Pesan Rahbar

Home » » Era Trump, Perang Terhadap Islam Akan Lebih Vulgar

Era Trump, Perang Terhadap Islam Akan Lebih Vulgar

Written By Unknown on Thursday 21 September 2017 | 11:50:00


Pada musim gugur 1990 -sekitar waktu pasukan AS tiba di Arab Saudi, yang membuat marah Osama bin Laden- sejarawan Bernard Lewis menyuarakan peringatan di The Atlantic tentang munculnya anti-Amerika di dunia Muslim. “Kita sedang menghadapi suasana hati dan gerakan yang jauh melampaui tingkat isu, kebijakan dan pemerintahan yang mengikuti mereka,” tulisnya. “Ini adalah benturan peradaban –barangkali tidak rasional tetapi yang pasti merupakan reaksi bersejarah yang melawan warisan Yahudi-Kristen kita dimasa lalu, sekuler kita saat ini, dan ekspansi di seluruh dunia dari keduanya. Adalah sangat penting bahwa kita berada di pihak yang tidak boleh terpancing kedalam reaksi bersejarah yang sama tetapi juga sama-sama tidak rasional terhadap rivalitas tersebut.”

Dua presiden Amerika pasca 9/11, George W. Bush dan Barack Obama, mencoba melakukan tindakan yang menyeimbangkan: memerangi jihadis terorisme sementara itu juga berusaha menghindari kesan bahwa dunia Barat dan Muslim terlibat dalam suatu jenis benturan seperti yang dijelaskan Lewis.

Donald Trump akan segera mengarahkan pemerintahanya dalam arah yang berbeda. Beberapa orang penasehat bidang keamanan nasional presiden terpilih ini berpendapat bahwa Amerika Serikat sedang berperang dengan “terorisme Islam radikal,” atau “Islam radikal,” atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti “Islamisme.”

Mereka menjelaskan bahwa perang ini merupakan perjuangan ideologis utama untuk melestarikan peradaban Barat, seperti halnya perang melawan Nazisme dan komunisme. Perang ini tidak terbatas pada ekstremis Muslim Sunni atau ekstrimis Muslim Syiah; Islamic State (IS) dan Republik Islam Iran dipandang sebagai dua sisi dari koin yang sama. Secara khusus, para penasehat tersebut telah menyampaikan visi penyapuan ini sebelum mengambil tanggung-jawab keamanan nasional -sebelum serangan teroris terjadi dihadapan mereka.

Bush memang menggambarkan War on Terror-nya dengan cara yang menimbulkan benturan peradaban, yang mengadu pembela kebebasan dengan penerus totaliter Nazi dan komunis. Tetapi dia menekankan bahwa Islam bukanlah salah satu sisi yang berbenturan -bahwa terorislah yang telah menyelewengkan “ajaran kedamaian Islam.”

“Beberapa orang menyebutnya radikalisme Islam yang jahat,” katanya pada tahun 2005. “Yang lainnya menyebut jihadisme militan. Yang lain lagi menyebutnya Islamo-fasisme. Apapun sebutannya, ideologi ini sangat berbeda dari agama Islam.”

Barack Obama telah menurunkan istilah Perang Bush menjadi bertempur, dan musuhnya dari Teror menjadi kelompok teroris tertentu. Dia menolak gagasan benturan peradaban, baik karena menurutnya hal itu terlalu melebihkan ancaman terorisme terhadap Amerika Serikat maupun karena ia tidak ingin menegaskan narasi para jihadis tentang perjuangan antara Islam melawan kafir di Barat.

Ketika seorang presiden AS menggunakan “bahasa longgar yang tampaknya menampilkan suatu konflik peradaban antara Barat dengan Islam, atau antara dunia modern dengan Islam, maka kita membuat hal itu menjadi lebih sulit, tidak mudah, bagi teman-teman dan sekutu kita dan orang-orang biasa untuk menolak dan melawan gagasan buruk dalam dunia Islam,” kata Obama kepada jurnalis The Atlantic Jeffrey Goldberg.


Pendekatan Obama telah menghasilkan reaksi balik yang dapat membentuk kebijakan dalam pemerintahan Trump. Selama beberapa tahun ini, Partai Republik telah mengecam penghindaran Obama dari peyebutan istilah “Islam radikal,” dengan menyatakan bahwa hal itu merupakan kegagalan presiden untuk menilai dan mengatasi ancaman secara benar. Islam radikal, menurut para kritikus Obama, sebagaimana bunyinya adalah: radikalisme yang berakar pada agama Islam.

Apa yang dipandang Obama sebagai “ekstremisme kekerasan,” dipandang para kritikusnya sebagai militan agama. Apa yang dipandang Obama sebagai benturan dalam peradaban Islam -antara faksi kecil yang fanatik dengan mayoritas Muslim-dipandang para kritikusnya sebagai benturan antara peradaban Barat dengan segmen kecil yang tidak signifikan dari dunia Muslim.

Apa yang dipandang Obama sebagai musuh lemah yang semakin lemah, para kritikusnya memandangnya sebagai musuh kuat yang semakin kuat. Apa yang dipandang Obama sebagai batasan-batasan bagi AS untuk dapat melakukan sendiri upaya pemberantasan terhadap apa yang dinterpretasi sebagai Islam radikal, para kritikusnya memandangnya sebagai kekurangan besar upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah AS.

Apa yang dipandang Obama sebagai ancaman keamanan nasional yang serius namun dapat dikelola, para kritikusnya memandangnya sebagai tantangan ideologi dan peradaban terhadap dunia yang bebas.

Trump telah melangkah lebih jauh daripada kebanyakan pemimpin Republik lainnya dalam mengajukan kontra-argumen kepada Obama -bukan hanya dalam kebijakan yang diusulkan, seperti melarang atau sangat membatasi imigrasi Muslim ke Amerika Serikat, tetapi juga di dalam retorikanya. “Saya pikir Islam membenci kita,” kata Trump di awal tahun ini. Ketika ditanya apakah ia mengacu pada “Islam radikal,” ia menjawab, “Ini radikal, tetapi sangat sulit untuk menentukan. Adalah sangat sulit untuk memisahkan. Karena Anda tidak tahu siapa mereka.”

Beberapa anggota tim yang memunculkan Trump menjelaskan ancaman ini dengan cara kaku dan luas yang serupa. “Kami berada dalam perang dunia melawan gerakan massa mesianis dari orang-orang jahat, yang kebanyakan dari mereka terinspirasi oleh ideologi totaliter: Islam Radikal. Namun kami tidak diizinkan untuk mengatakan atau menulis dua kata ini, yang berpotensi fatal bagi peradaban kita,” tulis Michael Flynn, penasehat Trump untuk keamanan nasional, dalam sebuah buku yang diterbitkan pada musim panas ini bersama penulis konservatif Michael Ledeen.

“Saya tidak percaya bahwa semua peradaban secara moral setara, dan saya pikir Barat, dan terutama Amerika, jauh lebih beradab, jauh lebih etis dan bermoral, daripada sistem musuh utama kita yang ingin dipaksakan pada kita,” tambah Flynn.

“Tidak semua dari 1,6 miliar Muslim di dunia adalah ekstrimis atau teroris. Tidak dengan tembakan yang panjang,” tulis wakil Flynn, K.T. McFarland, pada bulan Maret. “Namun meskipun jika hanya 10 persen dari 1 persen teradikalisasi, secara mengejutkan itu adalah 1,6 juta orang yang bertekad untuk menghancurkan peradaban Barat dan nilai-nilai yang kita junjung. Memang orang-orang fasis ingin menguasai dunia. Begitu pula orang-orang komunis. Namun para Islamis yang ingin secara brutal membunuh merupakan persentase yang signifikan dari penduduk dunia -dan itu adalah orang yang berdiri di jalan khalifah akhir-jaman mereka.” Jeff Sessions, yang dipilih Trump sebagai Jaksa Agung, yang menjalankan strategi “containment” Amerika selama Perang Dingin, mencatat bahwa “tidak ada kompromi dengan bentuk Islam radikal ini.”

Sebagai kepala Breitbart News, Steve Bannon yang memandu sebuah acara radio yang menampilkan berbagai tamu, mengklaim bahwa para ideolog Muslim radikal secara sembunyi-sembunyi menyusupi pemerintah AS dan mencoba untuk menyebarkan sistem kepercayaan mereka di seluruh negeri. (Flynn juga telah memperingatkan, secara keliru, bahwa hukum Syariat Islam sedang merambah pada sistem hukum AS.) Dalam pidatonya di Human Dignity Institute di Vatikan tahun 2014, Bannon, yang akan menjadi kepala para ahli strategi Trump di Gedung Putih, mensifati perang melawan “jihadis fasisme Islam” saat ini sebagai tahap terbaru dari perjuangan eksistensial berabad-abad antara Yahudi-Kristen Barat dan dunia Islam:

Mike Pompeo, anggota Kongres Kansas yang ditunjuk Trump sebagai direktur CIA, menjelaskan benturan ini dalam istilah yang lebih bernuansa. Ia menekankan bahwa Islam tidak harus disamakan dengan ekstremisme. Tetapi dia tetap mengklaim bahwa Obama terlalu meremehkan bahaya jihad.

“Pemerintahan ini akan tercatat dalam sejarah untuk pertama kalinya, menempatkan Amerika pada suatu tempat, dari perspektif keamanan nasional, yang ia tidak menemukan dirinya [berada] dalam kehidupan siapapun di ruangan ini,” katanya dalam sebuah pidatonya tahun 2015 kepada audiens di Wichita yang meliputi banyak orang yang jelas masih hidup selama brinksmanship nuklir Perang Dingin. “Garis batas ditarik tidak antara kepercayan tetapi antara para ekstremis, dan antara mereka yang menerima modernitas dengan mereka yang barbar. Kita harus memahami garis itu, dan kita tidak boleh takut untuk berjalan sampai ke garis itu, menemukan orang-orang di sisi lain, dan menghancurkan mereka.”

Penasihat Trump berpendapat bahwa kebijakan Obama salah karena ia salah dalam memahami esensi ancaman jihad. Inilah sebabnya mengapa Flynn, misalnya, telah menempatkan pentingnya kata-kata seperti “Islam radikal.” Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa banyak pemimpin kelompok seperti ISIS dan al-Qaeda adalah ideolog asli, penganut Salafi fundamentalis Islam yang kaku. Jika para pemimpin ini yang dianggap sebagai bukan pelaku kekerasan dibom, mereka yang diambil pasti akan digantikan oleh orang beriman sejati lainnya, dan perang ini tidak akan pernah berakhir.

Flynn sampai pada kesimpulan ini setelah menginterogasi para tersangka teroris di Irak dan Afghanistan pada waktu sebagai perwira intelijen di Komando Operasi Khusus Gabungan. Seperti yang ia katakan kepada James Kitfield pada bulan Oktober :

Pembingkaian pertarungan ini sebagai sebuah perjuangan ideologi, bagaimanapun, cenderung mengaburkan perbedaan antara Islam radikal, gerakan politik yang dikenal sebagai Islamisme, dan agama Islam. Perhatikan pertukaran yang membingungkan ini pada wawancara antara Flynn dan jurnalis Mehdi Hasan di bulan Januari:

Bingkai ideologis ini juga mengundang respon yang melampaui taktik-taktik militer seperti peperangan drone dan serangan udara, yang mana Flynn berpendapat bahwa Obama terlalu banyak mengandalkannya. Flynn telah menyerukan kampanye informasi seperti Perang Dingin yang mempromosikan nilai-nilai Barat dan mengekspos “kegagalan” Islam radikal.

Pompeo, seorang Kristen evangelish, yang berpendapat bahwa diperlukan lebih banyak para pemimpin Muslim yang berbicara menentang terorisme atas nama Islam, mencatat bahwa pemimpin Protestan telah mengutuk tindakan kebencian dari Gereja Baptis Westboro di negara bagiannya. “Ada perbedaan interpretasi dalam Islam,” katanya. “Adalah tidak cukup mengelak tanggung jawab, untuk mengatakan salah satu interpretasi mereka sendiri yang tidak mendukung terorisme. Para imam moderat harus berusaha untuk memastikan bahwa tidak ada Muslim menemukan landasan/dalil bagi terorisme dalam Alquran.”



Flynn juga mendesak pemerintah AS untuk membantu negara-negara Timur Tengah merombak ekonomi mereka dan mengembangkan sumber energi selain minyak, dalam upaya untuk menghilangkankan keluhan sosial ekonomi yang dalam pandangannya menjadikan kelompok jihad menarik bagi para pemuda.

Ketika jurnalis Fareed Zakaria menunjukkan bahwa hal ini akan memerlukan investasi waktu dan sumber daya AS yang besar yang mungkin tidak proporsional terhadap ancaman yang sebenarnya, Flynn tidak setuju. “Ada biaya, pasca-Perang Dunia II, yang disebut Rencana Marshall untuk Eropa,” katanya. “Dan Eropa melakukan dengan sangat baik.”

Memperlakukan Islam radikal sebagai ideologi monolitik cenderung untuk menaikkan kedudukan pejuang musuh juga. Dalam penampilannya di The Steve Malzberg Show, misalnya, Pompeo menawarkan definisi luas dari ancaman yang dihadapi Amerika Serikat di Suriah: “Kita harus melakukan itu semua.

Assad adalah alat bagi Iran dan apabila kita tidak siap untuk mendorong kembali ke Iran dalam bentuk Assad, kita membuat kesalahan. Kita harus melakukan itu, tapi itu bukan hanya pada ISIS, juga pada al-Nusra Front al-Qaeda. Mereka semua adalah dua sisi yang sama dari koin teror dan kita harus menghancurkan mereka semua.”

Banyak orang yang ditunjuk Trump telah menjaga posisi garis keras terhadap Iran, yang pemerintah AS telah melabelinya sebagai negara dunia teratas pendukung terorisme, dan banyak mengkritik pemutusan kesepakatan untuk membatasi program nuklir Iran oleh pemerintahan Obama. Pompeo menyarankan bahwa radikalisme Syiah Iran saat ini memberikan tantangan yang lebih besar ke Amerika Serikat daripada radikalisme Sunni ISIS. “Akar dari sebagian besar hal-hal yang Anda lihat hari ini [di Timur Tengah] adalah Iran,” katanya.

Ketika Islam radikal ditafsirkan sebagai ideologi fundamental anti-Amerika, tingkat permusuhan juga bisa bertambah untuk menyertakan entitas anti-Amerika lainnya. “Kita berada dalam perang global, menghadapi aliansi musuh yang merentang dari Pyongyang, Korea Utara, ke Havana, Kuba, dan Caracas, Venezuela,” tulis Flynn pada musim panas ini, mengikuti perumusan “poros kejahatan” George W. Bush.

“Sejalan dengan aliansi yang terdiri atas negara-negara dan organisasi Muslim radikal seperti Iran, al Qaeda, Taliban dan Negara Islam (IS)… Jika para pemimpin kita memang menginginkan kemenangan, mereka harus merancang strategi untuk menghancurkan musuh global ini. Namun mereka tidak melihat ini sebagai perang global. Sebaliknya, mereka dengan malu-malu menggigit di sekitar tepi medan pertempuran dari Afrika ke Timur Tengah, dan bertindak seolah-olah setiap pertempuran, apakah di Suriah, Irak, Nigeria, Libya atau Afghanistan, bisa diselesaikan secara damai dengan upaya diplomatik.” (Ketika Eli Lake Bloomberg menanyakan bagaimana ISIS, Korea Utara, Kuba, dan Venezuela semua mungkin bisa beraliansi, Flynn menjawab, “Ini adalah cara sederhana untuk menjelaskan hubungan tersebut.”)

Aliansi tradisional AS terancam untuk dirombak juga. Trump ingin bermitra dengan Rusia untuk melawan ISIS, dan baik Flynn maupun Pompeo telah memuji pemimpin otoriter Mesir, Abdel Fattah el-Sisi, yang mendesak adanya “revolusi agama” untuk membersihkan Islam dari unsur-unsur radikalnya. “Saya ingin bertemu Presiden Sisi,” kata Pompeo dalam sambutannya pada tahun 2015. “Saya akan mengatakan seperti ini: Anda tidak menemukan banyak Thomas Jefferson di sana. Setelah Anda mendapatnya … suatu garis harus ditarik [antara] orang-orang yang berada di sisi ekstremisme dengan mereka yang melawannya, apa pun kepercayaan yang mereka anut.” Flynn dan Pompeo menginginkan pemerintah AS untuk memperkuat suara Muslim seperti Sisi, namun retorika mereka tentang Islam radikal juga memiliki potensi untuk menjauhkan sekutu-sekutu Muslim.

Perang ideologi bisa mendorong pemerintahan Trump untuk meningkatkan kewenangan pemantauannya. “Pendapatku adalah bahwa kita harus bertindak jauh melampaui ekstremisme kekerasan,” kata Pompeo di Wichita. “Jika Anda berkomunikasi, berbicara, memfasilitasi, menyediakan sumber daya dan uang untuk, pendidikan, pelatihan, membantu, asistensi, dan Anda adalah bagian dari suatu jaringan [jihad], Anda adalah seseorang yang Amerika memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk menarik Anda dari jalan-jalan. Kami memiliki komitmen konstitusional yang mendalam untuk memungkinkan orang-orang melakukan sesuatu. Anda semua dapat berbicara tentang keyakinan Anda. Saya berbicara tentang saya sepanjang waktu. Saya ingin semua orang bisa melakukannya. Tetapi ketika Anda mulai terlibat dengan jaringan di seluruh dunia yang merupakan bagian dari organisasi jihad, Anda tidak lagi berbicara tentang keyakinan Anda, tetapi menempatkan orang di sekitar saya beresiko.”

Hal ini juga dapat menyebabkan pemeriksaan lebih intensif terhadap imigran dari negara-negara Muslim. “Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat ditanyakan: Apakah anda percaya pada kebebasan beragama, apakah Anda percaya pada hukum Syariah atau Konstitusi, dan apakah Anda menghormati minoritas seperti perempuan dan kaum gay?” Sessions berbicara di The American Thinker pada bulan Juni. “Kita tidak diwajibkan untuk mengakui orang-orang jika filosofi atau prinsip-prinsip mereka bertentangan dengan Konstitusi. Kita harus memahami bahwa kebanyakan Muslim tidak mengikuti ideologi ekstrim ini, namun tidak ada yang salah untuk menolak izin masuk bagi orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari nilai-nilai kita.”

Sehubungan dengan neokonservatif dalam pemerintahan George W. Bush, Trump dan penasihatnya kurang sejalan dengan visi besar pembangunan bangsa dan promosi-demokrasi di luar negeri. Namuni mereka mendukung Bush dalam hal unjuk kekuatan militer. Kelompok jihadis “harus ditolak/dicegah mempunyai safe havens, dan negara-negara yang menaungi mereka harus diberi pilihan brutal: menghilangkan Islamis radikal atau Anda berisiko terkena serangan langsung,” tulis Flynn.

“Ttransformasi agama dan politik di Eropa yang kita sebut Reformasi berbuntut ratusan tahun pertempuran yang sangat berdarah,” tambahnya. “Dunia sangat membutuhkan reformasi Islam, dan kita tidak perlu heran jika kekerasan terlibat.”

“Garisnya sangat jelas,” ungkap Pompeo di Wichita, mengikuti Bush. “Apakah Anda bersama kami atau melawan kami? Jika Anda dengan kami: Tuhan memberkati Anda, Semoga berhasil, mari kita mendapatkannya. Dan jika Anda melawan kami: Semoga berhasil, saya memiliki rudal yang mencari Anda”.

Sebagaimana disampaikan oleh Flynn, Pompeo, dan orang lain yang mengatakannya, penolakan Obama untuk mengakui Islam radikal telah mencegahnya dari melaksanakan kebijakan yang mereka sarankan. Namun sungguh ironi bahwa Obama telah menerapkan banyak kebijakan tersebut. Obama telah meluncurkan kampanye informasi untuk mendiskreditkan ISIS dan mengajak negara-negara Timur Tengah dalam pertempuran melawan jihadisme. Dia telah mendorong umat Islam untuk mengutuk ekstremis di tengah-tengah mereka dan memperlakukan pengungsi Suriah dengan apa yang disebut Trump sebagai “pemeriksaan yang ekstrim.” Dia telah bersandar pada pengawasan negara untuk memerangi terorisme, menetralisir aspek yang paling mengkhawatirkan dari ancaman Iran, dan membangun reputasi sebagai pemburu teroris yang tangguh dengan menggunakan kekuatan militer terhadap para pemimpin jihad dan beroperasi di sejumlah negara.

Namun kalaupun kebijakan kontraterorisme AS tidak secara dramatis berubah pada masa presiden Trump, retorika mungkin akan berubah. Para pejabat AS kemungkinan akan menggambarkan perang melawan terorisme sebagai sebuah perjuangan epik, dan melacak akar ideologis terorisme dengan Islam dan gerakan politik-agama dalam keyakinan yang membahayakan peradaban Barat. Bush dan Obama berada jauh dari sebagian retorika itu karena penilaian mereka terhadap ancaman jihad. Namun mereka juga melakukan tindakan-tindakan itu karena mereka khawatir bahwa memperkuat narasi benturan-peradaban akan melemahkan upaya mereka untuk menghilangkan ancaman itu. Sejauh ini tanda-tanda menunjukkan bahwa Trump, dan banyak dari para penasihatnya, tidak berbagi keprihatinan itu.


Diterjemahkan dari artikel yang berjudul:

The Coming War on ‘Radical Islam’

How Trump’s government could change America’s approach to terrorism

Oleh: Uri Friedman

Sumber: http://www.theatlantic.com/international/archive/2016/11/trump-radical-islam/508331/

(The-Atlantic/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: