Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 11)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 11)

Written By Unknown on Sunday 29 November 2015 | 00:20:00


ASWAJA SNNi TIDAK MEMPERHATIKAN AHLUL BAYT

Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur’an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah Swt terdapat dalam ayat, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut : 49). Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533, juga terdapat di dalam kitab-kitab induk hadis yang lain)

Rasulullah khawatir umatnya tidak akan memperhatikan Ahlul BaytNya sepeninggal beliau, dan apa yang di khawatirkan oleh Baginda Rasul benar benar terjadi. Sepeninggal Rasulullah umatnya tidak mengindahkan wasiat Rasulullah saaw, bahkan sebagian besar dari mereka menzalimi Ahlul Bayt as. Imam Ali yang di saksikan oleh Nabi sebagai orang yang selalu berjalan di jalan yang benar dilaknat di mimbar-mimbar selama kurang lebih 70 tahun. Imam Husain as yang sangat di cintai oleh baginda Rasul diperangi dan dibantai di padang pasir Karbala beserta keluarga dan sahabatnya, wanita wanita Ahlul Bayt diikat sebagai tawanan, diarak dari Karbala menuju Syam (Syiria).

Umat bukan hanya tidak menjadikan Ahlul Bayt as sebagai rujukan sebagaimana yang diwasiatkan oleh Nabi akan tetapi mereka memerangi Ahlul Bayt as kecuali sebagian kecil dari umat yang selalu memegang teguh wasiat Nabi dan menjadikan Ahlul Bayt sebagai Imam dan Rujukan dalam mengambil ajaran suci baginda Rasul saaw. Seandaianya umat Nabi mengindahkan wasiat Rasul niscaya Islam akan menjadi satu dan tidak kan terpecah pecah menjadi beberapa golongan

Bahwa keduanya Al-Qur’an dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri. Rasul menyebut keduanya (Al-Qur’an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur’an sudah cukup bagi kita. Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.

Atas dasar ini, Al-Quran telah menyodorkan obor bagi umat yang dapat digunakan selepas kepergian Rasulullah; obor yang dapat menuntun manusia mengikuti jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau dan dapat memberikan bantuan kepada mereka dalam rangka memahami dan menafsirkannya. Obor itu tak lain adalah Ahlul Bait As. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah disucikan dari segala kotoran dan noda, manusia-manusia yang kepada kakek mereka Al-Quran diturunkan, mereka menerima langsung ajaran ilahi dari beliau dan memahaminya dengan penuh kesadaran dan amanah, dan mereka telah dianugerahi hal-hal yang tidak diberikan kepada siapa pun.

Satu kesimpulan yang tegas, memisahkan Al-Qur’an dan Ahlul Bait adalah penyimpangan. Islam adalah keduanya yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran keturunan Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi Afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah keislaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia. Imam Ja’far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mulla Sadra (Filsafat), Allamah Taba’tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

*****

SIAPAKAH PEMIMPIN ORANG ISLAM ????

Inilah FAKTA siapa wali orang Islam : “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadan ruku’” (Al Maidah 55).

Berdasarkan hadis-hadis yang dinukil baik dari kalangan ulama’ Syiah maupun Ahli Sunnah, ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali a.s ketika mengulurkan tangan nya untuk memberikan cincin nya kepada seorang pengemis di dalam masjid ketika beliau shalat dan sesuai kajian dan penuturan para ahli tafsir dan ahli hadis Syiah serta pengakuan sekelompok ulama’ yang tidak sedikit dari kalangan Ahli Sunnah, bahwa pribadi yang menyedekahkan cincinnya pada si faqir dalam keadaan shalat (waktu ruku’) itu adalah pribadi agung Ali as.

Allamah Mar’asyi dalam kitabnya Ihqaqul Haq menuturkan bahwa ada sekitar 85 kitab hadis dan tafsir Ahli Sunnah yang menukil bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Imam Ali. Dengan riwayat-riwayat ini jelas bahwa yang dinginkan dari kata jamak pada ayat di atas adalah kata tunggal dan itu Imam Ali as. Akan tetapi yang perlu dicermati di sini adalah apa arti sebenarnya dari kata wali yang terdapat dalam ayat ini.

Arti wali: Kata-kata Wali, Wilayat, Wala, Maula, dan Awla, berasal dari akar kata yang sama yaitu Wala. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Quran; 124 dengan kata benda, dan sekitar 112 tempat dipakai dalam bentuk kata kerja.

Sebagaimana yang termuat dalam kitab Mufradatul Quran, karya Ragib Isfahani, dan kitab Maqayisul Lugah karya Ibn Fars, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak sama sekali. Maksudnya jika dua sesuatu sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada sesuatu ketiga, ketika kita katakan walia zaid Amr artinya zaid di sisi Amr. Kata ini juga bermakna teman, penolong dan penanggung jawab. Dengan kata lain pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan dan hubungan serta interaksi, dan untuk menentukan arti yang dinginkan dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami kontek kalimatnya.

Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah hanya Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Ali yang merupakan wali orang Islam

Pemimpin sebuah kaum dapat dipanggil dengan wali atau maula, karena kedekatan dan secara langsung mengurusi dan menyuruh dan melarang semua urusan. Dan kepada majikan dikatakan maula karena secara langsung mengurusi masalah hamba. Ibnu faris juga mengatakan:”barang siapa bertanggung jawab atas urusan seseorang maka ia akan menjadi wali baginya.

*****

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Pandangan Syi’ah

Apabila kita kecualikan sebagian orang yang fanatik dari awamnya Syi’ah, yang menganggap seluruh Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib, maka kebanyakan ulama mereka yang dahulu dan sekarang adalah tetap meyakini nahwa saudara mereka dari Ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah merupakan korban kedustaan dan tipu daya orang-orang Umawiyah. Sebab mereka berbaik sangka terhadap para pendahulu yang dianggap saleh dan mengikuti tanpa penelitian dan pertimbangan, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus dan dijauhkan dari Tsaqalain (dua peninggalan berharga)–yakni Kitabullah dan keluraga yang suci– yang keduanya dapat memelihara orang yang berpegang padanya dari kesesatan dan menjamin mereka terbimbing ke jalan yang benar.

Maka Anda lihat kebanyakan yang mereka tulis untuk mempertahankan diri dan memperkenalkan akidah mereka adalah dengan menyerukan kejujuran dan kesatuan dengan saudara mereka dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagaian ulama Syi’ah di beberapa negara dan kota-kota telah mempersiapkan para pembahas tentang metode yang tepat guna dalam rangka membentuk satu pengaturan dan lembaga pengajaran Islam untuk pendekatan antara mazhab-mazhab dan usaha membentuk persatuan. Sebagian mereka, telah menaruh perhatian serius terhadap pelurusan al-Azhar asy-Syarif, menara Ilmu dan pengetahuan bagi Ahlussunnah, dan mereka telah menemui para ulamanya dan mengadakan diskusi dengan mereka secara baik, seperti yang telah dilakukan oleh Imam Syarafuddin al-Musawi ketika ia bertemu dengan Imam Salimuddin al-Bisyri. Dari hasil pertemuan dan surat menyurat itu lahirlah satu kitab yang bagus yang dinamakan al-Muraja’at (Dialog Sunnah–Syi’ah-red), yang memiliki peranan besar dalam pendekatan pandangan di kalangan umat Islam. Sebagaimana kesungguhan para ulama Syi’ah telah berhasil di Mesir, maka Imam Mahmud Syaltut, Multi negara Mesir di saat itu mengeluarkan fatwanya yang sangat mengesankan dalam pembolehan ibdah dengan mazhab Syi’ah Ja’fari dan fiqih Syi’ah Ja’fari dijadikan materi pelajaran yang diajarkan di al-Azhar asy-Syarif.

Demikian itulah, kebiasaan Syi’ah dan Ulamanya, khususnya dalam memperkenalkan para imam Ahlulbait yang suci dan mazhab Ja’far yang merupakan Islam dengan seluruh maknanya. Mereka telah menulis dalam masalah tersebut berjilid-jilid dan beberapa keterangan, dan mereka telah menyelenggarakan untuk itu banyak penerbitan-penerbitan khususnya setelah revolusi Islam di Iran, telah diadakan muktamar-muktamar di Teheran dengan mengatasnamakan kesatuan Islam, dan mengatasnamakan pendekatan antara mazhab-mazhab. Semuanya merupakan seruan yang sesungguhnya untuk menghilangkan permusuhan dan kedengian serta untuk menambahkan ruh persaudaraan Islam dan penghormatan terhadap sesama umat Islam.

Setiap tahun muktamar kesatuan Islam itu mengundang para ulama dan pemikir dari golongan Syi’ah dan sunah, dan mereka hidup berminggu-minggu secara penuh dibawah naungan persaudaraan yang sebenarnya, mereka makan dan minum, mengerjakan shalat, berdoa dan saling tukar pandangan dan pemikiran, dan mereka saling memberi dan menerima. Seandainya muktamar itu tidak berperan selain melunakkan hati dan pendekatan sesama umat Islam, agar saling mengenal dan melenyapkan kedengian, niscaya hal itu mengandung kebaikan yang banyak dan keutamaan yang menyeluruh serta akan datang masanya memetik hasilnya, insya Allah.

Dan Anda bila memasuki satu rumah dari rumah orang-orang Ssyi’ah yang biasa, lebih-lebih rumah para ulama dan para pelajar, pasti Anda mendapati di dalamnya susunan kitab-kitab yang mencakup kitab tulsan Ssyi’ah berdampingan dengan kitab-kitab tulisan Ahlussunnah wal Jama’ah. Tapi sebaliknya, ahlussunnah wal Jama’ah jarang Anda dapati disisi ulama mereka kitab Syi’ah satu pun, kecuali hanya beberapa orang saja. Oleh sebab itu, mereka tidak mengetahui hakikat Syi’ah dan tidak mengetahui selain hanyalah yang dusta yang ditulis oleh para musuhnya. Sebagaimana orang Syi’ah biasa, Anda dapati kebanyakannya, mengetahui sejarah Islam dengan seluruh perputarannya dan sering ia berkumpul untuk menghidupkan peringatannya. Adapun orang Alim Sunni, Anda dapati sedikit saja yang memperhatikan sejarah, dan ia menganggapnya termasuk sumber keburukan yang tidak ia kehendaki mengungkitnya dan menampakkannya bahkan wajib mengabaikannya dan tidak mengambil perhatian padanya, karena hal itu dapat menimbulkan buruk sangka terhadap para pendahulu yang saleh. Dikarenakan ia telah memantapkan diri atau anggapannya dengan keadilan seluruh sahabat dan kesucian mereka, maka ia tidak mau menerima apa yang telah ditulis oleh sejarah tentang mereka.

Karena itu semua, Anda lihat ia tidak mau bersandar pada pembicara yang berdasarkan dalil dan bukti, Anda lihat ia, baik berusaha lari dari pembahasan karena ia lebih dahulu tahu akan kalah, atau ia akan mengalahkan perasaannya dan kecondongannya dan mendorong dirinya dalam pembahasan, lalu ia terpengaruh untuk protes terhadap akidahnya dan akhirnya mengikuti Ahlulbait Nabi saww.

Syi’ah itu adalah Ahlussunnah Nabi saww, karena Imam mereka yang pertama setelah Nabi saww adalah Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang hidup dan bernapas dengan sunah Nabi saww. Perhatikanlah sikapnya, ketika mereka (para sahabat) mendatanginya untuk membaiat dirinya sebagai khalifah dengan syarat mengikuti sunah Syaikhan (yakni Abu Bakar dan Umar) maka ia menjawab, “Aku tidak mau memerintah kecuali dengan Kitabullah dan sunah Rasulullah saww,” tidak ada kebutuhan bagi ‘Ali dalam kekhalifahan jika dengan mengabaikan sunah Nabi saww, ia telah berkata, ”Sesungguhnya kekhalifahan kalian menurutku, bagaikan kotoran kambing, kecuali jika untuk menegakkan hukum Allah Swt.”.

Dan putranya yakni Imam Husein as, telah berkata dengan ucapannya yang masyhur, yang tetap bergema dalam pendengaran sepanjang zaman yakni,”Jika agama Nabi Muhammad saww, tidak akan tegak kecuali dengan kematianku, maka ambillah diriku wahai pedang-pedang!” Oleh karena itu, maka Syi’ah memandang saudara-saudaranya dari Ahlussunnah wal Jama’ah dengan pandangan simpatik dan kasihan, sepertinya mereka itu menginginkan baginya agar mendapat petunjuk dan keselamatan, sebab menurut mereka nilai petunjuk sesuai dengan yang telah diriwayatkan secara saleh itu adalah lebih baik dari pada dunia beserta apa yang ada di dalamnya. Rasulullah telah bersabda kepada Imam ‘Ali ketika beliau mengutusnya untuk membuka benteng khaibar, “Perangilah mereka sehingga mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad saww adalah Rasulullah saww, apabila mereka telah mengucapkan itu, berarti telah terlindungi darimu diri dan hartanya dan perhitungan selanjutnya pada Allah SWT. Jika Allah SWT, memberi petunjuk satu orang dengan perantaraanmu, niscaya hal itu lebih baik bagimu dari pada engkau memiliki kuda yang terbagus.”.

Sebagaimana yang menjadikan keinginan Imam ‘Ali bin Abi Thalib hanyalah satu yakni, membimbing umat manusia dan mengembalikannya kepada Kitabullah dan sunah Rasul-Nya, maka demikian pula Syi’ahnya sekarang ini, keinginan mereka adalah untuk mempertahankan diri mereka dari segala tuduhan-tuduhan dan kedustaan, serta ingin memperkenalkan pada saudaranya Ahlussunnah tentang hakikat Ahlulbait as danselanjutnya membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu bukanlah bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf:111)

*****

Khulafaurrasyidin adalah 12 imam ahlul bait

Ahlul bait yang disucikan adalah Rasulullah SAW, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain ( hadis ahlul kisa dari Qs.33:33).. 12 imam adalah Imam Ali + 11 keturunan Imam Ali… Mereka adalah khalifah yang ditunjuk Nabi SAW.

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan:

اِنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ الله،ِ وَ عِتْرَتِي اَهْلَ بَيْتِي، مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا اَبَدًا، وَانَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتیّ يرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533 )

Terkait dengan sikap kita kepada Ahlul Bait, di antaranya Nabi saw. bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي

Aku meninggalkan di tengah tengah kalian apa yang jika kalian ambil kalian tidak akan tersesat, Kitabullah dan ’itrah Ahlul Baitku. (HR. Tirmidzi).

*****

NABi SAW MENYEBUT NAMA 12 KHALiFAH UMAT

penutupan kenabian dilengkapi oleh penunjukkan imam Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam.. Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma’idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”.

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”.

Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.

Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:
“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”

Serempak mereka menjawab:
“Benar, ya Rasulullah ….”

Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”.

Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”.

Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.

Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”

Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’

Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimipinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’

Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’

Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”[1]

Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.

Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67)

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari “Ghadir” ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.

Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi’tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, “Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS.As-Syu’ara: 214)

Lantas beliau berseru kepada keluarganya, “Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian.”

Ahlusunnah dan Syi’ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]

Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59)

Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah

Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”

Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.”[3]

Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.’

Beliau menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein.”

Kembali aku bertanya, “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur’an?”

Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada “Kitabullah” dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.’”

Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak.”

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi’ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.

Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam.”[4]

Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.”[5]

Referensi:
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke ‘Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.

*****

Kelak akan datang dua belas Imam …

Jabir bin Samurah meriwayatkan: Saya mendengar Nabi (saw) berkata: ”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.” [Sahih al-Bukhari (Bahasa Inggris), Hadith: 9.329, Kitabul Ahkam; Sahih al-Bukhari, (Bhs Arab), 4:165, Kitabul Ahkam].

Nabi (saw) bersabda: “Agama (Islam) akan berlanjut sampai datangnya Saat (Hari Kebangkitan), berkat peranan Dua Belas Khalifah bagi kalian, semuanya berasal dari suku Quraisy.” [Sahih Muslim, (English), Chapter DCCLIV, v3, p1010, Hadis no. 4483; Sahih Muslim (Bhs Arab), Kitab al-Imaara, 1980 Edisi Saudi Arabia, v3, p1453, Hadis no.10].

Siapakah Dua Belas Penerus Nabi (s.a.w)itu? Apa yang dikatakan para Ulama Sunni:
Ibn al-’Arabi: Kami telah menghitung pemimpin (Amir-Amir) sesudah Nabi (saw) ada dua belas. Kami temukan nama-nama mereka itu sebagai berikut: Abubakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid, Muawiyah bin Yazid, Marwan, Abdul Malik bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan, As-Saffah… Sesudah ini ada lagi 27 khalifah Bani Abbas. Jika kita perhitungkan 12 dari mereka, kita hanya sampai pada Sulaiman. Jika kita ambil apa yang tersurat saja, kita cuma mendapatkan 5 orang di antara mereka dan kepadanya kita tambahkan 4 ‘Khalifah Rasyidin’, dan Umar bin Abdul Aziz…. Saya tidak paham arti hadis ini. [Ibn al-'Arabi, Sharh Sunan Tirmidhi, 9:68-69].

Qadi ‘Iyad al-Yahsubi: Jumlah khalifah yang ada lebih dari itu. Adalah keliru untuk membatasinya hanya sampai angka dua belas. Nabi (saw) tidak mengatakan bahwa jumlahnya hanya dua belas dan bahwa tidak ada tambahan lagi. Maka mungkin saja jumlahnya lebih banyak lagi. [Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, 12:201-202; Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, 16:339].

Jalal al-Din al-Suyuti: Hanya ada dua belas Khalifah sampai Hari Pengadilan. Dan mereka akan terus melangkah dalam kebenaran, meski mungkin kedatangan mereka tidak secara berurutan. Kita lihat bahwa dari yang dua belas itu, 4 adalah Khalifah Rasyidin, lalu Hasan, lalu Muawiyah, lalu Ibnu Zubair, dan akhirnya Umar bin Abdul Aziz. Semua ada 8. Masih sisa 4 lagi. Mungkin Mahdi, Bani Abbasiyah bisa dimasukkan ke dalamnya sebab dia seorang Bani Abbasiyah seperti Umar bin Abdul Aziz yang (berasal dari) Bani Umayyah. Dan Tahir Abbasi juga bisa dimasukkan sebab dia pemimpin yang adil. Jadi, masih dua lagi. Salah satu di antaranya adalah Mahdi, sebab ia berasal dari Ahlul Bait (keluarga) Nabi (as).” [Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Halaman 12; Ibn Hajar al-Haytami, Al-Sawa'iq al-Muhriqah Halaman 19].

Ibn Hajar al-’Asqalani: Tidak seorang pun mengerti tentang hadis dari Sahih Bukhari ini. Adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Imam-imam itu akan hadir sekaligus pada satu saat bersamaan. [Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:338-341].

Ibn al-Jawzi: Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Yazid bin Muawiyah dan yang terakhir adalah Marwan Al-Himar. Total jumlahnya tiga belas. Usman, Muawiyah dan Ibnu Zubair tidak termasuk karena mereka tergolong Sahabat Nabi (s). Jika kita kecualikan (keluarkan) Marwan bin Hakam karena adanya kontroversi tentang statusnya sebagai Sahabat atau karena ia berkuasa padahal Abdullah bin Zubair memperoleh dukungan masyarakat, maka kita mendapatkan angka Dua Belas.… Ketika kekhalifahan muncul dari Bani Umayyah, terjadilah kekacauan yang besar sampai kukuhnya kekuasaan) Bani Abbasiyah. Bagaimana pun, kondisi awal telah berubah total. [Ibn al-Jawzi, Kashf al-Mushkil, sebagaimana dikutip dalam Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:340 dari Sibt Ibn al-Jawzi].

Al-Nawawi: Ia bisa saja berarti bahwa kedua belas Imam berada dalam masa (periode) kejayaan Islam. Yakni ketika Islam (akan) menjadi dominan sebagai agama. Para Khalifah ini, dalam masa kekuasaan mereka, akan menyebabkan agama menjadi mulia [Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim ,12:202-203].

Al-Bayhaqi: Angka (dua belas) ini dihitung hingga periode Walid bin Abdul Malik. Sesudah ini, muncul kerusakan dan kekacauan. Lalu datang masa dinasti Abbasiyah. Laporan ini telah meningkatkan jumlah Imam-imam. Jika kita abaikan karakteristik mereka yang datang sesudah masa kacau-balau itu, maka angka tadi menjadi jauh lebih banyak.” [Ibn Kathir, Ta'rikh, 6:249; Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa Halaman 11].

Ibn Kathir: Barang siapa mengikuti Bayhaqi dan setuju dengan pernyataannya bahwa kata ‘Jama’ah’ berarti Khalifah-khalifah yang datang secara tidak berurutan hingga masa Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang jahat dan sesat itu, maka berarti ia (orang itu) setuju dengan hadis yang kami kritik dan mengecualikan tokoh-tokoh tadi. Dan jika kita menerima Kekhalifahan Ibnu Zubair sebelum Abdul Malik, jumlahnya menjadi enam belas. Padahal jumlah seluruhnya seharusnya dua belas sebelum Umar bin Abdul Aziz. Dalam perhitungan ini, Yazid bin Muawiyah termasuk di dalamnya sementara Umar bin Abdul Aziz tidak dimasukkan. Meski demikian, sudah menjadi pendapat umum bahwa para ulama menerima Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang Khalifah yang jujur dan adil [Ibn Kathir, Ta'rikh, 6:249-250].

Di antara simpang siur pendapat tersebut, Ulama terkenal Al-Dhahabi mengatakan dalam bukunya Tadzkirat al-Huffaz , jilid 4, halaman 298, dan Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam al-Durar al-Kaminah, jilid 1, hal. 67 bahwa Sadruddin Ibrahim bin Muhammad bin al-Hamawayh al-Juwayni al-Shafi’i (disingkat Al-Juwayni) adalah seorang ahli Hadis yang mumpuni. Al-Juwayni menyampaikan dari Abdullah bin Abbas (ra) bahwa Nabi (sawa) mengatakan,”Saya adalah penghulu para Nabi dan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin para penerus, dan sesudah saya akan ada dua belas penerus. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah Al-Mahdi.”

Al-Juwayni juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas (r) bahwa Rasulullah (sawa) berkata: ”Sudah pasti bahwa wakil-wakilku dan Bukti Allah bagi makhluk sesudahku ada dua belas. Yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anak (cucu) ku.” Orang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?”. Beliau menjawab: “Ali bin Abi Thalib.” Lalu beliau ditanyai lagi: “ Dan siapakan anak (cucu) mu itu?” Nabi yang suci (sawa) menjawab: ”Al-Mahdi. Dia akan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan ketika ia (bumi) dipenuhi ketidakadilan dan tirani. Dan demi Yang Mengangkatku sebagai pemberi peringatan dan memberiku kabar gembira, meski seandainya masa berputarnya dunia ini tinggal sehari saja, Allah SWT akan memperpanjang hari itu sampai diutusnya (anakku) Mahdi, kemudian ia akan disusul Ruhullah Isa bin Maryam (a.s.) yang turun ke bumi dan berdoa di belakangnya (Mahdi). Dunia akan diterangi oleh sinarnya, dan kekuatannya akan mencapai hingga ke timur dan ke barat.”.

Al-Juwayni juga meriwayatkan bahwa Rasulullah (sawa) mengatakan: ”Aku dan Ali dan Hasan dan Husain dan sembilan anak cucu Husain adalah yang disucikan (dari dosa) dan dalam kebenaran.” [Al-Juwayni, Fara'id al-Simtayn, Mu'assassat al-Mahmudi li-Taba'ah, Beirut 1978, p. 160.]

*****

Khulafaurrasyidin adalah 12 imam ahlul bait

Ahlul bait yang disucikan adalah Rasulullah SAW, Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain ( hadis ahlul kisa dari Qs.33:33).. 12 imam adalah Imam Ali + 11 keturunan Imam Ali… Mereka adalah khalifah yang ditunjuk Nabi SAW.

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih).

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan:

اِنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ: كِتَابَ الله،ِ وَ عِتْرَتِي اَهْلَ بَيْتِي، مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا اَبَدًا، وَانَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتیّ يرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahmad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533).

Terkait dengan sikap kita kepada Ahlul Bait, di antaranya Nabi saw. bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي

Aku meninggalkan di tengah tengah kalian apa yang jika kalian ambil kalian tidak akan tersesat, Kitabullah dan ’itrah Ahlul Baitku. (HR. Tirmidzi).


(Bersambung)

(Syiahali/ABNA/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: