Perdana Menteri Djuanda diapit Robert Kennedy (kiri), adik Presiden John F. Kennedy, dan Howard Jones (kanan), Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. (Foto: repro buku "Ir H Djuanda, Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama" karya Awaloedin Djamin)
Perdana Menteri Djuanda meluncurkan program stabilisasi ekonomi di bawah pengawasan IMF. Dianggap campur tangan terlalu jauh dalam urusan dalam negeri.
DALAM kondisi ekonomi yang nyaris porak poranda, Perdana Menteri Djuanda yang menjabat pada 1957 dan wakil Indonesia untuk IMF Sutikno Slamet memimpin gerakan stabilisasi, bekerja sama dengan ekonom Khouw Bian Tie dan Gubernur Bank Indonesia Soemarno. Mereka menolak kontrol ketat negara di bidang ekonomi dan serangan terhadap investor swasta dan menganggap modal dari luar negeri sebagai mesin akumulasi modal dan pembangunan
Menurut Bradley R. Simpson dalam Economist with Guns, Djuanda satu-satunya anggota kabinet yang melihat masalah Indonesia secara menyeluruh. Dia pula satu-satunya yang tampaknya dipercaya Sukarno dalam bidang ekonomi. Dia adalah arsitek stabilisasi yang dikendalikan IMF, penangkal kilat kritik-kritik Partai Komunis Indonesia (PKI), dan karena itu bisa diterima tentara, dan pengikat paling kuat pada era Sukarno dalam menjalin hubungan dengan Barat sekaligus memainkan peran yang menonjol dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
Menurut Siauw Giok Tjhan dalam Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar, tujuan dari bantuan IMF dan Bank Dunia adalah membuka pasar lebih luas bagi barang-barang hasil industrinya, memperoleh bahan-bahan mentah dengan harga lebih murah (dengan syarat mata uang negeri penerima bantuan harus didevaluasi), dan memperluas lapangan penanaman modal bagi pemilik-pemilik modal negeri donor dengan jaminan bisa memperoleh keuntungan lebih besar.
“IMF dan Bank Dunia digunakan oleh Amerika Serikat untuk mempengaruhi perkembangan politik di Indonesia,” tulis Siauw Giok Tjhan.
Pada pertengahan 1961, Presiden Kennedy mengirimkan tim survey yang dipimpin oleh senator Hubert Humphrey untuk mendata kebutuhan-kebutuhan Indonesia. Setelah meneliti langsung, tim menerbitkan laporan pada pertengahan 1962 yang merekomendasikan bantuan Amerika Serikat senilai US$200-235 juta, plus pendanaan multinasional US$125-155 juta.
“Tawaran bantuan ini akan terikat dengan serangkaian proposal reformasi ekonomi yang pengawasan dan programnya dibuat oleh IMF,” tulis Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno.
Pada Mei 1962, sebuah tim kajian IMF berangkat ke Indonesia dan menghendaki paket penyesuaian struktural klasik: pengetatan fiskal, peningkatan produksi bahan mentah untuk ekspor, penghapusan subsidi pemerintah untuk konsumsi domestik, devaluasi rupiah, penghentian nilai tukar yang bermacam-macam, dan kebijakan kredit yang ketat untuk mengendalikan inflasi yang melambung.
Pada akhir September 1962, Sutikno dan Soemarno kembali mengundang tim IMF untuk mengkaji kondisi ekonomi dan membantu para pejabat Indonesia membuat rancangan stabilisasi yang diperlukan untuk mengamankan pinjaman dan memperbaiki hubungan Indonesia dengan kreditur-kreditur asing.
Sutikno mendapat bantuan dari penasihat-penasihat Amerika Serikat, seperti ekonom Bernard Bell, yang sebelumnya diajak Dutabesar Amerika Serikat di Jakarta Howard Jones untuk memberikan saran kepada Bappenas soal Rencana Pembangunan Delapan Tahun Indonesia, dan berkonsultasi dengan misi Humphrey. Dalam kerjasama dengan Bappenas dan Perdana Menteri Djuanda, Bernard Bell merencanakan Program Aksi Ekonomi untuk bernegosiasi dengan IMF, dan kemudian sebagai Regulasi 26 Mei 1963.
“Slamet Sutikno berpendapat bahwa Bell adalah faktor yang menentukan dalam memulai stabilisasi. Bell telah membujuk Djuanda untuk melakukan pendekatan ‘semuanya sekaligus’ seperti yang didesakkan oleh IMF,” tulis Bradley Simpson.
Tantangan Djuanda saat itu adalah meyakinkan Sukarno, tentara, dan partai-partai politik untuk mendukung langkah-langkah stabilisasi dengan pengawasan IMF itu. Program stabilisasi ekonomi yang berkongsi dengan IMF itu telah membangkitkan respons keras masyarakat. Ironisnya hal yang sama juga terulang kembali 35 tahun kemudian, saat pada 1998 Presiden Soeharto terpaksa menandatangani kesepakatan dengan IMF yang berujung pada kejatuhannya setelah 32 tahun berkuasa.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email