, setengah bangkai dan buangan. Mereka merebut posisi-posisi yang dicapai melalui jihad para sahabat Nabi.
Usman bertindak sebagai alat Bani Umayyah, musuh Islam yang paling keji dalam sejarahnya. Melalui Usman pula, mereka membalas dendam lantaran hantaman-hantaman yang pernah mereka terima di zaman Nabi. Mereka juga menjarah keberhasilan Revolusi.

Jenis kemunduran seperti ini berulang terus sepanjang sejarah Islam hingga menjadi sebuah aturan―bukan aturan yang seharusnya ada―di mana suatu revolusi membunuh anak-anaknya sendiri.

Usman membiarkan anak-anak beriman Revolusi ditelan. Para pengayun pedang di jalan Allah, para pencari jihad dan iman, pengorbanan diri, ketulusan dan penderitaan, dihancurkan para penindas dan penjarah kekuasaan. Pendiri gerakan dan korban pertama Usman serta Bani Umayyah yang menguasainya adalah Ali a.s. Ialah korban bangkitnya kembali zaman jahiliyah, zaman bangkitnya para kontra-revolusi. Tatanan politik, sosial dan internasional Ali merupakan lambang-lambang tertinggi perjuangan baru, perjuangan para pemimpin dan loyalitas seperangkat-baru nilai, iman baru, yang bangkit dengan slogan-slogan baru Islami yang sejati dan berjuang menghadapi unsur-unsur keserakahan dan arogansi aturan jahiliyah yang bangkit kembali, yang ditempakan dengan semangat baru menyala-nyala. Para penjarah ini, dengan kekuatan baru, terang-terangan atau terselubung, berjuang melawan figur-figur terrnulia Revolusi Islami.

Muhammad Saw adalah perwujudan perjuangan zaman konfrontasi para muslim sejati dengan musuh-musuh luar yang jelas- jelas anti Islam, sementara Ali adalah perwujudan zaman perjuangan yang memusnahkan unsur-unsur antigerakan yang bertopeng keimanan.

Perjuangan Nabi melawan Abu Sufyan (seorang oportunis yang masuk Islam setelah partainya kalah) adalah perjuangan eksternal, perjuanan antara kawan dan lawan. Sedangkan perjuangan Ali dan Mu’awiyyah, anak Abu Sufyan, adalah urusan internal antara kawan dan kawan “palsu” atau “musuh dalam selimut” yang, secara teoretis, mendukung gerakan. Pertempuran di medan luar, perjuangan melawan musuh luar, berakhir dengan kemenangan, sementara perjuangan melawan musuh dalam selimut berakhir dengan kekalahan. Inilah yang dimaksud Islam, dalam bahasa Al-Quran, sebagai ‘hipokrit’ (munafik)―yang lebih keji dan lebih berbahaya daripada ateis tulen (kafir) bahkan politeis (musyrik). Rasulullah Saw merupakan perwujudan kemenangan Islam, di front luar, atas ateisme dan politeisme tulen, sedangkan Ali merupakan perwujudan kekalahan Islam di front dalam, di tangan kemunafikan.

Dalam konfrontasi melawan ‘jahiliah baru’ dan ‘aristokrasi baru’, yang hidup dalam konteks Islam di bawah naungan Kebenaran dan Jantung Revolusi Islam pengupaya keadilan, Ali adalah basis pertahanan. Bertahun-tahun, Ali berjuang menumpas kemusyrikan berbaju tauhid dalam barisannya. Ia harus bergulat melawan ateisme berbaju Islam yang telah menancapkan Al-Quran di ujung-ujung tombak (dalam perang Shiffin). Akhirnya, Ali dibunuh oleh orang “saleh” tak sadar yang selalu diperalat musuh yang licik.

Seirama dengan laju zaman, basis sejati Revolusi Islami semakin lemah, sementara itu, basis jahiliah baru dan musuh-musuh dalam selimut semakin kuat hingga zaman Hasan bin Ali as (660 M., 40 H., putra sulung Ali as dan Fatimah as).

Hasan adalah pewaris pemerintahan Ali. Ia menjadi komandan tentara di kala kemunafikan telah merasuki bahkan sahabat-sahabat karibnya. Perwira-perwira pilihannya diam-diam bersekongkol dengan Mu’awiyah demi harta, jabatan, dan harapan. Para perwira itu menawarkan jiwanya kepada Mu’awiyah di Damaskus. Dari segi pemerintahan, Hasan sama sekali tidak punya otoritas atas satu bagian wilayah Islam yang terkuat, terbahaya dan terpeka (provinsi Suriah) yang telah jatuh seluruhnya ke tangan musuh. Di Iran, berbagai golongan bertikai. Kaum aristokrat tidak lagi setia kepada penguasa Alawi. Rakyat kembali diabaikan.
Kaum Khawarij, kaum fanatik dan sebuah kekuatan yang berbahaya, menentang Hasan. Barisan kemunafikan musuh internal makin kuat dari hari ke hari, sampai detik-detik kritis perjuangan terakhir membela Islam keadilan terhadap Islam aristokrasi. Satu- satunya alternatif yakni berdamai. Hasan kemudian berunding. Ia telah kalah. Kelompok yang kalah tidak bisa menentukan isi perjanjian damai. Isi perjanjian damai ini dipaksakan kepadanya.

Maka, Hasan, pemimpin dan perwujudan semangat juang Revolusi, bertahan terhadap kebangkitan jahiliah baru. Ia tidak bersenjata bagai prajurit biasa. Bila kita tengok rnmah tangga Imam dan pemimpin umat, si munafik dan agen-agen Mu’awiyah, orang- orang yang dulu berbagi roti dengannya, berbalik menentangnya. Mereka bahkan membujuk istrinya dan, melalui istrinya, Hasan diracun. Dapat kita lihat betapa keadilan, kemerdekaan dan umat telah lemah. Kekuatan Hasan, pemimpin satu kekuatan yang kini masih bertahan dan membela Islam, telah demikian merosot. Tatkala ia wafat, ia tidak dizinkan untuk dimakamkan di sisi Nabi (kakeknya) di Madinah, kota kakek, ayah dan ibunya, kota keluarganya, kota orang-orang Muhajirin dan Anshar. Hasan dimakamkan di pemakaman umum Baqi’.

Hasan bin Ali, perwujudan kesendirian dan keterasingan dalam masyarakat Islam, bahkan di Madinah, dengan gamblang memaparkan betapa kelompok pejuang kebenaran Islam hancur lebur. Kekuatan baru revolusi menenggelamkan segalanya. Barulah kemudian, tiba giliran Husein.


Awal Revolusi Huseini

Husein adalah pewaris gerakan Islam yang diawali oleh Muhammad Saw, dilanjutkan oleh Ali, dan dipertahankan oleh Hasan. Kini, tiada warisan untuk Husein, tiada tentara, tiada senjata, tiada harta, tiada kekuatan, tiada kekuasaan dan tiada pengikut yang terorganisasi. Husein tidak memiliki apa-apa.
Tahap ini terjadi (680 M.), lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Setiap pewaris Rasulullah menentukan corak perjuangannya. (Perhatikanlah dengan saksama dari sini sampai apa yang hendak kucoba ungkapkan. Inilah tempat aku menuju titik utamaku).

Bentuk perjuangan setiap pemimpin bukan didasarkan pada selera-selera pribadinya, tetapi pada situasi dan kondisi yang ada. Maka, bentuk perjuangan yang dipilih oleh Husein tidak bisa dipahami begitu saja. Ia dihadapkan pada tantangan untuk mengetahui situasi dan kondisi waktu itu. Ketika tongkat kepemimpinan gerakan Rasulullah itu diberikan kepada Husein, zaman dan umat sedang menanti kehadiran seorang pahlawan. Betapa sulitnya ia di saat situasi semacam itu muncul-saat nasib bangsa, nasib iman, ide, masyarakat, generasi, sedang menunggu sebuah aksi.

Tanggung jawab menyelamatkan Revolusi, kini ada di kedua bahu Husein. Kala benteng-benteng terakhir pertahanan telah lenyap. Tiada yang tersisa dari kekuatan kakeknya, ayahnya, kakaknya, pemerintah Islami atau Partai Kebenaran dan Keadilan. Tidak tersisa satu pedang pun, tidak ada satu prajurit pun.
Orang-orang Bani Umayyah telah menduduki semua basis masyarakat. Selama bertahun-tahun, orang-orang Quraish, dalam jahiliyah barunya, mendominasi segala nilai dan menjarah buah-buah Revolusi lslami. Ini terjadi bertahun-tahun sejak tercerai-berainya Revolusi Islami dan terpecah-belahnya para sahabat, para pejuang- awal Revolusi dan murid-murid Muhammad Saw menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama, yang menolak menenggang penyelewengan dari gerakan sambil bangkit menentang dan mati karenanya. Pada 60 H., Abu Dzar telah tiada. Ammar, Abdullah bin Mas’ud, Meitsam, Hujr bin Adi, semuanya telah mangkat.

Kelompok kedua, yakni kelompok orang yang mundur ke sudut-sudut sepi di masa-masa sulit, masa yang menuntut ibadah dalam bentuk pengorbanan diri, di mana muslim sejati tidak menaklukkan, tidak dikaruniai syahadah, tapi disiksa di penjara. Mereka telah menemukan jalan lain menuju surga: berkhusuk sepi, bertafakur tentang Allah, pengingkaran dan penyiksaan diri, melakukan salat sunnah yang panjang. Contoh prima kelompok ini adalah Abdullah bin Umar.

Figur-figur besar ini adalah orang-orang yang, di kala kaum muslim dicambuki dan dibunuh oleh agen-agen Bani Umayyah, yang mengawas-awasi kebangkitan dan pertahanan mereka―orang-orang yang diasuh dalam revolusi Islami dan telah berjuang bahu membahu bersama Nabi―di kala mereka harus berdiri di medan tempur spiritual, mundur ke sudut-sudut masjid dan membisu.

Orang-orang seperti itu, yang lari dari medan tempur lalu masuk ke relung masjid, jauh dari masyarakat, tangan-tangan mereka berlumur kejahatan, darah para pahlawan sejati dan darah mereka sendiri.
Orang yang sadar merasa bertanggung jawab dan mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Andai ia menyendiri berkhusuk, ia merasa seolah-olah mengorbankan langsung seorang mujahid bebas nan sadar demi keuntungan penindas. Perbuatan seperti ini mengorbankan dirinya. Ia menjadi penjahat halus nan sukarela. Ia mengorbankan unsur-unsur terburuk. Orang-orang seperti ini membunuh diri mereka di kaki para penindas.

Kelompok ketiga adalah para Sahabat yang meninggalkan medan tempur dengan penuh kesadaran. Mereka berasal dari kontingen yang bertempur di Badar, Uhud dan Hunain. Mereka berjihad dan hijrah bersama Nabi Islam. Tetapi mereka kemudian menjual kemuliaan mereka langsung kepada Mu’awiyah di Istana Hijaunya. Mereka menumpuk uang dengan menjual sabda Nabi dengan harga sedinar per hadis. Orang-orang ini meliputi Abu Darda, Abu Hurairah dan Abu Musa. Abu Hurairah, karena dulu selalu di sisi nabi, terkenal sebagai sahabat spesialis ilmu hadis. Ia begitu mulia di istana Umayyah. Maka, Yazid menggunakannya sebagai perantara untuk membujuk Urainab, istri Abdullah bin Salam.

Bagaimana pendapat kalian, wahai kaum muda, bila kalian dihadapkan pada situasi semacam itu? Beginilah zaman Husein. Baru generasi kedua sesudah Revolusi: satu generasi yang tumbuh tanpa menikmati zaman gemilang itu, kemenangan-kemenangan mulia itu, gelora dan cinta seperti yang telah dirasakan sahabat-sahabat. Mendengar hal-hal semacam itu dari lidah salah seorang sahabat, kaum muda merasakan cinta. Segala rasa, iman, pikir mereka tertumpu pada para sahabat binaan Revolusi itu.

Kala mereka menyaksikan satu demi satu pahlawan-pahlawan mereka gugur tiap hari, alangkah kecewanya mereka. Kemudian hilanglah kepercayaan mereka pada apa yang mereka sebut Islam. Beginilah nasib sahabat-sahabat, generasi kemarin, generasi zaman Nabi, zaman revolusi.

Namun generasi kedua, yang tampil ke depan, penuh gairah, gelora dan semangat kemudian siap berjuang melawan tatanan jahiliah baru. Bagaimanapun, mereka tidak bisa tinggal diam menyadari apa yang sedang terjadi. Perwujudan dan pemimpin generasi kedua Revolusi ini ialah Hujr bin Adi. Hujr menjadi kanak-kanak di masa Nabi, menjadi pemuda di masa Ali dan memasuki arena di masa Hasan. Ia berkualitas negarawan. Ia adalah seorang mujahid yang bertanggung jawab dan sadar. Kala Hasan dan Mu’awiyah berjanji damai, ia merupakan salah seorang penentang gigih penandatanganan perjanjian itu. Sampai-sampai ia berkata pada Hasan, “Sungguh Anda telah menghina umat dengan berbuat begini!”

Ia adalah seorang revolusioner gigih, tetapi Hasan menyisihkannya di Madinah, meyakinkannya dan membuatnya penuh harap akan masa depan perjuangan.

Tiada keterangan jelas dalam sejarah mengenai dialog ini. Yang kita ketahui, Hujr pergi dengan puas. Hujr bukan seorang yang gampang percaya. Ia bukan orang yang mau menerima pendekatan konservatif yang melibatkan kompromi, logika taqiyah, kesabaran pasif atau pendekatan perjuangan yang tak bahaya. Ia bukanlah seorang pemuja kepemimpinan, sehingga ia mau menerima begitu saja sikap Hasan tanpa tanya.
Thaha Husein (penulis kenamaan Mesir) menulis tentang pertemuan antara Hujr dan Hasan ini dan juga pertemuan lain antara Hasan dan Sulaiman bin Suradi Khaza’i. Menurutnya, Sulaiman juga sangat kritis terhadap kompromi halus dan damai, Sebagaimana Hujr, ia pergi dengan puas atas alasan dan penjelasan Hasan. Menurut Thaha Husein, argumen Hasan kira-kira begini: perjuangan militer terbuka apa pun, seperti pengerahan tentara ke medan, hanya akan menyirnakan sisa-sisa kekuatan yang mereka miliki. Ia telah berbicara tentang pendirian fondasi bagi satu organisasi rahasia yang bisa melanjutkan perjuangan dengan efektif. Terbentuklah gerakan pertahanan operasi revolusioner terhadap rezim. Organisasi ini, selama dua kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyyah sampai Imam Syi’ah terakhir, telah membentuk jaringan-jaringan merentang ke seluruh daratan Islam, menyediakan basis bagi Gerakan Pertahanan Syi’ah.

Hujr, dan sahabat-sahabatnya, para pemuda yang gigih, seperti Ali bin Hatam, tidak bisa membiarkan zaman penindasan dan kediktatoran hitam, otokrasi, pengisapan terhadap rakyat, hak-hak mereka dan penyimpangan dari maksud-maksud insani Gerakan Islami yang semakin menjadi-jadi. Mereka gigih menentang penguasa rakyat yang murtad yang, hari demi hari, makin kuat dan mengorbankan kebenaran, keadilan dan Islam.

Perjuangan-perjuangan pimpinan Hujr makin berkobar sampai orang-orang Bani Umayyah, lewat sebuah persekongkolan keji, mengeluarkan keputusan mengutuk Hujr sebagai seorang ateis. Maka ditangkaplah teladan-teladan muda sempurna pertahanan generasi kedua gerakan ini dan dijatuhi hukuman mati di Suriah lantaran memberontak kemapanan Damaskus. Inilah murid-murid sekolah Ali yang gigih bertahan.

Kemudian tampillah Husein. Basis sentral kekuatan Revolusi telah sirna. Para sahabat perjuangan pertahanan ada yang dibunuh dan ada yang dibungkam. Para sahabat beriman yang tidak menggadai diri, mencari keamanan berkhusuk di sudut-sudut sepi. Alih-alih berjuang―padahal kebenaran dan resiko berpadu dalam perjuangan sosial dan politik guna membebaskan rakyat dari penindasan―mereka menyelinap ke dalam tempurung kehormatan, kesalehan, kekhusukan dan kebungkaman. Sekelompok sahabat Nabi melewatkan waktunya di Istana Hijau Mu’awiyah sambil menggerogoti perbendaharaan negara, sementara itu generasi kedua telah kalah dalam perjuangan gigihnya melawan rezim Umayyah. Kekuasaan si zalim, yang ditancapkan dengan pedang, uang, jabatan dan tipu daya, membungkam semua orang.

Mekanisme bentuk baru penyiksaan diri ini berjalan seirama dengan tekanan ketakutan, uang, tipu daya, kebebasan korupsi, penindasan ide, iman dan rasa tanggung jawab―‘kebebasan menindas’ dan ‘penindasan kebebasan’. Beginilah rezim waktu itu merusak moral masyarakat. Mereka menyirnakan dasar-dasar sejati, kebenaran iman, revolusi, basis-basis gerakan dan Islam. Mereka melumpuhkan hati dan otak dengan pembungkaman-pembungkaman keji.

Rezim jahiliah baru itu tahu benar bahwa bahaya revolusi takkan ada bila Rumah Muhammad Saw dihancurkan. Bila Ali dibunuh, tentara Hasan dikalahkan atau Hasan sendiri dibunuh dengan rahasia dan keji. Ia tahu bahwa penghancuranan setiap basis pertahanan, pemorak-porandaan semua kekuatan yang mengambang, pembantaian keji figur-figur gigih pemberontakan generasi muda di Kufa, seperti Hujr; pembuangan, pembunuhan, pengutukan pada kemiskinan dan penjarahan hak-hak yang diperjuangkan para sahabat seperti Abuzar melalui kekuatan iman yang megah, adalah sia-sia. Ia merasakan meluasnya kesadaran, kekuatan iman pada kebenaran, pemahaman mendalam terhadap semangat Islami, pengetahuan sejati tentang jalur seman, makna hakiki misi Nabi, tidak dapat ditekan oleh kekuatan brutal, agresif, rahasia dan pura-pura adil. Dari potret seperti inilah, rezim Umayyah berdiri. Bahkan pembunuhan terhadap jiwa-jiwa berani seperti Abdullah bin Mas’ud, yang bangkit memprotes ketidakadilan, lalu disiksa, sia-sia selaras dengan perataan setiap barikade perjuangan demi keadilan, pemusnahan setiap potensi pertahanan terhadap sistem penguasa, pembunuhan para pemimpin sejati gerakan dan penyingkiran partisipan-partisipan perjuangan itu. Mereka merangkul orang-orang terpenting dan orang-orang yang cakap sebagai abdinya, guna melebur segala kegigihan, menaklukan semua front dan memapankan hegemoni total kerajaan Umayyah di seluruh daratan Islam, yang terbentang dari Suriah sampai Khurasan perbatasan Iran-Mghanistan kini).
Walaupun dengan semua itu, mereka tidak bisa mempertahankan kekuasaannya. Betapapun inginnya mereka menjamin stabilitas rezimnya, agar bisa memerintah dengan leluasa, namun apa daya, semua usaha ini―penaklukan, monopoli, penjarahan kendali-kendali kepemimpinan, pembinaan front pembebasan rakyat, penceraiberaian dan penghancuran semua pembela iman, pencinta kemerdekaan, pencari kebenaran, pelucutan keadilan dan, akhirnya, penjarahan senjata, perisai, baju besi dan kuda-kuda Islam serta pendominasian rakyat―gagal total.

Para cerdik-pandai, si sadar dan si politisi Bani Umayyah tahu persis siapa diri mereka itu. Mereka tahu rakyat mereka dan semangat kala itu. Masyarakat ini hanyalah satu generasi yang jauh dan lahirnya revolusi pikir, sosial, politis, spiritual yang agung (Islam). Memang, rezim ini merupakan satu generasi yang jauh dari jahiliah, syirik, pertempuran-pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq, tetapi zaman ini, Islam berkutat dengan para pemimpin golongan ateis, pembudak, dan kapitalis pelawan Nabi.

Orang-orang Umayyah tahu bahwa, di bawah abu hitam bara api kekalahan, ada ancaman bahaya ledakan yang hebat. Tentara bisa saja dikalahkan, namun Islam tetap tegak berdiri. Partai iman telah tercerai-berai, tetapi iman itu sendiri teguh berdiri. Para pemimpin keadilan, para pendukung kebenaran, pedang dan perisai kebebasan telah diratakan dan basis pertahanan telah dimusnahkan.

Namun, bagaimana dengan keadilan, kebenaran, kemerdekaan dan kemanusiaan? Ali dibunuh di kala salat, lantas bagaimana dengan semangat Ali? Abu Dzar dibuang dan meninggal di Rabazah. Bagaimana dengan jerit dahsyat Abu Dzar? Hujr dihukum mati di Suriah. Bagaimana dengan pemberontakan Hujr?

Inti sejati bahaya ini dan radiasi pemberontakan-pemberontakan ini bukanlah di Madinah, di mana orang-orang dibantai, bukan juga di Makkah, di mana orang-orang dilempari dengan batu, bukan di Kufah yang dikuasai oleh sebuah kudeta, bukan pula di Masjid Nabi, di mana orang diinjak kaki-kaki kuda dan ditetak-penggal para penunggangnya, bukan di rumah Nabi yang ditinggal puing-puingnya, bukan di rumah Fatimah, yang telah menjadi abu, dan bukan pula dalam Al-Quran yang tertancap di ujung-ujung pedang mereka . . . Lantas di mana, sebenarnya, Inti api itu dan radiasi abadi bahaya itu berada?

Di dalam hati dan pikiran! Andaikata kedua sumber ini hancur, maka segala kemenangan akan lumpuh tiada daya, dan semua kekuatan terancam bahaya. Jika keduanya ini tetap hidup, orang seperti Abu Dzar, Hujr, dan Malik, juga akan tetap hidup dalam syahadahnya. Mereka akan mengirimkan orang-orang baru ke medan tempur. Semua pengikut Ali akan syahid sebelum mati, dan mereka akan mati di kala hidup. Namun, bila api jalur pikir Ali tetap berkobar, maka para algojo massa akan gundah-gulana. Mereka akan gelagapan di samudra darah dan pekuburan.

Misi Revolusi Ilahiah bukan dalam Al-Quran, tetapi di sini, dalam hati dan pikiran. Meski Ali dibunuh di Masjid Kufah, ia tetap ada. Semua yang terbunuh, semua tempat yang ditaklukkan, semua front yang dikalahkan, semua senjata dan benteng yang direbut dan diduduki milik kebenaran, kemerdekaan dan keadilan. Perjuangan mengawal kebenaran, kebebasan dan keadilan tetap ada dan mereka sedang bersibuk dengan dua prinsip pokok ini. Oleh sebab itu, kedua pusat ini harus dihancurkan. Andai kekuatan-kekuatan penyala api nan kemilau dan pusat-pusat pencipta gerakan ini hancur, barulah rezim bisa bernafas lega dan berbenah diri.

Penyerangan pun dimulai. Senjata disiapkan untuk membinasakan kedua sumber bahaya ini, kedua sumber ledakan dan api―hati dan pikiran.

Tetapi pertempuran ini membutuhkan tipe lain dari senjata, perisai, busur dan anak panah dan tipe lain dari tentara, policy, rencana, pengatur dan penakluk. Pengaturan tentara dan serangan bukan lagi dengan emas, dari Rey atau Iraq, tapi dengan tipu daya dan kelicikan. Dimulai oleh si jenius ‘Amr, dengan ulah pembunuh- pembunuh Barnar bin Artat, Yazid bin Muhlab dan Hajjaj bin Yusuf.

Serangan mendadak dilancarkan Al-Quran sebagai senjata, sunnah Nabi sebagai perisainya, pikiran dan ilmu sebagai perlengkapannya, iman sebagai bentengnya, Islam sebagai panji- panjinya. Pasukannya terdiri atas pengulas, pengisap, penceramah, ulama, cendekiawan, hakim dan umara’. Pemimpin-pemimpinnya adalah para sahabat besar Nabi, ulama berpengaruh dan pemberi fatwa (mufti) agung.

Serangan dimulai. Pasukan agama maju dengan gemilang ke negeri taklukan seorang tentara duniawi. Mereka masuk, membangun dan maju terus ke dua pusat utama api, menaklukkan mereka setapak demi setapak, dan terus menghancur-leburkannya dari dalam. Mereka menggunakan obat mukjizat. Cara membuat obat ini diketahui semua ulama formal agama. Mereka sebarkan resep ini dari tangan yang satu ke tangan yang lain sepanjang sejarah.

Cendekiawan dijual. Ulama memihak penguasa. Pengubah nasib segalanya muncul dalam Islam. Semua nilai dimusnahkan. Mereka membunuh jiwa, mengubah arah Revolusi Islami, klimaksnya, mereka mengorbankan umat dengan kedok agama.

Untuk pertama kalinya, Islam, berkat bantuan cendekiawan agama, membenarkan elemen-elemen dan ulah rezim itu. Ahli-ahli agama terpaksa percaya bahwa segalanya harus dikaitkan dengan Allah. Dua kanker ganas menimpa orang ―“dengan Nama Allah” dan “Agama Allah”.

Yang pertama yakni kanker ahli agama. Mereka adalah cendekiawan dan ulama Islam-semu. Mereka adalah juru bicara Islam, cendekiawan agama dan pemimpin umat. Status mereka kabur. Mereka bukan pembunuh. Mereka belajar di sudut-sudut madrasah. Siapakah pewenang agamawi (marja’i)? Apa arti wewenang agamawi?

Mereka berdalil bahwa siapa pun, pendosa atau saleh, siapa pun yang telah berbuat salah, menipu, bersekongkol atau berbuat jahat harns mengharap belas kasih dan ampunan Allah. Sebab, Allah telah berfirman, “Ada orang-orang yang penuh harap akan firman Allah.” Harapanlah tempat ampunan dan belas kasih Allah. Allah akan memberi ampunan dan memaafkan setiap kejahatan. Oleh sebab itu, setiap manusia normal yang merasa berdosa dilarang memaki si jahat. Anda dilarang mengutuk dan memerangi mereka.

Namun, bila Anda yang menggelari orang lain dengan sebutan “jahat, penindas” atau mengutuknya, atau juga menyebutnya dengan si tertindas, si budak, atau apa saja maka seolah-olah Anda―dengan justifikasi ulama pembela penguasa itu―menjadi kepanjangan Tangan Allah. Allah adalah Maha Penentu. Atas dasar inilah, Allah menilai perbuatan setiap orang serta menentukan siapa-siapa yang bertentangan dengan keadilan. Di sisi lain, Anda tidak berhak menghakimi si penindas dan si sekongkol. Anda mau menerapkan keadilan di sini. Maka mereka akan mempertanyakan, apakah Anda Allah? Apakah Anda mau mengutuk orang dan mengadilinya sebelum Allah melakukannya? Tidak. Mengadili si sekongkol dan si pengabdi bukanlah kewajiban kita. Kita dilarang mengutuk si jahat. Kita dilarang menentang kelompok ini atau itu. Semuanya harus kita terima. Kita harus sabar. Biarlah Allah yang menghukumnya. Masalah “Serahkan segalanya kepada Allah” inilah yang diorbitkan oleh ahli-ahli agama.

Penyakit asa atau kanker ahli agama ini merupakan pelumpuh generasi kedua Islam, yang kurang terbina di jalur Islam dan yang menerima bahasa Al-Quran dan Islam bukan dari lidah Nabi, Ali, Muhajirin dan Anshar. Dengan demikian, mereka menerima ajaran Islam dari tangan kedua (para penjual pikir dan ide). Karena inilah, kesadaran, perolehan dan semangat agamawi mereka selamanya teracuni propaganda ahli-ahli agama dukungan rezim penguasa. Hanya muslim fundamentalis militan yang bertanggungjawab yang merasa bertanggung jawab setiap detik ‘untuk beramar ma’ruf nahi munkar’.

Kanker kedua yaitu kanker fatalisme yang tumbuh jua di masa ini. Jalur pikir pertama yang tercipta selama masa Bani Umayyah yakni jalur ahli agama. Al-Quran mereka gunakan sebagai sarana pelumpuh dan penghancur segala ide, iman dan jihad. Yang kedua yaitu jalur fatalisme (jalur pertama filsafat yang di zaman Bani Umayyah dikenal sebagai filsafat ilahiyyah).

Akan kita lihat betapa banyak borok tersembunyi di balik wajah-wajah suci. Takdir Ilahi berarti, sebagaimana kata Al-Quran, “Adalah Allah yang menentukan segala sesuatu.” Karena itu, derita apa pun yang terjadi di alam ini adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Apa pun aksi orang sesuai dengan kehendak Allah. Apa pun kedudukan, keadaan, pilihan, nasib manusia-buruk atau baik, pembunuh atau bukan, adalah selaras dengan kehendak dan takdir Allah. Budak atau tuan, yang dikuasai atau penguasa, semuanya milik Allah. Allah pemberi dan pengambil daya. Allah yang mematikan dan yang menghidupkan. Allah yang memuliakan dan yang menghinakan. Manusia tidak berdaya.

Keterangan fatalisme ini berpengaruh kuat pada muslim yang berpegang pada Al-Quran dan Hadis Nabi―tentu saja, hadis-hadis yang diproduksi orang seperti Abu Hurairah, ‘mesin pencipta hadis’, yang mencapai jumlah 40.000 hadis dengan mengatas-namakan Nabi. Tentu, Nabi harus hidup 1000 tahun untuk hadis-hadis sebanyak itu.

Ajaran-ajaran cendekiawan ini merupakan pelumpuh pikiran seorang muslim yang mematuhi kehendak Allah. Katanya, Bani Umayyah berkuasa lantaran diberi oleh Allah. Jika Ali kalah, itu karena Allah menghendakinya. Entah orang itu jahat entah baik, andai si baik hancur dan si jahat berkuasa, semua itu atas dasar kebijakan tinggi yang tak jelas bagi kita dan terserah pada kehendak Allah. Kita angkat tangan. Karena itu, setiap kekasaran, kejahatan atau perampasan kekuasaan dianggap memprotes dan mengkritik Kehendak, Kekuasaan dan Takdir Ilahi.

Enampuluh tahun sejak Nabi hijrah, segala yang dihasilkan Revolusi beliau kini telah hancur. Kitab bawaan Nabi tertancap di ujung-ujung tombak Bani Umayyah. Kultur dan ide-ide yang telah dikembangkan oleh Islam melalui jihad, perjuangan dan upaya di hati dan pikiran, berubah menjadi sarana penerang kekuasaan Umayyah. Semua masjid menjelma menjadi penopang syirik, penindasan, tipu daya dan pembodohan umat. Semua pedang mujahidin tergenggam di tangan para algojo. Semua hasil zakat dan pungutan agama lainnya digunakan untuk mengelola Istana Hijau Mu’awiyah. Segala kata yang berhubungan dengan relitas, tauhid, Nabi, Sunnah, Al-Quran dan wahyu, tergenggam erat di tangan Mu’awiyah dan rezimnya. Semua pemimpin umat, hakim, penafsir Al-Quran, para penghafal Al-Quran, cendekiawan dan khatib masjid, ada yang terbunuh, menyepi dalam kekhusukan di sudut-sudut masjid dan ada pula yang menjadi corong rezim di Damaskus (Bani Umayyah).

Fondasi-fondasi Muhammad tidak punya lagi juru bicara, altar atau mimbar. Di seantero wilayah luas ini, yang meliputi Roma, Iran dan Arab, tiada lagi yang bersama keluarga Nabi atau para pendukung setia Revolusi. Hasil jerih payah Muhajirin dan para sahabat, hilang bersama angin lalu. Istana Mu’awiyah makin gemerlapan.

Para revolusioner masa lalu, ada yang meninggal di gurun terpencil Rabazah dan ada yang dibunuh di medan-medan Marial Azar. Generasi kedua Revolusi pencipta gerakan dan peluncur perjuangan dibantai ramai-ramai. Ada pula yang tenggelam dalam filsafat pesimistis fatalisme atau menyerah kepada pemimpin- pemimpin agama. Mereka sadar bahwa setiap usaha mengubah keadaan akan berakhir kandas. Melalui pengalaman, mereka tahu bahwa setiap perjuangan mengawal Islam, menegakkan kebenaran serta keadilan dan melawan jahiliah baru yang makin menjadi-jadi, telah terkalahkan.

Kini, enampuluh tahun setelah hijrah, segala kekuasaan berada di tangan penguasa penindas. Nilai-nilai moral ditumbuhkan sesuai standar para agen agen perubahan penguasa. Otak dicuci, diisi dan diracun dengan materi berselubung agama. Iman diganti, dibeli dan dilumpuhkan. Jika upaya ini tumpul, pedanglah yang menggantinya. Inilah situasi yang dihadapi Husein waktu itu. Husein bangkit melawan kekuatan seperti ini, kekuatan pemilik pikir, agama, Al-Quran, harta, pedang, corong, umat dan sunnah Nabi. Husein tampil dengan tangan kosong. Apa yang bisa ia lakukan? Dapatkah ia menyepi? Haruskah ia membisu lantaran ia cucu Nabi, putra Ali dan Fatimah, yang telah dijamin masuk surga?

Argumen ini asing baginya. Orang beriman lainnya menyakininya, namun ia bertanggungjawab dan mempunyai keyakinan. Dapatkah ia mengubah tanggungjawab berjihadnya―untuk mendekatkan diri kepada Allah―menjadi pengucapan doa-doa yang tentunya lebih gampang? Namun Husein tidak memilih jalan ini.
Dua jalan terbuka bagianya: bertempur atau mundur. Apakah Husein akan mengatakan, “Tidak. Saya tidak bisa melancarkan perjuangan politis melawan Bani Umayyah, sebab pertempuran semacam itu membutuhkan pasukan, padahal itulah yang tidak saya miliki. Saya terpaksa harus duduk sambil berjihad secara intelektual dan mental.” Namun, Husein pun tidak bisa memilih solusi ini.

lika kita melihat di kemudian hari, Ja’far Shadiq as, imam keenam dari keluarga Nabi, generasi kesembilan setelah Rasulullah Saw (742-752 M), menegakkan jalur intelektual, adalah karena dua kenyataan. Pertama, masa akhir pemerintahan Umayyah dan awal Kekhalifahan Abbasiyah. Kedua, filsafat Yunani sedang merasuki pikiran orang-orang Islam. Begitu pula ajaran Sufisme dari India, Iran dan Nasrani telah mendapat tempat di hati kaum muslimin.

Karena fakta seperti ini, seorang muslim di zaman Bani Abbasiyah cenderung lebih peka terhadap politik. Mereka mulai berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah, kebenaran dan kepalsuan. Mereka mulai heran kenapa Ali pergi dan Mu’awiyah datang. Mereka mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya yang harus memimpin umat ini. Mereka asyik dengan “Tujuh Kota Cinta”. Mereka renungkan pertalian antar kekacauan yang tampak tiada. Mereka asyik memikirkan entitas atau materi asli penciptaan dunia ini. Masalah-masalah tasawuf tertentu dalam Al-Quran memesonakan mereka.

Lambat laun soal-soal yang menyangkut ruh, jasad, hakikat, cinta, awal dan akhir, fana, gelap dan terang serta bahasan-bahasan lainnya berkembang di kalangan mereka. Sayangnya, masalah tanggungjawab, komitmen terhadap masyarakat, umat, keadilan, persamaan, kepernimpinan, dan sebagainya, telah terlupakan. Rezim itu telah mulai mencipta jalur pikirnya sendiri dan menyajikannya Iewat teologi, rasionalisasi, filsafat serta ideologi, sehingga akar-akar Islam bisa diganti dan rezim itu akhirnya bisa mengukuhkan daya mampunya.

Dalam situasi semacam itu, perjuangan pikiran adalah wajib, khususnya, bagi orang seperti Ja’far Shadiq as, yang tidak punya jalan untuk berjuang secara fisiko Ja’far Shadiq pernah berkata, “Andaikan aku punya tujuh serdanu benman, aku akan berontak.”

Begitu pula, suasana lain terjadi di masa Husein. Enampuluh tahun setelah hijrah, belum tampak gejala filsafat Barat. Ilmu-ilmu pengubah relitas dan kebenaran Islam belum dikenal kaum muslimin. Islam masih punya akar-akar aslinya, kenangan-kenangannya dan sebagian orang masih dapat mengenang dengan tepat apa yang terjadi di zaman Nabi.

Mu’awiyah ingin agar Husein duduk di Masjid Damaskus mengajar teologi, menerangkan ayat-ayat Al-Quran, budaya Islami tauhid, tarikh atau sunnah Nabi atau apa pun yang diinginkan Mu’awiyah. Ia bahkan mau menyediakan dana untuknya, asal Husein tidak aktif dalam politik. Namun Husein tahu tahu bahwa nilai setiap aksi dalam masyarakat terletak pada sejauh mana ia melukai musuh! Apa yang harus ia lakukan? Ia harus berontak. Revolusi fisik? Revolusi fisik butuh kekuatan, sedang Husein tidak memilikinya.

Baru-baru ini telah terbit sebuah buku yang demikian populer―dan begitu banyak diserang. Isinya menunjukkan kelayakan buku itu. Aku tahu tatkala mempelajarinya bahwa ia merupakan satu- satunya buku di antara sekian buku tulisan cendekiawan kita, yang ditulis berdasarkan studi penulisnya sendiri. Semua dokumen dikumpulkan dari kedua pandangan, baik pro maupun kontra, disajikan, dianalisis, dijelaskan dan dikritik. Penulisnya, dengan begitu berani, tidak menolak atau menyetujuinya. Dengan kata lain, ia melakukan studi yang ekstensif dengan segudang referensi untuk sebuah riset ilmiah agar bisa memaklumkan satu teori ilmiah baru. Inilah nilai buku ini dan kupuji penulisnya meski secara pribadi aku tidak mengenalnya.

Kuhormati dia sebagai ilmuwan yang telah melakukan riset yang serius, menerangkan dan menganalisis, sebagai pemikir yang memaklumkan teori baru: Husein meninggalkan Madinah untuk mengambil alih kekuatan politik dan militer dari pemerintah dan rezim penguasa demi hancurnya rezim penindas guna memperoleh hak-haknya sendiri dan hak-hak rakyat.”

Aku tidak setuju dengan teori ini, walaupun ia kelihatannya ideal. Sayangnya, teori ini tidak sesuai dengan realitas sebebamya yang terjadi. Penolak teori ini berkata: “Husein bukan seorang politisi yang bertujuan memberontak penguasa.”

Heran! Lantas untuk apa Nabi dan Ali bereperang? Untuk apa Husein berperang? Bukankah itu masalah politik? Bukankah terbukti bahwa si jahat menguasai rakyat? Oleh karena itu, harus ada yang bertanggung jawab memusnahkan penindasan dan, lewat pemilihan kekuasaan, memulihkan hak-haknya dan hak rakyat. Bukan saja hak pemimpin untuk berbuat seperti ini, tetapi adalah juga kewajibannya.

Oleh sebab itu, Husein tentu harus bangkit, secara militer atau politik, melawan pemerintah penjarah, sekaligus menghancurkan jahiliah kuat itu, mengatur dengan kekuatan revolusioner mereka, menegakkan kebenaran dan menjaga kepemimpinan tetap di tangannya. login kukatakan bahwa revolusi militer atau politik ini adalah misi Husein, tapi ia sebenarnya tidak memilikinya kekuatan militer apapun.

Mereka yang percaya bahwa Husein memberontak secara politik dan militer, berdalih bahwa Kufah merupakan pusat pendukung dan pelindung Husein, keluarganya, keluarga Nabi dan Ali. Benar, Iran di belakang Kufah, orang Iran mendukung Ali serta keluarganya, mereka malah percaya bahwa Kufah, semuanya, adalah milik Husein dan orang-orang Kufah beriman serta setia kepada utusan Husein, Muslim bin Aqil.

Kurasa, andai Kufah sekuat itu, jika Husein bisa sampai di sana, ia tentu bisa menjelmakannya menjadi fondasi Islami yang kuat, bahkan bisa mengalahkan Damaskus dan mendirikan pemerintahan Islami yang bebas di bawah kepemimpinannya. Bagaimanapun, aku yakin bahwa gerakan Husein bukanlah gerakan politik-militer.

Baiklah kutambahkan―bukan lantaran alasan bahwa seperti kata beberapa orang, adalah najis bagi seorang Husein untuk berpolitik. Bukan. Yang dilakukan Husein adalah kewajibannya sebagai seorang Imam. Apa yang kukatakan ialah bahwa ia tidak mempunyai kemungkinan untuk melakukan gerakan politik semacam itu. Anda barangkali mendebat: bagaimana seandainya Husein sampai di Kufah, Anda sendiri mengakui bahwa Kufah mempunyai kemungkinan menaklukkan Damaskus dan menyerahkan kepemimpinan pemerintah kepada Husein? Kenapa Anda mengatakan bahwa pemberontakan Husein bukan sebuah revolusi politik-militer melawan rezim Umayyah? Demi jelasnya masalah ini, kita harus melihat awal dan bentuk gerakan Husein dari Madinah.

Husein bertolak dari Madinah menuju Makkah. Di Madinah, ia diundang orang-orang Kufah. Mereka berkata “Kami beriman kepada tuan. Kami harap tuan mau menerima kepemimpinan. Kami membutuhkan kepemimpinan tuan. Kami akan memberi tuan kekuasaan. Kami akan bahu membahu bersama tuan melawan perampokan dan penindasan. Kami akan membela tuan. Lepaskanlah kami dari pemerintahan pengisap.”
Di Madinah, Husein memaklumkan: “Mengikuti sunnah kakek dan ayahku, akan kutinggalkan Madinah untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.” Lantas ditempuhnya jarak 600 km, dan tibalah ia di Makkah bersama keluarganya.

Di Makkah, ia memaklumkan jemaah haji, “Aku akan menuju kematian.” Seseorang yang merencanakan pemberontakan secara politik tidak akan berkata demikian, tetapi, “Saya akan berperang. Saya akan menaklukkan. Saya akan menghancurkan musuh.”

Namun, kepada orang banyak, Husein berucap, “Mati, bagi anak Adam, seindah kalung yang melingkari leher gadis nan rupawan. Mati adalah hiasan insan.” Maka Husein pun meninggalkan Makkah menuju kematian.

Mungkinkah seorang politisi, yang tinggal di pusat kekuasaan Bani Umayyah dalam menjawab undangan dari sebuah kota terpencil yang telah memberontak pemerintah pusat, mendatangi mereka guna menerima kepemimpinan revolsioner serahan mereka lantas memaklumkan, “Saya datang,” membawa istri, anak, keluarga dan kemenakannya, baik pria ataupun wanita, dengan karavan terbuka―tanpa sembunyi-sembunyi―bergerak dari satu kota dudukan musuh ke kota dudukan musuh lainnya yang membantu pemerintah pusat? Ia mengarungi jarak enamratus kilometer untuk ini, dan tibalah di Makkah. Di sana, semua kekuasaan Damaskus, semua kekuatan, front dan nasionalis Islami terkumpul. Di sini ia maklumkan lagi niatnya untuk pergi ke Kufah. Ia ambil jalur belahan barat jazirah Arab, lalu menembus seluruh diameter timur-barat dan tibalah ia di dekat Kufah, pusat pemberontakan dan revolusi. Jelas, pemerintah pusat akan melarang gerakan semacam ini.

Apabila seorang politisi yang terkenal atau politisi oposan biasa hendak bergabung dengan revolusioner yang ada di mancanegara yang beraksi melawan rezimnya, maka ia akan menunggu hingga kondisinya jelas dan jalan seperti apa yang hendak ditempuhnya agar selamat sampai tujuan.

Tentu pula, ia tidak boleh mengumumkannya. Ia harus merahasiakan undangan, maksud dan perjalanannya, agar orang lain tidak tahu. Jika ia memaklumkan kepada pemerintah, “Saya revolusioner penentang rezim. Saya tidak sudi membaiat rezim. Saya akan ke mancanegara guna bergabung dengan kelompok revolusioner di sana demi melawan rezim kini. Para revolusioner itu telah memintaku untuk menjadi pemimpinnya. Karena inilah, akan kutinggalkan negeri ini. Berilah aku paspor!”, tentu, mereka takkan memberinya paspor, malah ia akan ditangkap dan dihancurkan. Tetapi, apa yang dilakukan Husein?

Dengan resmi, jelas, tegas dan lain dari yang lain, ia maklumkan kepada pemerintah, kekuatan penguasa, gubernur, militer, dan masyarakat banyak, “Aku tidak berbaiat. Akan kutinggalkan Makkah. Aku akan hijrah ke Kufah. Aku akan hijrah menuju kematian. Aku mulai bergerak.”

Andai orang mendadak sadar bahwa Husein telah meninggalkan kota, andai Husein diam-diam telah meninggalkan kota, jika ia, dengan rahasia berhijrah dan melalui bantuan suku-suku, sampai di Kufah seperti hijrahnya Nabi dan Makkah ke Madinah, akan tahulah pemerintah pusat, akhirnya, bahwa Husein telah berada di Kufah di tengah-tengah para revolusioner.

Namun, bentuk gerakannya, geraknya dengan kafilahnya, menunjukkan bahwa Husein bergerak untuk maksud lain. Maksudnya bukan lari dan bukan pula mengasingkan diri. Ia bukan sedang menyerah dan bukan pula sedang menyisihkan politik dan pemberontakan politis demi urusan pikiran, ilmu, teologi dan moral, bukan pula demi revolusi militer. Lantas apa?

Umat Islam waktu itu telah sampai di titik lumpuh pemikiran. Diri telah terjual pada penguasa. Iman telah ditinggalkan. Kebajikan telah terasing. Kaum muda putus asa dan menggadai diri. Pionir- pionir penting Islam telah syahid, dibungkam dan ada pula yang dipaksa menjual diri. Inilah zaman yang hampa suara umat. Pena telah dipatahkan. Lidah telah dipotong. Mulut telah disumbat. Semua pilar kebenaran telah dirubuhkan dan menimpa para pengikut iman.

Husein melihat semua ini. Sebagai seorang Imam yang bertanggungjawab, andaikata ia berdiam diri, maka Islam akan menjelma menjadi agama penguasa. Islam akan menjelma menjadi kekuatan militer-ekonomi semata. Islam akan menjelma menjadi rezim dan kekuatan lain. Bila kekuatannya sirna, bila tentara dan pemerintahnya hancur, tiadalah akan tersisa. Tinggallah ia menjadi kenangan dalam sejarah―tinggallah ia menjadi peristiwa masa lalu dan tamat.

Karena inilah, Husein berdiri di antara dua ketidakmampuan. Ia tidak bisa berdiam diri. Tidak pula bisa ia melawan. Segala pikiran dan nurani insan, segala bawaan risalah Muhammad, segala yang Islami yang beliau bawa dan kembangkan melalui jihad, usaha dan perjuangan keras sedang dimusnahkan. Semua patuh kepada penguasa. Mereka sedang terpedaya. Husein tidak bisa berdiam diri. Ia wajib memerangi penindasan.

Di lain pihak, ia tidak dapat berperang karena tidak mempunyai lasykar. Ia terkurung rezim penindas yang berkuasa. Ia tidak mampu menjerit, menyerah ataupun menyerang. Ia berdiri dengan tangan kosong, sementara beban berat tanggungjawab ini berada di pundaknya. Ia tidak menerima apa-apa dari kekuatan dan hasil perjuangan kakeknya, Nabi, ayahnya, Ali, dan kakaknya, Hasan, selain kemuliaan, kesengsaraan dan tanggungjawab yang begitu berat.

Ia sendirian, tak bersenjata. Di depannya berdiri satu empirium terganas dunia yang tertutup kabut kesalehan, kesucian dan tauhid pembius dari kekuatan penguasa itu. Ia sendirian. Ia bertanggung jawab pada jalur pikir ini. Di jalur pikir ini, si sendirian wajib jua menentang kekuatan penentu nasib, sebab tanggungjawab terbit dari kesadaran dan iman, bukan dari kekuatan maupun kemungkinan. Siapakah yang lebih sadar, bertanggungjawab dari Husein as?

Apa tanggung jawabnya? Ia bertanggung jawab memerangi pemusnah kebenaran, perusak hak-hak insan, pembinasa segala nilai, pelenyap segala memori, perusak pesan revolusi, dan melinclungi kultur dan iman tercinta insan. Sebab musnahnya semua itu merupakan tujuan musuh terkeji umat. Mereka ingin lagi mencipta kematian misterius, pembuangan, diskriminasi, penimbunan harta, penjualan nilai-nilai insani, iman, kemuliaan, pembodohan, rasisme, aristokrasi baru, jahiliah dan kesyirikan baru.

Tanggung jawab bertahan, berjuang dan memerangi semua perusak pikiran, serangan terhadap rakyat dan jihad yang dilancarkan terhadap konservatisme baru serta mengawal Revolusi Ilahiyah nan agung terletak di bahu seorang lelaki. Sendirian. Tiada lagi yang tinggal di barisan kebenaran, keadilan, kesadaran, umat dan Allah, selain Husein. Semua front telah lepas. Kebanyakan pembelanya telah dibunuh. Sisanya ada yang lari dan mengasingkan diri. Tinggallah ia sendiri, bertangan kosong, terkepung musuh.

Ia tidak bisa berdiam diri maupun menjerit. Ia tidak dapat berdiam diri, lantaran seluruh tanggung jawab ini sedang menanti aksi Ielaki yang sendirian ini. Ia tidak mampu menjerit, lantaran tenggorokannya telah tersumbat. Jeritannya takkan menjangkau kebisuan. Jeritannya takkan menjamah ancaman ketidakacuhan jahiliah. Jeritannya tak bisa mempengaruhi kegaduhan, kepalsuan dan perang ganas kekhalifahan yang berkeclok jihad, kejayaan, kentungan, slogan, haji, Al-Quran dan Islam. Sementara itu, dansa, musik dan seni baru; kekuasaan dan kebebasan keji digemborkan dengan nama kekhalifahan.

Ia mesti bertempur, namun tiada daya dimilikinya. Ia harus maju, namun tiada tentara membantunya. Tanggungjawab ini menyelimuti kesadarannya. Inilah tugas seorang Husein. Husein yang sendirian, tanpa senjata dan bantuan.

Apa yang harus ia lakukan? “Menjadi Husein” menyerunya untuk bertempur, tapi ia tak punya senjata untuk itu. Di sisi lain, ia tetap wajib bertempur. Semua pendukng kebijakan dan agama, semua penasihat sunnah dan hukum umum, penyeru kebajikan dan logika, semua serempak berkata, “Tidak.” Namun Husein berucap, “Ya.”

Ia tinggalkan Madinah untuk maksud ini. Ia datang ke Makkah guna memaklumkan jawabannya yang unik kepada semua muslim penuai haji di sana. Ia tinggalkan Makkah guna menjawab soal, “Bagaimana?” Soal yang ada di moment penting sejarah, kala nasib umat dan Islam sedang bernbah dan sedang ditentukan. Kala itu, segalanya telah runtuh. Semua cendekiawan, orang yang sadar dan para pengiman kebenaran, keadilan, kemerdekaan Islami dan revolusi, semua yang dapat melihat, merasa, memahami dan demikian menderita serta merasa bertanggung jawab, yang begitu mendambakan revolusi, lantas bertanya, “Apa yang harus dilakukan?”

Setiap orang punya jawabannya.

Si Fatalis akan berkata, “Tidak ada. Apa pun telah terjadi, akan terus terjadi selaras dengan kebijakan ilahiah. Allah menghendakinya begini. Anda harus puas dengan pemberian-Nya dan mensyukurinya, sebab Anda haram menentukan nasib Anda semaunya.”

Katanya, memang benar ada penindasan, kejahatan, penyerobotan hak, klaim jihad, zakat, Sunnah Nabi, kemenangan Islam, penyulapan puri-api dan rumah berhala menjadi masjid demi syiarnya Al-Quran agar jumlah kaum muslimin bertambah. Semua ini palsu dan menipu.

Tapi apa yang bisa dilakukan? Daun takkan luruh dari pohon tanpa kehendak Allah. Beginilah kebijakan-Nya. Orang haram memprotes, mengeritik, bahkan bertanya. Tiap orang diatur oleh nasibnya. Segala yang terjadi, baik atau buruk, selaras dengan nasib abadi yang termaktub dalam Al-Quran. Andai Ali kalah dan sendirian, andai Mu’awiyah menang dan berkuasa, semua ini sesuai dengan kehenclak Allah. Al-Quran berkata: “Allah mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.” “Allah menurunkan siapa yang dikehendaki- Nya.” “Allah memberi kuasa siapa yang dikehendaki-Nya.” Lantas mau apa kita? Kita hanya mesti bersabar dan patuh. Kalau tidak mau puas dan pasrah, apa yang bisa kita lakukan, sedang kita terikat rantai nasib dan takdir? Tidak sesuatu pun.

Kita lihat, dengan filsafat semacam itu, masalah daya-mampu, ketakmampuan atau jihad, bahkan tak berarti. Mereka lepaskan setiap rasa tanggung jawab lantaran tiada pilihan yang tepat.

Si pemimpin agama menyahut, “Apa yang mesti kami lakukan? Terhadap siapa? Melawan siapa? Allah meminta agar semua orang berharap dan mencari selamat dan surga. Bagaimana kami dapat mengutuk seseorang, seraya berkata bahwa ia akan masuk neraka, lantas memeranginya? Ini seolah-olah aksi ateis, lantaran bangkit sebelurn kiamat dan mengutuk sebelum hari pengadilan.

Apa yang akan terjadi andaikata si terkutuk, si jahat Mu’awiyah diampuni oleh Allah di hari pengadilan? Jangan ampuni dia, jangan hukum dia, sehingga kelak kalau Allah membahagiakan dia, apa jawabmu? Apa tugasmu? Apa yang bisa dilakukan? Pada siapa kamu mengadu? Siapa yang mesti menjawab? Siapa yang mesti bertindak? Tidak ada. Kita lihat saja apa yang dilakukan Allah.”

Para pemimpin agama itu juga bersikeras, di lain pihak, bahwa Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah dan Yazid adalah sahabat-sahabat Nabi. Semuanya mujahid. Mereka bertindak seirama dengan kesimpulan penafsiran dan ijtihad agamawi masing-masing. Si suci dan si najis, penindas dan tertindas, kawan dan musuh, semuanya sama. Si ahli tidak usah menimbang pandangan umum. Si awam tidak usah mencampuri ahli agama dan teolog. Allah adalah Hakim terakhir. Allah Maha Pengasih. Anda dan aku tak usah bertanya mengapa.

Kelompok agamawi kaku, si fundamentalis, menjawab: Banyak jalan menuju Allah. Apakah jihad jawaban tunggal? Salat adalah tiang agama, sedang jihad adalah salah satu cabang pelecut amar ma’ruf nahi munkar. Apakah Anda sendiri pelaku dan pengikut semua formalitas, aturan, perintah, kewajiban, dan persyaratan yang berkait dengan salat sehari-hari? Ingatkah Anda akan semua aturan yang menyangkut was-was dalam salat, laksana tabel-tabel rumit logaritma? Tahukah Anda akan aturan mengenai yang suci dan yang najis? Aturan penting dan wajib dalam salat?

Sudahkah Anda, yang memikirkan orang dan berniat menunjukinya, memperbaiki diri? Sudahkah Anda tidak berbuat salah?―tidak egois, tidak punya keinginan apapun? Suci, murni tanpa nodal Apakah semua pikiran dan amal Anda, bahkan yang terkecil sekalipun, demi ridha Allah? Hanya demi Allah? Sudahkah Anda koreksi semua prinsip dan pelbagai cabang agama Anda? Sudahkah Anda suci dan saleh? Apakah kini Anda memandang diri Anda bersih dan baik, sehingga Anda kini mencoba memperbaiki umat ini?

Padahal surga berpintu delapan. Tidak perlu Anda masuk cuma lewat pintu jihad. Jihad hanyalah saah satu kunci pembuka pintu surga. Salat, bentuk lain ibadah, dan doa-doa merupakan kunci yang lebih aman, dan Anda bisa menggunakannya tanpa risiko!

Banyak urusan gampang yang akan membawa Anda ke arah yang serupa, seperti memberi makan si fakir, mengurus keluarga miskin, mengunjungi tempat-tempat suci, salat, bernazar, membantu tetangga, berkomat-kamit, meratap dan bertawassul. Anda akan meraih sasaran sebagaimana dicapai mereka yang berjihad. Kenapa Anda bersusah-payah memilih aksi jihad yang jauh lebih sulit?

Tersebut dalam beberapa kitab doa bahwa dengan cuma membaca beberapa doa yang termaktub dalam kitab itu, orang lebih berpahala ketimbang tujuh puluh syuhada di Perang Badar! Nah, jelas bukan apa yang harus dilakuan?”

Kelompok lainnya percaya bahwa keterlibatan pribadi suci atau ulama dalam urusan politik merupakan penyimpangan dari agama sejati. Itu berarti menjual agama kepada si materialis, itu berarti memburu duniawi. Keduanya tidak bisa saling berkait.

Bukankah Nabi bersabda, tatkala kembali dari perang suci, “Kini kita kembali dari jihad asghar dan menuju jihad akbar” Mereka bertanya: apa jihad akbar itu. Beliau menjawab, “Jihad melawan nafsu jasmani!” Oleh sebab itu, jihad asghar harus dikesampingkan demi jihad akbar. Nafsu jasmani harus dihadapi, bukan musuh lahiriah.

Para sahabat, para pribadi terkemuka, para teolog dan cendekiawan aganla, yang bergelantungan pada rezim, berkata, “Tipe berpikir Ali tidak praktis, terlalu banyak mengandung kekerasan dan kaku. Realitas harus dipertimbangkan. Harus realis, jangan idealis. Dulu Ali berkuasa, tetapi ia masih memperbaiki sepatunya sendiri. Ia bekerja laksana pekerja biasa. Kini orang menilai dengan apa yang dilihatnya. Memang benar, sejak Persia dan Romawi dikalahkan, kaum muslimin telah menyaksikan kemegahan istana-istana raksasa nan fantastis dan keagungan dari raja-raja Persia dan kaisar-kaisar Romawi. Tidak, cara hidup ini tidak bisa diterima! Itu tidak baik bagi reputasi dan prestise Pemerintah Islami.

Di lain pihak, bisakah pemerintah Ali disikapi dengan baik oleh masyarakat aristokratis Persia dan Romawi? Kala Ali diangkat menjadi Khalifah, ia ubah semua skala gaji, ia buat semua orang sama. Ia gaji Usman bin Hanif, seorang politisi kawakan, sahabat dekat dan pejabat terkemuka dalam pemerintahan Ali hanya sebanyak 3 dirham seperti yang ia berikan kepada seorang budak!

Menurut ide ini, sistem ekonomi seperti ini sangat tidak praktis. Mereka berkata, “Kami pernah melihat dan kami masih ingat bahwa di Persia, yang kini diduduki orang-orang Arab dan menjadi bagian Imperium Islami yang diperintah Ali, tatkala orang-orang Khosr datang menyerang kaum muslimin―mengingat kondisi perang, ia harus menyisikan upacara-upacara sebanyak mungkin― a bawa tujuhribu wanita, budak, abdi dan musikus!”

Mereka berkata, “Kami tidak mau mendebat apakah ini benar atau tidak. Kami hanya mengatakan seandainya Ali gagal, maka kegagalan itu disebabkan jalur pikirnya yang tidak praktis. Ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan realitas sosial yang ada. Ia bukan seorang politisi! Ali bukan sosiolog! Ia menyerang semua orang. Ia terlalu keras. Ia tak pernah merendah diri di hadapan pribadi-pribadi terkemuka, kepala-kepala suku, penguasa, aristokrat atau keluarga-keluarga bangsawan.”

Mereka berkata, “Jangan Anda bandingkan Kekhalifahan dengan Imamah dan Kenabian! Jangan Anda bandingkan Mu’awiyah dan Yazid dengan Nabi dan Ali! Bandingkanlah mereka dengan para Kaisar dan Raja. Istana Damaskus yang Anda maklumkan sebagai Istana Hijau, tempat penanaman dana umum dan tempat hak-hak rakyat dihancurkan―adalah tempat Imperium Islam memerintah Persia, Romawi dan sebagainya, namun itu masih lebih sederhana ketimbang istana Dewan Romawi atau gubernur Suriah.”

Abu Dzar menyerang Mu’awiyah dengan kata-kata ini, “Kenapa Anda hanya memakan bagian tengah dari roti gandum putih saja? Kenapa Anda mengenakan pakaian yang berbeda siang dan malam?”

Para pengikut Ali percaya bahwa kita masih hidup di Madinah seperti di zaman Nabi dan bahwa orang-orang Romawi dan Persia yang telah bergabung dengan dunia Islam adalah Muhajirin dan Anshar.
Mereka berkata, “Harus kita pertimbangkan relativitas masalah- masalahnya. Ibadah dan absolutisme yang benar adalah ideal. Anda harus melihat realitas-realitasnya. Mustahil meyakinkan si muslim malang, terbelakang, penguasa bagian renting dunia yang punya dua imperium―Timur dan Barat―agar hidup seperti di zaman Nabi atau berperilaku seperti Ali. Standar hidup masyarakat sudah maju.

Tradisi, aturan, etiket masyarakat, sistem ekonomi dan aristokratis, laju pemikiran, ide, cita rasa, sastra, syair musik, dansa, hiburan, hubungan sosial, etika dan perlaku adab Romawi dan Persia, sistem kelas sosial dan rezim aristokatis, resmi dan klasikal, dan akhirnya, peradaban progresif Persia dan Romawi, tentu saja berpengaruh pada umat Islam yang sederhana ini. Harta, tahta, pangkat dan kemewahan yang tak terhingga, perolehan kemenangan- kemenangan kaum muslimin, membuat orang tumbuh subur. Karena inilah mereka tidak lagi menggubris nasihat Ali, tujuan dan jerih payahnya. Mayoritas rakyat sangat bahagia dengan situasi semacam itu. Mereka tidak lagi peka terhadapnya. Orang-orang ini kini berubah menjadi pelayan harta dan tahta. Sisanya, yang tidak patuh, dijatuhi hukuman mati!

Ingatkah Anda apa yang dialami Ali dan Fatimah di kotanya sendiri, Madinah, di kala berada di tangah kawan-kawan dan sahabat- sahabatnya sendiri, yang pernah berperang bersamanya?

Anda tahu bahwa Bani Umayyah belum ada, baik di Madinah ataupun di Saqifah. Mereka tidak menjadi bagian dari komite pemilihan (Syura). Ingatkah Anda pejabat-pejabat terkemuka Ali dan Hasan yang memiliki sejarah gemilangi? Dan, bagaimana mereka menjual diri kepada Mu’awiyah di puncak pertempuran? Bagaimana mereka bersenang-senang, memperlakukan agama, kehormatan masa lalu mereka dan semua tentara di bawah komando mereka, dengan Mu’awiyah?

Kaum Khawarij bukan dari Bani Umayyah dan tidak pula berhubungan dengan rezim Umayyah. Mereka justru menjadi musuh berdarah Bani Umayyah dan rezimnya. Mereka berasal dari massa rakyat, pedagang biasa dari dusun. Mereka malah menjadi simbol orang-orang saleh. Mereka adalah contoh-contoh terkemuka nan masyur dari para tipe agamawi yang kaku. Perhatikanlah bagaimana mereka, tanpa sadar, menjadi alat orang-orang Umayyah. Mereka, secara tidak langsung, dipacu dari Damaskus untuk menentang Ali. Dalam krisis pertempuran, mereka beradu mulut dengan Ali dan meninggalkannya. Maka, jadilah mereka pelayan-pelayan gratis musuh untuk mengalahkan Ali. Mereka adalah orang-orang baik, agamawi yang melemahkan Ali dengan fitnah, cacian, dengan pengucilan dan umpatan.

Orang-orang masyhur tapi kosong makna semacam ‘Amr bin Ash tidak bisa melukai reputasi spiritual dan agamawi Ali. Maka, mencobalah mereka menghancurkannya melalui pengucilan. Lewat pengalaman-pengalaman ini, barangkali terpikir bahwa jawaban terhadap “Apa yang mesti diperbuat?” adalah “Tidak ada.” Mu’awiyah sependapat dengan orang-orang seperti ini, bukan Ali. Di lain pihak, Mu’awiyyah, dengan menimbang semua kelemahan dan penyimpangannya, adalah seorang pemikir yang jauh lebih modern dan lebih memahami realitas ketimbang Ali. Ali berniat membuat umat saleh dan bersahaja, sesuatu yang mustahil untuk diraih. Sedangkan, rezim Muawiyah, meskipun menindas, korup dan diskriminatif, dengan cepat membangun kebesaran umat. Dengan semangat bebas, acuh tak acuh, ia jiplak begitu saja semua bentuk dan tipe peradaban Pesia dan Romawi. Selama duapuluh tahun masa kekuasaannya, setelah mereclakan kesulitan dan pertentangan internal serta pribadi-pribadi menonjol macam Abu Dzar, Ali, Hasan, Hujr, dan lain-lain, ia sulap ibu kota Islam menjadi sebuah kota modern, porgresif, ala Barat. Ia bentuk angkatan laut di Mediterania, ia duduki Siprus dan ia terus menyerang Imperium Romawi Timur.

Konstruksi arsitektural Istana Hijau Mu’awiyah bercorak Romawi dan dihiasi dengan gaya Sassan. Untuk menggantikan beberapa budak Arab Badui, ia bentuk satu orkestra yang penuh dengan musisi top Persia dan para penari Romawi. Ia jiplak tradisi dan adat istana-istana aktif para kaisar dan raja Persia. Busana, pangan, hiburan, dekorasi, musik, syair, sastra, pola hidup, rencana kota, istana-istana dan sistem-sistem sosial-politik mereka diubah dari gaya Arab menjadi gaya Romawi Modern, beradab dan revolusioner.
Lepas dari alasan-alasan kebenaran dan kepalsuan, penindasan dan keadilan, entah Ali atau Mu’awiyah yang benar, ditilik dari peradabannya yang memang maju, banyak yang telah dan terus akan dilakukan. Bagaimanapun, pembaruan konstruksi ibukota dan peralatan kehormatan, sikap hidup terhormat khalifah dan istana- istananya, mengharumkan Islam di mata orang asing, Kristen dan Majusi.

Di lain pihak, membandingkan rezim sebelumnya―masa pemerintahan Ali―dengan rezim Romawi dan Persia, mereka berkata harus diakui bahwa Kekhalifahan baru Bani Umayyah melayani rakyat dengan baik dan lebih bermanfaat bagi mereka. Mereka membuat rakyat berperilaku baik, segalanya lebih mulus dan bebas. Mereka mengharumkan, menguatkan, memegahkan, menguntungkan, memenangkan, memperluas dan membuat penting Islam. Banyak puri dan gereja yang diubah menjadi masjid. Banyak kota besar ataupun kecil di bumi kafir, kini menggemakan suara azan. Banyak harta benda mengalir ke perbendaharaan umum. Meski harta benda ini boleh jadi didapat secara tidak halal, namun digunakan di negeri- negeri Islam. Beberapa muslim memanfaatkan ini. Selanjutnya, kemenangan-kemengan ini menciptakan profesi-profesi dan pemasukan baru bagi kaum muda, jabatan bagi bangsawan dan pekerjaan bagi sebagian muslim.

Oleh sebab itu, menjawab “Apa yang mesti dilakukan?” mereka berkata, “Semua standar revolusioner idealistis Islam di zaman Nabi harus dipertimbangkan lagi. Zaman sudah berubah dan Islam kini tidak lagi berkisar antara Makkah – Madinah, tetapi terbentang dari Bizantium Romawi sampai Persia. Oleh sebab itu, keinginan idealistis Ali dan cara-caranya yang keras dan sulit, untuk menjangkau keadilan yang sempurna harus dikesampingkan.” Mereka lari ke Mu’awiyah.

Anda mesti melihat situasi yang ada dengan realistis. Anda mesti mengakui bahwa tahta, politik, intelegensi, harta dan kekuatan Umayyah adalah demi Islam dan tegaknya ritus-ritus Islami di dunia ini, perkembangan dan pertumbuhan Islam. Ia berjuang melawan agama-agama kafir, melejitkan reputasi Islam, memperkenalkan Al- Quran dan Nabi. Ia mencoba mempromosikan peradaban umat Islam, membangun kota-kota, menaikkan standar hidup, menyejahterakan rakyat, meraih harta dan membuat peradaban besar Timur dan Barat beradaptasi kepadanya.

Oleh sebab itu, menjawab ‘Apa yang mesti dilakukan?’ Kami berkata: bergabunglah Anda dengan rezim Umayyah seperti kami. Telah kami lihat bahwa campur tangan, pertempuran internal, perjuangan politis, debat pikir dan mental mengenai kebenaran, keadilan, Imamah, pemilihan, kebajikan, kesalehan, kemurnian, sunnah, inovasi, bid’ah, semuanya sia-sia, lagi pula hasilnya selalu mengecewakan.

Selanjutnya, janganlah berperang di front internal di kala kekhalifahan Umayyah tengah berperang suci melawan Persia dan Romawi dengan Kristen dan Majusi, musuh-musuh kafir dan eksternal. Ini akan memperlemah kekuatan Islam yang resmi. Ini akan menghambat gerak majunya.

Kita semua, dengan jiwa realistis, harus menghentikan perjuangan politis, berlepas-tangan, bertasawuf dan bersaleh diri dengan menerima realitas yang ada, dan mencoba membantu dan melayani rezim Umayyah demi Islam. Mengenai penyimpangan- penyimpangannya―kita harus mencoba mengoreksi dan memperbaikinya. Bagaimana Anda bisa andil? Ya, dengan bertaut pada sistem yang berkuasa.

Di lain pihak, kita bisa membantu si miskin, mengembalikan hak-hak si tertindas, berderma sosial, menolong orang fakir, beragama seraya menyiarkannya, mempromosikan ide, memperbarui masyarakat, melawan korupsi mendatang, bila kita menjadi bagian dari sistem yang berkuasa dan menduduki jabatan penting.
Di lain pihak, para cendekiawan dan penulis berkata: Enampuluh tahun sejak hijrah. Revolusi Ali telah kandas. Hasan, pemimpin terakhir penentang penindasan, konservatisme dan tradisi kuno yang bertentangan dengan umat dan Ilahi, terpaksa berdamai dengan Mu’awiyah, dan diracun olehnya. Oleh sebab itu, tiada yang bisa dilakukan. Percuma. Kita cuma harus mengurusi masalah agama, pengetahuan ilahiyah, fiqih, fiset, penemuan-penemuan dan observasi-observasi gnostik, dan melalui sarana-sarana ini, kita perkenalkan kepada orang pikiran, ide dan realitas Islami, dan kita temukan segi-segi spiritual dan rahasia-rahasia ilmiah Al-Quran.

Kita cuma harus belajar, menenggelamkan diri dalam pengetahuan dan kearifan ilahiyah, metafisis, filsafat, rahasia-rahasia Al-Quran, retorika, kefasihan makna, ekspresi, inovasi, bid’ah, pengumpulan Al-Quran, pembinaan, pengajaran, penulisan hadis, studi perilaku Nabi, perang suci, fiqih teologi, dan lain-lain. Kita harus membina, mempromosikan kultur Islami, mengabdi kepada Islam dan umat Islam dengan mental atau ilmu, dan tidak ada lagi!

Begitu hebat dan jelas bagi si cendekiawan, yakni, para pengikut Ali, bahkan keluarga Ali dan mereka yang dekat dengan Nabi dan Bani Hasyim, bahwa jawaban soal ‘Apa yang harus dilakukan?’ adalah ‘'Tidak ada!’. Lantaran hasil setiap aksi selalu kandas. Tiada yang bisa diperbuat. Ini adalah kisah Kabil dan Habil. Haram bertangan kosong menantang pedang. Meski anda tetap bertanggung jawab dan akan dihukum. Bukankah sudah dikatakan, jangan menghadapi maut dengan tangan sendiri? Jihad, di mana niat dan mati terpadu, jelas bunuh diri. Itu menguntungkan si kafir dan penindas. Percuma.

Mereka menyarankan agar ia berdiam diri sambil membina keagamaan orang, mengajar Al-Quran, mempromosikan fiqih dan mengulang-ulang Sunnah Nabi.

Maka, kita melihat bahwa semua kelas, termasuk yang berkuasa, agamawi, cendekiawan, mereka semua di masa ini, enampuluh tahun setelah hijrah―dalam menjawab tantangan masa itu, tanpa terkecuali ― berkata “Tidak!”

Hanya ada seorang lelaki―sendirian―yang berkata “Ya!” Apa “ya” itu? Ia adalah respon berlatar belakang ketidakmampuan penuh, kelemahan total di zaman kegelapan dan kebisuan melawan penindasan dan kezaliman. Seorang lelaki beriman dan sadar yang masih memiliki tanggungjawab untuk berjihad. Itulah komando Husein: ya! Bagi Husein kehidupan itu ada dalam perjuangan jihad dan peneguhan ide suci.
Maka, andai ia hidup, terus hidup, ia punya tanggung jawab bertempur demi sebuah ide. Insan hidup bertanggung jawab, bukan saja yang mampu. Siapa lagi waktu itu yang yang lebih hidup selain Husein? Siapa, dalam sejarah kita, yang lebih berhak hidup dan lebih patut hidup selain Husein?

Ruh manusia, yang sadar, beriman, dan hidup adalah pengemban tanggungjawab jihad manusia. Husein adalah contoh mulia dari insan seperti ini.

Mampu atau tidak, lemah atau kuat, sendiri atau bersama, hanyalah penentu bentuk misi dan sikap mendekati tanggung awab, bukan pendorongnya.

Husein kemudian wajib untuk bertempur. Ia sendirian. Ia tinggalkan rumahnya di Madinah. Ia pergi menuju Makkah di musim haji. Di samping Ka’bah, di kerumunan orang, ia berkata, ‘Ya’.

Lalu ia pun meninggalkan Makkah. Ia terburu-buru. Manasik haji belum sepenuhnya ia jalankan. Ia tunjukkan kepada kepada dunia bagaimana ia menjalankan kewajibannya.

Peristiwa ini terjadi enampuluh tahun sesudah hijrah, limapuluh tahun setelah wafat Nabi wafat. Semuanya tiada. Ali tiada. Hasan tiada. Abu Dzar tiada. Ammar tiada. Pada generasi keduanya, Hujr tiada dan para sahabatnya dibantai ramai-ramai.

Pikiran dan ide telah apatis, gelap, merosot, menyimpang, bisu, dan takut. Kegelapan telah menyebar ke mana-mana. Orang-orang semacam Abu Hurairah, Abu Musa, Shureih, Abu Darda dan kawan- kawan-mereka yang selama Revolusi Islami, di zaman keemasan itu, begitu terhormat-mencoreng aib dengan membaiat penindasan.

Sahabat prajurit dan muhajirin bergelantungan pada harta negara. Perut mereka kembung pangan. Mereka telah menyerahkan tangan dan senjata jihad kepada para algojo. Dengan bertopeng kehinaan, mereka mengerumuni Yazid. Bayang-bayang pedang merah pengamanan menyelimuti dari Khurasan sampai Damaskus. Pembantaian massal, kekalahan, pengkhianatan, persekongkolan, desersi dan kekecewaan telah menebarkan maut ke seantero kerajaan.

Sekali lagi, dari rumah kecil yang penuh duka milik Fatimah―rumah kecil yang lebih besar dari seluruh sejarah kemanusiaan―keluar seorang lelaki Lelaki dambaan segalanya. Lelaki jelmaan segala nilai yang sedang dihancurkan. Lelaki manifestasi simbol-simbol segala idealisme, yang tiada kawan dan tercampakkan. Zaman sedang menanti aksi seorang lelaki. Begitulah kadangkala dalam sejarah. Enampuluh tahun sesudah hijrah, limapuluh tahun setelah wafat Nabi, keadilan dan kemanusiaan telah ditinggalkan. Tibalah zaman di mana segalanya luluh satu demi satu. Segala tujuan revolusi hancur.

Ya. Di masa-masa hitam ini bangkit aristokrat nan sombong. Tahta berselimut kesalehan dan kesucian. Jahiliah sukuisme telah menggantikan revolusi insani. Kitab sejati telah tertancap di ujung- ujung tombak tipu-daya. Dari menara-menara masjid terdengar suara seruan kekafiran. Namrud telah menggantikan Ibrahim. Kaisar memakai surban Nabi Allah. Algojo menggenggam pedang jihad. Keimanan menjelma menjadi obat penenang. Perjuangan melawan kekafiran hilang bersama angin lalu. Harta dikumpulkan untuk kemunafikan. Jihad telah menjadi sarana pembantaian. “Pajak” agama telah menjadi sarana penjarahan umum. Doa menjadi alat pengelabu umat. Tauhid telah tertutup topeng kekafiran. Islam telah menjadi serangkaian penaklukan. Sunnah Nabi telah menjadi pilar-pilar penguasa. Al-Quran dijadikan media pembodohan. Sabda Nabi banyak dipalsukan. Kilatan pedang lagi-lagi menimpa pundak. Bangsa-bangsa sedang diseret kembali ke dalam perbudakan. Kemerdekaan dirantai. Pikiran dikerangkeng. Rakyat telah menyerah. Yang bebas telah ditangkap. Rubah dielu-elukan. Srigala dimanja. Lisan dijual demi emas, dibungkam dengan paksa atau berakhir di ujung sebilah pedang.

Kehormatan dan kemuliaan yang dicapai para sahabat di zaman iman dan jihad, selama Revolusi, dengan harga mahal, telah dijual dengan harga murah dan ditukar dengan kursi gubernur. Mereka menghindar dari risiko pemberontakan dengan mencampakkan tanggung jawab dan kabur ke sudut-sudut aman dan berkhusuk sepi. Maka, terhormatlah mereka, bungkamlah mereka di depan penindasan dan sujudlah mereka di kaki kekafiran. Jika tidak, mereka akan berakhir di gurun Rabadzah atau dibunuh di padang gembala Azra.

Kini, agama dan dunia berpihak pada kekafiran dan penindasan. Pedang-pedang telah patah. Leher ditebas. Mengalirlah darah dengan deras. Semua gelombang revolusi, jeritan prates dan kobaran pemberontakan telah reda. Kegembiraan dan gairah telah sirna. Bayang-bayang takut dan pencekikan telah menyelimuti pekuburan- pekuburan para syuhada.

Jahiliah baru mengundang kegelapan di langit, lebih ganas dari zaman jahiliah sebelumnya. Musuh kini lebih pintar dan lebih sadar. Para intelek telah mengecap pengalaman pahit pemberontakan yang kalah dan penuh syahadah.

Tetapi mendadak, dalam kegelapan ini, muncul bunga api yang menembus kebisuan. Itulah wajah berseri ruang syahid yang berjalan hidup di muka bumi! Dari lubuk kegelapan, tampaklah kebejatan dahsyat dan malam-malam gelap keputusasaan serta sorot sinar terang ‘sebuah harapan’.

Sekali lagi, dari rumah bisu nan duka Fatimah, rumah kecil yang lebih besar dari seluruh sejarah, muncul seorang lelaki―penuh kepastian dan amarah, memberontak semua istana kekejaman dan front kekuatan. Ia laksana gunung berapi atau taufan badai yang ditimpakan Allah atas kaum ‘Ad.

Seorang lelaki muncul dari rumah Fatimah. Ia melihat Madinah dan Masjid Nabi, Makkah dan Ibrahim, Ka’bah yang dirantai oleh Namrud. Islam dan risalah Muhammad, Istana Hijau Damaskus, orang-orang yang kelaparan, para budak dan . . . .

Seorang lelaki muncul dari rumah Fatimah. Beban semua tanggungjawab ini ada di bahunya. Dialah pewaris seorang insan agung yang menderita. Dialah pengganti tunggal Adam, Ibrahim, Muhammad . . . seorang lelaki, sendirian.

Tetapi lihat! Seorang wanita telah keluar dari rumah Fatimah bersamanya, berjalan berdampingan. Ia memikul separuh mandat berat kakaknya di bahunya.

Seorang lelaki muncul dari rumah Fatimah. Sendiri, tanpa teman. Dengan tangan kosong dilawannya teror, kegelapan dan pedang. Ia cuma punya satu senjata―mati. Dialah putra keluarga yang telah mengetahui seni kematian mulia di jalur hidup ini. Tidak satu pun orang, di dunia ini, tahu persis ‘bagimana cara mati mulia’ selain dia. Musuh kuatnya, yang sedang memerintah dunia, hampa pengetahuan ini. Karena inilah, pahlawan sendirian ini begitu yakin akan kemenangannya atas sejumlah besar tentara musuhnya dan ia begitu pasti. Dihadapinya itu semua tanpa ragu.

Guru agung syahadah kini telah datang guna mengajarkan mereka yang menganggap bahwa jihad hanya untuk yang mampu dan kemenangan adalah menaklukkan. Syahadah bukanlah kerugian. Syahadah adalah sebuah pilihan, pilihan di mana prajurit berkorban di ambang pintu kemerekaan dan altar cinta dan kejayaan.
Husein, pewaris Adam, pemberi kehidupan anak manusia, pengganti nabi-nabi nan agung, pengajar manusia ‘bagimana cara hidup’, kini telah datang untuk mengajar manusia ‘bagaimana cara mati’.

Husein mengajarkan bahwa ‘kematian hitam’ adalah kehidupan dalam hinaan. Karena maut menghantui orang yang takut untuk memilih syahadah. Kematian telah memilih mereka!

Kata syahid, martir, adalah bentuk tertinggi dari apa yang sedang kukatakan. Ia bermakna, hadir, bersaksi, pernyataan. Ia berarti pula yang dapat dicerna, yang menjadi arah. Ia adalah sebuah makna, model, contoh dan panutan.

Syahadah: bangkit bersaksi, dalam kultur kita dan agama kita, bukankah kejadian berdarah yang tak dinyana. Di berbagai agama dan sejarah bangsa lain, syahadah ialah gugurnya seorang pahlawan yang terbunuh ketika melawan musuh. Ia dianggap kejadian sedih penuh duka. Orang yang terbunuh seperti ini digelari syahid dan kematiannya disebut syahadah.

Namun, dalam tradisi kita, syahadah bukanlah kematian yang memaksa seorang prajurit karena tekanan dari musuh. Syahadah adalah kematian yang diharapkan, yang didambakan setiap prajurit kita, dipilih dengan penuh kesadaran, pikiran, alasan, kecerdasan, pengertian dan kewaspadaan yang dimilikinya.

Lihatlah Husein. Ia relakan hidupnya. Ia tinggalkan kotanya dan bangkit demi sebuah kematian. Tiada sarana lain baginya untuk berjuang selain dengan syahadah. Ia pilih syahadah dengan penuh kesadaran demi menyibakkan tabir-tabir penipu yang menutupi wajah-wajah buruk penguasa. Andai ia tidak bisa mengalahkan musuh dengan cara seperti ini, ia telah menampakkan aib musuhnya dalam lembaran sejarah. Jika ia gagal menaklukkan penguasa, setidak-tidaknya ia bisa mengutuknya dengan menyuntikkan darah baru serta keimanan berjihad ke dalam jasad-jasad kaku generasi kedua Revolusi Nabi.

Ia tak bersenjata, lemah dan sendirian. Namun ia tetap mempertanggungjawabkan jihad. Ia tak punya pilihan lain kecuali mati, memilih ‘kematian merah’. Menjadi Husein membuatnya bertanggungjawab untuk berjihad melawan segala kebejatan dan kekejaman. Ia tak punya sarana untuk jihadnya selain kematiannya sendiri. Ia ambil kematian. Ia tinggalkan rumahnya untuk sebuah eksekusi.

Kita melihat betapa indahnya ia melakukan itu dengan keberangkatan, gerakan dan hijrahnya yang begitu terencana dengan baik, logis, megah, agung dan cermat. Tahap demi tahap, ia maju, sambil menerangkan sasaran yang sedang ditujunya, bersama sahabat- sahabat pilihan―mereka yang datang untuk mati bersamanya-dan semua anggota keluarganya. Semua inilah miliknya di dunia dan ia membawa mereka untuk dikorbankan di altar syahadah.

Nasib iman yang sedang dihancurkan, nasib penanti keadilan dan kemerdekaan Islami yang telah dikerangkeng oleh penindasan dan tekanan lebih buruk daripada zaman jahiliah, kini sedang menunggu aksinya.

Ia telah datang dengan segenap eksistensinya, keluarganya, sahabat setianya tanpa senjata dan sarana, sehingga syahadah dirinya dan segenap keluarganya akan bersaksi membuktikan bahwa ia telah menunaikan tanggungjawabnya, ketika kebenaran tak berdaya. Ia telah bersaksi bahwa hanya inilah yang bisa dilakukan.
Telah Anda dengar bahwa di perang Asyura, di hari kesepuluh bulan Muharram, Imam Husein menadahi, dengan kedua tangannya, aliran darah dari tenggorokan anaknya, Ali Asghar, dan melemparkannya ke arah langit sambil berucap, “Lihatlah! Terimalah pengorban kami ini. Saksikanlah, wahai Tuhan kami!”

Di masa inilah, “kematian” seorang insan menjamin kelangsungan hidup sebuah bangsa. Syahadahnya merupakan sarana pelestari iman. Ia bersaksi bahwa si jahat besar, penipu, penindas dan si zalim berkuasa. Ia membuktikan bahwa kebenaran sedang dipungkiri. Ia menguraikan eksistensi nilai-nilai yang sedang dihancurkan. Ia adalah prates merah terhadap kedaulatan hitam. Ia adalah pekik geram di tengah kebisuan para pemotong lidah.

Syahadah bersaksi terhadap apa yang diinginkan tersembunyi dalam sejarah. Ia adalah simbol dari apa yang harus ada. Ia bersaksi terhadap apa yang sedang terjadi di masa kebisuan dan penyembunyian ini, dan akhirnya, syahadah adalah alasan tunggal untuk tetap wujud. Sarana tunggal untuk hadir, untuk menyerang dan membela, dan satu-satunya cara untuk bertahan agar kebenaran dan keadilan tetap hidup di masa dan di bawah rezim di mana kemubaziran, kepalsuan dan penindasan sedang merajalela.

Telah ia kalahkan semua basis. ‘Menjadi manusia’ ialah berdiri di ambang pintu kemunduran dan bahaya mati selama-lamanya. Semua ketakjuban ini disajikan syahadah: bangkit bersaksi.

Enampuluh tahun sesudah hijrah, seorang jum selamat harus tampil di pekuburan hitam nan bisu ini. Dan Husein, sadar akan mandat sejarah, meninggalkan Makkah tanpa ragu dan bergerak maju ke tempat syahadahnya. Ia tahu bahwa sejarah sedang menantinya. Zaman, yang berada di tangan reaksioner dan kafir, mendorongnya melangkah maju.

Orang-orang yang ditangkap, tak berdaya, bungkam dan diperbudak, sangat memerlukan gerak dan pekik-pekiknya. Akhirnya, misi yang kini ada di tangan si iblis, menerpakan kematiannya dan dengan inilah ia bisa bersaksi terhadap bencana itu. Rasulullah Saw pernah berkata kepadanya, “Allah ingin melihat engkau terbunuh.”

Dalam filsafat kemanusiaan kita, syahadah punya makna khusus. Penciptaan manusia sebagai paduan ruh Ilahiyah dan hewani, campuran jiwa dan lempung, dan kombinasi ujung-ujung terendah dan tertinggi, dalam komposisi agama, riwayat-riwayatnya, kepatuhannya, doa-doanya, hukum-hukumnya, amal-amal salehnya, layanan-layanannya, ilmunya, semua ini hanyalah perjuangan dan latihan bagi manusia untuk melemahkan wujud hinanya demi wujud mulianya dan menaklukkan bagian lempung hewaninya demi bagian spiritual ilahiyahnya. Namun, syahadah adalah aksi revolusioner yang dengan cepat melemparkan wujud hina manusia ke dalam api cinta dan iman dan mengubahnya menjadi cahaya dan wujud suci.

Karena inilah, seorang yang syahid tak butuh pensucian. Ia tidak harus dikuburkan dengan kain kafan. Ia dibebaskan dari kesaksian di Hari Pengadilan. Syahid sudah mengorbankan wujud salah dan dosanya sebelum mati dan kini sudah bangkit bersaksi.

Inilah sebabnya, di malam Asyura, Imam Husein menyuci dirinya dengan hati-hati, bercukur rapi, mengenakan bus ana dan wewangian terbaik. Di tengah-tengah mengalirnya darah kematian, ia hancurkan miliknya dan di ambang pintu keberangkatannya, tatkala menyaksikan makin merah merana dan berkobar. Jantungnya berdetak semakin cepat dan bergairah. Ia tahu bahwa jarak ke ‘kehadiran’-nya semakin dekat dan bahwa syahadah itu sendiri sudah hadir.

Kesimpulannya, dalam tradisi Islam, syahadah―bertentangan dengan jalur-jalur lain yang menganggap syahadah sebagai kejadian mendadak, kematian yang menimpa pahlawan, tragedi―adalah suatu derajat. Ia bukanlah sarana, tetapi tujuan itu sendiri. Ia adalah keaslian. Ia adalah kesempurnaan. Ia tinggi. Syahadah adalah setengah jalan menuju puncak tertinggi insani. Ia adalah sebuah kultur.

Di segala zaman dan abad, di kala para pengikut iman dan ide kuat, mereka menjamin kemuliaan dan hidup mereka dengan jihad. Tetapi, bila mereka lemah dan tak punya sarana berjuang, mereka menjamin hidup, gerakan, iman, kehormatan, kemuliaan, masa depan dan sejarah mereka dengan syahadah. Syahadah adalah undangan untuk segala usia dan generasi, bila tak bisa membunuh, matilah.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: