Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Tarawih. Show all posts
Showing posts with label Tarawih. Show all posts

Perkara yang Tidak Dilakukan Nabi Muhammad, Tidak Otomatis Haram


Oleh: Ustadz Abu Hilya

Perkara Perbuatan (amaliah) yang tidak dilakukan (tidak dicontohkan) oleh Nabi Muhammad Saw, itu tidak otomatis perbuatan (amaliah) tersebut menjadi haram untuk dilakukan oleh Umat Islam. Sebagai contoh, kita berdakwah via website / blog di dunia internet, dakwah semacam ini tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Apakah berdakwah via website / blog itu haram? 
Sudah pasti anda semua akan menjawab: “Tidak haram”.
Kalau begitu betapa dholimnya ada sebagian Umat Islam yang jahil-jahil itu membuat hujjah bahwa : Apa-apa yang tidak dicontohkan / tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammad adalah Bid’ah sesat (haram).

Nah.., bagi anda yang ingin menambah ilmu tentang masalah ini, berikut kami sampaikan hal-hal yang berkaitan dengan apa-apa perbuatan / amaliah yang tidak dilakukan / tidak dicontohkan oleh nabi Muhammad saw ditinjau dari berbagai sudut pandang ilmu ulama. Selamat menyimak semoga bermanfaat untuk kesmbuhan penyakit hobbi mengharamkan amaliah kaum muslimin.

Penjelasan Tentang At-Tark  (Perkara yang tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammadsaw)

  1. Pendahuluan
Penjelasan masalah At Tark berikut, kami sarikan dari kitab “ Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki “ karya al Hafizh Abdullah bin as Shiddiq Al Ghimmari al Husaini (w. 1413 H/1993 M).

Adalah hal yang ma’lum, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin melakukan semua perkara yang mubah, mengingat begitu banyaknya perkara mubah hingga sangat sulit untuk menghitung apalagi melakukan kesemuanya. Dan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud dan meninggalkan perkara yang lebih. Maka barang siapa menyangka haram-nya sesuatu dengan argument Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallamtidak pernah melakukannya, maka argumentnya tertolak.

Adapun terhadap perkara-perkara Mandzubah, Nabi Muhammad tidak melakukannya karena beberapa alasan, diantaranya :
  • Adanya perkara lain yang lebih urgent (penting), seperti menyampaikan dakwahnya, membantah argument-argument kaum musyrik jahiliyah, berperang, mendirikan masjid, mengadakan perundingan-perundingan damai dll, yang kesemuanya banyak menghabiskan waktu beliau.
  • Adanya nash-nash umum yang menanungi kebajikan-kebajikan dan ibadah yang tak terikat.
  1. Pengertian At Tark
الترك / At Tark menurut bahasa adalah : Meninggalkan.

الترك / At Tark dalam bahasan kali ini adalah :

أَنْ يَتْرُكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ أَوْ يَتْرُكَهُ السَّلَفُ الصَّالِحُ مِنْ غَيْرِأَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثٌ أَوْ أَثَرٌ بِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ يَقْتَضِي تَحْرِيْمَهُ أَوْ كَرَاهَتَهُ.

Perkara yang ditinggalkan tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam maupun para salaf as sholih tanpa adanya hadits atau atsar yang mencegah / melarang baik yang berindikasi haram atau makruh atas perkara yang ditinggal tersebut.
  1. Sebab-sebab Rosululloh shallallahu alaihi wasallam meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu perkara.
Perkara perbuatan (amalaiah) yang ditinggalkan oleh nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam tidak otomatis berindikasi perkara tersebut terlarang/tercegah baik makruh maupun haram.
Adapun di antara sebab-sebab Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mening-galkan atau tidak mengerjakan sesuatu adalah :

Ø  Rosululloh shallallahu alaihi wasallam meninggalkannya karena tidak sesuai dengan kebiasaan atau adat beliau.

Contoh dalam hal ini adalah Hadits Dhobb yang diriwayatkan Imam Bukhari :

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِأَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ فَقَالُوا هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللهِ فَرَفَعَ يَدَهُ فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ

Dari Kholid bin Walid –rodhiyallohu ‘anhu- ; sesungguhnya Kholid bersama Rosululloh shollallohu alaihi wasallam masuk ke rumah Maimunah, kemudian didatangkan (dihidangkan) biawak yang dimasak, maka Rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengulurkan tangan beliau untuk (mengambil)nya, berkatalah beberapa wanita : “Beritakan kepada Rosululloh shollallohu alaihi wasallam apa yang hendak beliau makan”,  para sahabat pun berkata “ Ya Rosulalloh ini adalah biawak “, maka Rosululloh pun mengangkat kembali tangan beliau (mengurungkannya), “ adakah ia (biawak) haram Ya Rosulalloh “ ?tanya Kholid, Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menjawab “ Tidak, akan tetapi tidak ada didaerah kaumku, maka aku merasa jijik (tdk terbiasa) “. Maka akupun (Kholid) memamah biawak tersebut dan memakannya, sementara Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memperhatikan. “ (HR. Imam Bukhari).

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan.Seperti masalah jama’ah sholat tarowih.

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkannya karena lupa, seperti kisah sujud sahwi dalam sholat.

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena belum terfikir sebelumnya, seperti masalah tempat khotbah yang sebelumnya berupa pelepah korma dan kemudian direnofasi oleh para sahabat dan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyetujuinya karena dipandang lebih baik dan menjadikan khotbah lebih dapat didengar oleh para jama’ah.

Ø  Kebajikan yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wasallam berada dalam naungan nash yang bersifat ‘Am (umum) semisaldan perbuatlah kebajikan supaya mendapat kemenangan “ (QS, Al Hajj : 77) dan juga seperti ayat  Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS, Al An’am : 160) dan juga ayat dan nash-nash yang lain. Kebaikan yang dimaksud adalah seperti solat Duha dan yang lainnya.

Ø  Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkannya dan atau tidak melaksanakannyakarena mengkhawatirkan keimanan sebagian para sahabat, seperti dalam masalah renofasi ka’bah sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhari :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًاقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ خَلْفًا يَعْنِي بَابًا

Dari Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, ia berkata : Rosululloh shollallohu alaihi wasallam berkata padaku ; “ Seandainya tidak karena kembalinya kaummu pada kekufuran niscaya akan aku robohkan ka’bah dan kemudian aku sungguh aku bangun lagi diatas pondasi Nabi Ibrohim ‘alaihis salam, Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah mengurangi bangunannya, dan akan aku jadikan untuknya pintu belakang “ (HR. Imam Bukhari).

Disamping itu masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain (jika ditelusuri dalam sunnah/hadits) yang menjadi sebab Nabi Muhammad Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu perkara, sehingga perkara yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh Rosululloh tidak otomatis tercegah baik makruh ataupun haram.

Adapun perkara-perkara yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh para sahabat, al Imam al Hafizh Ibnu Hajar al Haitsami menjelaskan dalam kitabnya Fathul Mubin Syarah Arba’in an Nawawi sebagai berikut :

وَاَخْرَجَ أَبُو دَاوُوْدَ عَنْ حُذَيْفَةَ : (كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ تَفْعَلْهَا الصَّحَابَةُ .. فَلَا تَفْعَلُوْهَا) أَيْ : إِلَّا إِنْ دَلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ أَخَرُ,وَإِلَّا..فَكَمْ مِنْ عِبَادَاتٍ صَحَّتْ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا وَفِعْلًا وَلَمْ تُنْقَلْ عَنْ اَحَدٍ مِنْهُمْ.

Abu Dawud mriwayatkan dari Hudzaifah : ( Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat… maka janganlah kalian melakukannya ) maksudnya adalah : kecuali  jika ada dalil lain yang menjelaskannya, karena jika tidak demikian, maka berapa banyak ibadah yang sohih dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, baik ucapan maupun perbuatan yang tidak diriwayatkan (dilakukan) dari seorangpun dari para sahabat “ (Fathul Mubin Syarah Arba’in, hlm. 229).
  1. At Tark tidak mengindikasikan keharaman
At Tark / Ditinggalkannya atau tidak dilakukannya sebuah perkara tidak otomatis mengindikasikan ke-haram-annya, dengan penjelasan sebagai berikut:
  • At Tark alias ditinggalkannya suatu perkara jika tidak disertai dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang ditinggal tersebut adalah terlarang, maka At Tark seperti ini tidak dapat dijadikan Hujjah untuk larangan, cukup baginya dijadikan hujjah bahwa meninggalkan perkara tersebut adalah Masyru’ diakui oleh syara’ dan bukan sebuah kesalahan.
  • Seperti tentang pendapat yang menolak wiridan atau do’a setelah sholat dengan alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para Salaf as Solih kami berpendapat ; seandainya hal itu benar (tidak ada dari kalangan slaf as solih yang wiridan atau berdo’a sesudah solat) kenyataan itu tidak menghasilkan hukum apapun selain bahwa tidak wiridan atau berdo’a sesudah solat adalah boleh apapun kondisinya baik repot maupun longgar. Dan tidak akan berindikasi kemakruhan apalagi keharaman wiridan ba’da solat, terlebih jiga memperhatikan ke-mujmal-an dalil tentang dzikir dan do’a.
  • Didalam kitab Al Mahalli Imam Ibnu Hazm menuturkan hujjah para ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah yang memakruhkan sholat dua rokaat sebelum maghrib dimana mereka berhujjah dengan pendapat Ibrohim an Nakho’i yang menyatakan ; “sesungguhnya Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya”. Ibnu Hazm menjawab ; “ seandainya hal itu benar, sungguh tidak ada (bisa dijadikan hujjah) dalam hal tersebut, karena mereka (para sahabat) tidak melarang melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib “. (Al Mahalli, 2/254 dalam kitab Itqonus Shun’ah).
Lebih jauh dalam Al Mahalli disebutkan :

وَأَمَّا حَدِيْثُ عَلِيّ، فَلَا حُجَّةَ فِيْهِ أَصْلاً، لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ إِلَّا إِخْبَارُهُ بِمَا عَلِمَ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَّهُمَا، وَلَيْسَ فِي هَذَا نَهْيٌ عَنْهُمَا وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُمَا، فَمَا صَامَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَطُّ شَهْرًا كَامِلاً غَيْرَ رَمَضَانَ وَلَيْسَ هَذَا بِمُوْجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا اهـ. فَهَذِهِ نُصُوْصٌ صَرِيْحَةٌ فِي أَنَّ التَّرْكَ لَا يُفِيْدُ كَرَاهَةً فَضْلاً عَنِ الْحُرْمَةِ.

Adapun hadits Sayyidina Ali, tidak terdapat hujjah sama sekali di dalamnya, karena Sayyidina Ali ra hanya menghabarkan bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi Muhammad Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sholat dua rokaat (ba’da ashar. red), dan didalamnya (perkataan Sayyidina Ali) tidak ada larangan dan kemakruhan solat dua rokaat ba’da ashar. maka (bukankah) Rosululloh tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali dibulan Romadhon, dan ini tidak menyebabkan makruh-nya puasa sunnah sebulan penuh. (Al Mahalli, 2/271 dalam kitab Itqonus Shun’ah).

Ini adalah bukti yang jelas bahwa tidak dilakukannya atau ditinggalkan-nya suatu perkara tidaklah otomatis mengindikasikan kemakruhannya, apalagi keharamannya.

Tarawih dalam Pandangan KH. Ali Mustafa Yaqub

Tulisan tentang tarawih ini hanya menggunakan sudut pandang hadis, yang disarikan dari buku Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan karya Prof. Dr KH Ali Mustafa Yaqub alias Kyai Duladi, guru saya di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, anggota komisi fatwa MUI, Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta (semoga Allah selalu menjaganya)…

Tidak Ada Istilah “Tarawih”

Kata “tarawih” adalah bentuk plural dari kata “tarwihah”, yang secara kebahasaan memiliki arti “ mengistirahatkan” atau “duduk istirahat”. Maka dari sudut bahasa, salat tarawih adalah salat yang banyak istirahatnya. Kemudian, tarawih dalam nomenklatur Islam digunakan untuk menyebut salat sunah malam hari yang yang dilakukan hanya pada bulan Ramadan.

Pada masa Rasul tidak ada istilah “salat tarawih”. Dalam hadis-hadisnya, Rasul tidak pernah menyebut kata itu. Dan kata yang digunakan adalah “qiyam ramadhan”. Tampaknya istilah “tarawih” muncul dari penuturan Aisyah, isteri Rasul. Seperti diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Aisyah mengatakan,
“Nabi salat malam empat rakaat, kemudian yatarawwahu (istirahat). Kemudian kembali salat. Panjang sekali salatnya.”
Dalil Tarawih 20 Rakaat Lemah

Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan salat tarawih, dua puluh rakaat dan delapan rakaat.
Rumusan dalil yang menjadi dasar pelaksanaan tarawih duapuluh rakaat adalah hadis riwayat Imam Thabarani dan Imam Khatib Al-Baghdadi. Riwayat itu,
Ibnu Abas bertutur, “Pada bulan Ramadan, Nabi Muhammad salat dua puluh rakaat dan witir.”
Hadis di atas, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, lemah sekali. Titik lemah hadis ini adalah pada salah satu periwayatnya (dalam rangkaian sanad hadis ini) yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman.

Menurut Imam Bukhari, para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Imam Tirmidzi menilai hadis Abu Syaibah munkar. Sedangkan Imam Nasai menilai matruk. Bahkan Imam Syu’bah menilai Abu Syaibah sebagai pendusta. Dalam disipln ilmu hadis, komentar-komentar miring seperti di atas memberikan implikasi yang bersangkutan jika meriwayatkan hadis, maka status hadis itu menjadi tidak valid.

Maka, hadis riwayat Ibnu Abas di atas dapat dikategorikan sebagai hadis palsu atau minimal matruk (semi palsu), karena ada rawi pendusta (Abu Syaibah) dalam rangkaian sanadnya. Pada gilirannya, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk salat tarawih dua puluh rakaat. Dengan kata lain, apabila kita salat tarawih dua puluh rakaat atas dasar dalil hadis di atas, maka kita telah malakukan kekeliruan.

Dalil Tarawih 8 Rakaat Juga Lemah

Hadis yang diindikasikan sebagai dalil salat tarawih delapan rakaat adalah hadis yang disebutkan dalam kitab Shahih IbnuHibban sebagai berikut,
Jabir bin Abdullah berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi lalu berkata, “Rasul, tadi malam (bulan Ramadan) aku melakukan sesuatu.” Kata Nabi, “Apa itu?” Ubay menjawab, “Para wanita di rumahku tidak ada yang bisa baca Alquran. Mereka memintaku menjadi imam salat. Kemudian kami salat delapan rakaat ditambah witir.” Rasul diam saja mendegar penuturan Ubay. Jabir menganggap Nabi memperkenankan apa yang telah dilakukan oleh Ubay.
Kualitas hadis ini sangat lemah, sebab dalam rangkaian sanadnya terdapat salah seorang periwayat yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik hadis papan atas, seperti Imam Nasai dan Imam Ibnu Main, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah kualitasnya lemah. Imam Nasai menilai hadisnya matruk (palsu, karena diriwayatkan oleh pendusta). Hadis ini pun gugur sebagai dalil tarawih delapan rakaat.

Ada juga hadis lain tentang salat tarawih delapan rakaat, bahkan lebih kongkrit dari hadis di atas, yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Humaid dari Jabir bin Abdullah,
“Nabi pernah mengimami kami salat pada satu malam Ramadan dengan delapan rakaat.”
Tapi sayang, hadis ini kualitasnya sama dengan hadis di atas, sebab hadis ini juga diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah yang hadisnya dinilai matruk .
Dengan demikian, dalil salat tarawih delapan rakaat tidak memiliki sandaran nash yang kuat.

Hadis Shahih Ini Bukan Dalil Salat Tarawih

Hadis Imam Bukhari dan lain-lain yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan yang menganut tarawih delapan rakaat,
Rasul tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau selainnya. Beliau salat empat rakaat. Tak perlu ditanyakan lagi, betapa bagus dan panjang salatnya itu. Setelah salam, ia kembali salat empat rakaat. Setelah itu, ia mengakhiri dengan salat tiga rakaat. Aisyah bertanya, “Rasul, apakah Engkau tidur sebelum melaksanakan salat witir?” Jawab Rasul, “Aisyah, matakau boleh tidur. Tapi tidak dengan hatiku.”
Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat?
Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang menyatakan, Nabi tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.

Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama umumnya juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih, seperti Al-Qadhi ‘Iyadh dan Imam Nawawi. Imam Ibnu Hajar juga menempatkan hadis di atas dalam konteks salat witir.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh pendapat di atas,
Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
Tarawih Tidak Berorientasi Angka

Justeru, hadis shahih tentang salat tarawih atau “qiyam Ramadan” tidak memberikan batasan jumlah rakaat yang pasti, tidak berorientasi sedikit atau banyaknya jumlah rakaat salat. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
“Siapa yang menjalankan “qiyam Ramadan” karena iman kepada Allah dan mengharap pahala kepada-Nya, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan terampuni.”
Pada hadis itu, Nabi sama sekali tidak menyinggung bilangan rakaat salat apalagi membatasinya. Kuantitas bukan orientasi utama dalam salat tarawih, tapi yang mesti diutamakan adalah kualitas. Jadi, mau salat tarawih empat rakaat silakan, enam rakaat monggo, delapan rakaat tidak mengapa, dua puluh rakaat mbonten nopo-nopo, atau bahkan lima puluh, seratus dan seterusnya, dengan catatan tetap menjaga kualitas; ikhlas, khusu’, baik, dan sebagainya.

Wallahu a’lam.



عن ابن عباس قال، كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر.
عن جابر بن عبد الله، قال: جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان. قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنا لا نقرأ القرأن، فنصلي بصلاتك. قال: قصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ولم يقل شيئا.
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر.
ما كان رسول الله صلى الله يزيد في رمضان ولا في غيره علىإحدى عشرة ركعة. يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة رضي الله عنها، فقلت: يا رسول الله، أتنام قبل أن توتر؟ قال: يا عائشة، إن عيني تنامان ولا ينام قلبي.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة، منها الوتر وركعتا الفجر.
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه.

Terkait Berita: