Pesan Rahbar

Home » » Crane Roboh Gara-gara Jokowi, Tragedi Mina Karena Syiah. Karena Syiah??? Ikuti Ulasannya

Crane Roboh Gara-gara Jokowi, Tragedi Mina Karena Syiah. Karena Syiah??? Ikuti Ulasannya

Written By Unknown on Sunday 27 September 2015 | 13:08:00

Korban tragedi Mina

Dua hari setelah Tragedi Mina yang menewaskan 717 orang dan melukai lebih dari 800 orang, menyeruak perdebatan seputar penyebab musibah. Tak terkecuali di media massa (cetak, online, dan elektronik). Dari sekian banyak, perdebatan-perdebatan itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar.

Pertama, perdebatan yang menjadikan Arab Saudi sebagai biang kesalahan. Kelompok lain adalah pendukung Arab Saudi. Mereka mengedepankan alasan-alasan, alibi, bahkan pengkambinghitaman, baik yang memiliki pijakan logika maupun yang senyata-nyatanya menggelikan.

Kelompok pertama dimotori oleh media massa yang berkedudukan di Iran. Satu sikap yang beranjak dari fakta bahwa 131 korban tewas dari jumlah keseluruhan 717, berasal dari negeri ini.

Tehran Times, harian berbahasa Inggris terbesar di Iran, misalnya. Pada penerbitan Sabtu, 26 September 2015, tiga dari lima berita di halaman depan mengupas tentang Tragedi Mina. Pernyataan Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatollah Seyyed Ali Khamenei, diturunkan sebagai headline dengan judul Arabia Must Admit Responsibility for Mina Disaster.

Dua berita lain adalah Iranian Official Hold Saudi Officials Responsible for Hajj Tragedy dan Call Rise to Put Hajj Under OIC Authority. Editorial yang ditempatkan di halaman pertama, juga membahas topik serupa, Who Should Take Responsibility for Mina Catastrophe?, ditulis langsung oleh Pemimpin Redaksi Tehran Times, Hassan Lasjerdi.

Media-media dari Lebanon, Turki, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat, berada di kelompok yang sama. Setelah serangkaian perkembangan kabar dari Mina, dalam kolom berjudul The Iranian-Saudi Rivalry is Overdone yang ditulis Rami G. Khouri, harian berbahasa Inggris yang terbit di Beirut, The Daily Star, menunjukkan ke arah mana mereka berpihak.

Pula demikian harian dari Inggris, Guardian dan Daily Mail, dan juga The New York Times, Washington Post, Boston Globe, serta jaringan televisi raksasa seperti CNN dan BBC. Guardian bahkan menuliskan satu laporan panjang yang mencoba memberikan gambaran lebih jelas perihal pergesekan itu, Iran Blames Saudi Mismanagement for Deadly Hajj Crush.

“Lawan” mereka adalah media-media Arab Saudi. Koran-koran beroplah besar seperti Al Jazirah, Al Riyadh, Al Watan, maupun koran-koran berbahasa Inggris seperti Asharq al Awsat, Arab News, dan Saudi Gazette, ramai-ramai berdiri di belakang Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Sembari memaparkan langkah-langkah dan strategi kerajaan dalam menyikapi tragedi, media-media ini melancarkan serangan balik ke Iran.

Arab News, misalnya, menuliskan feature berjudul Overcrowding to Blame for Stampede: Eyewitnesses. Di sekujur tubuh tulisan dipaparkan perihal pra dan pascamusibah, dan tidak ada satu kalimat pun di sini yang mengarah pada selentingan bahwa tragedi terjadi karena human error dari panitia penyelenggara haji Arab Saudi.

Pembelaan lebih keras terdapat dalam berita Saudi Army Not Behind in Reaching out to Hajis dan King: No One Will Be Allowed to Disrupt Islamic Harmony, yang secara terbuka “menuding” ada pihak-pihak yang merusak keharmonisan Islam di Timur Tengah.

Tak sulit menebak negara mana yang menjadi pihak tertuding. Iran, Lebanon, dan barat, yang dalam beberapa waktu belakangan memang paling sering mengusik Arab Saudi. Tak terkecuali dalam hal proyek-proyek pembangunan fasilitas di sekitar Masjidil Haram, yang tahun ini ternyata ikut meminta korban pula.
Bagaimana di Indonesia? Di antara 717 korban tewas ada tiga jemaah Indonesia. Sampai Sabtu sore, sebanyak 225 orang belum kembali ke tenda. Mereka hampir pasti selamat, namun diduga tersesat, atau masih berada di rumah sakit karena mengalami luka-luka atau gangguan kesehatan, dan belum terdata.
Sebagaimana musibah crane roboh, tragedi Mina juga melahirkan sejumlah isu yang “melenceng kemana-mana”. Jika pada insiden terdahulu pemelencengannya adalah kunjungan kerja Joko Widodo ke Arab Saudi, maka atas musibah kedua sasarannya Syiah.

Sampai di sini saya ingin menyela sebentar dengan kalimat yang dilontarkan penulis Eka Kurniawan, saat berbicara di forum terkait peluncuran novelnya Beauty Is a Wound (versi Inggris dari Cantik itu Luka) di New York, Amerika Serikat.

Eka memapar, Indonesia berpenduduk 250 jutaan, namun satu judul buku rata-rata hanya dicetak 3.000 eksemplar dan hanya sedikit yang mengalami cetak ulang. Dan jika pun dicetak ulang, lebih sedikit lagi yang jumlah cetakannya lebih besar dari cetakan pertama.

“Menjadi penulis di negeri kami, sangat sulit, Tuan-tuan dan Puan-puan. Jika ingin hidup (layak) para penulis mesti memiliki pekerjaan lain. Masalah besar yang masih terjadi di negeri kami adalah orang-orangnya yang malas membaca,” ucapnya.

Saya kira Eka benar. Tapi belum 100 persen. Karena kata ‘malas’ di sini, bukan berhenti pada sekadar malas dalam membaca, namun lebih jauh, malas pula untuk mencari tahu kebenaran atau kejanggalan atau kesalahan dari apa yang mereka baca. Celakanya, dengan pengetahuan yang serba cekak dan bermodalkan menebak-nebak, mereka tak sungkan mencecarkan asumsi, kesimpulan, tudingan, kecaman, ejekan, bahkan vonis.

Kecenderungan-kecenderungan inilah yang membuat pekerjaan para peramu provokasi jadi makin mudah. Insiden crane roboh di Masjidil Haram, misalnya, disambut salah satu portal berita nasional dengan berita berjudul Crane Timpa Ratusan Jamaah di Mekkah, Saat Jokowi Tiba di Jeddah.

Berita ini langsung dikunyah dengan ganas, lalu dikloning, dipreteli, ditambah- tambahi, dan disebarluaskan oleh portal berita lain maupun akun-akun media sosial, lantas disimpulkan: (1) Jokowi pembawa sial; (2) Jokowi tak diterima tanah suci; (3) Jokowi jelmaan dajjal.

Jokowi, saat musibah jelang ritual Lempar Jumrah terjadi, sungguh kebetulan tidak sedang berada di Arab. Beliau di Kalimantan, rapat di tengah hutan yang masih terbakar dan membubungkan asap pekat. Yang berada di Arab adalah para pimpinan DPR yang beberapa pekan sebelumnya bertemu dan hadir dalam kampanye bakal calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di New York.

Tidak ada media di tanah air yang menghubung-hubungkan keberadaan beliau-beliau di tanah suci dengan Tragedi Mina. Saya tak menyesalinya. Sebaliknya, saya justru sungguh bersyukurlah. Sebab jika dilakukan juga, maka artinya kita lebih makjleb nyungsep dibandingkan keledai.

Akan halnya pemelencengan ke arah Syiah, saya kira persoalannya lain. Ini bukan terkaitpaut kemalasan, kedengkian, atau dendam politik yang menukik pada kedunguan, melainkan cara pandang menyangkut kepercayaan (untuk tidak menyebutnya keimanan). Iran yang sekarang menyerang Arab Saudi adalah negara dengan pemeluk Syiah terbesar di dunia. Umat Islam Indonesia, seperti juga di Arab Saudi, adalah Sunni. Dan saya tidak akan memakai kolom ini untuk membahas keduanya.

Meski dalam serangannya ke Arab Saudi, Iran tidak sekali pun membentur-benturkan Syiah dan Sunni (pula begitu Arab Saudi saat menangkalnya), pertentangan turun-temurun ini tak dapat terhindarkan untuk tidak tersenggol. Sekarang tergantung pada kita bagaimana menyikapinya. Lebih tepatnya, bagaimana membaca dan mencerna berita-berita ini dengan tidak sekadar menggunakan hati dan emosi, tapi juga akal sehat.

Twitter: @aguskhaidir

(Tribun-News/Satu-Islam/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: