Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 12)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 12)

Written By Unknown on Sunday 29 November 2015 | 00:32:00


NABi SAW MENYEBUT NAMA 12 KHALiFAH UMAT

penutupan kenabian dilengkapi oleh penunjukkan imam Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam.. Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma’idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”

Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.

Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:

“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”

Serempak mereka menjawab:
“Benar, ya Rasulullah ….”

Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”

Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”

Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.

Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”

Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’

Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’

Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’

Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”[1]

Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.

Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67).

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari “Ghadir” ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.

Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi’tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, “Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS.As-Syu’ara: 214)

Lantas beliau berseru kepada keluarganya, “Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian.”

Ahlusunnah dan Syi’ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]

Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59).

Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah.

Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”

Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.”[3]

Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.’

Beliau menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein.”

Kembali aku bertanya, “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur’an?”

Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada “Kitabullah” dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.’”

Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak.”

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi’ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.

Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam.”[4]

Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.”[5]

Referensi:
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke ‘Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.


*****

Keniscayaan Imamah

Sebagaimana Kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia, maka demikian pula mengenai perlu adanya seorang imam. Yakni bahwa al-hikmah al-ilahiyyah ini juga menuntut perlu adanya kehadiran seorang imam setelah meninggalnya seorang rasul guna membimbing umat manusia sekaligus memelihara kemurnian ajaran para nabi dan Agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu juga untuk menerangkan kebutuhan zaman dan menyeru manusia ke Jalan Allah dan pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu semua, maka tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan sulit dicapai, karena tidak adanya bimbingan.

Oleh karena itu sesudah Nabi Muhammad saw pasti ada seorang imam untuk setiap masa. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin.” (QS. At-Taubah: 119). Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan ini ditujukan agar orang beriman ikut bergabung dalam barisan orang-orang yang benar (al-shadiqin) adalah bukti bagi adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman.


Hakekat Imamah

Imamah bukanlah sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal tapi sekaligus sebagai jabatan spritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, para Imam bertanggung jawab untuk membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Jabatan tinggi ini telah diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as, Allah berfirman dalam Al-Qur’am: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempurnakannya. Tuhan berkata kepadanya: ‘Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia.’ Ibrahim berkata: ‘Berikan pula kepada keturunanku.’ Tuhan berkata: ‘Jabatan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim“. (QS. Al-Baqarah: 124)

Setelah Nabi Ibrahim as melewati fase kenabian dan lulus dari sejumlah ujian besar, maka Allah mengangkatnya sebagai imam umat manusia di zamannya. Dan setelah itu, Nabi Ibrahim as juga memohon kepada Allah agar jabatan ini diberikan kepada keturunannya, tetapi Allah swt bahwa keturunannya yang zalim tidak akan mendapat posisi ini. Untuk itu, jelas sekali bahwa kedudukan ini tak bisa sekedar diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan duniawi yang formal.


Penetapan para Imam oleh Nabi saw

Dalam hal ini, Nabi Muhammmad saw lah yang paling berhak menetapkan para imam sesudahnya sebagaimana yang dilakukan dalam hadis al-tsaqalain. Shahih Muslim meriwayatkan bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bernama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda: “…Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku.” (Shahih Muslim, 4: 1873).

Hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih Turmuzi. Bahkan di Shahih Turmuzi ada pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dari lingkungan keluarganya semdiri. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan beberapa sumber terkenal lainnya.

Dalam hal ini, perlu dijelaskan pula bahwa dalam beberapa riwayat lainnya terdapat redaksi “Sunnati” atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi “Ahlubaiti“, Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini hanya satu berbanding 40 hadis lainnya yang meriwayatkan “Ahlubaitku”. Sehingga kalaupun hadis “Sunnati” ini benar maka posisinya hanya saling menafsirkan saja.


Hadis-hadis Ahlussunnah Tentang 12 Orang Imam

Pada sisi lain, terdapat juga hadis lain yang diriwayatkan oleh banyak perawi hadis utama seperti Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal. Untuk itu, sangat tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat tentang 12 Imam yang termuat dalam kitab-kitab Ahlussunnah. Riwayat-riwayat adalah:

1. Bukhari menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasul berkata, “Setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku. Kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.” (Shahîh Bukhârî, jilid 9, Bab Istikhlâf, hal. 81)

2. Muslim juga menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasul SAWW berkata, “Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu. Ia berkata, “Beliau bersabda bahwa semuanya berasal dari kaum Quraisy. (Shahîh Muslim, jilid 6, Kitab al-Amârah, Bab an-Nâs Tâba’un li Quraisy, hal. 3)

3. Muslim menukil dari Jabir bahwa ia (Jabir) berkata, “Aku dan ayahku berjalan bersama Rasul SAWW saat itu beliau berkata, “Agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy”. (Shahîh Muslim, jilid 6, Kitab al-Amârah, Bab an-Nâs Tâba’un li Quraisy, hal. 3)

4. Muslim juga menukil dari Jabir, “Aku mendengar Rasul berkata, “Agama Islam akan langgeng sampai hari Kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy”. (Shahîh Muslim, jilid 6, Kitab al-Amârah, Bab an-Nâs Tâba’un li Quraisy, hal. 3. Sebagai telaah lebih lanjut, silahkan merujuk ke kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 5, hal.86, 89, 97 dan 107; Muntakhabul Âtsâr, hal.16; Yanâbî’ul Mawaddah, hal. 446).

*****

PERANAN PARA IMAM SYI’AH

DALAM REKONSTRUKSI MASYARAKAT ISLAM

Oleh: Syahid Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr.

Allah yang mengutus kenabian sampai akhirnya kepada Nabi Muhammad Saww, memutuskan bahwa [misi] beliau harus diteruskan dan dijaga oleh para penggantinya yang akan memikul tugas kepemimpinan dan suksesi setelah terminasi kenabian. Berikut ini dua belas imam, yang jumlahnya secara tekstual ditentukan oleh Rasulullah Saww.*) yang diterima secara luas oleh kaum Muslimin. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut :

1. Imam ‘Ali bin Abi Thalib Al-Murtadha.
2. Imam Hasan bin ‘Ali Al-Mujtaba.
3. Imam Husain bin ‘Ali Asy-Syahid.
4. Imam ‘Ali bin Husain As-Sajjad.
5. Imam Muhammad bin ‘Ali Al-Baqir.
6. Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq.
7. Imam Musa bin Ja’far Al-Kazhim.
8. Imam ‘Ali bin Musa Ar-Ridha.
9. Imam Muhammad bin ‘Ali Al-Jawad.
10. Imam ‘Ali bin Muhammad Al-Hadi.
11. Imam Hasan bin ‘Ali Al-‘Askari.
12. Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi.

Ini menunjukkan sesuatu yang alamiah bahwa kita harus, dengan nalar yang jernih serta jiwa yang bersih, mencoba memperdalam hubungan spiritual kita dengan para pemimpin misi Islam dan melakukan studi untuk menemukan lebih dan lebih banyak lagi perihal para pemimpin terkenal ini dalam sejarah. Dengan suatu pandangan yang mencerahkan jalan perkembangan kita, semestinya kita beroleh cahaya dari sejarah brilian ihwal sepak terjang Para Imam Ahlul Bait ini.

Untuk alasan tersebut kami mengambil kesempatan ini guna memberikan semacam penjelasan ringkas atas sejarah kehidupan Para Imam Syi’ah – salam atas mereka semua !

Dalam ruang terbatas yang tersedia bagi kami adalah tidak mungkin untuk memberikan sebuah catatan dari kehidupan, gerakan, dan program dari setiap Imam secara terpisah. Kami meminta para pembaca memusatkan perhatian hanya pada bagian-bagian yang terpenting dari kehidupan para imam.

Menurut laporan dan catatan yang akan datang kami akan mendiskusikan gerakan umum dari peristiwa-peristiwa dan hanya dari aspek-aspek gerakan itulah para imam mengambil bagian. Sebagai ganti memberikan uraian mendetail atas kehidupan setiap imam, kajian akan dibuat dari sikap umum dan kesan mereka dalam kehidupan secara menyeluruh.

Kajian ini disusun di mana kehidupan para imam dicermati dan dikaji sebagai suatu fenomena yang koheren dan terpadu. Kita akan mendiskusikan karakteristik dari fenomena tersebut untuk menemukan tujuan umumnya dan kebenaran alaminya serta untuk memahami keadaan yang berjalan di dalamnya. Terakhir, kami akan memberikan catatan ringkas dari hal-hal penting dari gerakan-gerakan para imam dan peranan yang mereka mainkan dalam sejarah manusia.

Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa kami berpikir hal itu tidak patut dengan menelaah kehidupan para imam secara terpisah. Sebenarnya kajian yang mandiri atas bagian-bagian penting dari setiap imam adalah sepenting memperoleh suatu pengetahuan yang menyeluruh dari kehidupan para imam, sebagaimana yang akan kami coba lakukan sekarang. Sesungguhnya, adalah penting bahwa kita untuk mengenal diri kita sendiri dengan kehidupan setiap imam secara individual dan mempelajari bagian-bagian utama dari aktivitas serta cita-citanya sehingga pengetahuan ini menjadi suatu pembuka kajian seperti yang kita cita-citakan sekarang. Kita mesti melakukan kajian yang mandiri terhadap kehidupan setiap imam untuk mempersiapkan jalan kita kepada kajian yang tepat dan menyeluruh dari kehidupan para imam sebagai suatu fenomena yang koheren dan terpadu.

Tatkala kita melakukan kajian terhadap kehidupan para imam pada dua tataran ini, dalam tingkatan pertama kita memperhatikan bahwa agaknya terdapat suatu perbedaan yang besar dalam cara bagaimana mereka memimpin sendiri dalam berbagai situasi. Imam Hasan memutuskan suatu perjanjian damai dengan Mu’awiyah. Sementara Imam Husain bangkit untuk memerangi Yazid dan mengorbankan nyawanya. Kita menemukan bahwa Imam As-Sajjad menjalani seluruh kehidupannya secara tertutup lewat doa dan ibadah, sedangkan Imam Al-Baqir mencurahkan seluruh hidupnya dengan menyebarluaskan ilmu-ilmu kenabian, hadis-hadis, dan teologi (tauhid).

Namun jika kita menengok kehidupan para imam dan karakternya dalam suatu pola yang terkoordinasi, kita akan menemukan bahwa kehidupan mereka terangkai dalam satu benang merah, yang meliputi sejarah mereka dan tidak ada kontradiksi ataupun ketidaktaatasasan (inkonsistensi). Kajian seperti yang akan kita lakukan menampakkan sebuah kebenaran tunggal, sekalipun berbagai aspeknya mampu dijelaskan secara berbeda dan dengan demikian bisa memberikan kesan yang lain.

Agaknya alasan mengapa terjadi begitu banyak perbedaan dalam aksi-aksi para imam dapat dinisbatkan pada perbedaan zaman, kondisi sosial, dan kesulitan-kesulitan yang para imam hadapi. Setiap imam selama hidupnya dipertentangkan dengan berbagai persoalan dan kesulitan yang seluruhnya berbeda antara satu sama lain dalam cara menghadapinya.

Namun jika kita mengambil pandangan umum dan total dari kehidupan para imam kita, kita bisa menggambarkan hasilnya jauh lebih lebih menonjol daripada efek-efek yang bisa dihasilkan oleh kajian per individu dari para imam, karena tentunya pada kajian yang umum kita menemukan suatu harmoni yang dalam di antara semua tindakan para imam. Untuk menjelaskan noktah ini kami akan memberikan sebuah contoh :

Kita lihat bahwa Amirul Mukminin Imam ‘Ali selama kekhalifahannya mengumpulkan sahabat-sahabat Nabi Suci dan meminta kepada mereka untuk menyimpulkan tentang apa yang mereka dengar dari Nabi yang berkata mengenai imamahnya. Sejumlah besar sahabat berkata, “Ya, kami mendengar bahwa Nabi Suci mengatakan secara tegas bahwa Anda adalah Imam.”

Lagi, kita membaca dalam catatan kehidupan Imam Husain bahwa suatu ketika pada saat beribadah haji, ia mengumpulkan para sahabat Nabi Suci yang masih ada bersama dengan sejumlah besar tabi’in dan meminta kepada mereka untuk menceritakan apa yang telah mereka dengar dari Nabi perihal ‘Ali dan Ahlul Baitnya.

Lagi, kita menyaksikan bahwa Imam Al-Baqir juga berulang kali melakukan tindakan serupa, dan meminta para tabi’in dan tabi’in al-tabi’in (pengikut dari para pengikut) untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang telah Nabi katakan berkenaan dengan kepemimpinan ‘Ali dan keturunannya.

Ketika kita mempelajari kehidupan para imam dan keselarasan tindakan-tindakan mereka, kita melihat jenis tindakan dan aktivitas tersebut seluruhnya. Tiga tindakan tersebut diambil secara berurutan oleh tiga generasi yang mewakili suatu rencana yang precalculated dan koheren, dan saling berkomplemen satu sama lain. Gagasan tindakan berkesinambungan ini adalah untuk mengingatkan berbagai generasi dan pada saat yang bersamaan untuk menjaga sunnah dari penghapusan dan pelupaan.

Keyakinan kita tentang eksistensi dari kebijakan umum yang diikuti oleh para imam kita bukanlah suatu pertanyaan yang hipotetis. Dengan demikian, adalah tidak penting untuk mencoba mencari alasan-alasannya ataupun untuk mendiskusikan perihal peristiwa sejarah apa yang mengantarkan para imam untuk mengikuti kebijakan umum. Peranan umum mereka merupakan konsekuensi alami dari kekuatan keyakinan mereka atas keimamahan mereka, yang merupakan suatu persetujuan umum kepada mereka semua. Tanggung jawab dan syarat-syaratnya adalah sama, konsekuensi alami dari persetujuan umum seharusnya menjadi suatu gerakan koheren, setiap bagian yang dalam keniscayaan sejarah harus berkomplemen dengan bagian-bagian lainnya. Adalah hanya karena perbedaan waktu yang menjadikan tindakan-tindakan yang diambil para imam tampil secara berbeda.


PERANAN UMUM PARA IMAM

Barangkali adalah tidak penting untuk membuktikan bahwa metode misionari dari para imam kita adalah identik dan bahwa mereka mengikuti garis tindakan yang wajar. Misi Islam menjadi ideologis dan doktrinal, dengan jelas, adalah penting bahwa ada yang harus telah mewujudkan suatu rencana yang pasti untuk membentengi ideologinya dari setiap jenis penyimpangan dan menjamin perkembangannya dalam seluruh waktunya.

Berdasarkan titik tolak ini bahwa kepemimpinan ideologis dari masyarakat manusia dipercayakan kepada para imam, yang telah mencapai kedudukan spiritual, evolusi ideologis, dan memperoleh derajat kemaksuman [yakni] alasan kekebalan mereka dari setiap dosa dan kesalahan. Inilah alasan mengapa mereka berada dalam kedudukan [sebagai imam] yakni, untuk membimbing dan mengawasi gerakan ideologis masyarakat.

Bagaimanapun, ketika mendiskusikan peranan umum dari para imam dan sejarah penderitaan mereka, kita tidak bermaksud untuk memperlakukan pemerintahan lahir mereka dan menganalisis pengalaman tersebut melalui Islam yang melintasi seluruh kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa menyakitkan yang terjadi menyusul wafatnya Nabi Islam menggusur para pemimpin Islam yang sejati dari peta pemerintahan. Tugas membimbing dan menjalankan hukum Islam jatuh kepada sebagian besar orang-orang yang menyimpangkan Islam dari jalan yang sebenarnya dan menjauhkan masyarakat Muslim dari ajaran Islam. Bagaimanapun, kita hanya ingin mendiskusikan kedudukan umum dari para imam dan seluruh kebijakan yang diikuti oleh mereka selama sejarah agung mereka. Kita akan menganalisis tahap-tahap yang dilalui mereka untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di mana misi Islam dikonfrontasikan, dan menjelaskan apa yang telah mereka berikan demi kelangsungan ideologi Islam.

Dalam alur kajian kita perihal peranan umum para imam kita menjumpai kesan yang keliru yang hal itu tidak lebih daripada mitos. Secara umum kaum Syi’ah percaya bahwa para imam semuanya melewati keseluruhan hidup mereka dengan ketertindasan. Mereka dipinggirkan dari pemerintahan dan mengalami banyak penderitaan dan tirani. Orang-orang ini berpikir bahwa peranan para imam sepanjang hidup mereka adalah buruk, dan seperti seseorang yang memiliki rumah yang diperebutkan dan yang tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan kembali.

Suatu analisis dari kehidupan para imam akan menunjukkan bahwa tidak hanya pemikiran yang sesat dan keliru, namun sudut pandang praktis juga sangat berbahaya dari pengikut-pengikut para imam. Suatu pandangan dari kebijakan para pemimpin ummah akan mengantarkan kepada kesimpulan yang mereka tidak mempunyai tugas sosial, bahwa mereka telah kehilangan seluruh harapan akan adanya kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, kita merasa bahwa adalah tugas kita untuk meluruskan pemikiran keliru ini dan mengidentifikasi noktah-noktah yang mengarah kepada kekeliruan tersebut. Untuk membuat hal itu jernih yang selama kehidupan mereka para imam memainkan suatu peranan aktif dalam mempertahankan misi dan akidah mereka, kami mengusulkan untuk mengkaji kehidupan mereka sebagai kekuatan penggerak sejarah manusia.

Sekalipun para tiran masa itu memperlakukan berbagai tindakan curang dengan menyingkirkan para imam dari pemerintahan, para imam berdasarkan tuntutan mereka sendiri bertanggung jawab dalam mempertahankan misi Islam dari setiap penyimpangan dan menjaga ajaran-ajaran aslinya, untuk menjamin ketaatan kepada perintah-perintah agama. Kapanpun terdapat penyimpangan atas ajaran Islam pada masyarakat, atau masyarakat dibenturkan dengan berbagai kesulitan yang mengancam posisi Islam dan para penguasa masa itu tidak dapat memecahkan masalah, para imam sejati-terbimbing dengan pandangan kemaksuman mereka mengambil langkah yang tepat untuk menghindarkan bahaya tersebut.

Ringkasnya, para imam Syi’ah – salam atas mereka semua – mencurahkan kemampuan mereka untuk menjaga karakter masyarakat Islam, melindungi doktrin-doktrin yang benar dan menyaksikan bahwa penyimpangan tidak tumbuh ke arah ancaman kepada ideologi itu sendiri. Apa yang kami maksud adalah bahwa mereka memainkan peranan positif dalam mengawal kepentingan-kepentingan Islam dan kaum Muslimin serta dalam mempertahankan doktrin-doktrin dasar agama.

Peran mendasar ini secara jelas terlihat dalam kehidupan Imam ‘Ali. Kita melihat bagaimana beliau melindungi masyarakatnya dengan berani dari penyimpangan dan memainkan peranannya secara positif.

Suatu ketika ‘Umar bertanya kepada masyarakat dari mimbar bagaimana mereka akan memperlakukannya jika ia menyimpangkan kebenaran kepada kesalahan. Adalah ‘Ali, Imam pertama kaum Syi’ah, yang secara tegas berkata : “Kami akan meluruskan kesalahanmu dengan pedang.”

Kita juga menyaksikan bagaimana Imam Husain, putra Imam ‘Ali yang taat, mencegah bahaya penyimpangan Islam. Ketika Yazid bin Mu’awiyah memutuskan menghapus ajaran Islam, beliau menghindarkan bahaya ancaman dengan membentuk pasukan pertahanan dan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Kita menyaksikan tatkala pemerintahan di zamannya menemukan dirinya sendiri tidak dapat mengatasi suatu masalah yang menghadangnya, Imam As-Sajjad, menganggap kenyataan bahwa pemerintahan tersebut merupakan pemerintahan-bandit yang kemudian beliau bangkit pada kesempatan tersebut dengan ketenangan yang besar dan melindungi besar kedudukan Islam.

Rincian fakta tersebut adalah bahwa selama kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, kaisar Romawi menulis surat kepada khalifah, yang mengakui dirinya sendiri tidak mampu untuk menulis suatu jawaban yang tepat sebagai balasan atas surat kaisar Romawi. Imam Sajjad menyusun suatu jawaban yang itu melindungi kedudukan pemerintahan sebaik martabat bangsa Muslim.

Selama kekuasaan Hisyam bin Abdul Malik pemerintahan kafir Romawi mengancam kedaulatan dan kemerdekaan pemerintahan Muslim. Hisyam bermaksud memberlakukan mata uang Romawi di atasnya. Imam Al-Baqir, Imam kelima Syi’ah, menghadang ancaman tersebut dengan mengusulkan mata uang Islam kepada Hisyam dan kemudian menyelamatkan kemandirian ekonomi masyarakat Muslim.

Jadi kita menemukan bahwa para imam memainkan peranan utama dan agung mereka dengan melindungi masyarakat Islam dan pemerintahan Muslim dari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan pada suatu waktu ketika mereka berada dalam konflik yang serius dengan pemerintahan-bandit ini dan menentang pemerintahan tersebut gigi dan kuku, sekalipun penentangan mereka kebanyakan bersifat pasif dan mereka tidak berjuang dengan kekuatan militer. Bagaimanapun, mereka menjalankan peranan positif dengan memperjuangkan ajaran-ajaran Islam sekaligus melindungi nilai-nilai, moral serta doktrinnya.

Sebagai pemerintahan brutal para penjarah mencoba untuk mengaburkan citra Islam dengan memasukkan berbagai penghapusan, misi dari para imam sejati adalah untuk memperbaharui citra Islam dan menjelaskannya melalui ikhtiar-ikhtiar mereka yang tak kenal lelah atas perbedaan di antara Islamnya Nabi Suci dan Islamnya para khalifah. Setelah itu mereka menyebarkan Islam pada masyarakat umum, dan membersihkan ajaran Islam dari distorsi para khalifah.

Hal ini tampak menjadi dalam ketegaran masalah-masalah untuk sekadar menyebutkan contoh kecil guna menjelaskan noktah ini dan memberikan sorotan pada tahap di mana para imam bekerja guna melindungi masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan [yang dilakukan] para khalifah.

Ingat kembali dalam pikiran Anda gambaran berikut : Imam Musa bin Ja’far Al-Kazhim, imam ketujuh Syi’ah, berada di dalam penjara khalifah [Harun Al-Rasyid – pent.] Nyawa beliau dalam bahaya. Raganya begitu merapat ke tanah ketika ia bersujud selama shalat seakan-akan selembar kain yang tergeletak di atas tanah. Tak seorang pun yang menduga bahwa sebenarnya seorang manusia suci sedang bersujud. Atas hal ini kepada Imam seorang utusan khalifah datang dan berkata : “Khalifah menyesali atas apa yang terjadi. Dia telah memerintahkan pembebasanmu, silakan Anda sendiri datang ke hadapan khalifah. Kemudian minta maaflah dan tariklah hatinya.”

Imam Musa tiba-tiba marah dan menolak dengan angkuhnya tawaran tersebut. Beliau lebih siap untuk diracun, namun tidak sudi membantu pemerintahan egois yang berhasil dalam tujuan-tujuan khianatnya. Dia tidak akan pernah mengizinkan aksi-aksi keji dan kotor dari pemerintahan despotik mengambil kesucian dan dengan cara demikian mencemari misi Nabi Suci.

Kembali kita lihat bahwa para imam memainkan peranan aktif dan positif dalam fruktifikasi dari wilayah doktrin masyarakat Islam. Mereka mengabdikan hidup mereka kepada Allah semata dan berdiri sebagai benteng melawan derasnya penyimpangan yang mengancam tujuan misi Islam. Mereka tidak mengizinkan umat Muslim diasingkan dari kejayaan-kejayaan Islam yang sejati di dalam pergerakan samawi awal.

Pemimpin-pemimpin besar tersebut membuat semacam peraturan di mana mereka dapat menetralisir setiap rencana curang yang dibuat untuk melawan Islam dan kaum Muslim. Mereka melindungi masyarakat Muslim yang baru-didirikan dari setiap penyimpangan. Dengan alasan ini, Imam Kesebelas Hasan Al-Askari, sewaktu beliau tinggal di Madinah, mengingatkan Al-Kindi dari kesalahpahamannya. Al-Kindi adalah seorang intelektual Arab, yang menulis kitab berjudul Mutanaqidhat Al-Quran. Ketika laporan perihal kitab ini sampai kepada Imam, Imam memanggil Al-Kindi, dan menyakinkan Al-Kindi bahwa kitabnya itu tidak mempunyai pijakan yang sahih dan memiliki kesalahan yang menyolok.


PENGABDIAN IMAM KEPADA UMAT

Kisah kehidupan para imam memberikan kesimpulan yang cukup guna memperlihatkan bahwa mereka mempunyai perhatian khusus terhadap kepentingan umat dan mengabdikan seluruh hidup mereka untuk membimbing masyarakat.

Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa para imam tidak memperoleh kepemimpinan dari umat Muslim hanya secara kebetulan. Ataupun mereka tidak mendapatkan kedudukan ini dengan mudah karena kekerabatan mereka dengan Nabi Suci. Ada banyak orang yang juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi Suci, namun tak seorang pun di antara mereka dapat mencapai kedudukan yang serupa. Sebenarnya ini disebabkan pengkhidmatan mereka kepada umat dan upaya-upaya mereka yang sungguh-sungguh demi kejayaan Islam di mana komunitas Syi’ah menerima mereka, dengan sepenuh hati, sebagai imam mereka. Sekalipun pemerintahan para khalifah melakukan tindakan-tindakan yang sepenuhnya mencegah para imam dari memikul kepemimpinannya, umat tetap menerima mereka sebagai para pemimpinnya.

Orang-orang menyaksikan bagaimana imam bekerja keras demi mereka. Mereka percaya bahwa imam adalah dari mereka dan untuk mereka. Setiap saat mereka merasakan kehadiran imam. Imamlah jawaban atas setiap dan seluruh persoalan mereka. Ini disebabkan pengetahuan dan perasaan bahwa kepemimpinan dari para imam diterima. Karena alasan ini Ali menjadi teladan bagi manusia, yang bangkit memprotes Utsman. Cerita yang sama diulang selama masa-masa para imam lainnya.

Imam Ketujuh Musa Al-Kazhim, berkata kepada Harun Al-Rasyid : “Harun, engkau harus tahu bahwa engkau menguasai tubuh-tubuh manusia, namun aku menguasai hati-hati mereka.”

Betapa Abdullah bin Hasan berkata kepada Imam Ash-Shadiq merupakan saksi hidup atas fakta ini. Ketika Abdullah mengharuskan orang-orang agar menyerahkan bai’at mereka kepada anaknya, Muhammad, dia datang kepada Imam Ash-Shadiq dan berkata : “Jika Anda menerima permohonanku dan membai’atmu, tak seorang pun akan ragu-ragu untuk melakukan hal yang sama. Tidak ada dua orang, apakah dari kalangan Quraisy maupun bukan-Quraisy, yang akan bertemu untuk bersepakat denganmu.”

Pernyataan ini menunjukkan bagaimana perhatian orang-orang kepada para imam sejati mereka. Kesetiaan serta ketaatan mereka adalah buah dari perhatian khusus di mana para imam memahami kemakmuran dan kesejahteraan umat dan penderitaan yang mereka alami demi kejayaan Islam dan kaum Muslim.

Memikirkan peristiwa sejarah Islam yang termasyhur yang didorong penyair Arab tersohor, Farazdak, untuk membacakan syair pujian tentang Imam Ali Zainal Abidin, Imam keempat. Secara jelas peristiwa ini menunjukkan bahwa kebesaran pemerintahan Hisyam [penguasa dari Dinasti Umayyah waktu itu – red.] dan kekuasaannya tidak dapat membuat dirinya dikasihi oleh hati-hati rakyatnya ataupun membujuk mereka untuk memyediakan jalan bagi Hisyam menuju Hajar Al-Aswad.

Pada sisi lain, pengaruh spiritual dari keluarga suci begitu meliputi sehingga segera Imam Zainal Abidin tiba di halaman Rumah Allah, orang-orang memberikan jalan kepada beliau untuk mencium Hajar Al-Aswad dengan mudah dan khidmat.

Sejarah mengatakan bahwa suatu saat sekelompok manusia yang marah mengepung istana Makmun, memprotes tindakan yang dilakukan terhadap Imam Kedelapan, Imam Ar-Ridha. Makmun begitu takut sehingga ia harus mencari pertolongan kepada sang imam sendiri agar menenangkan massa.

Kepada Makmun, Imam berkata : “Engkau yang berbuat atas umat Muslim, engkau pula yang menguasai, engkau seharusnya takut kepada Allah. Engkau telah mengabaikan kepentingan kaum Muslim dan telah mempercayakan persoalan-persoalan mereka kepada orang-orang yang tak layak untuk tugas tersebut. Perintah-perintah Allah berkaitan dengan kaum Muslim dilalaikan.”

Ini merupakan beberapa contoh kepemimpinan populer dari para imam di dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Kepedulian khusus mereka atas masalah-masalah umat menunjukkan bahwa para imam kita menjalankan peranan positif di dalam masyarakat mereka dan bahwa mereka mempertahankan Islam dan membimbing kaum Muslimin penuh semangat (energetik) dan efektif.


PERANAN POSITIF PARA IMAM DALAM HUBUNGAN DENGAN PARA PENGUASA

Adalah mungkin untuk menelaah kehidupan para imam dari matra yang lain dan mencapai kesimpulan yang sama di mana kita sampai pada diskusi kita sebelumnya. Kita tahu bahwa aktivitas para imam, terutama selama masa imamah mereka luar biasa menakutkan pemerintahan-pemerintahan pada waktu itu. Jiwa-jiwa para oenguasa disarati dengan ketakutan yang sangat. Inilah alasan mereka untuk selalu menjaga para imam di bawah pengawasan yang ketat dan mencoba memutuskan hubungan para imam dengan manusia pada setiap tingkatan. Ketika semua pengawasan dan kontrol ini gagal untuk menghasilkan akibat yang diinginkan, para penguasa berusaha untuk mengantarkan para imam kepada kematian.

Ini bukan suatu kesempatan semata bahwa para tiran melakukan semua tindakan ini. Apakah mereka membunuh para imam hanya sebagai hiburan (pastime) ? Tentu saja jawabannya adalah negatif. Apakah peranan para imam di masyarakat tidak positif, para penguasa yang criminal-minded tidak akan mengambil resiko untuk kehormatan dan kedudukan mereka dengan melakukan tindakan-tindakan yang zalim ?

Sebenarnya para penguasa yang jahat tersebut menyadari situasi tersebut secara sangat bagus. Mereka tahu dari sisi yang mana mereka mengancam. Mereka menyaksikan peranan aktif dan positif dari para imam dalam perspektif hakikinya, sehingga memutuskan untuk mengantarkan para imam kepada maut dengan darah dingin.

Kesyahidan, pembuangan, dan hukuman penjara terhadap para imam merupakan saksi hidup atas fakta bahwa setiap momen kehidupan mereka dikhidmatkan kepada usaha, aktivitas, dan penyebaran gerakan mereka.


APAKAH PARA IMAM SANGAT MENGINGINKAN KEKUASAAN?

Satu-satunya persoalan yang tetap tidak terjawab dan seringkali datang kepada pikiran orang-orang adalah apakah seluruh aktivitas para imam bertujuan untuk merebut kekuasaan dan menggulingkan para penguasa penjarah dan despotik, ataukah mereka hanya berusaha untuk mempertahankan Islam, melindungi kepentingan umat Muslim, menjaga Islam dan kaum Muslim dari penyimpangan ?

Persoalan ini memerlukan jawaban yang mendetail yang tidak sesuai dengan artikel ini.

Sejumlah besar hadis yang telah sampai kepada kita menunjukkan bahwa mereka tidak menganggapnya cukup untuk mengerahkan suatu revolusi bersenjata dan membentuk suatu pemerintahan. Mereka tidak yakin bahwa untuk membangun suatu pemerintahan yang adil adalah cukup. Dalam pandangan mereka kebijakan yang benar adalah menyuntikkan semangat Islam yang hakiki kepada umat dan mempersiapkan umat agar mereka meyakini imamah serta kemaksuman mereka secara wajar sebelum melakukan gerakan bersenjatan dan menggulingkan pemerintahan-penjarah. Para imam berpikir itu penting di mana manusia mesti menganggap ketaatan kepada Islam sehingga mengikat mereka dan memahami tujuan-tujuan penting atas kepemimpinan mereka. Hanya pada basis ketaatan ini berikut pemahaman atas suatu pemerintahan dari imam yang dapat dibangun dan, pada akhirnya, pencapaian-pencapaian dari suatu gerakan revolusioner umat Muslim dapat dilindungi.

Anda harus mendengar kisah dari seorang laki-laki dari Khurasan, yakni Sahl bin Hasan, yang datang ke Imam Ash-Shadiq dan meminta beliau memberikan dukungan kepada gerakan revolusioner Al-Khurasani. Imam tidak memberikan jawaban segera kepadanya dan memutuskan untuk menguji iman serta ketaatan Sahl. Suatu saat Imam meminta Sahl untuk masuk ke dalam pertungkuan yang penuh api. Al-Khurasani sangat ketakutan. Ia mundur daripada masuk ke dalam tungku api. Pada saat yang sama, Abu Bashir (atau Harun Al-Makki, menurut Syeikh Abbas Al-Qummi dalam Muntahul ‘Amal), salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq, datang dan mendengar perintah Imam. Ia tanpa keraguan sedikitpun masuk ke dalam tungku api tersebut. Imam berpaling kepada orang Khurasan itu dan bertanya kepadanya : “Berapa banyak Abu Bashir yang Anda miliki di Khurasan ?” Jadi, Imam menolak usulan serta permintaan dari Sahl itu.

Dengan alasan ini pula Imam Ali dapat menerima kekuasaan [pasca-kekhalifahan Utsman –red.], karena pada masa-masa tersebut ada sekelompok Muslim yang memiliki kognisi tentang imamah dan mematuhi Imam.


KETAATAN KAUM SYI’AH KEPADA IMAMAH

Kita tahu bahwa tujuan umum dari para imam kita dalam seluruh hidup mereka adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat Islam dari penyimpangan dan dekadensi. Noktah ini, sebagaimana telah kami jelaskan, mengimplikasikan beberapa aspek dari peranan umum mereka. Namun ada satu aspek yang belum dirujuk begitu jauh. Ini merupakan aspek pengawasan terus menerus mereka berupa pendidikan serta pelatihan khusus terhadap para pengikut mereka.

Para imam kaum Syi’ah selalu memelihara kontak langsung dengan para pengikut mereka, secara total mengontrol perilaku mereka. Dalam banyak kesempatan, mereka memberikan dukungan atas posisi mereka di masyarakat. Mereka membuat usaha-usaha keras guna memperluas wawasan pengikut-pengikut mereka dan memandu mereka dalam segala hal menuju jalan lurus Islam. Tujuan mereka adalah untuk mengangkat para pengikut mereka kepada tingkat orang-orang beriman dan tentara-tentara yang bertanggung jawab serta para perintis yang tekun agar mengetahui tugas-tugas mereka dan sudi untuk mempertaruhkan nyawa mereka demi Islam.

Ini bukan penegasan sambil lalu belaka. Suatu kajian ringkas tentang kehidupan para imam akan menunjukkan betapa semangat dan gairah mereka pompakan kepada para pengikut mereka. Kadang kala mereka memberikan perhatian bahkan kepada perbedaan-perbedaan personal mereka serta kesulitan keuangan.

Kita menemukan suatu contoh atas intervensi mereka dalam masalah-masalah pengikut mereka seperti Mu’alli ibn Khunais. Banyak hal lain pada catatan tentang perintah-perintah yang diberikan oleh para imam kepada para pengikut mereka berkaitan dengan persoalan-persoalan pribadi mereka. Tentu saja, perintah-perintah ini bervariasi sesuai dengan kebutuhan zaman, tempat, dan kenyataan hidup yang dihadapi.

Kami berpikir bahwa hal ini sangat cukup untuk tujuan kami yang disebutkan di awal. Kami telah memunculkan noktah-noktah penting guna memberikan dorongan kajian atas kehidupan para imam. Diharapkan diskusi singkat ini akan membantu yang lain untuk mengadakan investigasi lebih jauh dan membuka cara-cara pendekatan baru kepada kehidupan para imam.

Akhirnya, kami memohon Allah agar menjadikan kita semua menjadi para pengikut sejati para imam, hidup di bawah bimbingan mereka dan tinggal dengan standar yang ditetapkan oleh mereka.[]

____________________

(Diterjemahkan dari Role of the Shi’ah Imams in the Reconstruction of Islamic Society pada buku Introduction to Islamic Political System karya Muhammad Baqir Ash-Shadr, hal.86-100).

*Shahih Bukhari, hal. 175 cetakan Mesir; Shahih Muslim, jilid 2, hal.191, cetakan Mesir; Shahih Abu Dawud, jilid 2, hal. 207 cet. Mesir; Shahih Tirmidzi, jilid 2, hal.45, cet. Delhi; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.106, cet. Mesir; Mustadrak Al-Hakim, jilid 2, hal. 618, cet. Hyderabad.

(Syiahali/ABNA/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: