Pesan Rahbar

Home » » Cak Nun Ungkap Alasannya Tak Bergamis Tak Berserban

Cak Nun Ungkap Alasannya Tak Bergamis Tak Berserban

Written By Unknown on Monday 22 May 2017 | 19:20:00


Jika Anda belum mengenal siapa Cak Nun, coba cari nama Emha Ainun Nadjib di Google. Jika beruntung, Anda akan diarahkan ke situs Wikipedia yang memuat khusus uraian lumayan memadai tentang sosok Kiai Mbeling asal Jombang yang kini menetap di Yogyakarta itu.

Ya. Meski punggawa Kiai Kanjeng ini lebih akrab disapa Cak Nun dan bukan Kiai Nun, tapi dia lebih dari pantas disebut Kiai. Yakni Kiai tanpa gamis dan serban, karena suami Novia Kolopaking itu selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Istilah orang Jawa, “Gak onok bedane karo wong dodol akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki.”

Banyak orang heran, dengan kapasitas keilmuan mumpuni dan layak menempati maqam ulama, kenapa Cak Nun lebih suka tampil biasa-biasa saja?

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan serban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim… Kalau itu tidak benar, itu kan namanya ‘penipuan’…!” kata Cak Nun.

Lalu, bukankah berpakaian ala ulama termasuk bagian dari akhlak atau etika ‘menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain’? Bukankah dalam peribahasa Jawa, juga dikenal pakem ‘Ajining rogo soko busono?’

“Kalaupun memang benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan kepada orang lain (melalui pakaian)? Tidak boleh kan? Maka semampu-mampu saya, berpakaian seperti ini untuk mengurangi potensi ‘penipuan’ saya kepada Anda. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya. Karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya…” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, seorang ulama harusnya bisa berpakaian sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukkan kecintaannya kepada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada pada diri Rasul. Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Kata Cak Nun, baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis: yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di zaman Nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad..; Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine yo koyok ngono iku (model bajunya ya sepert itu).

Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah akhlaknya, bukan kostumnya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk. Rendah hati, biso rumongso, nggak rumongso biso (mawas diri, tidak merasa yang paling bisa).

Orang yang perlu diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Karena semua nabi saja mengaku dirinya zalim: “Inni Kuntu Minadzalimin”(aku termasuk orang yang zalim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya shaleh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae…ndang baliyo sriii…!

“Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau kepada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin mendapatkan ilmu yang lebih tinggi,” tambah Cak Nun.

Karena itulah saat bersama jemaahnya, Cak Nun selalu memposisikan dirinya sama, sama-sama belajar. Dan Cak Nun sendiri lebih suka pada jemaah yang sedang berproses daripada yang sudah ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang sudah ngerti Al-Qur’an, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dan seterusnya.

“Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati.” Begitu yang kerap dipesankan Cak Nun.

“Kalau saya kadang bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris.. saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa.. saya lahir dan dibesarkan di Jawa.. diperintah Tuhan jadi orang Jawa… maka saya mencintai dan mendalami budaya saya.. siapa bilang Jawa itu tidak Islam.. kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing.. kalau Anda kucing jangan meng-anjing-anjing-kan diri.. Kita memang disuruh Bhinneka (berbeda-beda) kok..!”

Mungkin justru lucu kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) yang malah membangga-banggakan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi bagaimana kebaya bisa Islami. Padahal perlu diIngat: Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: