Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 10)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 10)

Written By Unknown on Sunday 29 November 2015 | 00:07:00


Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi

Dalam hal ini ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi kami, karena Nabi saw, sebagaimana hadits mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma’shum, yang telah diselamatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh kami, setelah Alquran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlubait, perbuatan, dan taqrir mereka.

Jika diperhatikan bahwa para Imam as itu hanya menukil haditsnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadits-hadits mereka sesungguhnya adalah hadits-hadits Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.

Imam Muhammad Ibn Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:
Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadits-hadits Rasulullah saw.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang suatu masalah dan Imam meberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi:

“Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?” Imam berkata:
“Ketahuilah! Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat ditanya “Apa pendapatmu”.

Dalam pada itu, kitab-kitab hadits utama yang terdapat dalam mazhab ahlul bait yang dipercayai validitasnya, seperti al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man La Yahdurhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadits, juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, maka hadits tersebut dapat diterima. Tapi jika tidak, akan ditolak. Dengan demikian, hadits baru dapat diterima jika riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.

Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikatagorikan sebagai riwayat mu’tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha mazhab ahlul bait, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini dinamakan riwayat mu’radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat.

Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah mazhab ahlul bait, atau kaum Syi’ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.

Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadits yang disebut al-sihah. Para penyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkatagorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih. Demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya harus dikembalikan ke Ilm al-Rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.

Jika poin ini diperhatikan, ia dapat mengklirkan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah mazhab ahlul bait, kaum Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap aqidah kami.

Singkat kata, hadits-hadits para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran kami, yaitu setelah Alquran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadits-hadits tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan yang juga diakui.

*****

Analisis Tafsir Salafy Terhadap Hadis Ali Khalifah Setelah Nabi SAW

Al Hafiz Ibnu Abi Ashim Asy Syaibani dalam Kitabnya As Sunnah hal 519 hadis no 1188 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sebagai berikut:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu.

Salafy berkata:
Hadits di atas dipergunakan dalil oleh kaum Syi’ah sebagai legalitas kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu (yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – bukan Abu Bakr Ash-Shaiddiq radliyallaahu ‘anhu).

Aneh sekali, seolah-olah setiap hadis yang membicarakan kekhalifahan harus dipandang dari sudut yang mana tafsir Sunni dan yang mana tafsir Syiah. Seolah-olah sebuah tafsir harus dipahami dalam kerangka mana anda berdiri. Apakah anda orang sunni? maka tafsirnya harus begini. Kalau anda menafsirkan begitu maka itu adalah tafsir Syiah. Pahamilah sebuah hadis bagaimana hadisnya sendiri berbicara karena kebenaran tidak terikat dengan apakah anda Sunni ataukah Syiah.

Sungguh dugaan mereka keliru. Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.

Yang keliru berkata keliru. Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada sisi pendalilan atas klaim Syiah. Padahal salafy sendiri juga mengklaim. Orang lain juga dengan mudah berkata sebaliknya “Sungguh dugaan salafy keliru, tidak ada sisi pendalilan atas klaim salafy terhadap hadis tersebut”.

Dalam memahami satu hadits tentu saja harus dipahami berbarengan dengan hadits lain yang semakna agar menghasilkan satu pemahaman yang komprehensif.

Mari kita memahami dengan pemahaman yang komprehensif dan mari kita lihat bersama siapa yang mendudukkan dalil dengan semestinya dengan berpegang pada hadisnya dan mana yang menundukkan hadis pada keyakinan yang dianut.

Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu membawakan hadits semisal dalam Ash-Shahiihain:

عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي

Dari Sa’d bin Abi Waqqaash ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas ‘Ali bin Abi Thaalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata : ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab : ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4416 dan Muslim no. 2404].

Hadis Shahihain ini diucapkan Nabi SAW pada perang Tabuk, tetapi Salafy mengklaim bahwa keutamaan yang dimiliki Imam Ali kedudukan Beliau di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa adalah terkhusus pada perang Tabuk saja dan tidak untuk setelahnya. Jelas sekali klaim mereka ini memerlukan bukti. Mana bukti dari hadis diatas yang menunjukkan bahwa keutamaan kedudukan Harun di sisi Musa hanya berlaku saat perang Tabuk saja. Hadis di atas hanya menunjukkan bahwa keutamaan tersebut berlaku saat Perang Tabuk tetapi tidak menafikan kalau keutamaan tersebut berlaku untuk seterusnya. Sebuah hadis dengan lafaz yang umum akan berlaku sesuai keumumannya kecuali terdapat pernyataan tegas soal kekhususannya. Dan maaf kita tidak menemukan adanya kekhususan bahwa hadis di atas hanya berlaku saat perang tabuk saja. Kekhususan sebab tidak menafikan keumuman lafal.

Salafy berkata:
Dari hadits ini kita dapat mengetahui apa makna “khalifah” sebagaimana dimaksud pada hadits pertama. Makna “khalifah” di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Konteks hadits dan peristiwanya menyatakan demikian.

Konteks hadis menyatakan bahwa Imam Ali adalah khalifah pengganti Rasulullah SAW saat Perang Tabuk. Dan hal ini adalah bagian dari keumuman lafal kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Selain itu lafal “Tidak sepantasnya Aku pergi Kecuali Engkau sebagai Khalifahku” memiliki arti jika Rasulullah SAW pergi atau tidak ada maka Imam Ali adalah pengganti Beliau. Hal ini selaras dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Kedudukan tersebut mencakup jika Nabi Musa AS tidak ada atau pergi dan Nabi Harun AS masih hidup maka Nabi Harun AS yang akan menjadi penggantinya. Perhatikanlah kita menerima keduanya baik konteks hadis dan teks hadis yang umum.

Salafy berkata:
Jika mereka (kaum Syi’ah) menyangka dengan hadits ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengamanatkan kepemimpinan (khilaafah) kaum muslimin kepada ‘Ali secara khusus setelah wafat beliau, niscaya akan banyak khalifah di kalangan shahabat yang ditunjuk beliau – jika kita mengqiyaskannya sesuai dengan ‘illat haditsnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi tugas serupa kepada ‘Utsman bin ‘Affaan, Ibnu Ummi Maktum, Sa’d bin ‘Ubaadah, dan yang lainnya.

Sungguh persangkaan mudah sekali keliru. Bagaimana Syiah menafsirkan hadis itu maka itu urusan mereka. Sekarang yang kita bahas adalah apa makna sebenarnya hadis ini. Jika salafy mengqiyaskan dengan illat hadis yang diklaim seenaknya maka begitulah jadinya. Jika salafy hanya berpegang pada asumsi mereka dan menafikan lafal hadisnya maka nampaklah kekeliruan mereka. Kekeliruan salafy adalah mereka bermaksud bahwa keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa itu hanya sebatas perang Tabuk saja dan ini terkait dengan kepemimpinan Imam Ali saat di Madinah saja dan itu pun saat Perang Tabuk saja. Kalau memang Salafy mengakui bahwa banyak sahabat yang mendapat kepemimpinan seperti itu maka jika kita mengqiyaskan dengan illat yang dimaksud salafy niscaya keutamaan Kedudukan Harun di sisi Musa tidak hanya milik Imam Ali tetapi juga milik sahabat lain yang mendapat tugas dari Nabi SAW. Adakah salafy berkeyakinan seperti itu?.

Salafy berkata:

Jika ada yang bertanya :
Mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan redaksi yang sama kepada para shahabat lain saat mereka menjadi pengganti/wakil beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurus wanita dan anak-anak ?

Dijawab:
Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi….dst.” adalah untuk menghibur sekaligus pembelaan terhadap ‘Ali atas cercaan kaum munafiq.

Saya tidak menafikan bahwa bisa saja untuk dikatakan bahwa perkataan itu untuk menghibur. Tetapi walau bagaimanapun perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah kebenaran. Rasulullah SAW memberikan hiburan bahwa keutamaan Imam Ali di sisi Beliau adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hal ini mencakup berbagai kedudukan yang dimiliki Harun di sisi Musa kecuali yang telah dikhususkan oleh Rasulullah SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian. Jika memang salafy berkeyakinan bahwa kata-kata tersebut hanya sekedar perumpamaan artinya kepemimpinan Ali saat perang Tabuk serupa dengan kepemimpinan Harun saat Musa pergi ke Thursina dan hanya terbatas untuk itu saja. Maka tidak ada faedahnya kata-kata “namun engkau bukanlah seorang nabi”. Adanya kata-kata mengkhususkan seperti itu menunjukkan bahwa kedudukan tersebut tidaklah khusus tetapi bersifat umum yaitu Mencakup semua kecuali apa yang telah dikhususkan oleh Nabi SAW bahwa itu tidak termasuk yaitu Kenabian.

Juga, untuk menegaskan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu di sisi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja, sebuah penegasan keutamaan merupakan jalan yang paling ampuh untuk menangkal cercaan kaum munafiqin tersebut.

Tentu saja benar dan sebuah keutamaan yang disematkan kepada Imam Ali tidaklah akan sirna atau hilang jika kaum munafik sudah tidak mencela. Apakah salafy ingin mengatakan bahwa tujuan keutamaan tersebut hanya untuk menangkal cercaan kaum munafik saja tetapi tidak menjelaskan kedudukan yang sebenarnya?. Keutamaan tersebut menjelaskan kedudukan sebenarnya Imam Ali di sisi Nabi SAW dan kedudukan tersebut akan terus ada dan melekat pada Imam Ali.

Adz-Dzahabiy berkata:
“……..Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menugaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib menjaga keluarganya dan mengurus segala keperluannya. Kaum munafiqin pun menyebarkan berita buruk karena penugasan tersebut dan berkata : ‘Tidaklah beliau menugaskannya (untuk tinggal di Madinah/tidak ikut berperang) kecuali karena ia (‘Ali) merasa berat untuk berangkat (jihad) dan kemudian diberikan keringanan (oleh beliau). Ketika kaum munafiqin mengatakan hal itu, ‘Ali bergegas mengambil senjatanya dan kemudian keluar untuk menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Jarf. ‘Ali berkata : “Wahai Rasulullah, kaum munafiqin mengatakan bahwa engkau menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan kemudian memberikan keringanan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka telah berdusta ! Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Maka ‘Ali pun akhirnya kembali ke Madinah” [Taariikhul-Islaam, 1/232].

Perhatikanlah hadis di atas. Mari kita berikan analogi yang sama buat salafy. Jika kita memahami hadis riwayat Adz Dzahabi maka disitu disebutkan bahwa Rasulullah SAW menugaskan Imam Ali untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Hal ini terlihat dari kata-kata Kembalilah, aku menugaskanmu selama aku meninggalkanmu di belakangku untuk mengurus keluargaku dan keluargamu. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW mengucapkan ‘Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”. Dengan cara berpikir salafy maka kita dapat mengatakan bahwa illat hadis Manzilah adalah tugas untuk mengurus keluarga Nabi dan keluarga Ali. Lantas mengapa mereka sebelumnya mengatakan Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Apakah semua orang di Madinah saat itu hanya keluarga Nabi dan keluarga Imam Ali saja?. Yah begitulah kontradiksi salafy dalam memahami hadis.

Salafy berkata:
Lantas : “Apa makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ?” – sebagaimana riwayat Ibnu Abi ‘Aashim. Bukankah ia menunjukkan lafadh mutlak yang menunjukkan ‘Ali merupakan pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau ? Dan lafadh mukmin ini meliputi seluruh shahabat yang hidup pada waktu itu ?

Bahkan hal itu telah terjawab pada penjelasan sebelumnya.

Anehnya silakan anda perhatikan baik-baik. Penjelasan sebelumnya jauh berbeda dengan penjelasan salafy setelah ini. Sebelumnya ia mengatakan bahwa makna khalifah tersebut Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk.

Salafy berkata:
Makna : khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di ; ini mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah sebagaimana perkataan mereka (Syi’ah) – yaitu menjadi pengganti beliau secara mutlak setelah beliau wafat;

Ternyata sisi pendalilan itu ada, kata-kata tersebut sangat jelas. Anehnya salafy sebelumnya berkata Tidak ada sisi pendalilan atas klaim mereka terhadap hadits tersebut.

Salafy berkata:
sedangkan kemungkinan kedua bahwa perkataan itu menunjukkan ‘Ali menjadi pengganti beliau bagi seluruh orang mukmin (para shahabat) hanya saat setelah kepergian beliau menuju Tabuk. Kemungkinan kedua inilah yang kuat.

Lihatlah baik-baik adakah salafy mengatakan sebelumnya bahwa khalifah itu bagi seluruh orang mukmin. Bukankah kita lihat bahwa sebelumnya salafy berkata Makna “khalifah” bagi Imam Ali di sini adalah pengganti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam pengurusan wanita dan anak-anak saat mereka ditinggal oleh ayah atau suami mereka berangkat jihad di Tabuk. Jika memang kemungkinan kedua ini yang terkuat maka kepemimpinan tersebut juga bagi ayah atau suami mereka yang ikut berjihad saat perang Tabuk, karena bukankah mereka juga termasuk orang mukmin. Anehnya kalau memang begitu maka kepemimpinan tersebut tidak terbatas pada di Madinah saja (seperti klaim Salafy) tetapi juga mencakup orang mukmin lain yang tidak berada di Madinah. Sekali lagi kita melihat hal-hal yang kontradiksi.

Sejauh ini salafy tidak memiliki dasar untuk mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud hanya terkhusus saat perang Tabuk saja. Mereka hanya mengklaim begitu saja bahwa itu dikhususkan tanpa menunjukkan bukti yang mengkhususkannya. Siapa yang mengkhususkan?. Ketika Rasul SAW berkata untuk setiap orang mukmin maka ada yang berkata khusus untuk anak-anak dan wanita di Madinah saja. Ketika Rasul SAW berkata “setelahku” maka ada yang berkata khusus untuk perang Tabuk saja. Siapa yang mengkhususkan kalau bukan klaim mereka sendiri. Padahal lafal hadis yang diucapkan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Imam Ali adalah pengganti beliau secara mutlak bagi setiap mukmin setelah beliau wafat.

Salafy berkata:
Kalimat ‘min ba’dii’ (setelahku) di sini maknanya bukan mencakup setelah wafat beliau. Namun ia muqayyad (terikat) pada ‘illat hadits yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Yaitu : ‘Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan wanita dan anak-anak di Madinah.

Tidak ada dasar bahwa lafal tersebut muqayyad karena illat hadis yang dimaksud hanyalah klaim salafy semata. Pertama-tama mari kita kembalikan pada riwayat Adz Dzahabi bukankah disana dengan cara berpikir salafy maka ‘illat hadis adalah Ali menjadi pengganti Nabi setelah keberangkatan beliau menuju Tabuk dalam hal pengurusan keluarga Nabi dan keluarga Ali. Bukankah ‘illat dari riwayat Al Bukhari dan ‘illat riwayat yang dikutip Adz Dzahabi berbeda, bagaimana bisa salafy luput melihat hal ini. Bagi saya pribadi kepemimpinan Imam Ali di perang Tabuk baik terhadap keluarga Nabi dan keluarga Ali ataupun terhadap wanita dan anak-anak Madinah adalah bagian dari keumuman Kedudukan Ali di sisi Nabi seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Dan ini mencakup kedudukan Harun yang akan menjadi pengganti bagi Musa jika Musa pergi atau tidak ada, dengan syarat saat itu Nabi Harun AS masih hidup. Dengan kata lain bagian dari kedudukan tersebut adalah Seseorang akan menjadi pengganti bagi orang yang dimaksud jika seseorang tersebut masih hidup. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata selanjutnya bahwa Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Kata-kata ini dengan jelas mendudukkan Imam Ali sebagai khalifah bagi setiap Mukmin selepas Nabi SAW karena selepas Nabi SAW Imam Ali masih hidup.

Salafy berkata:
Karena kalimat sebelumnya berbunyi : “Tidak sepantasnya aku pergi” – yaitu kepergian beliau menuju Tabuk.

Satu hal yang perlu diingat hadis riwayat Ibnu Abi Ashim yang memuat kata-kata ini tidak menunjukkan bukti yang pasti bahwa kata-kata ini diucapkan pada perang Tabuk. Ada saja kemungkinan bahwa hadis ini diucapkan Nabi di saat yang lain sehingga perkataan tidak sepantasnya aku pergi dijelaskan oleh kata-kata setelahKu sehingga yang dimaksud kepergian itu adalah kepergian saat Nabi SAW wafat. Salafy tidak bisa menafikan kemungkinan ini hanya dengan klaimnya semata. Seandainya pula hadis ini diucapkan saat Perang Tabuk maka perkataan tersebut diartikan bahwa saat Perang Tabuk Nabi juga telah mengatakan bahwa khalifah sepeninggal Beliau SAW adalah Imam Ali.

Salafy berkata:
Sungguh sangat aneh (jika tidak boleh dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan Arab atas perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sepantasnya aku pergi (menuju Tabuk) kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” – mencakup setelah wafat beliau.

Sungguh sangat aneh (jika tidak dikatakan mengada-ada) bagi mereka yang paham akan lisan arab bahwa perkataan khaliifatii fii kulli mukmin min ba’di berarti khalifah bagi wanita dan anak-anak saat perang Tabuk. Secara bahasa arab itu berarti Khalifah bagi setiap orang mukmin sepeninggal Nabi SAW. Dan tentu lafaz ba’di memiliki arti sepeninggal (wafat). Aneh sekali jika orang yang paham lisan arab dengan mudah menafikan makna ba’di sebagai sepeninggal (wafat).

Salafy berkata:
Penyamaan ‘Ali bin Abi Thaalib dengan Harun dalam hadits semakin membatalkan klaim mereka. Sebagaimana diketahui bahwa Harun tidak pernah menggantikan Musa ‘alaihimas-salaam sebagai khalifah memimpin Bani Israil. Ia wafat ketika Musa masih hidup, dan hanya menggantikan untuk sementara waktu dalam pengurusan (memimpin) Bani Israil saat Musa pergi untuk bermunajat kepada Rabbnya. Tidak ada riwayat sama sekali yang menjelaskan bahwa Harun ‘alaihis-salaam menjadi khilafah/pemimpin bagi Bani Israil sepeninggal (wafat) Musa, melainkan hanya waktu itu saja. Yang menggantikan Musa setelah wafatnya dalam memimpin Bani Israel adalah Nabi Yusya’ bin Nuun ‘alaihis-salaam

Justru salafy mengetahui tetapi tidak memahami. Penyerupaan yang dimaksud dalam hadis di atas adalah penyerupaan Kedudukan orang yang satu di sisi orang yang lain. Artinya kedudukan Imam Ali di sisi Rasul SAW seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Mengapa Nabi Musa AS menunjuk Nabi Harun AS sebagai penggantinya karena Nabi Harun AS adalah wazir Musa, keluarga dan sekutu dalam urusannya. Sama halnya dengan mengatakan bahwa kedudukan Harun saat itu di sisi Musa adalah kedudukan yang paling layak dan tepat sebagai pengganti Musa jika Musa akan pergi atau jika Musa tidak ada. Kedudukan ini sudah jelas dimiliki Harun semasa hidupnya artinya jika Nabi Harun AS masih hidup maka dialah yang akan ditunjuk sebagai pengganti Nabi Musa AS. Begitu pula dengan kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, jika Imam Ali masih hidup maka dialah yang akan menggantikan Nabi SAW oleh karena itu Rasulullah SAW menjelaskan dengan kata-kata Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu. Karena sepeninggal Nabi SAW Imam Ali masih hidup

Salafy mengutip Nawawi yang sebenarnya tidak sedang menjelaskan hadis riwayat Ibnu Abi Ashim

Berkata An-Nawawi rahimahullah :

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما قال هذا لعلي رضي الله عنه حين استخلفه على المدينة في غزوة تبوك ويؤيد هذا أن هارون المشبه به لم يكن خليفة بعد موسى بل توفي في حياة موسى قبل وفاة موسى نحو أربعين سنة على ما هو المشهور عند أهل الأخبار والقصص

“Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallaqm hanya bersabda kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu saat menjadikannya sebagai pengganti di Madinah pada waktu (beliau berangkat menuju) Perang Tabuk. Dan ini diperkuat bahwasannya Harun ‘alaihis-salaam yang diserupakan/disamakan dengan ‘Aliy, tidak pernah menjadi khalifah sepeninggal Musa. Bahkan ia meninggal saat Musa masih hidup sekitar 40 tahun sebelum wafatnya Musa – berdasarkan hal yang masyhur menurut para ahli sejarah”

Perkataan ini tidak jauh berbeda dengan kata-kata salafy sebelumnya. Tetapi coba lihat kata-kata

وليس فيه دلالة لاستخلافه بعده

Kata-kata Nawawi diartikan salafy dengan Tidak ada petunjuk (dilaalah) di dalamnya bahwa ‘Ali sebagai pengganti setelah (wafatnya) beliau. Kali ini dengan mudah salafy memaknai kata yang dicetak biru sebagai setelah (wafatnya) Beliau. Anehnya dalam hadis riwayat Ibnu Abi Ashim ia menafikan bahwa kata tersebut berarti wafat. Sekali lagi kontradiksi.

Salafy berkata:
Harun ‘alaihis-salaam adalah seorang waziir bagi Musa dalam memimpin Bani Israail sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya :

وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي

“Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku” [QS. Thaha : 29-32].

Seorang wazir mempunyai tugas untuk membantu dan memberi dukungan terhadap imam. Begitu pula dengan Nabi Harun yang menjadi waziir bagi Nabi Musa ‘alaihimas-salaam.[3] Jika Syi’ah hendak menyamakan kedudukan ‘Ali dengan Harun, maka cukuplah mereka berpendapat ‘Ali berkedudukan sebagai waziir bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan sebagai imam/khalifah yang ditunjuk. Oleh karena itu, klaim Syi’ah tentang keimamahan ‘Ali bin Abi Thaalib melalui hadits ini sungguh sangat tidak tepat.

Berdasarkan ayat Al Qur’an yang dikutip salafy maka Nabi Harun AS tidak hanya seorang wazir Musa tetapi juga keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan merupakan sekutu Musa dalam urusannya. Kedudukan Harun di sisi Musa ini dimiliki oleh Imam Ali di sisi Rasul SAW. Tidak hanya itu, Nabi Harun AS juga ditunjuk sebagai Imam atau khalifah bagi kaumnya ketika Musa AS akan pergi:

وَقَالَ مُوسَى لاَِخِيه هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين

“Musa berkata kepada saudaranya yaitu Harun “Gantikan Aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al-A’raf: 142).

Hal ini menunjukkan salah satu kedudukan Harun di sisi Musa adalah Beliau menjadi khalifah semasa hidupnya (selagi hidup) jika Nabi Musa AS akan pergi. Maka begitu pula kedudukan Imam Ali di sisi Nabi SAW, Beliau semasa hidupnya (selagi hidup) menjadi khalifah jika Nabi Muhammad SAW pergi.

Salafy berkata:
Kita tidak mengingkari bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Namun membawanya kepada makna ‘Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai khalifah/amirul-mukminin sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah yang tidak kita sepakati. Tidaklah setiap lafadh yang menunjukkan keutamaan itu selalu berimplikasi kepada kepemimpinan.

Cara berpikir seperti ini jelas-jelas terbalik. Kita tidak mengingkari bahwa lafal hadis Manzilah riwayat Ibnu Abi Ashim memuat lafal Khalifah sepeninggal Nabi SAW dan sudah jelas lafal khalifah berimplikasi kepada kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW. Hal ini menunjukkan hadis Manzilah memiliki makna umum (termasuk dalam hadis shahihain) dan merupakan keutamaan Imam Ali RA yang sangat besar di sisi Nabi SAW.

Salafy berkata:
Ada yang sangat memaksakan kehendak dengan menafikkan akal sehat yang padahal sangat mudah untuk memahaminya.

Mereka katakan bahwa Harun itu akan menggantikan Musa jika Harun masih hidup sepeninggal Musa. Begitulah kata mereka.

Jika yang dimaksud akal sehat adalah setiap yang mendukung keyakinan salafy maka akal tersebut sudah menjadi tidak sehat. Karena sebuah keyakinan harus diukur dengan standar kebenaran bukan standar kebenaran yang harus ditundukkan pada keyakinan. Sudah jelas kedudukan Harun di sisi Musa adalah Harun akan selalu menjadi pengganti Musa jika Musa tidak ada dan saat itu Harun masih hidup. Siapapun yang berakal sehat tidak akan menafikan hal ini.

Salafy berkata:
Pertanyaannya : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyamakan kedudukan ‘Ali radliyallaahu ‘anhu dengan Harun; apakah beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Harun telah meninggal sebelum Nabi Musa meninggal dan tidak pernah memegang tampuk khalifah/imam memimpin Bani Israel sepeninggal Musa?

Sudah jelas Rasulullah SAW tahu, oleh karena itulah untuk menghapus syubhat dari para pengingkar maka Rasulullah SAW memberikan penjelasan khusus yaitu Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin setelahKu. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW mengetahui bahwa Imam Ali masih hidup sepeninggal Beliau SAW, dan tentu sebagaimana layaknya Harun akan menjadi pengganti Musa jika Harun masih hidup maka Imam Ali akan menjadi pengganti Rasul SAW jika Imam Ali masih hidup.

Salafy berkata:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Harun hanyalah menjadi pengganti (khalifah) bagi Musa untuk mengurus Bani Israel hanya saat Musa pergi ke Bukit Tursina.

Kita sudah jelaskan bahwa kedudukan Harun di sisi Musa itu tidak hanya soal pengganti Musa ketika Musa pergi ke bukit Thursina saja. Kita telah jelaskan bahwa Harun adalah wazir Musa, keluarga dan saudara Musa, orang yang meneguhkan kekuatan Musa dan sekutu Musa dalam urusannya. Oleh karena itu tidak ada satupun yang layak menggantikan Musa selain Harun jika Nabi Harun AS masih hidup. Inilah kedudukan Harun di sisi Musa yang tidak dipahami oleh salafy. Beginilah cara mereka mengurangi keutamaan Imam Ali dengan menafikan keumuman dan mengkhususkan dengan situasi tertentu saja.

Salafy berkata:
Oleh karena itu, beliau mengqiyaskan kedudukan mulia Harun ini kepada ‘Ali yang beliau tugaskan untuk mengurus orang-orang yang tinggal di Madinah saat beliau tinggalkan berperang menuju Tabuk.

Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan Imam Ali di sisi Beliau dengan kata-kata kedudukanMu di sisi Ku seperti Kedudukan Harun di sisi Musa kecuali tidak ada Nabi setelahKu. Pengecualian yang ditetapkan oleh Rasul SAW adalah untuk membatasi keumuman kedudukan Harun yang memang banyak di sisi Musa. Jika seperti yang salafy katakan bahwa hal itu hanya pengqiyasan untuk situasi yang khusus maka tidak ada faedahnya disebutkan pengecualian. Jika memang sudah dikhususkan mengapa harus dikecualikan.

Salafy berkata:
Namun karena Syi’ah hendak memaksakan untuk membawa pengertian ini kepada penunjukan Khalifah sepeninggal Nabi, datanglah tafsir-tafsir aneh mengenai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Begitulah salafy selalu mengatakan aneh setiap tafsir yang bertentangan dengan mereka karena salafy hendak memaksakan untuk melindungi keyakinan mereka dan menunjukkan kedengkian mereka terhadap mahzab lain. Mereka tidak bisa mengakui kebenaran pada mahzab lain karena menurut mereka apapun setiap mahzab yang menentang mereka maka sudah jelas tafsirnya akan aneh-aneh. Tidakkah cukup kata-kata Rasulullah SAW yang sangat jelas, ternyata tidak karena dalih selalu bisa dicari-cari. Pengingkar akan selalu ada dan itu tidak tergantung dari mahzab apa ia berasal. Untuk menentukan ingkar atau tidak anda hanya perlu melihat dengan jelas siapa yang berpegang pada hadis Rasul SAW dan siapa yang berpegang pada keyakinan pribadi. Sekali lagi saya tekankan kepada para pencari kebenaran, anda tidak perlu menjadi sunni atau syiah untuk memahami hadis di atas dan anda tidak perlu terkelabui oleh syubhat bahwa kalau anda memahami begitu maka anda akan menjadi syiah, atau kalau anda memahami seperti ini maka anda adalah sunni. Cukup pahami hadis tersebut sebagaimana hadis tersebut berbicara.

(Bersambung)

(Syiahali/ABNA/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: