Buya Hamka mengibaratkan Majelis Ulama Indonesia sebagai kue bika.
Gus Mus atau Ahmad Mustofa Bisri, pengasuh pondok pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, mempertanyakan keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“MUI itu sebenarnya makhluk apa? Enggak pernah dijelaskan. Ujuk-ujuk (tiba-tiba) dijadikan lembaga fatwa, aneh sekali,” kata Gus Mus, dikutip tempo.co.
Gagasan pembentukan majelis ulama muncul dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September-4 Oktober 1970. Gagasan itu berasal dari Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah. Mereka meminta partisipasi ulama dalam pembangunan dan pembinaan kerukunan antarumat beragama
KH Dachlan, Menteri Agama kala itu, menyokong gagasan tersebut. Saat membuka musyawarah, Dachlan mengemukakan alasan mendasar pembentukan majelis ulama. “Untuk memperlancar pembangunan dalam segala bidang, dalam hal ini bidang pemersatuan dan peningkatan partisipasi umat Islam pada umumnya dan Alim Ulama pada khususnya terhadap usaha-usaha pemerintah di bidang pembangunan..,” dikutip Panji Masyarakat 15 April 1975.
Berbeda dari KH Dachlan, sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohamad Natsir dan Kasman Singodimedjo, tak lantas menyetujui pembentukan majelis ulama. Mereka berpendapat majelis ulama bakal lebih menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam.
Berbeda dengan para rekannya, Hamka memandang penting pembentukan majelis ulama. Sebab majelis ulama justru bisa berfungsi sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Selain itu, majelis ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam.
Hamka mengajukan dua syarat jika pemerintah hendak meminangnya sebagai ketua majelis ulama.
“Mereka (ulama, red) berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu dia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya diapun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu diapun akan dibenci oleh rakyat,” tulis Hamka dalam Panji Masyarakat, 1 Juli 1974.
Pemerintah bersedia mengakomodasi syarat Hamka. Mukti Ali dan Hamka lalu bertemu beberapa kali selama Juli 1975. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun terbentuk pada 26 Juli 1975 di Jakarta. Dan Hamka menjabat sebagai ketuanya sejak 27 Juli 1975
Pada hari itu juga, Hamka berpidato kali pertama sebagai Ketua MUI. Hamka menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat. “…Laksana kue bika,” kata Hamka, “Api membakar kue dari atas dan bawah. Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam.” Hamka berusaha menjinakkan dua api itu melalui berbagai cara.*
(Tempo/Panji-Masyarakat/Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Buya Hamka (memegang tongkat), ketua MUI, dalam Musyawarah Nasional II MUI di Hotel Sahid Jakarta, 28 Mei 1980. (Foto: Perpusnas RI).
Gus Mus atau Ahmad Mustofa Bisri, pengasuh pondok pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, mempertanyakan keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“MUI itu sebenarnya makhluk apa? Enggak pernah dijelaskan. Ujuk-ujuk (tiba-tiba) dijadikan lembaga fatwa, aneh sekali,” kata Gus Mus, dikutip tempo.co.
Gagasan pembentukan majelis ulama muncul dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September-4 Oktober 1970. Gagasan itu berasal dari Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah. Mereka meminta partisipasi ulama dalam pembangunan dan pembinaan kerukunan antarumat beragama
KH Dachlan, Menteri Agama kala itu, menyokong gagasan tersebut. Saat membuka musyawarah, Dachlan mengemukakan alasan mendasar pembentukan majelis ulama. “Untuk memperlancar pembangunan dalam segala bidang, dalam hal ini bidang pemersatuan dan peningkatan partisipasi umat Islam pada umumnya dan Alim Ulama pada khususnya terhadap usaha-usaha pemerintah di bidang pembangunan..,” dikutip Panji Masyarakat 15 April 1975.
Berbeda dari KH Dachlan, sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohamad Natsir dan Kasman Singodimedjo, tak lantas menyetujui pembentukan majelis ulama. Mereka berpendapat majelis ulama bakal lebih menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam.
Berbeda dengan para rekannya, Hamka memandang penting pembentukan majelis ulama. Sebab majelis ulama justru bisa berfungsi sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Selain itu, majelis ulama dapat mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam.
Hamka mengajukan dua syarat jika pemerintah hendak meminangnya sebagai ketua majelis ulama.
“Mereka (ulama, red) berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu dia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya diapun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu diapun akan dibenci oleh rakyat,” tulis Hamka dalam Panji Masyarakat, 1 Juli 1974.
Pemerintah bersedia mengakomodasi syarat Hamka. Mukti Ali dan Hamka lalu bertemu beberapa kali selama Juli 1975. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun terbentuk pada 26 Juli 1975 di Jakarta. Dan Hamka menjabat sebagai ketuanya sejak 27 Juli 1975
Pada hari itu juga, Hamka berpidato kali pertama sebagai Ketua MUI. Hamka menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat. “…Laksana kue bika,” kata Hamka, “Api membakar kue dari atas dan bawah. Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam.” Hamka berusaha menjinakkan dua api itu melalui berbagai cara.*
(Tempo/Panji-Masyarakat/Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email