Salah satu bentuk terindah interaksi
dengan Tuhan adalah zikir. Zikir memiliki arti mengingat. Mengingat
Tuhan akan membuat jiwa seseorang bersih dan suci serta segala kekotoran
yang bersarang di hati seseorang akan tersapu bersih. Oleh karena itu,
zikir termasuk sifat para nabi dan nama Kitab Suci al-Quran. Dalam surat
at-Talaq, ayat 10-11 Allah Swt menyebutkan, "Allah menyediakan bagi
mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang
yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya
Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (Dan mengutus) seorang Rasul
yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan
(bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman
dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman
kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya
Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya."
Selain itu, salah satu nama dari
al-Quran adalah al-Dzikr seperti yang disebutkan oleh ayat 9 Surat
al-Hijr yang artinya," Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr
(Al Quran), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." Sebab dari
penamaan nabi dan al-Quran dengan al-Dzikr, dikarenakan keduanya
mengingatkan manusia kepada Tuhan, menyingkirkan awan kelalaian dan alpa
dari hati manusia serta memberi cahaya Ilahi kepada hati-hati tersebut.
Salah satu dari manfaat mengingat Tuhan
adalah ketenangan hati. Sejatinya mengingat Tuhan (Zikir) adalah obat
untuk mengatasi stress dan penyakit jiwa. Stress kontradiksi dengan
kestabilan jiwa yang diharapkan manusia serta akan menimbulkan berbagai
penyakit kejiwaan. Ketenangan jiwa adalah tuntutan fitrah manusia serta
berbagai aktivitas manusia sejatinya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan
ini.
Masih banyak perbedaan dalam menentukan
hal-hal yang membuat tenang kehidupan seseorang. Banyak yang memandang
ketenangan jiwa dapat diraih dengan kekayaan dan harta yang melimpah
serta kesejahteraan hidup dari sisi materi. Sebagian lain memandang
pangkat dan kedudukan sebagai faktor ketenangan jiwa. Namun dalam
pandangan al-Quran ketenangan jiwa hanya dapat diraih dengan mengingat
Tuhan (berzikir) dan hal ini dijelaskan secara transparan dalam Surat
al-Raad ayat 28, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
Mencapai hikmah Ilahi merupakan manfaat
dan dampak lain dari berzikir dan mengingat Tuhan. Zikir meningkatkan
kekuatan penalaran manusia, karena Allah Swt mengulurkan bantuan-Nya
terhadap kekuatan berfikir manusia yang menggunakan akalnya. Selain itu,
al-Quran yang juga disebut sebagai al-Dzikr dan pengingat Tuhan, dalam
berbagai ayatnya banyak memberi wejangan dan perintah untuk berfikir.
Sejatinya Allah Swt menjadikan berfikir sebagai penyempurna mengingat
Diri-Nya. Allah Swt dengan beragam cara menyeru manusia untuk
memperhatikan urgensitas berfikir dan memperhatikan alam sekitarnya.
Dalam Surat Aali Imran ayat 191 Allah
Swt berfirman, "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka."
Berdasarkan ayat ini, sifat pertama
orang yang berakal adalah senantiasa mengingat Tuhan dalam kondisi
apapun. Dalam persepsi ayat ini, orang berakal satu detik pun tidak
pernah alpa mengingat Tuhan. Ia menyakini Allah Swt senantiasa
mengawasinya dan hadir di sisinya. Ia juga meyakini dirinya selalu
berada dalam pengawasan Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini, berbagai
kondisi dan tempat tidak menjadi penghalang untuk mengingat Tuhan. Orang
seperti ini persis seperti yang dijelaskan oleh ayat 37 Surat an-Nur,
"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan
(dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari
itu) hati dan penglihatan menjadi goncang."
Di bagian kedua ayat 191 Surat Ali
Imran, orang-orang yang berakal selain merenungkan ciptaan Allah Swt
juga berkata, "...Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
Sejatinga penggalan kedua ayat ini menjelaskan karakteristik lain orang
berakal yakni berfikir. Islam sangat menekankan kepada manusia untuk
berfikir dan menggunakan akalnya. Oleh karena itu tak heran,
karakteristik kedua orang berakal setelah mengingat Tuhan adalah
berfikir.
Perhatian besar pada potensi besar ini
bukan hanya dimonopoli oleh al-Quran, para pemimpin agama suci ini dalam
berbagai wejangan mereka juga kerap mewasiatkan umatnya untuk menjaga
dan menggunakan dengan baik kekuatan berfikir yang telah dianugerahkan
Allah kepada manusia. Misalnya Imam Hasan Askari as bersabda, "Tolok
ukur penghambaan dan ibadah bukan kwantitas puasa serta shalat, namun
ibadah diukur dari banyaknya merenungkan ciptaan Allah dan memikirkan
berbagai tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta."
Ayat 17-18 Surat al-Zumar Allah Swt
berfirman, "Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal."
Dalam dua ayat ini, Allah Swt dengan
jelas menguraikan sifat lain dari orang-orang berakal. Sifat tersebut
adalah memilih kata-kata yang baik ketika berbicara. Bagi pribadi yang
berakal, sosok yang berbicara bukan penting, namun kandungan dari
pembicaraan tersebut yang mereka pandang. Mereka akan menerima nasehat
dan pembicaraan yang baik, meski yang pembicara bukan pribadi yang ideal
menurut mereka.
Hal ini dikarenakan orang berakal yakin
atas sabda Rasulullah Saw, "Hikmah dan ilmu adalah milik mukmin yang
hilang dan jika ia menemukannya maka harus diambil." Bagi orang berakal
pembicaraan yang baik meski keluar dari mulut orang yang tidak seakidah
dengannya atau tidak sejalan pemikiran dengan dirinya, pasti ia terima.
Karena menurutnya, pembicaraan dan nasehat yang baik ibaratnya mutiara
yang bersinar dalam diri orang-orang yang berperilaku buruk. Imam Ali as
bersabda, "Ilmu dan kebenaran adalah milik mukmin yang hilang, maka
jika ia menemukannya,pelajarilah meski dari orang munafik."
Akhirnya zikir dan berfikir ibaranya dua
sayap untuk terbang. Jika salah satunya hilang maka kita tidak dapat
terbang. Keduanya saling melengkapi. Seseorang yang hanya berzikir namun
lalai dari berfikir, tidak mungkin menjadi manusia yang sempurna.
Sebaliknya, manusia yang hanya mementingkan berfikir tanpa mengindahkan
zikir, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang berakal.
Jika kita memperhatikan sejarah
peradaban dan budaya manusia, kita saksikan bahwa kebanyakan bencana
yang menimpa manusia disebabkan mereka lalai salah satu dari dua unsur
vital ini. Artinya, mereka di sebagian kasus hanya mementingkan zikir
dan di kasus lain hanya menggunakan nalar untuk berfikir tanpa diimbangi
dengan zikir. Akibatnya mereka tidak pernah sampai pada tujuan yang
ingin diraih, malah terjebak ke dalam kesesatan.
Mereka yang berpandangan zikir terpisah
dari nalar serta hanya disibukkan dengan berzikir telah menebarkan irfan
sesat dan menyimpang dengan irfan sejati yang maksudkan oleh Islam di
tengah-tengah masyarakat. Mereka kemudian menyeret masyarakat ke arah
kesufi-sufian. Sebagian lain menganggap nalar sudah cukup bagi manusia
dan lalai dari zikir serta menginga Tuhan. Orang-orang seperti ini pada
akhirnya terseret ke lembah materialisme. Sejumlah dari kelompok ini
yang menfokuskan kekuatan nalarnya di bidang ilmu eksakta dan segala
sesuatu diukur dengan ilmu empiris maka ia akan menyeleweng sangat jauh
dan bahkan akan mengingkari keberadaan Tuhan.
Post a Comment
mohon gunakan email