Pesan Rahbar

Home » » Para Pemimpin Muatadh’afin; Bagian Ketiga: Menanti Pemimpin Mustadh’afin

Para Pemimpin Muatadh’afin; Bagian Ketiga: Menanti Pemimpin Mustadh’afin

Written By Unknown on Saturday 8 October 2016 | 20:33:00


Diantara ajaran-ajaran Syi’ah, okultasi (ghaibiyah) dan konsep “penantian Juru Selamat” adalah suatu prinsip yang di dalamnya terdapat perbedaan dan kontradiksi antara mazhab-mazhab pemikiran yang menganutnya.


Dua Kutub yang Bertentangan

Di satu sisi kita mempunyai para intelektual (dalam pengertian yang biasa digunakan selama ini), dan di sisi lain kita mempunyai kelompok rohaniwan yang beriman (juga dalam istilah dengan pengertian yang biasa digunakan dan dipahami). Kelompok yang disebut terakhir akan mengecam saya dan mengatakan bahwa apa yang saya katakan menyangkal keyakinan dan prinsip-prinsip mereka, sedang kelompok yang pertama akan mengatakan bahwa pada hari dan zaman ini, dengan berbagai istilah dan konsep baru, saya justru sedang menghidupkan kembali persoalan-persoalan yang sudah usang, dan membendung pikiran generasi masa kini dari berkonsentrasi pada masa depan, ilmu pengetahuan dan kemajuan sosial, dan bahwa sayalah pelindungnya, dan saya adalah sang pengkhayal atas semua takhayul, dan sebagainya.

Itulah sebabnya mengapa saya meminta Anda, yang tidak dari kelompok yang baru disebutkan di atas, tetapi yang dengan lapang dana menerima ceramah saya, untuk lebih memberi perhatian sehingga Anda tidak bereaksi seperti kaum agamis yang terlalu fanatik, yang takut terhadap adanya penafsiran atau analisis baru; juga tidak seperti para ultra-modernis dalam berbagai masalah ideologis, yang merasa tersinggung terhadap pembahasan atas berbagai konsep agama atau khazanah lama, khususnya menyangkut bidang agama atau yang sifatnya tradisional.

Saya menganggap bahwa Anda, sebagaimana saya, tidak berprasangka secara agamis, atau bahkan yang lebih buruk lagi, berprasangka secara tidak agamis, sehingga Anda mungkin “tidak mampu untuk memahami” segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pola pikir Anda yang sebelumnya telah ada. Dan sebagaimana saya, Anda tidak menduduki jabatan yang tinggi sehingga Anda terpaksa untuk bertindak secara hati-hati; juga tidak memiliki status agamis yang tinggi sehingga Anda akan merisaukan popularitas; dan juga tidak memiliki status intelektual sehingga Anda harus khawatir terhadap pendirian Anda. Maka tidak seharusnya Anda memblokade pemahaman Anda sendiri, karena Anda tidak memiliki kedudukan sebagai pejabat atau status sosial yang lain sehingga perlu berjaga- jaga dan khawatir.

Maka dari itu Anda memiliki “kekuatan” dan “keberanian” untuk memahami sudut-sudut pandang yang bertentangan.


Istilah “Penantian” dari Tiga Perspektif Ideologis yang Berbeda

Persoalan penantian dan kepercayaan kepada Imam Zaman, “Akhir dunia”, dan prinsip “revolusi terakhir” di akhir sejarah, dipandang dengan kaca mata yang berbeda oleh masing-masing mazhab pemikiran ideologis.
Seorang intelektual non-agamis mengatakan bahwa kepercayaan kepada Messiah (munculnya Sang Ratu Adil, Imam Mahdi –penerj.) dan konsep penantian, adalah ―dari sudut pandang saintifik― tidak masuk akal, tidak logis; suatu pikiran usang yang mengarah kepada kemerosotan sosial. Menurut mereka, tidak ilmiah untuk mempercayai fakta bahwa seorang manusia biasa dapat memiliki jangka waktu hidup yang panjang; bahwa ia melewatkan hidupnya selama 1000 tahun, 3000 tahun atau lebih; hal ini bertentangan dengan hukum biologi, fisiologi, logika saintifik, dan alam. Lebih dari itu, mereka menambahkan, dari sudut pandang sosial, konsep Messiah bertentangan dengan kemajuan dan tangungjawab manusia. Karena para pengikutnya percaya, bahwa perbaikan sosial, kebangkitan kesadaran manusia, penghapusan tatanan zalim, diskriminasi dan korupsi, bukan berada di tangan manusia, tetapi terjadi oleh wujud yang akan muncul di masa yang akan datang, supranatural yang akan menyelamatkan kemanusiaan dari kerusakan dan dari keadaan yang menyedihkan. Maka, kepercayaan Juru Selamat yang gaib, yang kehidupan, misi, dan kemunculannya serba supranatural, dan tugasnya sepenuhnya tidak dipengaruhi oleh kehendak dan tanggung jawab kita, secara otomatis mengarah kepada kesimpulan bahwa kita tidak mempunyai andil sama sekali dalam memutuskan nasib kita sendiri, masyarakat kita, atau kemanusiaan, dan tidak ada tanggung jawab bagi kita untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat kita dan di muka bumi pada saat ketidakhadiran beliauo Kepercayaan semacam ini menyingkirkan tanggung jawab manusia karena ia mengingkari kehendak manusia. Ketika Anda percaya bahwa kezaliman, penindasan, kemalangan, perbudakan, dan kebejatan moral akan terus berkembang dan tidak ada seorang pun yang dapat menentangnya, serta kita semata-mata harus menantikan seorang yang diutus oleh Allah untuk melakukan sesuatu demi kepentingan kita, maka tidak ada tempat bagi Anda atau orang lain agar dapat mengambil langkah terkecil sekalipun untuk menyelamatkan manusia.

Kritik semacam itu telah secara luas disebarkan di Eropa, khususnya dalam mengecam orang-orang Yahudi, yang juga sedang menantikan Juru Selamatnya, dan mereka yang tidak menerima Isa bin Maryam as, sebagai Messiah. Banyak novel dan cerita-cerita telah ditulis mengenai tema ini. Banyak di antaranya sangat lucu dan bahkan vulgar. Satu kisah semacam ini adalah mengenai isteri seorang rabbi. Wanita ini seorang pendosa dan ia setiap hari berbuat dosa seenaknya. Sang rabbi pun mengetahui hal ini dan mengecam isterinya. Sang isteri menjawab, “Bukankah kamu sedang menanti? Bukankah kamu menginginkan sang Messiah dan sang penyelamat bangsa Yahudi untuk muncul sesegera mungkin? Dan bukankah kamu yang mengatakan, ‘Dia akan muncul ketika kerusakan secara universal telah berkembang luas?’ Baiklah, saya memberi andil dalam hal ini untuk membantu mengurangi masa penantianmu. Kamu berdosa saja agar Tuhan mempercepat kemunculannya. Saya akan tetap berbuat dosa. Dan karena Sang Juru Selamat akan muncul hanya ketika kerusakan telah berkembang di mana-mana, siapa saja yang berusaha mengembangkan kerusakan berarti telah membantu mempercepat kemunculannya!”

Penafsiran penantian Messiah semacam ini bagi orang-orang yang mengimaninya, menjadi dalih untuk membenarkan korupsi atau kerusakan, dan memandang perbuatan zalim sebagai sesuatu yang alamiah. Dengan persepsi semacam ini mereka mencoba untuk melepaskan tanggung jawab mereka sejauh mungkin, dan menolak untuk berpartisipasi dalam segala aktivitas sosial. Mereka tidak membuat usaha apa pun untuk memperbaiki masyarakat, juga tidak mencoba untuk meningkatkan kesadaran umatnya, tidak membantu kekuatan-kekuatan keadilan dan kebebasan. Ringkasnya, mereka menolak untuk mengamhinangkah terkecil, dan tidak menulis atau mengucapkan sepatah kata pun dalam berjuang menentang kezaliman, penindasan, dan korupsi. Dengan kata lain, kepercayaan itu merupakan sebaik-baiknya dalih bagi para penganutnya untuk membenarkan status quo dan untuk melepaskan tanggungjawab sosial mereka.

Jadi, intelektual non-agamis memandang pembahasan ini sebagai tidak ilmiah dan anti sosial. Mereka percaya bahwa membahas persoalan semacam ini malah akan merusak masyarakat. Lebih jauh, mereka percaya bahwa seorang intelektual yang secara sosial sadar dan pecluli terhadap perjuangan bagi kebebasan dan keadilan, tidak saja berkeharusan untuk tidak membahas masalah-masalah semacam ini, tetapi memeranginya sekuat mungkin, dan menyelamatkan umat ini dari kesia-siaan dan kelumpuhan. Mereka menambahkan, adalah tugas mereka untuk mengalihkan keyakinan dan harapan umat dari seorang Imam yang gaib kepada para pemimpin mereka sekarang, dari revolusi gaibnya kepada revolusi sosial mereka sendiri, dan dari kehendak supranatural kepada ketetapan dan tanggungjawab berat mereka masing-masing.
Sementara kaum agamis kita, seperti kaum agamis di tempat lainnya, tidak meragukan ajaran agama, prinsip dan ritual-ritualnya, sehingga perlu untuk menganalisis, menjelaskan dan mempertahankannya serta menyangkal keberatan-keberatan dan berbagai pandangan kritis dan skeptis. Mereka mempunyai iman yang teguh kepada konsep Messiah, serta tidak pernah meragukan kekuatan pemahaman mereka atas persoalan ini. Dan karena bukti terbesar bagi keabsahan gagasan agamis ―sejauh menyangkut hal ini, sebenarnya ia termasuk dalam tradisi agamis― ia ditopang, baik oleh Al-Quran, hadis, atau fatwa-fatwa para pemimpin agama mereka yang memiliki keyakinan yang kuat kepada keberadaan Sang Juru Selamat. Mereka percaya bahwa Sang Juru Selamat akan muncul ketika kerusakan dan kezaliman telah melanda dunia, yang akan mengangkat senjata dan mengadakan pembalasan terhadap para penindas, para pembunuh Karbala, para khalifah kriminal dan penipu, pemerintahan Sufyanis, dan para ulama serta pemimpin agama, baik Sunni maupun Syi’ah dan mazhab-mazhab lainnya, yang telah memutar-balikkan agama untuk melayani berbagai kepentingan pribadi dan kelas mereka. Dengan kata lain, ia akan mengadakan pembalasan atas semua tindakan kriminal masa lalu dan sekarang, serta penyelewengnya. Ia akan menyelamatkan umat dari penindasan, menyelamatkan manusia dari kerusakan, menegakkan keadilan, mendirikan sistem pemerintahan imamah, melanjutkan tradisi Nabi Saw, memberlakukan hukum yang benar sesuai Al-Quran. Ia akan menciptakan suatu masyarakat dan pemerintahan dunia yang di dalamnya srigala dan domba akan meminum air dari satu sumur yang sama, serta tidak akan ada lagi perang, kekerasan, atau kecurangan. Akan ada suatu kedamaian universal. Tidak akan ada lagi kebutuhan terhadap uang, yang akan dig anti dengan slogan, “Semoga salam tercurah atas Muhammad dan keturunannya.” Pemimpin ini akan muncul di Makkah. Kedudukan pemerintahannya akan berada di Kufah, dan ia akan menyertai Isa as. Ia akan ditentang oleh para pendusta dan anti Isa yang tiranis. Para pengikut pertamanya berjumlah 313 orang yang ikhlas, beriman, dan berani. Orang-orang yang akan ditebas oleh pedang malamnya adalah para tiran dan para pemimpin agarna yang korup, dan orang-orang yang akan diselamatkannya adalah kaum mustadh’afin dan kemanusiaan pada umumnya.

Kaum agamis tidak pernah mencoba untuk memperdebatkannya. Orang wajib beriman kepadanya, kemudian merekapun beriman. Bila Allah menyatakan suatu misi atas seseorang, mereka harus berpegang kepadanya. Allah dapat menghidupkannya selama mungkin. Tidak pernah ada dalam pikiran mereka bahwa, jika konsep ini disalahtafsirkan, maka akan bertentangan dengan beberapa prinsip dasar Islam dan pernyataan-pernyataan Al-Quran yang jelas. Misalnya, mengenai tanggungjawab individu berkenaan dengan perkernbangan sosial dan sejarah umat manusia. Mereka juga tidak menyadari bahwa suatu pemahaman atas konsep tersebut yang diselewengkan seperti ini mustahil dapat digunakan untuk mencapai keadilan dan kebenaran, dan akan menjadikan sernua langkah menuju arah yang sia-sia. Mereka percaya kepada konsep ini karena ia adalah sebuah akidah agama, dan mereka yakin bahwa, mereka dapat mengambil langkah-langkah terhadap realisasi kebenaran dan keadilan jika mereka mempercayainya sebagai kewajiban agama untuk berbuat demikian. Karena itu mereka percaya terhadap konsep Messiah tanpa menganalisisnya atau mengujinya, baik dari perspektif logika, sosial, atau perspektif kemanusiaan. Mereka tidak meragukannya. Mereka menganggapnya benar karena hal ini merupakan masalah keimanan bagi mereka.

Sekarang, sejauh menyangkut aspek keulamaan, karena mereka memandang segala yang diputuskan oleh tradisi agama selalu benar, yakni, segala sesuatu yang berdasar Al-Quran, hadis, atau pernyataan-pernyataan yang dinisbatkan kepada para imam, apa pun yang terbukti berasal dan para imam ini adalah benar. Maka, apa yang telah mereka kerjakan dalam hal ini secara jelas adalah untuk membuktikan bahwa kepercayaan kepada al-Mahdi yang dijanjikan, secara eksplisit telah dinyatakan dalam Al-Quran dan dibuktikan oleh berbagai macam hadis. Jadi hal itu dapat diterima dan masuk akal, karena Islam, dan Syi’isme, tidak syak lagi, adalah benar dan dapat diterima. Apa yang telah dilakukan oleh ulama kita adalah menafsirkan berbagai macam ayat Al-Quran, merujuk kepada beberapa hadis Nabi dan para imam, dan membuktikan bahwa penafsiran-penafsiran serta hadis-hadis tersebut adalah asli. Dengan jalan ini mereka telah mencoba memperkuat kepercayaan umat kepada konsep ini tanpa menganalisisnya dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau logika, atau menjelaskan makna historis dan sosialnya.

Sekarang, mari kita alihkan perhatian kita kepada para “modernis agamis” (religious modernist) dalam masyarakat kita. Para anggota kelompok kita, baik mereka yang memiliki pendidikan tradisional atau mereka yang telah memiliki pendidikan modern, atau kedua-duanya, baru-baru ini telah mengambil pendekatan ketiga. Pendekatan mereka adalah membuktikan keabsahan konsep Al- Mahdi dengan menggunakan sistem ilmu pengetahuan, dalil materialistik agar para intelektual masa kini pun bisa menerimanya. Dengan kata lain, mereka sedang mencoba mengubah sesuatu yang sebenarnya merupakan masalah ajaran agama yang supranormal menjadi sesuatu yang saintifik dan logis.

Beberapa di antara mereka baru-baru ini telah menerbitkan beberapa buku yang berisi jawaban terhadap serangan-serangan dari para intelektual non-agamis. Buku-buku yang berisi jawaban ini tidak menitikberatkan pada tuduhan bahwa konsep Al-Mahdi menghambat kemajuan sosial, tetapi menjawab tuduhan bahwa konsep ini tidak ilmiah. Dengan bersandar pada bukti berbagai bidang ilmu pengetahuan modern, seperti biologi dan fisiologi, merka mencoba membuktikan bahwa manusia dapat hidup 1000 atau 2000 tahun, bahkan lebih lama lagi. Oleh karena itu, alasan bahwa kehidupan Imam Zaman yang panjang bahkan hingga ribuan tahun, adalah mungkin secara saintifik dan logika di dunia yang sedang kita huni dan di alam yang mengelilingi kita. Mereka melakukan hal ini untuk membuktikan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak memberikan batasan yang pasti terhadap jangka waktu hidup manusia. Baik biologi, fisiologi, atau ilmu pengetahuan lainnya tidak menyatakan bahwa manusia hanya dapat hidup dalam jangka waktu sekian tahun, dan tidak lebih dari itu. Tidak ada saintis atau teolog yang telah menyata- kan bahwa kehidupan manusia tidak dapat lebih dari 150, 160, atau 200 tahun. Panjangnya usia ini tidak terbatas pada jumlah tahun, dan tidak ada batasan berapa lama seorang individu dapat hidup.

Di Eropa Utara, rata-rata jangka waktu hidup manusia 80 tahun, sementara beberapa orang hidup di atas 100 atau 110 tahun. Telah banyak media yang melaporkan kasus-kasus ini yang ditemukan di wilayah-wilayah seperti Mongolia, Kazakhestan, Amerika, atau Afrika, di mana seseorang dikatakan mencapai usia 130 tahun, atau di tempat lainnya mncapai 135 tahun, atau yang lainnya 140 tahun. Tetapi, apakah manusia tertua yang dikenal hari ini hidup sampai 140 tahun, membuktikan bahwa tidak ada orang yang mungkin dapat hidup selama 141 tahun? Tentu saja tidak. Kalau seseorang mungkin hidup selama 141 tahun, mengapa tidak mungkin untuk hidup hingga 145, 150, atau 151 tahun? Dan karena kita tidak dapat memastikan jumlah tertentu sebagai batas usia manusia, mengapa tidak mungkin selama 200, 300, atau 1000 tahun? Argumen lainnya yang diberikan oleh para penulis ini adalah jangka waktu hidup yang dinisbatkan kepada tokoh-tokoh historis atau agamis, baik dalam Islam maupun dalam teks-teks non-Islam. Misalnya, mereka menunjukkan bahwa Sulaiman diceritakan telah hidup 300 atau 600 tahun, atau Nuh, yang, sebagaimana secara eksplisit dinyatakan oleh Al-Quran, hidup di antara umatnya selama 950 tahun. Nuh, kalau ia hidup selama 950 tahun atau bahwa ia menghabiskan waktu selama itu dalam mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah, maka Al-Mahdi juga dapat hidup lebih dari seribu tahun, dan ini sama sekali tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan alam sekarang ini.

Jadi, para sarjana agamis ini, yang lebih sadar akan ilmu pengetauan modern dan berbagai keberatan yang dilontarkan oleh para pemikir sekular dewasa ini, beralasan bahwa jangka waktu hidup Imam Zaman yang panjang, yang hidup dalam kehidupan alami secara menyamar di antara manusia selama dua betas abad terakhir, adalah sesuatu yang normal, yakni sesuai dengan ilmu pengetahuan modern. Maka kita tidak terpaksa untuk memilih antara menganggapnya sebagai suatu keajaiban, atau menolaknya dengan tidak mengujinya lebih dahulu.


Sang Pemimpin

Sekarang kita beralih kembali kepada kaum agamis. Para anggota kelompok ini melihat, tidak ada alasan untuk membenarkan kepercayaan pada kehidupan Imam Zaman yang panjang dengan menggunakan hukum-hukum biologi atau fisiologi. Mereka percaya bahwa Allah telah memberikan suatu misi kepada seorang manusia, dan karenanya telah memberinya kemampuan untuk hidup lebih panjang dari manusia biasa. Hal ini merupakan Kehendak Ilahi. Allah Mahakuasa dan tidak membutuhkan dalil fisiologis atau biologis atas persoalan ini.

Dalam kelompok ini, mereka merujuk kepada kepercayaan kepada Imam Zaman dengan sangat terang-terangan, yakni sebagai berikut: Beliau adalah salah seorang keturunan Nabi Saw, tepatnya putera dari Imam Hasan Al-Askari as, imam kesebelas Syi’ah dan salah seorang pengganti Nabi yang disebutkan namanya dalam daftar nama Duabelas Imam. Beliau dilahirkan dan memasuki masa gaib. Beliau tidak hadir di dunia materi dan tidak juga di dunia gaib. Beliau dapat dilihat tetapi tidak dapat dikenali. Mungkin ada banyak orang yang telah melihat beliau dan mungkin banyak yang bertemu dengan beliau hari ini, tetapi mereka tidak dapat mengenalinya. Oleh karena itu, berarti “ketidak-hadirannya” dapat dilihat tetapi tidak dapat dikenali. Berbeda dengan Isa yang dikatakan telah naik ke surga, Souciante yang diimani oleh para pengikutnya berada di dunia lain, dan Imam Hanafiyah yang sedang bersembunyi di gunung Ridwah, Al-Mahdi yang dijanjikan hidup secara normal di antara manusia; setiap orang dapat melihat beliau tetapi tidak seorang pun mengetahui siapa beliau.

Pemimpin besar ini telah melalui dua periode kegaiban. Periode pertama dinamakan “okultasi kecil” (ghaib al-asghar). Selama periode ini beliau memiliki empat “pintu” (baab) atau wakil (wazir) khusus sebagai perantara antara diri beliau dengan para pengikutnya. Para wazir ini dipilih oleh Imam sendiri.

Periode gaib kecil ini berlangsung selama 70 tahun. Setelah kematian para wazir beliau, periode “okultasi besar” (ghaib al-kubra) dimulai dan terus berlangsung hingga kini. Dalam periode ini tidak ada lagi baab atau perantara antara Imam dengan para pengikutnya, dan para pemimpin agama tertinggi bertindak sebagai “wazir ‘aam” (wakil umum).

Siapakah yang memilih para wakil umum ini? Berbeda dengan empat wazir (wakil) khusus yang dipilih oleh Imam sendiri, wazir umum dipilih oleh umat dengan bantuan para pakar. Dan bagaimana mereka memilihnya? Di sini kita mendapatkan suatu persoalan yang mendasar dan kritis; suatu persoalan yang tidak hanya mendalam dan mengherankan dipandang dari perspektif historis, sosial, politis dan ideologis; tetapi juga mengetahui suatu sejarah tersendiri tentang Syi’ah.

Selama masa okultasi besar, periode yang tidak terbatas dimulai dari abad ketiga Hijriah dan berlangsung sepanjang kehendak Allah, Syi’ah mempunyai suatu falsafah sosial dan politik yang memiliki dua aspek. Dari sudut yang satu ia progresif, umat oriented, menghargai manusia berikut kehendak, kebebasan dan pemikirannya, serta positif dalam pengertian tanggung jawab sosial manusia, optimisme historis dan merdeka intelektual maupun spiritual. Namun, ditinjau dari sudut yang lain ia merendahkan, anti umat, menghinakan manusia berikut kehendak, kebebasan dan pemikirannya, melepaskan tanggungjawab sosial, dan menjadi inkubator pesimisme serta kepasrahan. Aspek inilah yang ada sekarang dan, kecuali bagi orang-orang yang bertindak tanpa pikir serta menerima tanpa memahami, ia tidak dapat dipertahankan.

Dengan berawalnya periode okultasi besar dan berakhirnya misi para wazir yang ditunjuk, melalui mereka Imam secara rahasia memerintah umatnya, dan melalui mereka pula umat berhubungan dengan beliau, dan beliau dapat mengawasi bagaimana mereka melaksanakan tanggungjawab sosial mereka sebaik-baiknya dan bagaimana kebenaran dari ajaran-ajaran agamis mereka; (setelah itu) hubungan Imam dengan umat terputus. Periode inilah yang berlangsung hingga kini, dan apa yang telah menjadi tanggungjawab Imam, kini berpindah ke umat. Dengan kata lain, zaman penunjukan (para Imam) berakhir dan zaman pemilihan (para pemimpin) dimulai.

Fatwa terkenal yang dikeluarkan oleh Imam sebelum memasuki periode okultasi besar menggambarkan sistem khusus ini yang menggantikan sistem Imamah.

Tetapi siapakah orang-orang ini, dan bagaimana serta mengapa mereka dipilih?
Imam Ja’far As-Shadiq a.s. telah memberikan syarat-syarat dan kondisi kepada umat bagi pemilihan individu-individu.

Dan ini adalah alamiah, logis dan perlu.

Taqlid tidak hanya sesuai dengan akal, ia sebenarnya juga merupakan sifat akal yang mendasar: ketika seseorang tidak tahu, ia mematuhi keputusan orang yang tahu. Alasannya adalah, bahwa ketika akal tidak mampu untuk memahami suatu persoalan, ia menolak dengan sendirinya. Seorang pasien yang bijak misalnya, adalah seorang yang tidak memainkan akalnya dengan dokter ahlinya, karena kecerdasan akal di sini sepenuhnya taqlid, dan perintah akal adalah kepatuhan kepada resep dokter. Insinyur, dokter, pengacara dan para pemimpin politik atau organisasi revolusioner menyatakan, bahwa orang yang paling disiplin dan patuh kepada mereka adalah orang yang paling cerdas dan pandai di antara klien dan bawahan mereka. Ini karena intelegensia pembeda (discriminating intelligence) mereka mengajarkan, bahwa mengatakan apa yang tidak mereka ketahui merupakan kelancangan. Apa yang seharusnya mereka lakukan, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai bidang ilmu spesialisasi, adalah mematuhi perintah-perintah seorang spesialis. Prinsip ini dipakai dalam segala aspek kehidupan. Lebih maju dan beradab suatu bangsa, akan lebih dapat menerima dan mengikuti prinsip ini.

Maka kita lihat bahwa dalam periode okultasi besar, sistem pemilihan tertentu mengambil bentuk. Kendari ini merupakan suatu pemilihan demokratis untuk memilih seorang pemimpin, tetapi tidak sepenuhnya merupakan praktik demokratis bebas, sebab, walaupun pemimpin dipilih oleh rakyat, ia bertanggungjawab kepada Imam di sa:nping juga kepada rakyat. Ini berlawanan dengan demokrasi modern di mana pejabat yang dipilih hanya bertanggungjawab kepada orang-orang yang berhak memilih dalam pemilihan dan kepada konstituante mereka.

Oleh karena itu umat memilih wazir umum mereka dengan cara terse but di atas, dan menerimanya sebagai wakil Imam. Wazir umum ini bertanggung jawab di hdapan Imam dan para gurunya. Yakni ―berbeda dengan pemilihan pemimpin secara demokratis masa kini― ia tidak diwajibkan untuk menuruti gagasan orang-orang yang memilihnya. Agaknya, tugasnya adalah untuk mengarahkan dan mengajarkan serta mendidik umat sesuai dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum mazhab pemikiran yang dijelaskan oleh Imam.

Tentu saja, pemilihan ini, yang adalah pemilihan bersyarat, tidak berarti bahwa siapa saja yang mendapatkan mayoritas suara lebih berhak untuk menjadi wazir dan wakil Imam. Agaknya, jabatan dalam hal ini adalah jabatan sosial dan keulamaan. Orang awam yang tidak dekat dengan masalah-masalah yang berkaitan, tidak dikualifikasikan untuk memilih. Alasannya adalah, para ulama mengenal sekali ajaran-ajaran Imam, dan dapat membedakan siapakah yang terbaik dan lebih mengenal ajaran-ajaran Imam. Dan karena umat berada dekat dengan para pemimpin agama dan ulama mereka, dan percaya serta mengikuti mereka, tentunya mereka akan menerima pilihan wazir mereka untuk Imam.

Jenis pemilihan ini adalah sesuatu yang alamiah. Dan kita melakukan ini dalam pemilihan ahli-ahli dalam bidang lainnya. Misalnya, jika saya menderita penyakit jantung tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang medis, maka saya tidak akan memutuskan sendiri mengenai siapakah spesialis jantung yang terbaik. Yang akan saya lakukan adalah menanyakan kepada mahasiswa-mahasiswa kedokteran, dokter-dokter, farmakolog, dan yang lainnya yang akrab dengan masalah-masalah seperti ini, dan berdasarkan keyakinan saya kepada keahlian mereka, saya akan menerima keputusan mereka dan menganggapnya sebagai keputusan saya sendiri; sesuatu yang alamiah.

Maka kembali kepada Imam dalam masa okultasinya, kita melihat bahwa pada saat ketidakhadirannya, beliau mempercayakan kepemimpinan umat dan para pengikutnya kepada orang-orang yang lebih mengetahui tentang jalan beliau dan ajaran beliau sampai beliau muncul kembali, dan akan terjadi ketika rezim-rezim dan sistem- sistem sosial yang berkuasa telah mencapai tingkat kerusakan bencana besar.
Imam keduabelas akan menciptakan revolusi dari sisi Ka’bah, dan dua kekuatan akan bangkit melawannya. Pertama, adalah Dajjal, seorang manusia bernoda yang mempesona, yang menyesatkan hati dan pikiran manusia; bermata satu dan mengeluarkan percikan, matanya terdapat di tengah keningnya. Kekuatan yang lain adalah Sufyani, orang yang mengumpulkan bala tentara dan menduduki Palestina dan Yordania, tetapi kekuatannya pada akhirnya hancur di antara Makkah dan Madinah.

Setelah kedatangan Al-Mahdi di sisi Ka’bah, Imam berangkat ke Kufah disertai 313 orang pendukung yang kuat dan para pengikutnya. Beliau menjadikan Kufah sebagai pusat kekuatannya, dan di luar kota beliau membunuh begitu banyak para pendeta yang korup sehingga darah menggenang di tanah. Kemudian, Imam memulai perjuangannya dengan pedang, dengan jihad dan dengan penyembelihan koruptor serta menegakkan tatanan kebenaran di seluruh dunia. Beliau akan mengadakan pembalasan atas semua penindas sejarah dan membalas kekalahan Karbala. Beliau akan memperkuat semua pemimpin agama dan kebenaran yang di masa lalu tidak mampu menyelesaikan misi mereka, dan yang telah dikalahkan dan ditindas oleh kekuatan-kekuatan jahat. Keadilan akan menggantikan kekuatan, kesalehan akan menggantikan kebejatan, dan persaudayaan akan menggantikan kemunafikan dan permusuhan, sehingga srigala dan domba akan meminum air dari satu sumber yang sama. Panji beliau adalah panji yang dibawa kaum Muslimin dalam Perang Badr, pedangnya adalah pedang Ali as (Dzulfiqar), dan pakaian beliau adalah pakaian Nabi Saw. Ibu kotanya akan berada di Kufah dan beliau akan bangkit dari Ka’bah. Tetapi setelah sesaat keadilan berdiri di seluruh dunia, Imam akan dibunuh. Inilah ringkasan ajaran Syi’ah tentang Iman Zaman. Saya pribadi percaya kepada jenis pendekatan ideologis dan keyakinan ini, lebih daripada yang ditawarkan oleh para intelektual agamis yang mencoba membuktikan keberadaan Al-Mahdi dengan membenarkannya atas dasar hukum- hukum biologi, kimia, atau fisiologi.

Baru-baru ini seorang mahasiswa bertanya kepada saya: Apakah kita dapat membuktikan keberadaan Iman Zaman dengan menggunakan argumen bahwa, ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan suatu batasan yang pasti terhadap seberapa lama manusia dapat hidup, atau, seperti pendapat beberapa sarjana yang saya hargai, yang telah mencoba membuktikan bahwa tidak ada batasan umur yang dapat diberitakan kepada kehidupan manusia dan kita dapat menerima kemungkinan seseorang hidup selama ribuan tahun.

Jawaban saya adalah, bahwa saya tidak peduli apakah kita dapat membuktikannya atau tidak. Tidakkah lebih baik bagi kita―daripada berkutat dengan versi-versi kuno atau modern atas persoalan- persoalan intelektual atau teologis semacam ini―memandang suatu persoalan yang lebih penting, yakni apakah manfaatnya percaya kepada prinsip seperti ini? Yang penting bagi kita adalah memahami peranan positif atau negatif atas keprecayaan atau ketidakpercayaan kepada persoalan ini dalam kaitannya dengan janji-janji pribadi atau sosial kita, tanggungjawab, tingkah laku, atau nasib kita. Atau, dengan kata lain, apakah pengaruh dari kepercayaan atau ketidakpercayaan itu terhadap kehidupan kita sekarang?

Ada suatu prinsip yang saya yakini sejauh berkaitan dengan studi-studi Islam; dan saya percaya ini dipakai untuk semua pembahasan agama dan Islam. Menurut prinsip ini, daripada menguji kepercayaan dari sudut pandang filsafat, saintifik, logika dan teologi, atau melalui serangkaian teori fisika dan kimia untuk menentukan keabsahan atau ketidakabsahannya, kita seharusnya menemukan suatu tolok ukur yang lebih meyakinkan sejauh menyangkut penentuan kebenaran. Lebih berguna lagi sejauh menyangkut kehidupan sosial kita.

Kita, umat Islam, mempunyai ajaran-ajaran tertentu. Misalnya, kita semua percaya kepada Adam, surga, nubuwwah, dan wahyu. Berbagai perbedaan di antara kita timbul dari penafsiran yang berbeda-beda atas ajaran-ajaran yang fundamental ini. Saya memahaminya dengan satu cara. Anda dengan cara lain, dan beberapa yang lainnya mempunyai penafsiran ketiga. Benarkah saya? Benarkah Anda? Benarkah dia? Atau, tidak ada seorang pun di antara kita yang benar? Orang yang satu mengambil bukti dari fisika, kimia, biologi, dan fisiologi. Yang lainnya memberikan bukti teologis dalam mendukung pandangannya. Yang satu lagi bersandar pada akal dan filsafat, dan yang ketiga pada mistisisme. Tetapi kendati ada keragaman ini, seseorang masih dapat dengan mudah menentukan siapakah yang benar. Jika Anda memperhatikan penafsiran dan pemahaman saya, misalnya tentang prinsip Imamah yang memiliki pengaruh positif atas kehidupan saya, juga atas seseorang atau masyarakat yang percaya kepadanya, maka hal ini benar. Tetapi jika pengaruh penafsiran dan pemahaman kita atas intelek kehidupan pribadi, dan perspektif sosial kita tidak positif, maka kita harus mencurigai ketidakpeduliannya atas kenyataan, bahwa kita dapat menumpuk-numpuk argumen untuk mendukungnya dari para ahli kimia, sosiolog dan filosof, baik yang dahulu maupun modern. Inilah tongkat yang bagus untuk mengevaluasi berbagai macam penafsiran ajaran-ajaran Islam.
Jika dalam suatu masyarakat, sekelompok orang percaya kepada prinsip Imamah dengan cara yang Anda terima, bagaimana ajaran ini mempengaruhi nasib mereka? Bagaimana ia akan mempengaruhi rasa tanggungjawab mereka? Bagaimana nasib orang-orang yang percaya kepadanya berbeda dengan orang-orang yang tidak percaya? Kita amati bahwa kita percaya kepada konsep Imamah sedangkan, di sana, ada masyarakat yang tidak percaya; keadaan mereka tidak jauh berbeda dari kita, atau mereka bahkan mungkin lebih baik. Maka, ketika hasil dari kepercayaan kita adalah demikian adanya, maka kita harus mencari letak masalahnya. Apakah kepercayaan kepada Imamah itu salah? Apakah ia tidak memberikan rasa tanggungjawab? Apakah ia tidak menciptakan kesadaran? Apakah ia tidak memberikan nilai-nilai manusiawi? Apakah ia menyebabkan kejumudan? Kita tidak pernah dapat membawa tanggungjawab ini melawan agama kita sebagaimana kita percaya bahwa Islam dan Syi’isme mengilhami dan meningkatkan derajat kehidupan. Maka, satu-satunya jalan untuk membenarlcan ini adalah, percaya bahwa pemahaman kita atas prinsip ini adalah keliru, karena konsep lmamah harus benar, dan tentu saja demikian. Kita harus memiliki suatu penafsiran yang akurat atasnya; jika tidak, maka nasib kita akan dikelilingi kehinaan dan keadaan yang menyedihkan.

Ali as adalah seorang tokoh yang diterima umat Islam sebagai seorang pemimpin. Kita memercayai dan mencintainya. Kita hormat dan percaya kepada puteranya, Husain as. Kita lihat bahwa kita percaya kepada Husain as, tetapi hidup kita lebih buruk daripada hukuman yang diberikan kepada pembunuhnya, di akhirat. Akankah kepercayaan kepada kepemimpinan Ali as dan gerakan Husain as bermanfaat bagi kita di malam pertama dalam kubur, dan selama masa hisab yang akan kita hadapi di sana? Apakah perbedaan antara kita dan orang-orang yang tidak percaya kepada gagasan-gagasan ini akan kelihatan hanya ketika kita mati dan memasuki dunia lain? Tidak! “Barangsiapa yang buta di dunia ini, akan buta pula di akhirat.” Maka, percaya kepada Imamah dan nubuwwah pasti berguna di dunia materi ini agar berguna di akhirat kelak.

Dapatkah kita beranggapan, bahwa kepercayaan kepada kepemimpinan Ali as justru membawa kejumudan, atau simpati kepada gerakan dan misi Husain as menyebabkan terjadinya kelemahan, kehinaan dan kemandulan? Tidak. Bahkan seorang intelektual non agamis, jika ia adalah seorang pencinta kebebasan, tidak akan pernah meragukan kebesaran orang-orang suci ini. Dan bahkan jika kita menyediakan seribu satu argumen dalam menclukung bentuk kepercayaan kita sekarang, dan penafsiran penyokong Ali as dan pencinta Husain as, pastilah karena pemahaman kita atas tanggungjawab ini, gerakan ini yang salah. Lebih jauh, hal ini akan berarti bahwa gambaran yang kita serap mengenai pribadi-pribadi ini diputarbalikkan. Dan penafsiran ini serta gambaran inilah yang harus dibenahi. Tidak ada alternatif lain.

Maka dapatlah dengan mudah diterima bahwa kita semua memiliki suatu tolok ukur yang kuat dan pemahaman yang jelas sehingga tidak memerlukan ilmu fisika, kimia, filsafat, atau teologi, untuk mendasarkan keputusan-keputusan kita tentang hasil-hasil yang nyata mengenai kepercayaan atau ketidakpercayaan kepada persoalan-persoalan ideologis ini. Kita percaya kepada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Islam dan Syi’isme. Tetapi ajaran ini―tanpa menghiraukan semua klaim kita yang bertentangan―tidak mempengaruhi nasib kita, persepsi kita atas tanggung jawab kita, tugas-tugas sosial kita, dan kehidupan individu dan sosial kita. Rupanya dalam hal ini kita harus meragukan kekuatan penafsiran kita dan pemahaman kita atas persoalan-persoalan ideologis dan prinsip ini. Hal ini harus demikian, karena kita adalah orang yang percaya bahwa tidaklah mungkin bagi suatu bangsa yang percaya kepada Islam dan kepada Imam Ali as dan kepada kepemimpinan serta jalannya, namun hal tersebut tidak mempunyai pengaruh atas kehidupannya. Kebesaran Ali sebagai seorang pemimpin dan Imam, tidak dapat diragukan. Maka pemahaman atau pendekatan kita kepadanya dan penafsiran kita terhadap pemikirannyalah yang salah.

Jelaslah bahwa, sebagaimana Isa Al-Masih as mengatakan, “pohon akan dikenal dari buahnya”, iman Islam kita tidak mempunyai buah yang semestinya. Di manakah letak masalahnya? Jadi, ketimbang berkutat memecahkan masalah-masalah teoritis dan berpolemik (yang kebanyakan diciptakan oleh kita sendiri), mari kita mengadakan pendekatan dari sudut yang lain. Pendekatan kita dapat menjadi seperti berikut: kepada setiap orang yang menyatakan suatu gagasan Islam, pertama sekali kita harus bertanya, apakah gunanya? Mengapa harus diajukan? Apakah pengaruhnya atas masyarakat dan masa depan kita? Apakah pengamh percaya atau tidak percaya kepadanya pada eksistensi duniawi kita, di samping terhadap kehidupan kita di akhirat? Kita semua percaya bahwa Islam adalah agama kehidupan (tidak terpisah dari aspek materi manusia), dan bahwa Islam tidaklah kuno dan tidak ketinggalan zaman; bahwa setiap kisah dalam Al-Quran, setiap ajaran yang dijelaskan dalam Islam dan Syi’isme, harus menyumbangkan kepada kehidupan individu dan sosial kita di dunia, hari ini juga. Ia harus meningkatkan kesadaran kita dan memperbesar martabat, integritas, dan kemerdekaan kita. Ringkasnya, ia harus memperkaya kita pada jalan-jalan yang tidak dapat dilalui orang-orang yang tidak percaya kepadanya. Jika demikian halnya (dan kita dapat melihat konsekuensi-konsekuensi positif dari keyakinan kita), maka penafsiran kita atas berbagai persoalan ini adalah akurat. Jika tidak, pemahaman kita salah, bahkan jika didukung oleh seribu argumen sekalipun. Al-Quran menyatakan dengan istilah yang jelas bahwa: “Dan sesungguhnya kamu akan berkuasa jika kamu beriman; kemuliaan adalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”

Maka jika kita sekarang justru melihat bahwa orang-orang kita tidak mempunyai martabat, hina, dan sengsara, sedangkan orang- orang kafir lebih unggul daripada kita dalam pemahaman, budaya, ekonomi, peradaban, dan kekuatan militer, kita harus yakin bahwa pemahaman kita terhadap agama kita telah diubah, dan Islam telah diajarkan kepada kita secara terbalik.

Sekarang kita dapat dengan mudah memahami bahwa sejauh berkenaan dengan Imam Zaman, adalah lebih baik bahwa sebagai ganti dari memberikan argumen filsafat, teologi, mistik, kimia, fisika dan argumen lainnya yang senada, dalam rangka mencoba membuktikan dan menjelaskan mengenai kapan Imam gaib, bagaimana beliau gaib, di mana dan bagaimana hidupnya sekarang, apa yang beliau makan, dunia gaib yang bagaimanakah yang dimasukinya, dan bagaimana memasukinya, kita harus menanyakan: apa makna bagi seorang individu, kelompok, atau bangsa, beriman kepada Al-Mahdi, kepada penantiannya, dan kepada konsep revolusi besamya di akhir dunia? Kita harus menggali berbagai makna dan tujuan yang terkandung dalam prinsip ini, memahami, serta melaksanakan tanggungjawab kita berkenaan dengan prinsip ini di masa gaibnya Imam. Ini bukanlah saran dan pandangan pribadi; ini adalah roh dan perspektif Islam yang orisinal.
Ada dua Imam Zaman, dua Imamah, dua Syi’ah dan dua Islam. Satu adalah Islam sebagai ideologi, sebagai tubuh berbagai ajaran, atau pedomanj ringkasnya, suatu akidah, ajaran, praktik dan tata cara yang darinya semua mengarah kepada perkembangan spiritual, sosial, moral dan intelektual manusia, serta alat yang berfungsi untuk menolong manusia dalam perjuangan menuju kemajuan, memiliki dimensi praktis, dan dimaksudkan agar bermanfat di dunia ini dan di akhirat kelak. Yang satu lagi adalah sekumpulan informasi, ilmu dan sains dalam berbagai rubrik seperti filsafat, teologi, mistisisme, jurisprudnsi (fiqh), dan lain-lain. Yakni, Islam sebagai budaya (sains).

Islam ideologi memberikan kita seorang Abu Dzar, sang mujahid; Islam budaya (sains) memberikan Ibnu Sina, sang saintis. Islam ideologi menghasilkan para mujahid. Islam ideologi, yakni keyakinan, menghasilkan para intelektual, sedangkan Islam budaya menghasilkan para sarjana.

Yang memberikan tanggungjawab, kesadaran dan arahan adalah ajaran Islam, sedangkan berbagai studi Islam adalah suatu bidang tentang pengajaran yang juga disediakan bagi seorang orientalis, namun ia dapat dikuasai oleh seorang reaksioner sesat atau musuh yang berniatjahat. Itulah mengapa seorang laki-laki atau perempuan yang tak terdidik dapat memiliki pemahaman Islam yang lebih baik, dapat berpikir dan hidup lebih segaris dengan ajaran-ajaran Islam, dan dapat memahami tanggungjawab yang lebih baik daripada seorang filosof, sarjana, atau mistikus. Misalnya, seseorang yang membaca beberapa buku fiqh akan memiliki pemahaman tentang sistem undang-undang Islam, sedangkan orang yang mempelajari kehidupan Nabi Saw memahami makna Islam.

Bagaimanapun, dalam pandangan saya, seorang yang telah mempelajari al-Syifa karya Ibnu Sina, Asfar karya Mulla Sadra mengenal filsafat Islam; sedangkan orang yang memahami Nahjul Balaghah Imam Ali as adalah orang yang mengenal Islam. Islam sebagai suatu keyakinan harus dipahami melalui ilmu Al-Quran, kehidupan Nabi Saw, para sahabatnya, dan kaum muslimin. Syair- syair Arab―bahkan sejak syair zaman jahiliah―dipelajari di sekolah-sekolah Islam sebagai sastra, tetapi Nahjul Balaghah, tidak pernah! Di bawah keadaan bagimanapun, filsafat Yunani dan logika Aristotelian diajarkan di sekolah-sekolah kita, tetapi tafsir Al-Quran, tidak1 Tidak ada yang terpikir tentang cara-cara Nabi Saw atau kehidupan, pemikiran, dan perjuangan para Imam. Dan jika ada sedikit saja penelitian atas masalah-masalah semacam ini atas dasar inisiatif mereka sendiri, usaha mereka tidak dianggap sebagai akademis. Sayang. Inilah sebabnya mengapa pendekatan kita pada persoalan-persoalan Islam sepenuhnya aging dan cara yang benar dan dari roh Islam. Al-Quran dan kehidupan serta perilaku Nabi Saw dan orang-orang yang dilatih dan dididik beliau selalu dimaksudkan untuk mengarahkan mereka kepada persoalan-persoalan yang kongkret, praktis, dan positif dalam kehidupan.

Sekarang mari kita perhatikan kepercayaan kepada Imam Zaman dari perspektif di atas. Tetapi sebelum saya mulai pembahasan ini, saya harus menyebutkan satu hal. Saya sama sekali tidak bermaksud mengklaim untuk memiliki pengetahuan yang universal. Saya lebih banyak mengetahui hanya dalam satu bidang saja; sosiologi, dan saya menganalisis berbagai hal hanya dari sudut ini. Dan adalah tugas para ahli dalam bidang lainnya untuk memandang persoalan-persoalan ini dari perspektif yang lain. Maka, mesti Anda ingat bahwa apa yang sedang saya bicarakan dalam persoalan ini tidaklah dari segala sudut pandang.

Bagaimanapun intinya adalah bahwa banyak di antara orang yang beriman yang tidak mengenal metodologi dan pendekatan saintifik dan akademis tidak menyadari persoalan ini, khususnya sejak prinsip spesialisasi belum dipahalni secara jelas dan diterima oleh setiap orang, berkaitan dengan persoalan-persoalan agama. Hal ini demikian kendari kenyataannya spesialisasi telah ada dalam budaya dan jurisprudensi masa lalu kita, ilmu hadis, teologi, filsafat, sejarah, etika, sastra, mistik, ketuhanan, dan bidang-bidang lainnya seperti kedokteran (yang di masa lalu termasuk dalam studi-studi Islam), semua bidang yang terpisah dan berbeda dalam seluruh tubuh ilmu pengetauan Islam. Hari ini, bagaimanapun, di samping beberapa kekecualian, setiap orang yang dididik dalam sekolah-sekolah teologi agamis adalah ahli dalam fiqih Islam. Dan sayangnya, kenyataannya bahwa kebanyakan ulama kita adalah para ahli dalam bidang ini saja, masyarakat kita telah terbiasa bersandar kepada mereka demi informasi mengenai setiap aspek di antara setiap persoalan Islam. Islam, tidak seperti agama-agama lainnya. Seperti Kristen, Islam membahas semua aspek kehidupan, apakah individu atau sosial, materi atau spiritual; dan sejak fiqih ―dengan cara yang dipahami sekarang― merujuk kepada bidang tertentu dan terbatas dalam studi- studi Islam, banyak persoalan Islam, atau banyak dimensi persoalan tertentu, tidak pernah dibahas. Jika dibahas pun, hanyalah ditinjau dari sudut pandang fiqih secara murni atau dengan cara yang dangkal dan terbatas. Akibatnya, sebagian besar kandungan Al-Quran yang berkenaan dengan antropologi, filsafat sejarah, sosiologi dan ilmu pengetahuan alam lainnya, dan kebanyakan argumen dalam ideologi Islam yang berkenaan dengan ekonomi, psikologi, etika, filsafat, dan politik, tidak sepenuhnya diketahui, atau dipahami dengan cara yang salah, menyimpang, dan tidak berkesan. Misalnya, ajaran-ajaran Islam seperti Keesaan Allah (Tauhid), Kebangkitan (Ma’ad), Keadilan (‘Adalah), Imamah, syafaat, ijtihad, sunnah, taqwa, atau seperti ahkaam sebagai mana dalam haji, zakat, jihad, taqiyah, taqlid atau amar ma’ruf nahi munkar, adalah persoalan-persoalan yang di sam ping aspek nqih, memiliki dimensi yang dalam dan bermakna secara sosiologis, ekonomis, politis, etis, antropologis, intelektualitis, atau berdimensi praktis.

Apa yang dibutuhkan sebenarnya adalah spesialisasi dalam bidang-bidang ini, secara luas dan modern. Misalnya, persoalan penyucian harus dibahas oleh seorang faqih dari aspek fiqihnya saja, sementara dimensi saintifiknya harus dibahas oleh para bakteriolog, spesialis kesehatan, ahli medis, dan ahli kimia. Zakat harus dibahas dari satu perspektif oleh fuqaha, dari perspektif lain oleh ekonom, dan dari sudut pandang yang ketiga oleh sosiolog. Demikian juga mengenai Imamah, yang untuk tingkat yang sama ia memiliki dimensi teologis dan tradisional (adalah suatu hal yang cukup berbeda dari fiqih), ia juga dengan jelas merupakan mazhab pemikiran sosial, politik dan intelektual yang harus dikaji secara metodologis dan rasional oleh para ahli dalam bidang ini, sehingga, pertama, persoalannya secara jelas dapat dipahami dalam segala dimensinya, dan kedua, ia dapat secara rasional dan logis dibahas dan diterima oleh para pemikir dan intelektual di segala zaman dan budaya. Dengan cara inilah gagasan-gagasan agamis berkembang berclampingan dengan perkembangan masyarakat, budaya dan ilmu pengetahuan. Sebagaimana masyarakat dan ilmu pengetauan berkembang, pemahaman manusia atas konsep-konsep agama juga semakin mendalam. Lebih jauh, karena definisi tradisional dan teologis atas kepercayaan ini teratur, dimensi-dimensi yang tersebut di atas pun dapat tumbuh dan berkembang.

Di antara persoalan seperti ini adalah “penantian Al-Mahdi yang dijanjikan.” Mengenai hal ini fatwa-fatwa dan hadis-hadis Syi’ah jelas dan teratur, sedangkan pemahaman umat atasnya, penafsiran mereka ataskepentingan sosialnya dan tanggung jawab yang dibawakan oleh ajaran ini, evaluasi saintifik dan ideologisnya, dan analisis berbagai pengaruhnya atas kehidupan sosial, politik, pribadi dan intelektual orang yang percaya kepadanya, bermacam-macam dan berubah-ubah sehubungan dengan berbagai keadaan lokal dan temporal, kemajuan ilmu pengetahuan serta kondisi historis dan politis yang berlaku. Dan inilah persoalan-persoalan yang harus dibahas oleh sosiologi, filsafat sejarah dan antropologi. Inilah jalan yang saya perhatikan pada masalah ini, tidak dari sudut pandang tradisi, atau teologi, dan bukan dari perspektif sektarian, tetapi dari sudut pandang sosial, historis dan kelas. Saya tidak berargumen tentang ajaran ini sendiri, atau mencoba untuk membuktikannya, atau berkutat dalam pembahasan-pembahasan teoritis. Yang saya pautkan adalah nilai-nilai manusia yang dilahirkannya atau yang menyebabkannya, pengaruh-pengaruh sosial, dan peranan yang dimainkannya atau peranannya dalam sejarah, masyarakat, kehidupan, tanggungjawab individu dan cara berpikir.

Prinsip penantian secara umum, tidaklah khusus untuk Syi’ah. Ia memiliki dua jenis: positif dan negatif, dan dua jenis penantian ini tentunya saling bertentangan. Yang satu adalah penyebab terbesar kerusakan, sedangkan yang lainnya adalah penyebab terbesar pergerakan dan martabat. Yang satu berarti ketundukan kepada kemalangan dan kehinaan dan suatu pembenaran bagi status quo, sedangkan yang lain progresif dan berorientasi ke masa depan. Kebingungan dan kesalahpahaman yang mengelilingi persoalan ini disebabkan oleh fakta bahwa keduanya disebut sebagai Intezharal- Faraj (menanti akhir dari segala penderitaan dengan kemunculan Al-Mahdi). Penantian di sini berarti bahwa sekelompok orang sedang menantikan datangnya Sang Juru Selamat. Maka, konsep ini terdiri dari empat bagian yang mendasar. Pertama, perbudakan (di bawah rezim anti-Tuhan dan menindas), kedua gaib (ketiadaan Imam), ketiga penantian (Sang Juru Selamat, dan keempat, pembebasan (oleh Al-Mahdi). Empat konsep ini bisa menjadi negatif (jika ia menyeret umat kepada stagnansi), sebagaimana keadaan mereka hari ini, atau mereka bisa menjadi positif (dengan menggerekkan umat kepada aksi), sebagaimana semestinya.

Dari penantian dan kepercayaan bahwa Sang Juru Selamat yang sekarang dalam okultasi, akan datang, akan menegakkan keadilan dan menyelamatkan kemanusiaan. Mereka meyakinkan manusia bahwa pembebasan kemanusiaan dan tegaknya keadilan dapat terjadi hanya dengan munculnya Juru Selamat tertentu, dan tidak melalui usaha-usaha individu-individu atau lainnya. Jika Anda telah bangkit demi keadilan, kata mereka, atau orang lain telah memberontak untuk kebebasan dan pembebasan suatu negeri, msyarakat, atau untuk seluruh ras manusia, dan Anda sedang mengikutinya, tindakan ini sia-sia saja. Baik klaim Anda diabdikan untuk keadilan, kebebasan dan pembebasan, adalah dusta belaka, atau Anda diperdaya oleh orang lain, atau Anda berdua dengan pemimpin Anda yang mempunyai halusinasi-halusinasi.

Penyebab utama dari kerusakan dan kezaliman, menurut orang- orang semacam ini, sebenarnya disebabkan ketiadaan pemimpin yang besar suci dan bersih yang menghancurkan kerusakan dan menegakkan tatanan keadilan. Kemudian mereka berdalil bahwa jika mereka tidak mencoba untuk menegakkan keadilan, atau jika suatu kekuasaan yang menindas dibiarkan, maka lambat laun hal ini menjadi pasti dan alamiah. Karena alamiah, maka ia haruslah diterima, dan karena sudah pasti adanya, tidaklah mungkin untuk melawan atau menentangnya. Segala usaha dan pengorbanan yang dibuat demi keadilan dan perbaikan sosial, adalah sia-sia dan tidak ada artinya.

Maka jelaslah bahwa dari perspektif di atas, kepercayaan kepada “kegaiban”, kepada “Penantian”, dan kepada Juru Selamat yang gaib, adalah senjata ampuh untuk mempertahankan status quo, dan merupakan pembenaran yang paling baik bagi kerusakan yang meningkat secara geometris. Inilah cara terbaik untuk meyakinkan umat agar tunduk kepada kezaliman dan untuk membiasakan diri terhadap kerusakan moral dan bahwa kehidupan sosial mesti terus- menerus memburuk. Menunut mereka, tentu saja di dalam hati Anda dapat menentang orang-orang yang merupakan penyebab kerusakan dan penindasan, dan Anda mengutuk mereka. Anda dapat bertawakal dan hidup dalam keterasingan, tetapi Anda tidak dapat memerangi mereka karena ini sia-sia saja, tindakan ini melawan kekuatan sejarah dan kehendak Ilahi.

Dan pandangan atas persoalan semacam ini tentunya merupakan cara terbaik bagi kesenangan dan keuntungan kelompok yang, menunut Imam Ali as pernah siap untuk mengerahkan segala kekuatan dan sekuat-kuatnya merampok umat atau memperoleh kendali atas angkatan bersenjata atau untuk memperoleh posisi spiritual dan intelektual yang berpengaruh atas masyarakat. Kelompok ini diciptakan oleh tiga kekuatan yang sama, yang diulang-ulang dalam Al-Quran: Fir’aun, Karun, Bal’am. Ini melambangkan kekuatan, uang dan kecurangan. Bagi orang ini “Kegaiban Iman” memberikan kesempatan sebaik mungkin karena pembebasan umat dan penegak keadilan dan tatanan yang haq, sedang gaib, dan masanya belum tiba serta tidak seorang pun bertanggungjawab untuk menjadi orang yang baik atau mencoba untuk memperbaiki dunia, karena kerusakan dan diskriminasi adalah sebuah keniscayaan.

“Kegaiban Imam” memberikan kesemnpatan besar juga bagi kelompok lain, suatu kesempatan yang telah dimanfaatkan sepenuhnya sejak periode Safavid. Di sini kita mempunyai suatu kelompok yang sama sekali memenuhi syarat, tetapi telah melalui kecurangan, menduduki posisi wakil sesungguhnya Imam Zaman dan mengambil kendali atas pemikiran, keyakinan, kehidupan sosial dan tanggungjawab umat. Dengan nama agama dan wakil-wakilnya, sesungguhnya kelompok ini (para pemegang kekuasaan dan kekayaan) mengarahkan umat ke mana saja mereka inginkan. Pembentukan kelompok ini sebenarnya merampas wewenang yang ditetapkan kepada Imam oleh Allah dan Islam. Yakni, karena Imam adalah pemimpin spiritual dan politik umat, artinya bahwa beliau mempunyai wewenang sepenuhnya atas pikiran dan pemikiran mereka, serta pemilikan dan kehidupan duniawi, maka para penipu lihai ini pun memperbudak umat secara mental dan mengeksploitasi mereka secara materi. Kelompok ini memaksa mereka untuk memberi uang pajak yang dalam sistem politik Islam dan Syi’ah menjadi semata-mata hak dan milik Nabi Saw dan para penerus beliau, duabelas Imam.

Para penipu lihai tersebut tidak berhak menduduki perwakilan Imam. Mereka tidak dipilih oleh umat secara resmi. Di sam ping itu, orang-orang yang akan memilih tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan. Sebagai ganti dari ilmu agama, kesadaran diri dan pencerahan umat ini, para penipu lihai ini telah melarang para pengikutnya untuk berpikir dan berdalil tentang persoalan-persoalan agama. Berbeda dengan kaum muslimin di zaman Nabi Saw yang memiliki pandangan yang merdeka dan bahkan berlawanan dengan Nabi Saw sendiri, serta dalam hal-hal tertentu mengeluarkan berbagai pendapat mereka dan dimusyawarahkan, para wakil-wakil gadungan ini telah melatih umat untuk menjadi domba jinak yang tidak memprotes, sekadar menjadi para abdi yang patuh.

Berbeda dengan Nabi Saw dan Imam Ali as yang mengajarkan orang-orang Arab badui dan jahil, para penipu ini memandang pengajaran kepada kaum Muslimin zaman ini dan syiar iman sebagai sesuatu yang hina bagi martabat mereka. Mereka berpikir bahwa tafsir Al-Quran, terjemahan Nahjul Balaghah, buku-buku tulisan, kutipan Nabi Saw, penguraian atas gaya hidup beliau, kehidupan para imam as, pembicaraan tentang kebangkitan Husain as dan tindakan- tindakan Zainab as adalah tugas bagi pengajar dan pengkhotbah kelas kedua dan ketiga, bukan bagi sarjana-sarjana besar seperti mereka. Satu-satunya sumbangan yang mereka buat untuk keyakinan umat ini adalah bertindak sebagai imam shalat dan satu-satunya produk keulamaan mereka dalam membawa misi ‘besar’ mereka sebagai para pemimpin agama adalah risalah mereka.

Satu-satunya interaksi mereka dengan umat adalah menawarkan mereka ciuman tangan dan yang lainnya adalah menerima khumus. Satu-satunya jihad dan ijtihad mereka dalam membimbing umat dan jawaban mereka untuk semua masalah intelektual dan cara mereka membawa tanggungjawab untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, adalah pengeluaran dua kata klise yang selalu diulang-ulang: halal dan haram.

Dalam suatu komunitas agamis di mana di dalamnya para ulama besar menyibukkan diri dengan berdoa di altar, sementara orang yang tidak terpelajar menaiki mimbar; dalam suatu sistem yang di dalamnya pakar tradisional dan sains rasional, seorang mujahid dan faqih, memandang sunyi sebagian ilmu yang tidak dapat dipisahkan dan menjaga kemumian ijtihad dengan menyembunyikan di dalam lingkaran kekeramatan spiritual dan ekslusifisme keulamaan, meninggalkan tugas besar penyiaran kebenaran Islam dan ajaran- ajaran Syi’ah dan mendidik umat menjadi “artis” . . . Ya, dalam masyarakat semacam ini, bagaimana bisa umat memiliki kedewasaan intelektual, kesadaran sosial, dan kesadaran Islam yang diperlukan untuk memilih ulama agamis yang paling memenuhi syarat dalam komunitas merekai seorang individu yang memahami baik Islam aaupun kebutuhan-kebutuhan zamannya, yang tercerahkan dan sadar sekaligus ikhlas dan sabar, yang memenuhi syarat dan berani sekaligus sederhana dan bersahaja, yang saleh dan cerdas mengorbankan diri dan beriman dan penuh cinta serta berakal dan kesarjanaan?

Bagaimana mereka melakukan semua ini di tengah-tengah debu kecurangan yang ditimbulkan di tengah masyarakat oleh para Mareqin (orang-orang fanatik yang culas), Nakhetin (para penipu) dan Qasetin (para penindas)? Bagaimana mereka dapat melakukannya berhadapan dengan daya kekuatan dan kekayaan, propaganda yang terus-menerus, kampanye-kampanye fitnah, pengedar desas-desus penabur perpecahan, dorongan-dorongan dan komplotan-komplotan yang direncanakan oleh oraug-orang Umayyah, yang adalah musuh- musuh akidah tradisional dan tak habis-habisnya, waspada dan mampu, iri dan dengki pribadi, egoisme, keputusan-keputusan yang tidak adil, munafik, ambisi, cinta kekuasan dan kedudukan, pembalasan yang digerakkan oleh kawan dan para sahabat terdahulu, dan pelanggaran sumpah oleh sekutu-sekutu seperti Thalhah dan Zubair, yang telah memiliki catatan keimanan dan kepercayaan dan masa lalu yang tak tercela dan dibanggakan: siapakah orang-orang beriman yang populer dan terkenal yang selama bertahun-tahun telah melewati jalan kebenaran dan sadar serta berpengetahuan luas? Kemudian, yang cukup dihonnati di antara mereka, pribadi dengki yang menikam dari belakang dan mengkhianati kebenaran yang mereka yakini, dan mengancam kawan-kawan mereka, melepas demi tanggungjawab musuh, membantu srigala-srigala Umayyah bersembunyi untuk menyerang domba tak berdosa dan gembala tak berbulu (rakyat), mereka tidak sadar bahwa pada kesempatan lain mereka sendiri akan menjadi korban-korban srigala itu.

Kemudian ada kaum khawarij yang wajah-wajah ketakwaannya adalah kesalehan dan asketisme. Pada keningnya ada tanda bekas sujud yang lama dalam shalat; mereka adalah orang-orang yang hafal Al-Quran, yang melakukan shalat hingga larut malam, yang tergesa- gesa dalam kecintaan mereka kepada Allah dan bergelar takut akan neraka; kuat dalam iman dan berkehendak untuk mengorbankan diri mereka di jalan Allah; yang berketepatan hati untuk menghancurkan orang kafir, yang slogannya adalah “tidak ada pemerintahan kecuali pemerintahan Allah”, yang hidupnya dibaktikan untuk melayani kaum Muslimin; yang takwa dan asketis, dogmatis, fanatik, jahil, tanpa pikir, pembuat sumpah palsu dan berbahaya, yang mencintai Islam tetapi tanpa disadari menjadi alat kesalahan dan alat ‘suci’ kejahatan; yang sesat dan menyesatkan, orang saleh yang membunuh kebenaran.

Ya, dalam lingkungan yang hiruk-pikuk seperti ini dan di antara berbagai tipu daya dan godaan, apakah rakyat yang masih memiliki mental malu-malu mempunyai kemampuan untuk mengakui orang seperti Ali pada zamannya dan menemukannya di pengasingan kesendiriannya, dalam kesunyian dan keteraniayaannya; menariknya keluar dari serangan para sahabat dan musuh yang serupa, mengangkatnya sebagai pemimpin sementara dan pemimpin spiritual mereka, dan mempercayakannya dengan tugas membimbing intelek dan jiwa mereka serta sejumlah urusan keduniaan mereka dan keduniaan lainnya?

Dalam masyarakat semacam ini, para penindas, para pengeruk dan musuh-musuh akidah dan umat, yang mengatur kemerdekaan umat dan melumpuhkan kesadaran dan pemikiran, mengatur “syaikh- syaikh” mereka sendiri yang dipilih melalui “kongres” dan perkumpulan-perkumpulan serta memiliki “rakyat a la domba” untuk bersumpah setia kepada mereka di mesjid-mesjid, menyingkirkan orang sederhana dan ikhlas seperti Ali pada zamannya.

Seperti inilah situasi periode gaib, taqlid dan taqiyah, ketika kekuatan-kekuatan kekuasaan dan kecurangan mengambil keuntungan dari konsep “penantian” dan “kegaiban”, karena selama periode taqiyah, sebagaimana Ali as katakan: “Orang-orang tulus, sadar, dan ikhlas terasing dari arus utama kehidupan sosial tidak dikenal dan terhinakan; hati mereka penuh dengan penderitaan dan berkabung, jiwa mereka tersiksa dan sedih, dikecilkan hatinya, dikalahkan dan disisihkan, sendirian dan tak berdaya. Inilah individu- individu unik yang tidak mempunyai kelas atau kelompok. Mereka menyeru umat kepada cahaya dan kebenaran, tetapi sia-sia; mereka berusaha dikalahkan dan dilemahkan; mereka dibunuh dan dikurangi jumlahnya.”

Maka kita lihat bahwa kepemimpinan agama, penafsiran, kesadaran, pengajaran, dan batasan tanggung jawab yang dibebankan atas orang-orang yang beriman, semuanya berada di antara hak-hak iman, dirampas atas nama beliau oleh kelompok khusus demi keuntungan mereka sendiri dan sekutu-sekutu mereka.
Salah seorang ulama terkenal Isfahan yang sangat saleh, ikhlas dan sangat hati-hati, tidak tahu bagaimana membelanjakan “saham Imam” (khumus). Kemudian agar Imam merasa puas maka beliau mengubur uang yang diserakan kepada beliau oleh orang-orang beriman di suatu tempat yang suci, agar bila Imam muncul nanti, Imam dapat menggunakan kekuatan supranaturalnya, menemukannya dan menggunakannya dengan cara yang benar! Pada saat yang sama ketika itu banyak thalabah (santri) yang tersiksa kelaparan dan hanya para pengajar yang tulus dan ikhlas yang berada di bawah tekanan keuangan. Islam dapat menggunakan semua bantuan keuangan yang diperolehnya, dan para pemimpin agama kita harus membelanjakan dana ini untuk syiar iman dan membangkitkan pengetahuan dan kesadaran agama rakyat Ada kelompok lainnya yang mengatakan, “Sekarang kita telah membuang berdirinya pemerintahan yang haq dan menyingkirkan tegaknya keadilan sampai zaman munculnya Al-Mahdi, jalan dibersihkan untuk rezim yang batil dan bentuk pemerintahan serta bentuk kebijakan yang kita inginkan untuk dijalankan. Jika rezim kita adalah rezim yang baik, Anda akan menerima karena kebaikannya, dan jika kita ini korup dan bahkan lebih korup lagi, Anda harus menerimanya karena kita sedang mendekati kedatangan Sang Juru Selamat.”

Kita lihat bahwa kegaiban yang ditafsirkan dengan gaya yang negatif ini, merupakan alat terbaik di tangan orang-orang yang mempraktikkan penindasan dan kezaliman serta telah menggunakan agama dengan cara seperti ini untuk memenuhi berbagai tujuan mereka sendiri, untuk mengeksploitasi para pengikut Imam dengan menyalahgunakan diri mereka sebagai wakil-wakil Imam, dan untuk memperoleh kekuasaan atas kehidupan intelektual dan materi umat ini.


Penantian yang Positif

Bagaimanapun, prinsip penantian yang sama, semua kepercayaan yang dibawakannya―yakni, kepercayaan kepada okultasi dan kepastian serta ketetapan keselamatan di akhir dunia―juga mengakui penafsiran lain yang sepenuhnya bertentangan dengan penafsiran yang sedang kita bahas. Sebenarnya, penafsiran kedua ini merupakan suatu faktor yang kuat yang meniadakan penyalahgunaan di atas. Orang-orang yang dipersenjatai dengan ideologi ini memiliki senjata yang ampuh untuk menghapus korupsi, kezaliman, dan sumber energi terbesar bagi kemajuan di masa depan. Sekarang, berkenaan dengan penafsiran kedua ini, saya memiliki beberapa komentar, masing-masing hanya mengandung beberapa kalimat, maka saya minta Anda ntuk lebih memberikan perhatian.

1. Penantian adalah suatu prinsip sosio-intelektual dan naluriah manusia, dalam pengertian bahwa rnanusia secara mendasar adalah akhluk yang menanti, dan semakin manusiawi seseorang, semakin menanti. Lagi pula, masyarakat manusia pada umumnya masih ada, apakah sebagai suatu kelas, bangsa, atau kelompok, yang memiliki “naluri menanti”. Inilah sebabnya mengapa kepercayaan kepada Messiah (Al-Mahdi) telah ada dalam sejarah manusia sejak zaman dahulu, dan mengapa sejarah mengatakan kepada kita bahwa semua masyarakat yang besar adalah masyarakat yang “menanti”.

Semua budaya dikenal memiliki dua sifat umum. Pertama, setiap budaya, bahkan yang terbelakang dan primitif, menganggap bahwa jauh di masa lalu ia mempunyai “zaman keemasan” (golden age) yang adalah masa keadilan, kedamaian, ketenangan dan cinta. Zaman keemasan ini berakhir pada beberapa pokok yang kemudian diikuti dengan kerusakan, kegelapan dan kezaliman. Kedua, mereka percaya kepada revolusi besar dan revolusi yang membebaskan di masa depan dan kembali ke zaman keemasan, zaman kemenangan, keadilan, persamaan dan persaudaraan. Kepercayaan ini bersifat endemis (tersebar) dalam semua masyarakat manusia, dan sebagaimana telah saya sebutkan, merupakan manifestasi dari naluri dasar masyarakat, karena masyarakat adalah makhluk hidup dan manusia hidup yang sedang menanti. Jika ia tidak menanti, ia tidak akan bertindak tetapi akan menerima keadaannya sebagaimana yang ia dapati.

“Messianisme”, suatu konsep yang penting dan mendalam dalam sosiologi, yang merujuk pada suatu kepercayaan masyarakat manusia kepada Sang Juru Selamat dan pembebasan yang dijanjikan. Sejarah menunjukkan bahwa umat manusia selalu berpegang pada prinsip bahwa keadilan, kebenaran dan kebebasan pasti akan menang di masa depan. Dan sosiologi mengatakan kepada kita, bahwa sesungguhnya setiap masyarakat percaya kepada konsep ini dengan dasarnya sebagai suatu reaksi naluriah dan alamiah, yang mana hal ini mewujudkan berbagai macam bentuk. Dalam antropologi dan kemanusiaan, suatu prinsip yang lebih umum disebut “futurisme” ditarik dari hal tersebut di atas: artinya suatu ideologi dan mazhab pemikiran berorientasi ke masa depan (future-oriented). Futurisme merupakan salah satu dari ungkapan yang paling progresif atas makna kehidupan manusia dan gerakan sejarah, karena dengan mendekatinya kita menemukan prinsip-prinsip kaku konservatisme pada status quo, klasikisme dan tradisionalisme, yang semua itu condong kepada gagasan-gagasan tradisional, reaksioner dan rnasa larnpau. Al-Quran mengungkapkan prinsip ini dengan cara berikut:
“Muhammad tidak lain adalah seorang rasul, para rasul (seperti beliau) telah wafat sebelum beliau. Akankah ketika beliau wafat atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang?”

Ayat ini diturunkan dalam Perang Uhud. Ketika itu, untuk menimbulkan rasa takut dan keputusasaan di antara kaum Muslimin, para penyembah berhala menyebarkan desas-desus bahwa Nabi Saw telah terbunuh. Beberapa di antara para sahabat kemudian berkata: “Kini Nabi Saw telah wafat, mungkin akan lebih baik mengutus seseorang untuk melihat apakah dia dapat mengambil bagian kita dari Abu Sufyan.” Beberapa yang lain berkata: “Usailah sudah dan kita harus kabur.” Sekarang perhatikanlah betapa progresif gagasan ini ketika Al-Quran berkata: “Kalian, murid-murid Nabi Saw, tidak semestinya kepercayaan kalian terbatas kepada pribadi Nabi Saw. Tujuannya bukanlah menyembah Nabi Saw. atau keutamaannya. Masalahnya adalah maksud dan tujuan dari iman, dan Nabi Saw. Ini penting karena beliau adalah pembimbing yang menunjukkan jalan untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Seperti nabi-nabi lainnya, beliau datang untuk membawa risalah dan menunjukkan jalan. Maka, jika beliau wafat atau terbunuh, akankah kalian, seperti kera-kera, kembali (kepada norma-norma pra-Islam) dan berbalik ke belakang? Para reaksioner! Orang-orang yang berbalik! Majulah! Bahkan jika Nabi wafat di rumahnya atau dalam Perang Uhud, kalian harus maju!” Inilah suatu gerakan yang progresif. Ia tidak berhenti hingga kini saja, ia tidak tumbuh dalam pribadi seorang saja. Ia tidak kembali ke masa lalu, ia melihat ke masa depan. Secara mendasar, kepercayaan kepada penyelamatan yang dijanjikan masa depan, dan kepada prinsip penantian, dengan sendirinya berorientasi ke masa clepan, yang pasti akan tiba. Penantian berarti menantikan masa depan, karena tidak mungkin menantikan masa lampau. Orang yang menanti memiliki harapan, dan orang yang berharap adalah hidup.

2. Penantian adalah sintesis dari dua prinsip yang bertentangan: kebenaran dan kenyataan. Anggaplah kita percaya kepada sesuatu yang benar dan kepada agama yang kita anggap benar. Kita percaya bahwa agama ini membebaskan manusia dan menegakkan keadilan. Dan kita percaya bahwa ia menang, karena kebenaran pasti menang. Kita percaya bahwa kitab dan Nabi ini adalah yang terbaik, dan inilah
jalan yang membimbing manusia kepada kesempurnaan dan keselamatan. Inilah kebenaran dan prinsip yang kita yakini, tetapi kenyataan yang kita lihat di sekeliling kita menyatakan sebaliknya. Kita percaya bahwa Al-Quran diturunkan bagi keselamatan manusia; Nabi Saw diutus untuk membebaskan manusia dari kezaliman, penindasan, tatanan oligarki, rasialisme dan keunggulan nasab, kecurangan dan eksploitasi, dan untuk memerangi kejahilan dan keterbelakangan; Ali as dan keturunannya serta para pemimpin spiritual Syi’ah adalah para pengganti beliau; akhirnya, kepercayaan kepada Syi’ah menjamin petunjuk dan keselarnatan bagi manusia. Realitas dunia, bagaimanapun, menunjukkan kepada kita sebaliknya.

Kita lihat bahwa sepeninggal Nabi Saw, segalanya kembali pada kemelut lama yang sama, dan sistem yang telah menguasai sejarah manusia bertahap-tahap menegaskan dirinya kembali. Kebenaran tidak bertahan; demikian juga, keadilan tidak mernbebaskan kemanusiaan. Kezaliman tidak disingkirkan; demikian juga, korupsi, kecurangan dan kebatilan. Sebelumnya, mereka menguasai orang-orang seperti Kisra dan Caesar, dan sekarang mereka sedang berkuasa dengan nama Khalifah Nabi Saw. Apa bedanya? Yang terdahulu lebih baik karena setidak-tidaknya mereka telah mengatakan bahwa mereka telah datang untuk merampok. Misalnya, ketika Aleksander datang ke Iran dia berkata bahwa ia akan membakar Persepolis, merampok Iran, menghancurkan dinasti Achaemenian dan menjatuhkan sistem Yunani dan Macedonia di seluruh dunia serta menaklukkan semua negara besar di dunia, dan dia pun melaksanakannya. Tetapi selama periode Islam, Khusro dan Caesar yang sama datang berkata bahwa mereka datang untuk menjalankan keadilan di dunia sebagai ganti dari penindasan, dan melaksanakan tradisi Nabi Saw serta ajaran-ajaran Al-Quran dan melakukan perang suci. Tetapi yang sebenarnya mereka kerjakan adalah perampokan. Bagaimana segalanya telah berubah di sini? Bagaimana Al-Quran membebaskan umat ini dari eksploitasi dan kezaliman? Bagaimana Ali as berhasil dalam membimbing umat melawan kezaliman dan penindasan? Beliau sendiri dipecundangi dan ditindas. Kapankah Imamah, yang adalah sistem para pengganti Nabi Saw, menggantikan sistem para pengkhianat, pernah memberikan kemanusiaan dengan kepemimpinan yang bersih? Mereka sendiri syahid di dalam penjara.

Maka kita lihat bahwa realitas objektif bertentangan dengan kebenaran yang kita yakini dalam Islam. Apa yang harus kita kerjakan? Islam dianggap membebaskan manusia dan menegakkan keadilan dan kemajuan, tetapi Islam dalam praktiknya justru sebaliknya. Apa yang kita imani adalah apa yang kita akui sebagai kebenaran dan penjamin kebebasan dan kemuliaan bagi umat manusia, tetapi kenyataannya tidak ada keselamatan bagi kemanusiaan dan keadilan serta kebebasan tidak tegak di muka bumi dan dalam komunitas Islam. Kebenaran menjanjikan dan menjamin kesadaran, keadilan, pembebasan dan kebebasan, tetapi kenyataan obyektifnya bertentangan dengan keadilan, umat, ilmu dan kesadaran. Bagaimana keduanya dapat dipertemukan?

Jika kita menganggap bahwa kita hidup selama 1400 tahun sejarah Islam, kita akan melihat bahwa tidak ada periode yang telah dimenangkan Al-Quran, Nabi Saw, para keturunan atau pengikut beliau. Pada fajar Islam Abu Dzar dikubur di Rabazah oleh tangan- tangan orang-orang yang paling de kat dengan Nabi Saw sendiri. Dan kita, yang tertindas, yang telah dijadikan kurban penindasan, eksploitasi, sistem aristokrasi, kejahilan dan kemiskinan, dan telah menerima Islam dengan harapan memperoleh kebebasan, martabat dan keadilan, terus dirampok dan disiksa, dan telah menjadi sobat- sobat kekal kelaparan, kezaliman dan diskriminasi.
Sebuah pertanyaan yang tentunya muncul dengan sendirinya: Apakah keyakinan yang diturunkan untuk membebaskan manusia dan menegakkan keadilan itu dikalahkan? Apakah ia dihancurkan? Dengan kata lain, dapatkah dikatakan bahwa Allah mengutus Rasul- Nya, memberinya Kitab wahyu yang paling sempuma, memberinya misi menyelamatkan manusia, dan Nabi Saw menentukan para penggantinya untuk membimbing umat setelah beliau, tetapi di pertengahan semua itu, Allah mengubah pikiran-Nya sehingga mereka semua hancur dan segalanya menjadi tidak berarti? Atau mungkin agama ini, Kitab ini dan Rasul ini tidak asli? Sebaliknya, bagaimana mungkin orang-orang yang diutus oleh Allah untuk menyelamatkan manusia dapat dikalahkan?

Seorang Muslim tidak dapat memberikan jawaban yang bersifat afirmatif (setuju) terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Islam adalah agama Allah dan diturunkan untuk membebaskan manusia sementara kita melihat bahwa sejauh ini kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Maka, satu-satunya alternatif untuk orang-orang yang beriman kepada agama bahwa klaim-klaim untuk menghancurkan kebatilan dan menegakkan keadilan, persamaan dan kemanusiaan, adalah untuk mempertahankan suatu kepercayaan walau keyakinan ini tidak disertai tujuan-tujuan ini selama 1400 tahun sejarahnya, ia pada akhirnya dan pasti akan berlaku demikian di masa depan. Dan kendari sistem jahat menguasai masyarakat manusia dan sejarah hari ini, serta penderitaan-penderitaan manusia telah berada di bawahnya dan meningkatnya hegemoni kekuatan atas kebenaran, pada akhirnya kebenaran pasti akan berkuasa, kenclati berbagai kekuatan setani dan anti manusia berkembang pesat setiap hari; kita sedang menantikan harinya yang tepat. Dan karena Al-Quran secara eksplisit telah menyatakan, “Bahwa orang-orang yang saleh akan menjadi pewaris bumi,” kita percaya bahwa hal ini menunjukkan kekuasaan dan hegemoni kekuatan-kekuatan jahat dan batil, dan melemahnya kekuatan-kekuatan kebenaran. Kemudian, kontradiksi antara realitas yang batil yang sedang berlaku dan kebenaran yang tertindas yang membebaskan, dapat hanya dipecahkan melalui konsep “penantian” bagi kemenangan yang tentu dan pasti, tanpa kita mengingkari adanya harapan akan pencapaian kebebasan dan keadilan yang menyangkal eksistensi kebenaran sekaligus, serta tanpa memasrahkan diri kita terhadap apa yang telah terjadi. Kita dapat melihat bahwa “penantian” merupakan pukulan terhadap realitas-realitas yang sampai sekarang mendominasi dunia, sejarah dan Islam. “Penantian” adalah suatu jalan untuk mengatakan “tidak” terhadap realitas yang sedang berlaku. Kenyataannya bahwa seseorang yang sedang menanti adalah suatu bentuk sanggahan atas kondisi yang ada sekarang. Bahkan “penantian negatif” berbicara tentang protes: suatu sanggahan (protes) yang negatif. Ketika Hafiz berdoa agar “sebuah tangan muncul dari dunia gaib dan melakukan sesuatu,” ia sebenarnya sedang menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan berbagai hal dan sedang mencari jalan untuk mengubahnya; atau setidak-tidaknya ia sedang berdoa bagi suatu perubahan.

Penantian adalah keyakinan pada masa depan, dengan maksud menolak masa kini. Orang yang puas dengan masa kini tidaklah menanti. Sebaliknya, ia konservatif. Ia takut akan masa depan; ia khawatir terhadap segala peristiwa. Ia menyukai status quo dan mencoba untuk mempertahankannya. Saya akan menceritakan sebuah kisah untuk menggambarkan persoalan ini.

Salah seorang kerabat saya adalah seorang pelajar teologi. Ia datang dari Mazinan ke Masyhad, untuk belajar di sekolah agama. Selama musim panas (liburan) tahun itu dia merasa gembira untuk pulang ke rumah. Dia rindu kampung halaman dan tidak dapat menunggu untuk kembali, untuk bertahan tinggal setahun saja di kota besar yang asing tanpa mengunjungi keluarga, kawan-kawan dan kerabatnya. Ia tidak sabar untuk meninggalkan suatu kota besar di mana tidak ada orang yang memahaminya dan pergi ke tempat di mana setiap orang akan memandangnya deengan kecemburuan, keingintahuan dan kesenangan. Dia tidak sabar menunggu kehadiran "diribaru"-nya kepada setiap orang, sehingga mereka semua dapat melihat betapa dia telah berubah, betapa dia telah kehilangan aksen desanya, betapa dia telah berbudi halus dan pandai; bahwa dia telah bisa berbahasa Arab, dapat menafsirkan Al-Quran, dapat menyampaikan khotbah, studi hadis; bahwa dia terkenal di madrasahnya, bahwa setiap orang di Masyhad kagum terhadap kecerdasannya, keulamaan dan kemajuan yang telah dia capai; ringkasnya, bahwa dia bukan anak desa yang tidak tahu adat yang pernah mereka lihat setahun sebelumnya. Dia tinggal di surga. Seluruh dunia tersenyum padanya, dan dia berada di puncak kepuasan hati. Lebih jauh, dia sangat agamis. Suatu hari ketika dia sedang menunjungi kami dalam perjalanannya dari sekolah untuk berbicara tentang betapa sudah hampir tiba saat baginya untuk membeli tiket pulang, tiba-tiba dia berhenti, tampak ketakutan dan bingung, dan dengan nada suara yang serius berkata. “Bagaimana, seandainya ―semoga Allah mencegahnya― Allah melarang, dalam beberapa hari lagi, Imam Zaman as muncul? Tentu saya tidak akan bisa pergi ke Mazinan lagi!”

Seseorang yang sedang menantikan ketukan pintu dan menatapi jalan akan datangnya seseorang, jelas tidak senang dengan berbagai keadaannya saat itu. Jika saya tinggal di rumah tetapi di sana saya selalu menanti untuk pindah ke tempat lain, atau saya berada dalam berbagai keadaan yang sedang saya coba untuk mengubahnya, ini berarti saya tidak puas dengan tempat tinggal saya atau dengan berbagai keadaan hidup saya. Seorang yang tidak puas menanti perubahan. Seorang yang menerirna berbagai keadaan hidupnya dan puas, tidak menanti perubahan. Sebaliknya, ia konservatif; ia ingin mempertahankan status quo. Orang-orang yang tidak puaslah yang ingin menghancurkannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia sedang menantikan: apakah seseorang, peristiwa, kesempatan, keadaan yang baru, atau mukjizat.

Bertentangan dengan apa yang Beckett katakan dalam “Waiting for Godot”, menanti bukanlah suatu pikiran sia-sia. Penantian yang negatiflah yang sia-sia. Tetapi “penantian yang positif” berarti penolakan untuk menerima status quo dalam pikiran, kehidupan dan keyakinan orang yang menanti. Dan jika suatu bangsa yang tertindas meninggalkan penantian ini, berarti ia menerima penindasan sebagai takdir yang tidak dapat dielakkan selamanya. Jika kita tidak menantikan perubahan, apa yang terjadi selama masa pemerintahan Ali as atau peristiwa di Karbala akan menjadi akhir dari sebuah cerita bagi kita, dan tidak akan ada lagi reaksi balik dalam sejarah, kehidupan dan takdir rnanusia. Ini akan bertentangan dengan kepercayaan kepada kebenaran dan menjadi hat yang merusak janji-janji sosial dari seorang individu yang bertanggung jawab. Sejarah manusia adalah suatu kisah yang tidak lengkap yang akan berakhir dengan kemenangan keadilan dan kebenaran, dan runtuhnya kezaliman, korupsi dan ketidakmoralan. Inilah keyakinan saya.

3. Menanti adalah ketentuan sejarah. Inilah sesuatu yang sangat menggembirakan para pemikir yang akrab dengan filsafat-filsafat saintifik dan aliran-aliran pemikiran yang berkenaan dengan sejarah.

Saya yang ada di sudut dunia ini dan pada momen ini dalam sejarah, sedang menantikan masa depan. Bisa saja hari esok atau pada lain waktu, revolusi dunia demi kaum mustadh’afin, kebenaran dan keadilan akan meletus, dan di dalamnya saya akan berpartisipasi. Revolusi ini tidak akan disebabkan oleh doa-doa atau ritual-ritual, tetapi akan melibatkan panji-panji, pedang dan bajuperang, dan yang akan menjadi jihad yang sesungguhnya yang didasarkan pada tanggungjawab orag-orang yang berpartisipasi di dalamnya. Dan saya percaya bahwa revolusi ini pasti akan menang; maka, saya percaya kepada hukum-hukum sejarah yang tidak dapat dihindari, dan tidak percaya kepada kebetulan, kekacaubalauan (chaos) dan perpecahan historis.

Pertanyaan yang timbul dalam pikiran setiap orang adalah mengenai bagaimana Messiah, Sang Juru Selamat ini pada akhir sejarah, dapat mencapai kemenangan di seluruh dunia. Penjelasan yang diberikan oleh Imam Shadiq as adalah mendalam, historis dan sosiologis. “Kekuatan-kekuatan kriminal dan penindasan akan menghabiskan begitu banyak energi untuk saling berperang sehingga mereka akan melemah secara militer; dan menjadi sedemikian rusak sehingga mereka akan membusuk dari dalam dan akan kehilangan kehendak untuk bertahan. Pada saat yang sama, kaum tertindas akan bangkit dari tidurnya, dan dipersenjatai dengan senjata keyakinan dan kesadaran. Mereka akan menyergap kekuatan-kekuatan yang menindas dari luar dan dalam.” Lebih jauh, kemenangan ini didasarkan pada realitas objektif yang kongkret, logika dan norma-norma yang dipandang Ilahiah dalam Islam dan tidak materialistik. Dengan kata lain, ketika Allah menghendaki sesuatu terjadi, Dia menciptakan syarat-syarat yang mengarah kepadanya, sebagaimana halnya dengan kemenangan Islam atas Iran dan Romawi.

Singkatnya, saya percaya bahwa sejarah sedang bergerak menuju kemenangan keadilan yang tidak dapat dihindari, pembebasan kaum mustadh’afin, dan penghapusan kezaliman dan ketidakadilan.

Determinisme historis, yang adalah dasar filsafat saintifik abad ke-18 dan pendekatan historis yang paling penting di antara intelektual dunia non-Muslim, ada juga dalam aliran pemikiran ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda.

Determinisme historis berkata: “Kendati kita melihat dunia, sejarah, kehidupan dan sistem-sistem sosial semuanya bekerja demi keuntungan kelas-kelas yang berkuasa, kapitalisme, dan para pemilik modal; dan kaum yang tercerabut adalah orang-orang yang selalu dirampok, didera dan kelaparan. Tampaknya mereka dieksploitasi dan ditekan dalam cengkeraman sistem yang brutal dan tidak manusiawi yang menguasai mereka, dan mereka mengalami kekalahan berulang-ulang. Masalah yang sebenarnya adalah bahwa yang baik dan yang bnar akan bangkit karena ini dinobatkan oleh hukum-hukum inti sejarah itu sendiri; sejarah berjalan pada jalan-jalan yang telah ditentukan sebelumnya dan bukan merupakan alat permainan kekuasaan dan uang dari orang ini dan itu, atau dari para pemenang atau orang-orang pintar atau para kapitalis.”

Sejarah, seperti masyarakat, mempunyai suatu kemerdekaan hidup atas individu. Ia merupakan sungai yang secara bebas mengaliri tetesan air yang membawanya, dan ikan serta serangga lainnya dan makhluk-makhluk lain yang berenang di dalamnya. Ia melewati banyak tahapan, dan kendari ada keinginan orang-orang yang berkuasa hari ini, tidak dapat dihindari bahwa ia akan mencapai tujuannya yang telah ditentukan sebelumnya. Keadaan terakhirnya adalah daratan persamaan bagi semuanya. Tidak akan ada lagi kelas-kelas; tidak ada para pengisap dan tidak ada yang diisap. Tidak akan ada konflik antara orang-orang yang uangnya berlipat ganda setiap hari dengan orang-orang yang bahkan tidak dapat menerima upah yang adil untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Keadilan akan berlaku, dan setiap orang akan menerima andil yang sama dari sumber-sumber masyarakat. Masyarakat tidak lagi dikuasai oleh daya kekuasaan dan uang. Bagaimana? Ini tidak dapat dielakkan dan tidak dapat dihindari!

Kepercayaan bahwa sejarah pasti akan berakhir dengan kemenangan massa, keadilan dan persamaan, adalah sumber terbesar kekuatan moral bagi kaum tertindas, memberi mereka keyakinan kepada kemenangan terakhir mereka dan kepada peniadaan sistem penindasan yang sedang menguasai mereka hari ini. Ketentuan ini tidak hanya membuat mereka tidak bertanggung jawab, bersifat negatif dan pasif, tetapi benar-benar sebaliknya, memberi mereka kekuatan dan keyakinan; ia seperti senjata yang menguatkan kehendak mereka untuk menang di masa depan, dan membuat mereka menjadi lebih aktif. Selanjutnya, seraya percaya kepada prinsip penantian, orang-orang yang dihancurkan oleh kezaliman dan penindasan serta orang-orang yang melihat bahwa keyakinan dan agama mereka disalahgunakan dan diputarbalikkan dalam tangan orang-orang kafir dan oportunis, tidak kehilangan nyali dan yakin bahwa kehendak Allah, sesuai dengan ketentuan sejarah dan hukum-hukum historis, sedang berjalan untuk keuntungan meeka dan keuntungan kelas mereka, tidak hanya alamiah tetapi juga historis. Kemudian, semua unsur yang sedang memerangi nasib dan pembebasan manusia tidak mampu untuk menahan gerakan sejarah yang sudah menggembar-gemborkan kejatuhan mereka yang terakhir dan tidak mampu menghalangi kemenangan keadilan dan kemanusiaan.

Kita lihat kemudian bahwa kepercayaan kepada konsep penantian secara historis telah ditetapkan. Hal lain yang menjadi jelas di sini adalah perbedaan antara optimisme historis dan pesimisme historis. Ketika sara terlibat dalam “penantian negatif” sikap saya adalah pesimisme historis, karena saya percaya bahwa tatanan universal menetapkan pendirian, kekuatan dan ekspansi korupsi. Tetapi jika saya percaya kepada “penantian positif”, saya memiliki suatu sikap yang optimis terhadap sejarah karena saya percaya bahwa hukum-hukum sejarah yang tidak dapat ditolak menetapkan kemenangan yang pasti bagi keadilan. lni menunjukkan bagaimana pertentangan secara timbal balik merupakan konsep “penantian positif” dan “penantian negatif”.
4. Penantian menghasilkan kelanjutan sejarah. Saint Paul Simon, penulis besar Perancis mengatakan: “Sayang sekali manusia hari ini, berpandangan dangkal, dan menyembah masa kini dunia Barat (present-worshiping Western world), tidak menanti kecuali datangnya kereta api bawah tanah yang selanjutnya; hanya ini penantiannya.” Menanti membuat manusia berpandangan jauh dan berorientasi ke masa depan. Tetapi hari ini, dalam sistem kita yang kejam, berorientasi konsumsi, manusia telah kehilangan pengertian ini dan tidak lain yang ia nantikan hanyalah sebuah bus.

Dalam Syi’ah, penantian menghubungkan tiga periode sekaligus. Periode nubuwwah, imamah, dan periode okultasi. Prinsip perwakilan Imam, yang telah saya jelaskan sebelumnya, dalam bentuknya yang diputarbalikkan menyebabkan terjadinya stagnansi dan kerusakan; di sini memenuhi suatu peranan yang sangat progresif dan menunjukkan bagaimana periode nubuwwah, kemudian imamah dan selanjutnya ilmu (atau kesadaran yang didasarkan atas wewenang Imam yang terakhir) yang terkait. Ringkasnya falsafah ini dapat mernberikan penjelasan yang logis dan saintifik tentang perjalanan sejarah dan permulaannya sampai akhir masa.

Manusia yang menanti adalah manusia yang siaga secara intelektual, fisik dan praktis. Tentu saja, saya berbicara tentang penantian sebagaimana adanya dalarn Syi’ah sebelumnya, karena dalam bentuk yang ada sekarang ia tidak dapat dipertahankan. Bagaimanapun, bayangkanlah sebuah garnisun militer. Jika para serdanu di sana mengharapkan sedetik saja komandannya datang dan memerintahkan mereka ke medan laga, mereka tidak akan pernah menghabiskan waktu mereka untuk mengisap morfin, main kartu, tidur sebentar atau berkisah. Mereka akan menahan diri untuk bersiap tern pur dengan pernberitahuan yang singkat. Demikian juga, orang yang menanti tidaklah pasif, mengantuk dan tanpa motivasi (sebagaimana manusia hari ini), tetapi dia adalah orang yang siap siaga.

Beberapa waktu yang lalu, di desa-desa kami ada para imam shalat, para pemimpin spiritual, yang setiap hari membawa pemuda kami ke desa dan mengajar mereka menunggang kuda dan menembak. Pemimpin-pemimpin spiritual ini datang setiap shalat Jumat dengan bersenjata. Maka Anda lihat bahwa orang yang menanti adalah orang yang berharap mendengar seruan revolusi terakhir di setiap saat, dan ia berjanji untuk ambil bagian dalam evolusi ini yang ia anggap tidak dapat dihindari karena telah dinyatakan oleh hukum Ilahi. Maka ia bersiap siaga dan bersenjata. Setiap orang Syi’ah yang pergi tidur di malam hari selalu berharap mendengar seman sang Imam.


Menjawab Beberapa Pertanyaan

– Mengapa dalam Syi’ah sang Messiah harns putra dari Imam Hasan Al-Askari as?
+ Saya tidak akan melibatkan diri saya di sini dengan pembahasan-pembahasan teologis. Saya akan membahas persoalan ini sebagai seorang sosiolog. Jika syarat ini tidak ada dalam Syi’ah, maka ada petualang, atau antek dan makhluk kolonialisme dan imperialis yang dapat mengikuti dan mengklaim sebagai Sang Juru Selamat kaum tertindas dan kaum beriman, dan memeras berbagai energi dan dan sumber yang berharap memegang kekuatan. Sebenarnya hal ini telah terjadi di masa lalu. Ketika orang-orang Yahudi sedang menantikan sang Messiah dan keluar dan kota-kota untuk menerima beliau. Augustus Kesembilan mengklaim bahwa beliaulah yang sedang mereka nanti-nantikan. Salah satu gelar Augustus adalah Messiah. Pada abad 19, dalam jangka waktu tujuh tahun, tujuh belas “messiah” bermunculan dari Afrika Utara sampai Teluk Persia. Antara 1860 dan 1870, ketika Inggris, Perancis dan Jerman sedang menyaksikan mulainya berbagai gerakan bagi demokrasi, persamaan dan hak-hak buruh, di seluruh negara Muslim, dari Cina sampai ke Iran dan Afrika Utara, “Mahdi” sedang diciptakan. Maka, bila Al-Mahdi harus orang Arab, dan suku Quraisy, dari Bani Hasyim, keturunan Nabi Saw dan lahir dari orang tua yang spesifik, hal ini menghambat jalan semua klaim yang palsu dan membuat orang-orang yang menciptakannya tidak mampu berbuat lebih daripada peranan-peranan kecil dalam sejarah. Orang-orang seperti Mirza Muhammad dan Mirza Husain Ali tidak pernah cocok dengan kriteria ini. Lebih jauh, prinsip ini juga dimaksudkan untuk membuktikan bahwa ada suatu kelanjutan dari permulaan dunia sampai ke akhir dunia, dan bahwa ada sebuah partai, yang dipimpin oleh nabi-nabi Ilahi dan para pemimpin spiritual, yang membimbing orang-orang yang tertindas dan lemah melawan kekuatan-kekuatan kezaliman, kekuasaan dan kecurangan.

Berlangsungnya gerakan bagi keadilan dan kebenaran tidaklah tercipta oleh peristiwa-peristiwa yang terpisah sehingga pada satu waktu kita mempunyai Spartacus; pada waktu yang lain, Helen, dan seterusnya. Ia adalah seperti sebuah sungai: kita mempunyai Ibrahim as, Musa as, Isa as, Muhammad Saw, Ali as, Hasan as, Husain as dan seterusnya, hingga akhir sejarah ketika gerakan ini meraih kemenangan universal. Percaya bahwa Sang Juru Selamat adalah Imam ke-12 dan Imam Syi’ah terakhir, berarti bahwa revolusi terbesar yang universal dan kemenangan di akhir zaman adalah,tahap akhir dari suatu gerakan besar bagi keadilan di dunia, suatu gerakan yang pernah dipimpin oleh Nabi Saw, kemudian oleh para Imam, dan selanjutnya oleh para ulama, dan yang pada akhirnya akan dipimpin oleh Imam terakhir.

– Mengapa Imam Mahdi diriwayatkan mengenakan baju perang Nabi Saw?
+ Ini adalah masalah kelanjutan lagi. Sang Juru Selamat kemanusiaan dan sang pembangkit tatanan keadilan di dunia mengenakan baju perang Nabi Saw karena beliau sedang melanjutkan dari mana beliau berhenti.

– Mengapa beliau membawa panji perang Badr?
+ Beliau memegang panji kaum Muslimin dalam Perang Badr untuk menunjukkan bahwa gerakan dan perang yang terjadi pada akhir sejarah manusia untuk mewujudkan keadilan tepat sebagaimana pada Perang Badr, yang terjadi untuk menegakkan kebenaran dan hukum Ilahi. Dan sebagaimana Islam meraih kemenangan pertama di Badr, revolusi terakhir ini adalah Badr kedua, yang mengarah kepada kemenangan keadilan yang besar di seluruh dunia.

– Mengapa 313 orang?
+ Karena para pejuang suci yang meraih kemenangan besar di Badr dan yang untuk pertama kalinya mengalahkan aristokrasi, penyembah berhala dan kejahatan, adalah 313 orang, sedangkan orang-orang yang akan pertama kali menjawab seruan Imam juga akan berjumlah 313 orang.

– Mengapa pedang Ali? Dan mengapa Kufah akan menjadi ibukotanya?
+ Beliau memegang pedang Ali as di tangannya sehingga para pengikut Ali as dan orang-orang yang beriman kepada kebebasan dan kebenaran tidak mengira bahwa Ali as terbunuh di Kufah, dan bahwa darahnya tertumpah dan segalanya berakhir. “Darah” ini akan mengalir lagi, dan Ali as, yakni kebenaran, yang dikalahkan di Kufah, akan memunculkan kemenangan pada akhirnya.

– Bagaimana dengan anti-Isa?
+ Yang dikatakan tentang anti-Isa dalam tradisi Islam membuatnya tampak sekali seperti salah satu lukisan Picasso; seorang dengan satu mata di tengah keningnya, manusia satu dimensi. Tatanan yang kejam yang sekarang sedang menguasai dunia adalah tatanan berdimensi satu, memandang manusia hanya dari satu perspektif saja. Dan manusia yang juga melihat dunia melalui satu mata, mendapatkan bayangan segala hal yang diputarbalikkan. Anti-Isa adalah penghipnotis pikiran. Dia merupakan penjelmaan dari budaya anti-manusia, dan adalah sistem spiritual yang akan berlaku di akhir zaman.

– Mengapa milik partai Abu Sufyan?
+ Karena tatanan yang ada berlawanan dengan gerakan bagi kebenaran dan keadilan adalah seperti tatanan yang dipimpin oleh Abu Sufyan, dan yang memperbudak pikiran manusia. Pedang Ali as adalah bab terakhir dalam sejarah yang akan bangkit melawan sistem perbudakan intelektual dan fisik ini. Sahabat kepercayaan Abu Sufyan ini melambangkan serangkaian sejarah peristiwa dan kekuatan-kekuatan hierarki yang menindas di sepanjang masa.

– Mengapa Isa as “naik” di sisi Iman Zaman?
+ Ini berarti bahwa semua pemimpin gerakan Ilahi bagi kebenaran dan keadilan akan kembali. Saya tidak hendak mencoba untuk membuktikan di sini bagaimana mereka akan kembali, karena ini akan membawa kita ke dalam pembahasan teologis dan keulamaan yang bukan pada tempatnya. Cukup untuk dikatakan bahwa semua pemimpin besar religius yang berperang demi keadilan dan dipenggal oleh pedang-pedang penindas dan pendosa dan dihalangi dalam membimbing manusia, akan hidup kembali mengikuti revolusi dunia Al-Mahdi dan meruntuhkan tatanan anti-Isa dan Sufyani. Atau sebagaimana telah kita miliki dalam hadis berikut, “Untuk kebatilan diberikan masa yang singkat untuk berkuasa, tetapi kekuasaan yang abadi diberikan kepada yang haq.”

Kepercayaan kepada prinsip penantian berarti bahwa janji Allah dalarn Al-Quran untuk kaum Musl.imin, dan cita-cita serta tujuan semua orang yang ditindas akan terpenuhi, dan dunia yang adil, manusiawi dan tanpa kelas akan berdiri, suatu dunia tanpa kecurangan dan eksploitasi, suatu sistem yang tidak pernah dapat dibuat korup dan disesatkan lagi; dan semua ini akan datang kendari ada oposisi dari semua orang yang mendukung eksploitasi dan penindasan dengan kekuatan bersenjata.

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka para pemimpin dan menjadikan mereka para pewaris.” (Q.S. 28:5).

Pernyataan “ketertindasan” (istidh’af) meliputi tirani politik, eksploitasi ekonomi dan penindasan intelektual. Suatu kelas ditekan oleh kekuatan, dan ini adalah penindasan dan keburukan politik. Suatu kelas dirampok kekayaannya. Ini adalah ketertindasan intelektual. Harus ditambahkan bahwa penindasan intelektual adalah dasar dari penindasan politik dan ekonomi.

Namun, massa, yang telah ditindas sepanjang sejarah, tidak memikirkan kekuatan mereka untuk meruntuhkan sistem mengerikan semacam ini. Dan yang kita miliki:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka para pemimpin dan menjadikan mereka para pewaris.” (Q.S. 28:5).

Ayat ini tidak mengatakan pembebasan mereka dari penindasan, tetapi ia berbicara tentang menjadikan mereka para pemimpin, sehingga orang-orang yang telah ditekan di sepanjang sejarah akan berkuasa (dan menjadikan mereka para pemimpin serta menjadikan mereka para pewaris).

“Bumi akan diwariskan kepada makhluk-makhluk yang saleh dan baik.” (Quran).

Kita dapat melihat kemudian bahwa “penantian” merupakan penyebab optimisme historis. Ia menunjukkan kelanjutan perjuangan, kelanjutan sejarah dan determinisme. Ia secara tidak langsung menyatakan keyakinan kepada kemenangan puncak keadilan dan kebenaran, keyakinan kepada penghapusan kezaliman yang tidak dapat dihindari, tirani dan ketidakmoralan dalam sejarah manusia, dan bahwa dalam bab terakhir sejarah manusia, dunia akan menyaksikan kemenangan kaum tertindas dan kekalahan kaum penindas. Tidak di dunia lain (akhirat), setelah mati, tetapi di sini di dunia ini.

Penantian adalah suatu janji seorang Muslim yang terus bersiaga untuk ikut serta dalam revolusi terakhir dan Badr kedua, yang akan berperang bersama pedang Ali as, baju perang Nabi Saw, dan dengan tangan keturnnan Nabi Saw dan Imam Ali as. Maka, penantian adalah agama protes dan penolakan total suatu sistem dan keadaan yang ada kini. Penantian bukan hanya tidak pernah melarikan manusia dari tanggungjawabnya, tetapi bahkan menjadikan manusia lebih bertanggungjawab terhadap nasibnya sendiri, terhadap kebenaran dan kemanusiaan.

Singkatnya, kepercayaan kepada penantian adalah sebuah falsafah sejarah yang positif, suatu ketetapan sejarah, suatu bentuk optimisme filosofis, dan suatu kekuatan gerakan spiritual dan intelektual yang membawa janji dan tanggungjawab pada jalurnya. Sebaliknya, filsafat penyerahan yang negatif, pesimistik dan menyerah, membawa umat Islam pada sebuah bencana.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: