Nama Dr Haidar Bagir (60) tak bisa dipisahkan dengan Penerbit Buku Mizan atau Mizan Publishing House, induk perusahaan sejumlah penerbit buku di Bandung yang dia dirikan 34 tahun lalu bersama dua sahabatnya. Tak heran jika Mizan lebih lekat di benak publik dengan sosoknya. Namun Haidar lebih suka disebut dosen Filsafat Islam atau pengajar Tasawuf daripada bos besar perusahaan itu.
Di sisi lain, mungkin belum banyak yang tahu bahwa Haidar termasuk salah satu tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia yang sejak puluhan tahun lalu sudah kerap mendapat pengakuan internasional.
Entah karena aktivitasnya dalam mengembangkan dan menyampaikan pemikiran Islam yang serba toleran dan sejuk atau sebab aktivitas lain dalam mengembangkan lembaga pendidikan pada beberapa sekolah di bawah Yayasan Lazuardi yang dipimpinnya, termasuk kiprah filantropis dan amal sosial melalui yayasan bernama Yasmin yang didirikannya. Yang jelas, nama Haidar selama bertahun-tahun selalu masuk dalam daftar ‘500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia’ terbitan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang berpusat di Amman, Jordania.
Untuk diketahui, RISSC adalah sebuah lembaga yang sejak puluhan tahun lalu telah mempublikasikan hasil riset tentang tokoh Muslim berpengaruh yang dikenal dengan sebutan ‘The 500 Most Influential Muslim’. Lembaga ini pertama kali mempublikasikan hasil risetnya pada tahun 2009. Hasil riset The Muslim 500 itu merupakan penilaian berdasarkan survei masyarakat terhadap tokoh Muslimnya di masing-masing negara.
Nah, pada terbitan edisi tahun 2017 yang dirilis Minggu (21/5/2017) kemarin, nama Haidar kembali masuk daftar ‘500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia’ tersebut dalam kategori Filantropi dan Amal Sosial. CEO Mizan ini bahkan menjadi satu-satunya tokoh Muslim dari Indonesia dalam kategori tersebut. Keistimewaan yang lazimnya bisa membuat siapapun berbangga.
Namun tampaknya tidak demikian halnya bagi penulis buku Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau itu. Meski setiap tahun namanya selalu masuk dalam daftar, saat diminta tanggapannya, pria paruh baya asal Solo yang merupakan salah seorang penggemar Srimulat ini biasanya dengan gaya jenaka akan selalu berkilah, “Ah, itu hanya kebetulan saja.”
Di dalam negeri, kiprah Haidar juga kerap mendapat apresiasi. Salah satunya, dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang selain mengapresiasi Haidar selaku pendiri Mizan, juga menilai suami dari Lubna Assegaf itu sebagai sosok yang produktif dalam menulis, utamanya terkait tema yang berdimensi batiniah.
Saat menyinggung buku Islam Tuhan, Islam Manusia, Menag menyebut itulah pola khas Haidar dalam upayanya menjelaskan pola hubungan antara manusia dengan Tuhan, yakni pola tasawuf, menyangkut hubungan antara para pencinta dengan Yang Dicintai.
Apa yang disampaikan Menag terkait pola khas tasawuf itu benar adanya. Karena sejak mahasiswa, Haidar sudah tertarik dan bergelut dengan pemikiran tasawuf. Tahun 1982, misalnya, ia membuat para mahasiswa kagum dengan pengetahuannya yang mendalam tentang Filsafat Islam dan pemikir Islam. Padahal, baru beberapa tahun kemudian (tepatnya pada 1990 ) Haidar mendapat beasiswa Fullbright untuk kuliah S-2 di Center for Middle Eastern Studies, Harvard University, Amerika Serikat, dan lulus pada 1992.
Lebih jauh, bagi Haidar yang sudah menulis puluhan buku tentang keberagamaan itu, tasawuf menjawab persoalan spiritual tentang makna kehidupan: dari mana, untuk apa, dan mau ke mana kita sebagai hamba. Maka tasawuf bagi dia, adalah pemahaman spiritual pada agama yang didasarkan atas hubungan cinta kasih timbal balik antara manusia dan Tuhan, antara sesama manusia dan alam semesta.
Di antara banyak rujukan, ia paling tertarik pada pemikiran Ibn ’Arabi (1165-1240) yang lahir di Murcia, Spanyol, dan meninggal di Damaskus. Menurutnya, Ibn ’Arabi mampu menggabungkan berbagai aliran pemikiran esoterik yang berkembang di dunia Islam pada masanya dalam satu sintesis yang luas dengan ajaran Al-Quran dan hadis.
Pantas saja bahwa hingga kini, dunia tasawuf, buku, dan dunia intelektual adalah tiga wilayah yang terus dia geluti. Seolah ketiganya dia organisasi dalam satu tarikan napas, yakni toleransi dan pengembangan karakter, yakni karakter Muslim yang mampu mengejawantahkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam cinta.
Mungkin tak berlebihan jika banyak orang kerap menilai pernyataan Haidar selalu menyisakan rasa ingin tahu. Bukan tentang dunia perbukuan, apalagi tentang Mizan, melainkan tentang keyakinannya bahwa Islam adalah agama cinta. Bahwa Islam juga akrab dengan konsep cinta. Sehingga ‘tak ada agama, tak ada Islam yang tanpa cinta’.
Mungkin pula, lewat konsistensi kiprahnya dalam menebar nilai-nilai Islam cinta itulah, Haidar dinilai layak oleh publik sebagai salah seorang tokoh dari 500 Muslim Paling Berpengaruh di Dunia. Wallahu ‘a’lam.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email