Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Sayidah khadijah*. Show all posts
Showing posts with label Sayidah khadijah*. Show all posts

Salat, Tiket Seorang Mukmin Memasuki Surga


“Salat, doa, dan penghambaan sudah ada di sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh agama dari nabi pertama hingga nabi terakhir menekankan masalah ini. Para figur teragung sejarah di setiap masa berkomitmen menegakkan salat. Wasiat pertama para nabi dan wali Ilahi adalah salat.”
Begitu hal ini ditegaskan oleh Hujjatul Islam Hamid Reza Sulaimani kepala pelaksana Badan Penegakan Salat Nasional Republik Islam Iran (RII) pada acara apresiasi para penegak salat hari ini.

Langkah pertama setelah Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, lanjut Sulaimani, adalah menegakkan salat, dan itu pun dengan partisipasi para figur agung sejarah; yakni Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Khadijah Kubra. Tindakan pertama beliau setelah berhijrah ke Madinah Munawwarah adalah membangun rumah Allah yang memainkan peran signifikan dalam setiap fenomena sosial masyarakat.

Di bagian lain orasi, Hujjatul Islam Saulaimani menyinggung sikap dan kebiasaan Rasulullah saw ketika mendengar panggilan untuk salat. Beliau berubah seratus persen begitu mendengar suara azan. Para imam Ahlul Bait as juga demikian. Dalam sebuah surat kepada para gubernur, Amirul Mukminin as menekankan supaya mereka mengalokasikan waktu terbaik untuk mengerjakan salat.

“Pertanyaan pertama yang akan diajukan kepada para hamba setelah kematian kelak adalah salat. Untuk menaiki sebuah pesawat, kita harus menggunakan tiket khusus sehingga kita diizinkan masuk. Tiket seorang mukmin untuk memasuki surga adalah salat. Ketika para penghuni Neraka Jahanam ditanyakan mengapa mereka dijebloskan ke dalam penjara, al-Quran menyebutkan sederetan daftar tentang hal ini. Salah satunya adalah mereka tidak memiliki hubungan yang baik dengan salat,” tukas Sulaimani.

(Shabestan)

Nasab Rasulillah Saww Bersih.. !! Lengkap dengan Datanya Dan Anda Putra Ali bukan Putra Rasul Saw!


Isu ini terangkat kala sebagian umat islam mengaku pengikut Rasulillah Saww justru memusyriknya ayahanda Rasulullah Saww. (Innalillah..)

Dalam menjawabnya saya sampaikan 2 jawaban sekaligus bahwa :

Nama ayahanda Rasulullah Saww adalah Sayyidina Abdullah bin Abdul Muthalib r.a yang artinya Hamba ALLAH.

Definisinya jelas bahwa ayahanda Rasul Saww sangat mengenal ALLAH AWJ
karena nama ini yang membedakan antara penyembah berhala dengan penyembah Illah SWT.

Contoh Nama nama Jahiliyah (mirip mirip Tuhan mereka Latta dan Udza):
Uta, Abul Udza, dll

Jadi jelaslah bahwa Ayahanda Mulia Ar Rasul Saww bukan seperti claim mereka..!

Ayah Nabi Ibrahim As tidak Kafir


Banyak orang yang memaknai bahwa Azar adalah ayahnya Nabi Ibrahim demi memuluskan upaya mereka menampilkan 'cacatnya' Nasab Nabi Saww.

Namun sekali Lagi Hujjah ALLAH AWJ membungkam sekaligus membongkar kebohongan bertingkat kaum hipokrit pendengki Ar Rasul Saww..

Dalam Nasab Umum inilah Nasab Ayahanda Rasul Saww :
Sayyidina Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hâsyim (AMR) bin 'Abd al-Manâf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu ' Ayy bin Isma 'ell (Ismail) bin ibrahim bin Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau' bin Falij bin Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh bin Lamik bin Metusyalih bin Idris bin Yarid bin Mihla'iel bin Qinan bin Anusy bin Syith bin Adam A.S
Rantai Nasab diatas ada Nama Azar {tarih}

sesungguhnya keduanya adalah orang yang berbeda. Azaar adalah paman Nabi Ibrahim yang bekerja tuk Namrud dalam membuat Patung. Sedang Tarikh adalah Ayahanda Nabi Ibrahim As.

Lamanya sejarah serta berlapisnya pengkaburan membuat orang sulit mencari jawaban siapa Ayah Nabi Ibrahim As sebenarnya, Padahal Jawabannya ada di Depan mata

Kuncinya ada pada QS al An'am ayat 74 dalam kata Ab' (ayah dalam makna luas)

Penggunaannya :

Abu jabir (ayah Jabir)
Abu Abdillah (ayah Hamba Allah)
atau :

Abaaika (Kakek)

metode ini sederhana, namun banyak yang tidak faham, artinya penggunakaan kata ab' pada orang tertentu tidak menyatakan bahwa orang tersebut adalah Ayah dalam nasab.

Dalil yang dijadikan sebagai dasar pengkafiran ayah Nabi Ibrahim adalah ayat yang menyebutkan Azar sebagai " ab " Ibrahim. Misalnya :

" Ingatlah ( ketika ), Ibrahim berkata kepada " ab "nya Azar, " Apakah anda menjadikan patung-patung sebagai tuhan ?. Sesungguhnya Aku melihatmu dan kaummu berada pada kesesatan yang nyata ".( al An'am 74 ).

Atas dasar ayat ini, ayah Ibrahim yang bernama Azar adalah seorang kafir dan sesat. Kemudian ayat lain yang memuat permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya ditolak oleh Allah dikarenakan dia adalah musuh Allah ( al Taubah 114). Dalam menarik kesimpulan dari ayat di atas dan sejenisnya bahwa ayah nabi Ibrahim adalah seorang kafir sungguh sangat terlalu tergesa-gesa, karena kata " abun " dalam bahasa Arab tidak hanya berarti ayah kandung saja.

Kata ab' bisa juga berarti, ayah tiri, paman, dan kakek.

contoh lain

Misalnya al Qur'an menyebutkan Nabi Ismail sebagai " ab " Nabi Ya'kub as., padahal beliau adalah paman NabiYa'kub as.

"Adakah kalian menyaksikan ketika Ya'kub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya, " Apa yang kalian sembah sepeninggalku ? ". Mereka menjawab, " Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, Tuhan yang Esa, dan kami hanya kepadaNya kami berserah diri ".( al Baqarah 133 )

Dalam ayat ini dengan jelas kata "aabaaika " bentuk jama' dari " ab " berarti kakek ( Ibrahim dan Ishak ) dan paman ( Ismail ).

Dan juga kata " abuya " atau " buya " derivasi dari " ab " sering dipakai dalam ungkapan sehari-hari bangsa Arab dengan arti guru, atau orang yang berjasa dalam kehidupan, termasuk panggilan untuk almarhum Buya Hamka, misalnya.

Dari keterangan ringkas ini, kita dapat memahami bahwa kata " ab " tidak hanya berarti ayah kandung, lalu bagaimana dengan kata " ab " pada surat al An'am 74 dan al Taubah 114 ?

Dengan melihat ayat-ayat yang menjelaskan perjalanan kehidupan Nabi Ibrahim as. akan jelas bahwa seorang yang bernama " Azar ", penyembah dan pembuat patung, bukanlah ayah kandung Ibrahim, melainkan pamannya atau ayah angkatnya atau orang yang sangat dekat dengannya dan Ia adalah pembuat Patung tuk Raja Namrud

Pada permulaan dakwahnya, Nabi Ibrahim as. mengajak Azar sebagai orang yang dekat dengannya, "Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka Tuhan yang Maha Pemurah " ( Maryam 44 ).

Namun Azar menolak dan bahkan mengancam akan menyiksa Ibrahim. Kemudian dengan amat menyesal beliau mengatakan selamat jalan kapada Azar, dan berjanji akan memintakan ampun kepada Allah untuk Azar. " Berkata Ibrahim, " Salamun 'alaika, aku akan memintakan ampun kepada Tuhanku untukmu " ( Maryam 47 ).

Kemudian al Qur'an menceritakan bahwa Nabi Ibrahim As menepati janjinya untuk memintakan ampun untuk Azar seraya berdoa,

" Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan gabungkan aku bersama orang-orang yang saleh. Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah ayahku ( abii ), sesungguhnya ia adalah termasuk golongan yang sesat. Jangnlah Kamu hinakan aku di hari mereka dibangkitkan kembali, hari yang mana harta dan anak tidak memberikan manfaat kecuali orang yang menghadapi Allah dengan hati yang selamat ".(al Syua'ra 83-89 ).

Allamah Thaba'thabai menjelaskan bahwa kata " kaana " dalam ayat ke 86 menunjukkan bahwa doa ini diungkapkan oleh Nabi Ibrahim as. setelah kematian Azar dan pengusirannya kepada Nabi Ibrahim as. ( Tafsir al Mizan 7/163).

Setelah Nabi Ibrahim as. mengungkapkan doa itu, dan itu sekedar menepati janjinya saja kepada Azar, Allah AWJ menyatakan bahwa tidak layak bagi seorang Nabi memintakan ampun untuk orang musyrik, maka beliau berlepas tangan ( tabarri ) dari Azar setelah jelas bahwa ia adalah musuh Allah swt. (lihat surat al Taubah 114 )

Walid = Ayah Nasab (kandung)

  • Bedakan dengan kata walid (sebutan ayah dalam makna nasab/ kandung) seperti doa yang diajarkan Khalil ALLAH Ibrahim As. dan Doa ini muktabar dikalangan kita. Jelaslah bahwa Walid menunjukkan bahwa ia menuju pada Orang tua asli (kandung)

Ketika Nabi Ibrahim datang ke tempat suci Mekkah dan besama keturunan membangun kembali ka'bah, beliau berdoa,

"Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua walid- ku dan kaum mukminin di hari tegaknya hisab"( Ibrahim 41 ).

Kata " walid " hanya mempunyai satu makna yaitu yang melahirkan.

Dan yang dimaksud dengan " walid " disini tidak mungkin Azar, karena Nabi Ibrahim telah ber-tabarri (berlepas diri) dari Azar setelah mengetahui bahwa ia adalah musuh Allah (al taubah 114)

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan walid disini adalah orang tua yang melahirkan beliau, dan keduanya adalah orang-orang yang beriman. Selain itu, kata walid disejajarkan dengan dirinya dan kaum mukminin, yang mengindikasikan bahwa walid- beliau bukan kafir. Ini alasan yang pertama.

  • Alasan yang kedua, adalah ayat yang berbunyi, " Dan perpindahanmu ( taqallub) di antara orang-orang yang sujud ".( al Syua'ra 219 ). Sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah bahwa diri nabi Muhammad saww. berpindah-pindah dari sulbi ahli sujud ke sulbi ahli sujud.
Artinya ayah-ayah Nabi Muhammad dari Abdullah sampai Nabi Adam adalah orang-orang yang suka bersujud kepada Allah. (lihat tafsir al Shofi tulisan al Faidh al Kasyani 4/54 dan Majma' al Bayan karya al Thabarsi 7/323 ).

Nabi Ibrahim as. beserta ayah kandungnya termasuk kakek Nabi Muhammad saww. Dengan demikian, ayah kandung Nabi Ibrahim as. adalah seorang yang ahli sujud kepada Allah swt.

Tentu selain alasan-alasan di atas, terdapat bukti-bukti lain dari hadis Nabi yang menunjukkan bahwa ayah kandung Nabi Ibrahim as. bukan orang kafir.

Hingga timbul Pertanyaan Besar Siapa Ayah kandung Nabi Ibrahim As ?

As Sayyid Nikmatullah al Jazairi menjawabnya dalam kitab an Nur al Mubin fi Qashash al An biya wal Mursalin hal 270 mengutip az Zujjaj bahwa Ayahanda Nabi Ibrahim As bernama Tarikh


Salam atas Khalil ALLAH yang suci..
Salam atas Nabi ALLAH Ibrahim alaihissalam..


Source :
Dinukil dari Buletin al Jawad edisi 1421 dan Kitab Adam hingga Isa (Sayyid Jazairi)


Dalam artikel ana jabarkan secara global seperti pemahaman umumnya. dalam penjabaran semi detail :

00 IBRAHIM
01 Isma'eel
02 Nabit
03 Yashjub
04 Tayrah
05 Nahur
06 Muqawwam
07 Udad
08 'Adnan
09 Mu'ad
10 Nizar
11 Mudar
12 Ilyas
13 Mudrika
14 Khuzayma
15 Kinana
16 Al Nadr (Al Quraysh)
17 Malik
18 Fihr
19 Ghalib
20 Lu'ayy
21 Ka'ab
22 Murra
23 Kilab
24 Qussayy (Real name: Zayd)
25 'Abdu Manaf (Real name: Al Mughira)
26 Hashim (Real name: 'Amr) as Banu Hashim
27 'Abdu Al Mutallib (Real name: Shaiba)
28 'Abdullah
29 MUHAMMAD saw

Fokus penjabaran Artikel adalah pemisahan dan pembedaan Nama Azaar (pembuat patung) dengan Ayahanda Mulia Nabi Ibrahim As Tarikh (seorang Muslim).

Anda Putra Ali bukan Putra Rasul Saw!


Raja Harun al-Rasyid merasa terganggu jika mendengar masyarakat Muslim banyak memanggil Imam Musa al-Kazhim as dengan panggilan “Ibnu Rasul” yang artinya putra Rasulullah Saw, padahal menurutnya Rasulullah Saw tidak mempunyai keturunan laki-laki, sehingga menurut dia nasab Nabi Saw terputus.
Pada suatu kesempatan Harun al-Rasyid meminta Imam Musa al-Kazhim as untuk menemuinya.
Harun : “Mengapa Anda membiarkan masyarakat menasabkan diri Anda kepada Nabi Saw dan mereka memanggil Anda, “Ya Ibna Rasul – Wahai Putra Rasulullah” padahal, Anda adalah putra Ali (bukan putra Rasul), dan seseorang hanya dinasabkan kepada ayahnya. Sementara Fatimah hanyalah wadah. Nabi Saw adalah kakek atau moyang Anda dari pihak ibu Anda.”
Imam Musa : “Kalau Nabi Saw dibangkitkan, lalu menyampaikan kemuliaan Anda kepada Anda, akankah Anda menyambutnya?”
Harun : “Subhanallah! Mengapa saya tidak menyambut beliau? Saya akan membanggakan diri di hadapan bangsa Arab dan kaum non-Arab.”
Imam : “Akan tetapi, beliau tidak mengatakannya kepada saya dan saya pun tidak ingin mendahuluinya.”
Harun : “Anda benar. Akan tetapi, mengapa Anda sering mengatakan, “Kami keturunan Nabi Saw” padahal Nabi tidak memiliki keturunan? Sebab, keturunan itu dari pihak laki-laki, bukan dari pihak perempuan. Anda dilahirkan oleh putri Nabi (Fathimah). Oleh karena itu beritahukan kepada saya argumen Anda dalam masalah ini, wahai putra Ali. Anda dapat menegaskannya kepada saya dengan dalil dari Kitab Allah. Anda, wahai putra Ali, mengaku bahwa tidak turun dari kalian sedikit pun dari Kitab Allah itu, baik alif maupun wawu melainkan memiliki penakwilannya. Kalian berargumen dengan firman-Nya ‘Azza wa Jalla, “Tidaklah Kami alfakan sesuatu pun di dalam al-Kitab.” (QS al-An’am [6]: 38). Jadi, kalian tidak lagi memerlukan pendapat dan qiyas dari ulama lain.”
Imam : “Izinkanlah saya untuk menjawab.”
Harun : “Silahkan”
Imam : “Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Dan dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Isa, dan Ilyas semuanya termasuk orang-orang yang shalih.” (QS al-An’am [6]: 84-85). Lalu, siapa ayah Nabi Isa?
Harun : “Isa tidak memiliki ayah.”
Imam : “Tetapi, mengapa Allah Azza wa Jalla menisbatkannya kepada keturunan para nabi melalui ibunya, Maryam as? Maka demikian pula kami (Ahlul-Bayt) dinisbatkan kepada keturunan Nabi Saw melalui ibu kami, Fathimah as! Maukah saya tambahkan penjelasannya?”
Harun: “Tentu!”
Imam : “Allah Swt berfirman, “Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang pengetahuan yang meyakinkanmu maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan kami dan perempuan kamu, diri kami dan diri kamu. Kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS Ali Imran [3]: 61). Tidak seorang pun mengaku bahwa ia disertakan Nabi Saw ke dalam jubah (al-kisa) ketika bermubahalah dengan kaum Nasrani kecuah Ali bin Abi Thalib as, Fatimah as, al-Hasan as, dan al-Husain as. Seluruh kaum Muslim sepakat bahwa maksud dari kalimat abna’ana (anak-anak kami) di dalam ayat mulia tersebut adalah Hasan dan Husain as, dan maksud nisa’ana (perempuan kami) adalah Fathimah al-Zahra as dan maksud kata anfusana (diri kami) adalah Ali bin Abi Thalib as.”
Harun : “Anda benar, wahai Musa!”
________________________________
Dikutip dari Allamah al-Tabarsi Abu Manshur Ahmad bin Ali di dalam kitabnya al-Ihtijaj JUz 2.

BENARKAH NABI SAW TERPUTUS KETURUNANNYA?


KETIKA Thahir, putra Nabi Saw dari Khadijah lahir dan langsung meninggal dunia, Amr bin Ash dan Hakam bin Ash justru bergembira ria sambil mengejek Nabi Saw dengan sebutan Al-Abtar, orang yang terputus keturunannya. [ 1]

Ejekan-ejekan mereka menyebar di kalangan kaum kafir Quraisy dan hal ini membuat Nabi Saw dan istri tercintanya, Khadijah as semakin berduka. Bagaimana tidak, tidak lama setelah kedua manusia mulia ini kehilangan seorang anak laki-lakinya, dua manusia berhati Iblis ini justru menyebarkan penghinaan terhadap Nabi Saw dengan sebutan yang sangat menyakitkan : Al-Abtar!

Namun Allah Swt tidak membiarkan kedua manusia (Rasul Saw & Khadijah as) yang dicintai-Nya ini terus dilarut duka. Allah Yang Maha Pemurah menurunkan sebuah surah yang diturunkan khusus untuk menghibur keduanya : Surah Al-Kautsar!

Tahukah Anda apakah Al-Kautsar itu? Apa isi surah ini sehingga Nabi Saw serta Sayyidah Khadijah merasa terhibur karenanya?

APAKAH AL-KAUTSAR ITU?

AL-KAUTSAR secara literal bermakna : Yang Berlimpah (abundance). Dengan wafatnya putra Rasulullah Saw dari Khadijah as tersebut, Allah SwT menghibur keduanya dengan Al-Kautsar, yaitu Sayyidah Fathimah! [2]

Melalui Sayyidah Fathimah as inilah keturunan Muhammad Saw berlanjut berlimpah-ruah sampai akhir zaman. [3]

Fakhrur Razi mengatakan bahwa, “Surah (Al-Kautsar) ini diturunkan untuk membantah pernyataan seorang kafir yang mencela Nabi Saw karena tidak mempunyai anak laki-laki, menjadi jelas bahwa makna yang diberikan di sini adalah bahwa Allah Swt memberi Nabi Saw keturunan yang akan abadi. Kita harus mengingat bahwa banyak pembantaian telah dilakukan terhadap keluarga Nabi, namun dunia masih dipenuhi oleh mereka; sementara Bani (keturunan) Umayyah punah kecuali beberapa orang yang tak berharga…” [4]

Al-Kautsar juga berarti sebuah sumber mata air atau telaga di Surga yang khusus Allah anugerahkan kepada Rasul Saw. Kadang-kadang Rasulullah Saw menyebut telaga karunianya ini dengan sebuatan : al-Haudh.
Diriwayatkan oleh Abu Bisyr di dalam Shahih Bukhari bahwa Said bin Jubair mengatakan bahwa Ibn Abbas menceritakan tentang al-Kautsar : “Al-Kautsar itu adalah “anugerah” yang Allah karuniakan kepada Rasulullah Saw.”. Lalu Abu Bisyr berkata kepada Said, “Tapi banyak orang mengatakan bahwa al-Kautsar itu adalah salah satu sungai (mata air) di surga.” Said menjawab, “Mata air surga itu adalah salah satu anugerah yang berlimpah ruah yang Allah karuniakan kepada Rasulullah Saw.” [5]

Masih di dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw meminta seorang Anshar agar mengumpulkan mereka (para sahabat Nabi) untuk berkumpul di sebuah tenda lalu beliau pun bersabda, “Bersabarlah sampai kalian menjumpai Allah dan Rasul-Nya dan aku akan menunggu kalian di Telaga (Al-Kautsar)” [6]

Dan yang paling menarik, masih di dalam kitab yang sama – Shahih Bukhari – Anas bin Malik menambahkan kalimat di atas dengan : “Namun kami tidak bersabar”[ 7]

NABI SAW TERPUTUS KETURUNANNYA?

Siapa pun yang menganggap Nabi Saw tidak memiliki keturunan dalam arti “silsilah beliau terputus karena beliau tidak memiliki seorang pun anak laki-laki” maka berarti ia tidak berbeda dengan kaum kafir Quraisy yang telah menghina Nabi Saw dengan sebutan al-Abtar. Allah SwT menyebut orang-orang yang berpikir bahwa Rasulullah Saw telah terputus keturunannya sebagai orang-orang yang membenci Rasulullah Saw, dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (Muhammad) dialah yang terputus (keturunannya)” (Al-Quran Surah Al-Kautsar:3)

Apakah Anda juga berpikir bahwa Nabi Saw tidak memiliki keturunan yang berlanjut? Saya berlindung kepada Allah SwT dari pemikiran seperti itu!

Al-Ash bin Wa’il, Abu Jahal dan Abu Lahab yang ketika mendengar putra Rasulullah saw, Al-Qasim wafat dalam usia balita, mereka mengejek Rasulullah sambil menyebarkan kabar bahwa “Muhammad adalah seorang al-abtar..!” (lelaki yang terputus keturunannya). Mendengar hal itu Rasulullah saw sangat bersedih hati. Maka turunlah ayat:
“Inna a’thaina kal kautsar. Fa shalli li Rabbika wan har. Innasya niaka huwal abtar.”
“Sungguh (hai Muhammad), Kami anugerahkan kepadamu “nikmat yang banyak”. Maka hendaklah engkau dirikan shalat semata-mata karena Tuhanmu., dan sembelihlah (ternak kurban). Sesungguhnya pembencimu itulah orang yang abtar (terputus keturunannya),

Sayyid Thabathaba’i, didlm Tafsir al Mizannya mengatakan bahwa makna “al-Kautsar” adalah “keturunan yang banyak” karena jika al-Abtar dimaknai “nikmat yang banyak”, maka maknanya menjadi tidak relevan dg asbabun nuzul atau latar belakang sebab turunnya ayat tsb.

BENARKAH PEREMPUAN TIDAK DAPAT MEMBERIKAN GARIS KETURUNAN?

Benarkah perempuan tidak dapat memberikan garis keturunan? Secara umum ya, tetapi secara khusus, Allah Swt memberikan keistimewaan kepada perempuan2 tertentu, misalnya Maryam as, ibunda Nabi Isa as.
“.. Dan dari keturunannya (Nabi Ibrahim a.s) ialah Daud, Sulaiman, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami beri balasan kepada ornag-orang yang berbuat baik. Kemudian (menyusul) Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.” (Quran Surah Al-An’am : ayat 84-85)
Ayat di atas memasukkan Isa putera Maryam sebagai putera keturunan Nabi Ibrahim as, padahal kita mengetahui bahwa Nabi Isa as tidak memiliki ayah.

Dan pada ayat Mubahalah :
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu , maka katakanlah : “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS Ali Imran ayat 61)

Di dalam Shahih Muslim, kitab al-Fadhail, bab min fadhail ‘Ali bin Abi Thalib, Juz. 2 hal. 360, Cet. Isa al-Halaby, disebutkan bahwa pada saat itu yang dibawa serta oleh Rasulullah Saw adalah : Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain, padahal ayat di atas tidak menyebutkan cucu2 Nabi Saw, tapi “anak-anak kamu”. [7b]

Dan simak hadits di bawah ini dengan sungguh-sungguh :
“…Setiap anak memiliki penisbatan keturunan melalui ayahnya (‘ishbah) , kecuali kedua putra Fatimah (Hasan dan Husain) . Karena sesungguhnya akulah wali dan ishbah untuk keduanya!” (Hadits Riwayat al-Hakim dari Jabir) [8]

Di dalam Shahih Bukhari pun diriwayatkan bahwa suatu waktu Rasulullah Saw membawa al-Hasan (putra Fatimah) lalu beliau Saw bersabda, “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang Sayyid!” (Shahih Bukhari Jil. 4, Fadhail Al-Shahabah, Bab Manaqib al-Hasan, hadits no. 3746. Dalam edisi bahasa Inggris hadits no. 823) [9]

Dan memang di dalam kitab-kitab hadits mau pun sejarah telah tercatat bahwa Rasulullah saw senantiasa memanggil putra-putra Fatimah dengan panggilan: waladiy (anakku).
Jadi sekali lagi, jika sesorang berpikir bahwa keturunan Rasulullah Saw tidak berlanjut, maka orang itu sama dengan para pembenci Rasul Saw!

Saya berlindung dari yang demikian itu!
Allahumma shalli ‘ala Muhammadin wa aali Muhammad!

CATATAN KAKI :
1. Tafsir Ayatullah Mahdi Pooya ttg Surah Al-Kautsar. Sedangkan menurut Tafsir Singkat Ayatullah Makarim Syirazi, beliau mengatakan bahwa orang yang menghina Nabi Saw dengan perkataan Al-Abtar adalah : Al-Ass ibn Wa’il al-Sahmi. (Tafsir Singkat Ayatullah Makarim Syirazi ttg Surah al-Kautsar)
2. Fakhrur Razi di dalam Tafsir Fakhrur Razi-nya; Al-Thabarsi di dalam Majma al-Bayan-nya, dan Ayatullah Makarim Syirazi di dalam tafsir singkatnya.
3. Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 30, Surah Al-Kautsar.
4. Abu Muhammad Ordoni, Fatima The Gracious, Ahlul Bait Digital Library.
5. Shahih Bukhari Jil. 6, hadits no. 490. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ibn Jarir, dan Al-Suyuthi di dalam Durr al-Mantsur-nya.
6. Ibid, Jil. 9, hadits no. 533
7. Ibid, Jil. 4, hadits no. 375
Tentu saja maksud Anas bin Malik dengan kata-kata “Namun kami tidak bersabar” berhubungan erat dengan pesan terakhir Rasulullah Saw pada saat Hajji Wada’. Saat itu Rasulullah Saw berpesan, “Kiranya telah dekat saatnya aku dipanggil (oleh Tuhanku) dan aku segera memenuhinya. Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian al-Tsaqalain (2 perkara yang berharga) Kitab Allah dan ‘Itrah, Ahlul Baitku. Kitab Allah adalah tali yang terbentang daripada langit ke bumi dan ‘Itrahku Ahlu l-Bait. Sesungguhnya Allah SWT memberitahuku tentang kedua-duanya. Sesungguhnya kedua-duanya tidak akan berpisah sampai dikembalikan kepadaku di (telaga) al-Haudh. Maka kalian jagalah baik-baik kedua peninggalanku itu.” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya dari Sa’id al-Khudri. Sedangkan Tirmidzi, Al-Hakim dan Al-Thabari juga meriwayatkannya namun dari Zaid bin Arqam)
7b. Hadis2 lainnya yg meriwayatkan peristiwa Mubahalah tsb antara lain :
– Shahih Tirmidzi Juz 4, hal. 293, hadis no. 3085, dan Juz 5, hal. 103, hadis no. 3808.
– Mustadrak ala Shahihain li al-Hakim, 3:150.
– Musnad Ahmad bin Hanbal 1:185, dan 3:97.
– Tafsir al-Thabari 3:299
– Tafsir al-Kasyaf li al-Zamakhsyari 1:368
– Tafsir Ibn Katsir 1:370-371
– Fathul Qadir li al-Syaukani 1:347
– Tafsir Al-Fakhrur Razi 2:699
– Dan masih banyak lagi yang belum saya cantumkan.
8. Thabrani juga meriwayatkan hadits serupa dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra as. Thabrani juga meriwayatkan hadis lainnya dari Umar dengan lafaz yang berbeda: “…Setiap anak penisbatan keturunan mereka ikut sang ayah, kecuali putra Fatimah. Akulah ‘ishbat (marga) mereka sekaligus ayah mereka!”
Al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini di dalam kitab haditsnya Mustadrak Al-Shahihain Jil. 3 hlm. 54.
9. Lihat Fathul Bari 7:94
- Tirmidzi, Al-manaqib Bab Manaqib al-Hasan wal Husain Jil.5 hlm. 616, hadits no. 3773.
- Abu Dawud misalnya di dalam kitabnya : Sunan Abu Dawud, Bab. 31, hadits no. 4276; Bab 35, hadits no. 4645.

*** SELESAI ***

- Al-Nasaiy 3 : 107 dalkam Al-Jumu’ah Bab : Khutbah Pemimpin Kepada Rakyatnya di atas mkimbar.
- Thabarani hadits no. 2588, 2592, 2593.
- Ahmad hadits 5:38, hadits no. 44, 49, 51.

Srikandi Karbala: Sayyeda Zainab (sa), Zaynab al-Kubra (sa), BibiZainab (sa)



Sayyeda Zainab (sa), putri Imam Ali (as) dan Sayyeda Fatima Zahra (sa), adalah seorang wanita teladan besar kemampuan, kecerdasan, pengetahuan, wawasan, keberanian dan ketekunan; ia melakukan tugas ilahinya untuk yang terbaik dari kemampuannya. Dia lahir afamily dibentuk oleh Prophet Muhammad (saw), tokoh yang paling menonjol dalam sejarah. Istri Nabi Sayyeda Khadijah (sa) seorang wanita yang setia, adalah nenek dari pihak ibu, dan nenek dari pihak ayah adalah Fatima putri Assad, yang diasuh dan menyusui Nabi Muhammad (saw). Para anggota keluarga, intrio urutan hirarkis, yang semua besar.

Sayyeda Zainab (sa) adalah bintang yang cemerlang di langit mandat yang menerima sinar kekudusan dari lima matahari. Melalui asal kudus dan saleh peneguhan bahwa ia terwujud begitu besar ketabahan di Karbala (Irak).

Kehidupan putri Sayyeda Fatima Zahra (sa) selalu sarat dengan kesulitan, tapi dia tidak pernah takut menghadapi withdifficulties, ketahanan enhancedher ini dan mengangkat jiwanya.

Dia baru saja mencapai usia tujuh tahun ketika ibunya tercinta meninggal. Kematian ibunya telah diikuti kematiannya kakek dihargai pergi. Beberapa waktu kemudian Imam Ali (as) menikah Ummul banin (sa), yang andpiety pengabdian mendorong Sayyeda Zainab (sa) dalam belajar nya.

Sementara masih seorang gadis muda dia sepenuhnya mampu merawat dan bertanggung jawab untuk menjalankan rumah tangga ayahnya. Sebanyak ia dirawat thecomforts dan kemudahan saudara-saudaranya, dalam keinginan sendiri dia hemat dan murah hati unstintingly kepada orang miskin, tunawisma dan parentless. Setelah pernikahannya suaminya dilaporkan sebagai yang mengatakan, "Zainab adalah ibu rumah tangga yang terbaik."

Dari sangat awal dia mengembangkan ikatan bisa dipecahkan dari keterikatan pada kakaknya Imam Hussein (as). Pada saat-saat seperti bayi dalam pelukan ibunya dia tidak bisa menenangkan dan membuat berhenti menangis, dia akan turun atas yang lebih tenang ditahan oleh kakaknya, dan di sana ia akan duduk diam menatap wajahnya. Sebelum ia akan berdoa ia digunakan untuk pertama melihat sekilas wajah kakak tercintanya, Imam Hussein (as).

Suatu hari Sayyeda Fatima Zahra (sa) menyebutkan theintensity cinta putrinya untuk Imam Hussein (as) kepada Nabi Muhammad (saw). Dia menarik napas dalam-dalam andsaid dengan mata dibasahi, "Anakku, anak saya ini Zainab akan dihadapkan dengan seribu satu bencana dan menghadapi kesulitan serius dalam Karbala."

Zainab Al-Kubra; Singa Karbala



Oleh: Euis Daryati.

Sayyidah Zainab al-Kubro tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah saw. yang merupakan manusia tersempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad saw. senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.

Dialah Zainab putri Nabi al-Amin

Dialah simbol ketegaran dan keberanian

Dialah putri Fathimah dan Ali al-Haidar washi Nabi

Dialah saudari al-Hasan dan al-Husein cucu Nabi

Kehadiran seorang figur dan teladan dalam kehidupan manusia adalah suatu hal yang aksiomatis karena merupakan kebutuhan fitri manusia. Hal ini dapat kita saksikan dalam kehidupan manusia dari berbagai tingkat umur mulai masa kanak-kanak sampai manula sekalipun. Manusia akan senantiasa mencari figur yang akan diteladaninya dan menjadikan segala prilaku teladan sebagai cermin dalam kehidupannya. Pada usia muda, manusia mengalami masa transisi dan pencarian jati diri dan ia sangat membutuhkan kehadiran seorang figur di fase ini dibanding fase kehidupannya yang lain.

Oleh karena itu, salah satu cara yang ditempuh oleh musuh Islam dalam rangka merusak kepribadian generasi muda dan menjauhkan mereka dari agama Islam adalah dengan memperkenalkan idola dan figur yang tidak islami kepada mereka. Sebagai contoh, kita bisa melihat kondisi sedang terjadi saat ini di bumi pertiwi kita. Generasi muda muslim mempunyai pengetahuan yang sangat minim tentang tokoh-tokoh Islam. Coba anda tanyakan kepada mereka berapa banyak tokoh dan figur muslim yang mereka kenal? Dan coba tanyakan kepada mereka tentang tokoh-tokoh non muslim khususnya bintang film, maka mereka akan dengan tangkas menyebut tokoh-tokoh seperti, Madonna, Demi Moore, dan lain sebagainya. Ini sebagai salah satu bukti kemenangan musuh dalam perusakan budaya dengan menjauhkan para generasi muda dari tokoh-tokoh muslim mereka.

Salah satu figur agung yang tak banyak dikenal ialah Sayyidah Zainab al-Kubro. Beliau merupakan salah satu cucu Nabi Muhammad saw. Berapa banyak generasi muda yang mengenal kepribadian dan kehidupan beliau? Oleh karena itu, penulis menilai bahwa adalah suatu hal yang penting memperkenalkan Sayyidah Zainab al-Kubro kepada khalayak khususnya generasi muda. Kendati kita tidak dapat mengenal beliau secara utuh sebagaimana adanya karena perbedaan kedudukan beliau dengan kita, namun tak ada salahnya kita mencoba untuk mengenal kepribadian dan keutamaannya. Sebagaimana kaidah mengatakan: “Ma la yudraku kulluh la yutraku julluh.” “Tidak dapat dikenal semuanya bukan berarti harus ditinggalkan semuanya”.

Kelahiran dan Nama
Sayyidah Zainab as adalah putri dan anak ketiga dari pasangan manusia suci lagi agung Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah Zahro as. Ibunya Sayyidah Fathimah Zahro as adalah putri tercinta Rasulullah saw. dan wanita yang sangat mirip dengan Rasulullah saw. dalam hal kesempurnaan, keutamaan dan akhlak. Sayyidah Fathimah Zahro as memiliki segala kesempurnaan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh ketiga saudari lainnya Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Ayahnya Imam Ali as adalah washi Rasulullah saww, orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah saw. dan pahlawan dalam berbagai peperangan melawan orang-orang kafir. Kakeknya Nabi Muhammad saw. adalah manusia tersuci dan tersempurna di seluruh alam semesta. Sedang neneknya adalah Sayyidah Khadijah, perempuan pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Dalam pangkuan para manusia suci inilah Sayyidah Zainab as dididik dan dibesarkan. Beliau besar di bawah naungan pancaran wahyu Ilahi.[1]

Berdasarkan pendapat termasyhur terdapat pendapat lain tentang hal ini beliau lahir pada tanggal lima 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijrah Qomari di Madinah. Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika berita kelahiran Sayyidah Zainab as sampai kepada Nabi Muhammad saww, beliau langsung menuju rumah Sayyidah Fathimah Zahro as. Sesampainya di rumah beliau berkata: “Wahai putriku, bawalah kemari cucuku”. Ketika bayi mungil tersebut berada di pangkuannya, beliau memeluk dan meletakkan pipi mulianya di pipi bayi tersebut. Kemudian beliau menangis dengan sangat keras hingga air matanya bercucuran. Menyaksikan hal itu kemudian Sayyidah Fathimah Zahro as bertanya: “Wahai ayahku, semoga Allah swt tidak membuat matamu menangis, kenapa engkau menangis?” “Wahai putriku, wahai Fathimah, ketahuilah. Bayi ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi berbagai cobaan. Wahai putriku, wahai belahan jiwaku dan cahaya mataku, ketahuilah. Barang siapa yang menangis untuknya karena segala musibah yang menimpanya maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang menangis untuk kedua saudaranya,” jawab Rasulullah saw. Setelah itu kemudian Nabi Muhammad saw. memberi nama bayi tersebut Zainab.[2]

Dalam kitab Nasikh at-Tawarikh terdapat versi yang cukup berbeda tentang kisah penamaan Sayyidah Zainab as. Disebutkan bahwa setelah kelahiran Sayyidah Zainab as Imam Ali as tidak langsung memberikan nama kepadanya. Ini membuat Sayyidah Fathimah Zahro as menanyakan sebabnya kepada Imam Ali. Imam Ali as menjawab: “Kita tnggu saja sampai Rasulullah saw. sendiri yang memberikan nama kepadanya”. Setelah mendengar hal itu, Sayyidah Fathimah Zahro as menggendong bayinya dan menuju rumah Rasulullah saw. untuk mengemukakan perkara tersebut. Pada saat itu turunlah Malaikat Jibril as dan berkata kepada Rasulullah saww: “Wahai utusan Allah, Allah swt telah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman: “Namakan ia Zainab”. Namun setelah itu Malaikat Jibril as menangis. Menyaksikan hal itu, Rasulullah saw. menanyakan sebab tangisan Jibril. Malaikat Jibril as menjawab: “Sejak awal sampai akhir, kehidupan bayi ini akan dipenuhi berbagai musibah dan cobaan”.[3]

Berkaitan dengan akar kata nama Sayyidah Zainab as terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur. Kelompok lain berpendapat nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu Zain dan Abun yang berarti ‘perhiasan ayah’. Sebagaimana ibunya, Sayyidah Fathimah Zahro, memiliki gelar Ummu Abiiha (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Sayyidah Zainab as juga memiliki gelar Zain Abiiha (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.[4] Yang pasti, baik nama Sayyidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan arti dan makna yang sangat tinggi dan indah.

Masa Kanak-Kanak.
Sayyidah Zainab al-Kubro tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah saw. yang merupakan manusia tersempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad saw. senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka. Tidak ada seorang kakek pun yang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada cucunya lebih dari yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap cucu-cucunya.

Ketika beliau melihat para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as., beliau selalu mencium, memeluk, menempelkan pipinya yang suci ke pipi cucu-cucunya bahkan beliau bermain kuda-kudaan dengan mereka. Tentu saja perbuatan Rasulullah tersebut tidak hanya berdasarkan hubungan alamiah antara seorang kakek dan cucu saja. Perbuatan beliau sebagai seorang nabi tidak dilakukan berdasarkan hawa nafsu sebagaimana dapat kita simak dari firman Allah saw. berikut ini: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Nabi Muhammad saww) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[5] Selain itu, segala prilaku beliau merupakan contoh dan teladan bagi umatnya dalam memperlakukan anak-anak.

Hanya sebentar Sayyidah Zainab al-Kubro dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw. wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab al-Kubro masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata: “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke sana dan ke mari. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun”. Rasulullah saw. menangis setelah mendengarkan cerita beliau dan berkata: “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ialah ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka”.[6] Dari riwayat ini kita dapat memahami bahwa jauh hari, Sayyidah Zainab al-Kubro telah dipersiapkan secara mental dan spritual untuk menghadapi berbagai peristiwa pedih sehingga beliau dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya dengan baik. Dan salah satu peristiwa pedih itu adalah peristiwa Asyuro.

Setelah kakeknya wafat, beliau menyaksikan berbagai penindasan yang menimpa ayah dan ibunya. Beliau menyaksikan bagaimana hak kekhalifahan ayahnya dirampas. Beliau menyaksikan bagaimana ibunya mendatangi satu persatu rumah para Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan baiat mereka kepada Imam Ali as di Ghadir Khum. Beliau menemani ibunya ketika menyampaikan khutbah di masjid. Beliau juga menyaksikan pembakaran dan pendobrakan rumahnya yang akhirnya menyebabkan ibu tercintanya sakit.[7] Musibah demi musibah telah menimpa putri mungil tersebut. Ibunnya syahid padahal kesedihan karena ketiadaan kakeknya belum seluruhnya sirna. Bersama para saudaranya, beliau juga ikut menemani sang ayah menguburkan jenazah ibunya di kesunyian malam.

Pernikahan dan Keluarga Sayyidah Zainab as.
Sejarah tidak menjelaskan secara terperinci masa remaja Sayyidah Zainab as. Namun Thabari menukil ucapan beberapa orang yang melihat beliau: “Seakan-akan aku melihat seorang perempuan bagaikan mentari yang dengan cepat telah keluar dari dalam kemah”. Bahkan sewaktu Sayyidah Zainab as hendak berangkat ke Mesir pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Ayub Anshori berkata: “ Sumpah demi Allah swt., aku tidak pernah melihat wajah sepertinya yang bagaikan rembulan”. Padahal waktu itu beliau sudah berumur sekitar lima puluh tahun dan telah mengalami tragedi Karbala yang sangat menyedihkan. Sedikit banyaknya, peristiwa itu pasti mempengaruhi kondisi jasmani dan psikologis beliau. Tentu di masa remajanya, beliau lebih dari ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh orang-orang yang pernah melihat beliau.

Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfarlah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya.[8] Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan bendera yang ada di tangannya. Mengenai putra-putra Jakfar bin Abdul Muthalib terdapat perbedaan pendapat. Syeikh Thabarsi dalam kitabnya A’lamur-Waraa menyebutkan bahwa putra-putri beliau adalah Ali, Jakfar, Aun Akbar dan Ummu Kultsum. Sementara dalam kitab Tadzkiratul Khawash karya Sibthi ibnu Jauzi disebutkan bahwa putra-putri beliau ialah Ali, Aun al-Akbar, Muhammad, Abbas dan Ummu Kultsum. Muhammad dan Aun juga syahid di Karbala.[9]

Kesempurnaan dan Keutamaan.
Sayyidah Zainab as merupakan manusia sempurna. Beliau memiliki berbagai keutamaan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Pada kesempatan ini kita hanya akan menjelaskan beberapa keutamaan saja melalui beberapa gelar beliau:

1. Aqiilah Bani Hasyim
Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Abul Faraj Ishfahani dalam karyanya ‘Muqotil at-Tholibin’, ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah bin Jakfar berkata: “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah. Ibnu Abbas meriwayatkan khutbah Fadak Fathimah Zahro darinya seraya berkata; “Aqiilah kami Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami...”. Berkaitan dengan kata ‘aqiilah’ terdapat beberapa pendapat. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya. Begitu juga pendapat Ibnu Zakaria dalam ‘Mujmal Lughoh’ dan Jauhari dalam ‘Shuhahul Luhgoh’. Pendapat ini merupakan pandangan beberapa sarjana bahasa. Namun sebenarnya dapat kita katakan bahwa ‘Aqiilah’ adalah shighoh mubalaghah (bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat) dan memiliki akar kata ‘aqal’, yang artinya sangat berakal atau dengan kata lain kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar.[10]

Gelar terhormat yang dimiliki pribadi agung seperti sayyidah Zainab as ini dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Sayyidah Fathimah Zahro as. Bagaimana tidak, khutbah beliau yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sayyidah Zainab as. Khutbah Fadak berisi pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi saww, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Qohafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi saw. dan lain sebagainya.[11] Padahal, ketika Sayyidah Fathimah Zahro as menyampaikan khutbahnya, Sayyidah Zainab as kala itu baru berusia lima tahun.

Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab as dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab as yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali as menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah swt sementara kasih sayang untuk kita”. Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukkan putrinya Zainab al-Kubro dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab as menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali as memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as. Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua.[12] Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubro berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.

2. Berilmu tanpa ada yang Mengajari (Aalimah Ghair Muta’allimah)
Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab as ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Gelar kehormatan ini dianugrahkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as kepada beliau. Jelas penganugrahan gelar tersebut bukan atas dasar nepotisme karena beliau adalah bibinya akan tetapi atas dasar kedudukan tinggi yang memang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as. Imam Ali Zainal Abidin as mengetahui keutamaan, kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki bibinya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Wahai bibiku...dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami (sesuatu permasalahan, pent.) tanpa ada yang memahamkannya (menerangkannya, pent).”

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa sumber hukum Islam—Al- Qur’an dan hadis), salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah derajat keilmuan yang dimilikinya. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan manusia dan merupakan santapan ruh. Ilmu merupakan salah satu sumber kemulian dan keagungan manusia. Al-Qur’an dengan jelas menerangkan tentang perbedaan kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu: “Adakah sama kedudukan orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu)”.[13] Ayat ini bukan berarti Allah bertanya kepada manusia apakah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui. Akan tetapi pertanyaan merupakan sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu tidaklah sama (istifham taqriri).[14] Sebagian riwayat juga menjelaskan tentang kewajiban mencari ilmu, sebagaimana sabda Rasulullah saww: ”Mencari ilmu adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah.” Masih banyak riwayat lain yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu.[15]

Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Dan Sayyidah Zainab al-Kubro memiliki kesempurnaan tersebut tanpa ada yang mengajarinya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau berilmu tanpa belajar, apa itu bukan merupakan suatu kedudukan yang sangat agung? Karena tidak semua orang dapat mencapai maqam dan kedudukan tersebut. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah saw. yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”.[16] Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab as bersama keluarganya tinggal di Kufah di masa pemerintahan Imam Ali as., para lelaki penduduk Kufah mendatangi Imam Ali as dan memohon kepada beliau supaya putrinya, Sayyidah Zainab as., mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Imam Ali as menerima permohonan tersebut dan Sayyidah Zainab as pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau. Pada suatu hari Imam Ali as mendengar Sayyidah Zainab as mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf “Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad”. Seusai mengajar, Imam Ali as mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu Husain di padang Karbala?” Setelah itu lantas Imam Ali as menjelaskan secara terperinci kepada beliau tentang tragedi Asyuro yang akan menimpanya.[17]

Derajat keilmuan beliau pun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad di Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata Sayyidah Zainab as dengan tangkas akan mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdialog dengannya dan berkata; “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”. Begitu pula khutbah-khutbah beliau lainnya yang disampaikan di Kufah maupun di Syam.

3. Kekasih Allah (Waliyatullah)
Sayyidah Zainab as adalah wanita mulia yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga mulia, Ahlul Bayt Nabi para kekasih Ilahi. Beliau besar dalam lingkungan para urafa’ utama yang menjadi kiblat semua urafa’ yang ada. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika beliau pun akhirnya menjadi seorang arifah tangguh yang memiliki makrifat yang begitu tinggi.

Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama irfan adalah menyatu (fana’) dengan Sang Kekasih Sejati, pencipta alam semesta. Itulah puncak irfan yang didamba oleh setiap manusia sempurna kekasih Ilahi. Salah satu bukti tingkatan makrifat agung yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as adalah beliau selalu pasrah terhadap apapun yang dikehendaki oleh Kekasih Sejatinya. Pecinta sejati adalah pribadi yang selalu ‘sehati’ dan ‘serasa’ dengan kekasihnya, meskipun apa yang dikehendaki oleh Sang Kekasih sekilas begitu pahit, namun seorang pecinta akan rela menerima kepahitan tersebut sebagai bukti cinta kasihnya terhadap Sang Kekasih Sejati. Inilah yang dilakukan Sayyidah Zainab as terhadap Kekasih Sejatinya dalam tragedi Karbala. Kendati beliau harus kehilangan imam yang dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Sayyidah Zainab as berkata: “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu”.

Berbekal makrifat yang begitu tinggi, Sayyidah Zainab as yakin bahwa Sang Kekasih adalah Dzat yang maha benar, bijak, indah dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Segala sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh beliau di alam semesta merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan nama-nama Sang Kekasih. Semua tidak akan lepas dari Sang Kekasih karena Ia adalah maha pencipta. Keteraturan alam yang kadang diwarnai dengan pahit dan getir kehidupan merupakan konsekuensi alam materi yang telah disifati dengan alam yang penuh gesekan (alam tazahum). Namun semua gesekan tadi meniscayakan keteraturan yang indah dan sesuai dengan hikmah Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Oleh karena itu, ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Sayyidah Zainab as masih sempat berkata: “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini ) melainkan sesuatu yang indah”.[18] Kesyahidan Imam Husein as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Ilahi yang selalu sesuai dengan hikmah Ilahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi. Tentu keyakinan ini tidak akan menjerumuskan manusia kepada keyakinan determinisme (Jabriyah), sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam kajian teology (kalam) Syiah Imamiyah.

Makrifat Ilahi telah mampu menghantarkan beliau pada tingkatan manusia sempurna (insan kamil). Cinta Ilahi telah menggelora di dalam hati Sayyidah Zainab as. Cinta murni yang suci dan tulus itu mampu membakar segala cinta kasih terhadap selain-Nya. Kecintaan itu telah ditukar dengan berbagai kecintaan-kecintaan lainnya. Sayyidah Zainab as rela kehilangan saudara tercintanya (Abul Fadh Abbas), keponakan kesayangannya (Ali Akbar), sanak famili, kerabat dan sahabat lainnya demi keridhoaan Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Bukan hanya itu, beliaupun rela mengorbankan imam yang merupakan al-Quran berbicara (al-Quran an-Nathiq) dan sekutu al-Quran yang diam (al-Quran as-Shamith) yang keduanya sangat dicintai dan ditaati beliau sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Itu semua direlakan oleh Sayyidah Zainab as demi keridhoan Sang Kekasih Ilahi. Oleh karena itu, setelah kesyahidan Imam Husein as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan: “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami”.[19] Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Sayyidah Zainab as dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Ilahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyullah).

4. Banyak Beribadah (‘Abiidah)
Maqam penghambaan merupakan salah satu kedudukan tertinggi seorang mukmin sejati. Al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa salah satu falsafah penciptaan manusia dan jin adalah agar manusia dan jin mencapai maqam ubudiyah. “Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku”.[20] Perwujudan penghambaan dan penyembahan Allah swt ialah melalui ibadah, baik ibadah dalam makna khusus atau dalam makna umum. Ibadah dalam makna umum adalah melakukan segala perbuatan dengan niat karena Allah swt. Sementara ibadah dalam arti khusus adalah melakukan ritual-ritual agama tertentu baik yang bersifat wajib maupun mustahab. Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyuro beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada kekasih sejatinya, Allah swt.

Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab as., Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”.[21] Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab as berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.

5. Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)
Hal ini dapat kita lihat dalam khutbah beliau baik yang disampaikan di Kufah maupun di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam. Ketika beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan penduduk Kufah, khutbah beliau mengingatkan orang-orang akan ayahnya, Imam Ali as. Mereka melihat seakan-akan Imam Ali as sendiri yang sedang berkhutbah. Kata-katanya yang indah dan isinya yang begitu mengena sehingga para pendengar menangis dan hanyut dalam kesedihan setelah mendengarnya. Begitupula khutbah beliau di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam yang mampu mengubah opini umum tentang Ahlul-Bayt. Para audiens terpesona dengan khutbah-khutbah yang disampaikan Sayyidah Zainab as., baik dari sisi isi khutbah maupun ungkapannya (kalimat seperti ini dalam istilah bahasa Arab disebut fashih dan baligh). Jika orang yang ahli dalam bahasa Arab menelaah khutbah-khutbah Sayyidah Zainab as., ia akan memahami dan menikmati keindahan bahasa beliau. Kelebihan beliau dalam kefasihan dan kebalighan ini diwarisi dari kedua orang tua beliau, Imam Ali as dan Sayyidah Zahro as.Wallahua’lam.[www.al-hadj.com/ind]


Rujukan:
[1] DR. Aisyah Binti Syathii, Bathalatu Karbala, edisi Persia, hal: 29-30.
[2] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia hal: 52-53.
[3] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 31.
[4] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal:56.
[5] QS an-Najm:3-4.
[6] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:40-41.
[7] Penindasan yang telah menimpa Imam Ali as dan Sayyidah Zahro as pasca wafatnya Rasulullah saw dapat dilihat dalam berbagai sumber sejarah, baik di kalangan Suni maupun Syi’ah.
[8] DR. Aisyah Binti Syathii, Bathlatu Karbala, edisi Persia, hal: 53, 58.
[9] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 85.
[10] Ibid, hal:33-34.
[11] Muhammad Kazim Qazwini, Fathimah az-Zahro minal Mahdi ilal lahdi, edisi Persia, hal; 427.
[12] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 39.
[13] QS az-Zumar: 9.
[14] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal:78-80.
[15] Muhammad Rey Syahri, Muntakhab Mizan al-Hikmah, bab ilmu, hal: 396.
[16] Ibid, hal: 404.
[17] Muhammad Kazim Qazwini , Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 47.
[18] Ibid, hal: 306.
[19]Ali Nadzari Munfarid, Qisheye Karbalo, hal: 410.
[20] QS, adz-Dzariyat: 56.
[21] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:189, 318-319.

Ketegaran Sejati Sayidah Zainab al-Kubra


Sayidah Zainab al-Kubra as adalah sosok wanita suci yang selalu sabar dalam menghadapi berbagai musibah dan ujian berat. Putri Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fatimah az-Zahra as itu wafat pada tanggal 15 Rajab. Beliau lahir di kota Madinah pada tahun ke-6 H. Sayidah Zainab as besar dalam keluarga orang-orang mulia, suci dan tempat turunnya wahyu, yaitu keluarga yang dijamin kesuciannya dalam al-Quran. Mereka adalah kakeknya, Nabi Muhammad Saw, ayahnya, Imam Ali as, ibunya, Sayidah fatimah as, kedua saudaranya, Imam Hasan dan Imam Husein as.

Sayidah Zainab as adalah sosok perempuan yang tegar dalam menghadapi semua musibah dan penderitaan. Sejak kecil, beliau telah menghiasi diri dengan kemuliaan dan kesempurnaan. Perkataan dan perilaku beliau telah menjadi hiasan bagi ayahnya. Dalam riwayat disebutkan bahwa martabat dan harga diri Sayidah Zainab as mirip dengan Sayidah Khadijah, kesucian dan kesederhanaan serta kesopanan beliau persis seperti Sayidah Fatimah as, kefasihan dan retorika beliau dalam berpidato mirip dengan Imam Ali as, kelembutan dan kesabaran beliau mirip Imam Hasan as, sedangkan keberanian dan kekuatan hati beliau mirip dengan Imam Husein as. Dapat dikatakan bahwa semua kebaikan Ahlul Bait as seakan-akan ada dalam diri beliau.

Sejak kecil, Sayidah Zainab as menghadapi beragam fitnah dan musibah. Meski demikian, beliau telah menyiapkan diri untuk menghadapi badai dahsyat yang dibuat oleh orang-orang zalim yang haus dengan kekuasaan. Di usia yang belum genap lima tahun, beliau telah kehilangan kakeknya, Rasulullah Saw, yang selalu memberikan kasih sayang. Wafatnya Rasulullah Saw adalah musibah pertama yang telah melukai jiwa lembut Sayidah Zainab as. Musibah ini bagi beliau, terutama bagi ibunya, Sayidah Fatimah as, adalah ujian yang sangat berat.

Dari masa kanak-kanak, Sayidah Zainab as telah menyaksikan penderitaan ibunya pasca wafatnya Rasulullah Saw, di mana kesedihan tersebut telah menyebabkan Sayidah Fatimah as jatuh sakit, dan beberapa bulan kemudian Putri Rasulullah Saw itu meninggal dunia. Dengan demikian, Sayidah Zainab as menikmati kecintaan ibunya tidak lebih dari lima tahun.

Kenangan-kenangan pahit dan manis di masa singkat tersebut telah menjadikan beliau siap untuk terus bergerak dan berjuang di jalan Allah Swt dan menyambut segala bentuk musibah dan persoalan kehidupan. Suatu hari, Sayidah Fatimah as menyampaikan pidato di masjid Rasulullah Saw untuk membela hak-hak Ahlul Bait as. Sayidah Zainab as hadir dalam pidato ibunya tersebut dan beliau mencatat semua perkataan ibundanya sehingga beliau terhitung sebagai salah satu perawi khutbah terkenal Sayidah Fatimah as.

Kesedihan Sayidah Fatimah as pasca wafat ayahandanya, Rasulullah Saw, sangat berat di hati mungil Sayidah Zainab as, namun semangat dan kemampuan beliau dengan cepat menempati hati Sayidah Fatimah as dan bahkan memulihkan hati ayahnya yang dipenuhi dengan kesedihan.

Meski lebih muda dari kedua saudaranya, namun Sayidah Zainab as mewarisi sifat-sifat ibundanya. Ikatan emosional antara beliau dengan Imam Hasan dan Husein as sulit untuk digambarkan. Hubungan emosional tersebut berlanjut hingga akhir usia beliau. Sedetikpun Sayidah Zainab as tidak dapat menjauh dari kedua saudaranya, beliau selalu memberikan cinta dan kasih sayang kepada kedua saudara itu seperti seperti halnya yang dilakukan ibunya.

Setelah wafatnya Sayidah Fatimah as, Sayidah Zainab as menyaksikan sikap diam ayahnya selama 25 tahun. Imam Ali as di masa itu terpaksa diam ketika hak-haknya dirampas demi kepentingan dan maslahat kaum Muslimin. Sayidah Zainab as juga melewati masa kekhalifahan ayahnya selama kurang lebih lima tahun hingga pada akhirnya Imam Ali as pada malam 19 Ramadhan 40 H meneguk cawan kesyahidan di mihrab masjid Kufah.

Pasca wafatnya Rasulullah Saw dan Sayidah Fatimah as, hati Sayidah Zainab as bergantung pada Imam Ali as. Kasih sayang ayahnya itu telah menjadi pelipur lara dalam kesedihan, namun setelah Imam Ali as tiada, maka tidak lagi seorang ayah yang menjadi tumpuannya, sehingga perpisahan dengan ayahnya itu sangat sulit bagi beliau.

Meski demikian, beliau tetap tegar dan sabar dalam menghadapi segala musibah. Beliau adalah teladan kesabaran dan ketegaran yang tidak akan runtuh hanya karena berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Beliau datang untuk membuat sebuah epik dan membuktikan hakikat dan kebenaran Ahlul Bait as. Beliau datang untuk memberikan pelajaran keteguhan dan ketegaran hingga mencapai kemuliaan dalam menghadapi semua fitnah dan musibah.

Setelah Imam Ali as wafat, Sayidah Zainab as menyaksikan kezaliman terhadap saudaranya, Imam Hasan as. Penindasan yang dialami Imam Hasan as sama seperti kezaliman yang menimpa ayahnya. Sayidah Zainab as menyaksikan pembelotan masyarakat dan konspirasi musuh serta propaganda luas Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap saudaranya. Dalam kondisi tersebut, beliau selalu menyertai Imam Hasan as dan pada akhirnya menyaksikan kesyahidan saudaranya itu.

Sayidah Zainab as tetap bersabar dalam menghadapi musibah besar tersebut. Pasca wafatnya Imam Hasan as, beliau menyertai saudaranya, Imam Husein as, pergi ke Karbala pada tahun 60 H. Peristiwa Karbala adalah puncak dari musibah yang dihadapi oleh Sayidah Zainab as. Tidak lama setelah 18 orang dari keluarganya, termasuk anak-anak dan saudaranya, gugur syahid, beliau menyaksikan kesyahidan Imam Husein as, yaitu sebuah musibah yang langit dan bumi pun tidak mampu menahannya. Dalam kondisi tersebut dan bahkan ketika beliau dan keluarganya ditawan oleh musuh, Sayidah Zainab as tetap bersabar, dan meyakini bahwa beliau harus melaksanakan kewajiban agama, politik, dan sosial terbesar.

Setelah kesyahidan Imam Husein as di padang Karbala, Sayidah Zainab as memikul sejumlah tugas penting: pertama, merawat dan melindungi Imam Sajjad as, putra Imam Husein as, dari serangan musuh. Kedua, melindungi para wanita dan anak-anak yang ditawan musuh. Ketiga, menyampaikan berita kesyahidan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya, serta mengungkap skandal dan kezaliman Yazid di hadapan masyarakat.

Yazid dan pengikutnya menyebarkan propaganda luas supaya langkah Imam Husein as dianggap sebagai gerakan anti-agama dan bertentangan dengan kepentingan umat Islam. Yazid menyebarkan fitnah bahwa Imam Husein as sedang mengejar kekuasaan dan materi dalam revolusinya sehingga ia dengan mudah menumpas para penentangnya. Namun Sayidah Zainab telah menjadi penghalang propaganda itu, dan bahkan juga mengungkap kejahatan dan kebusukan Yazid dan pengikutnya.

Dalam pidatonya yang berapi-api, Sayidah Zainab telah mengguncang pemikiran keliru masyarakat di masa itu. Warga Kufah yang hampir 20 tahun tidak mendengar pidato Imam Ali as, mereka terhentak dengan suara Zainab as yang nadanya seperti perkataan Ali as. Perkataan Sayidah Zainab as yang begitu fasih dan keberanian beliau telah membuat takjub Hazlum Ibnu Katsir, seorang ahli balaghah. Ia mengatakan, "Seakan-akan Zainab berbicara dengan bahasa Ali."

Selain kefasihan dalam berbicara, Sayidah Zainab as juga menjaga kesuciannya sebagai seorang Muslimah. Salah satu perawi yang meriwayatkan pidato beliau mengatakan, "Aku bersumpah demi Allah, aku tidak melihat seorang perempuan pun yang lebih fasih dan lebih berilmu dari perempuan yang menjaga kesuciannya ini."

Dalam waktu yang singkat, Sayidah Zainab as mampu menyampaikan suara kebenaran dan anti-penindasan kepada masyarakat. Beliau juga menyampaikan ketertindasan Imam Husein as yang menuntut keadilan. Selain itu, tindakan beliau juga telah melindungi agama dari penyimpangan.

Dalam waktu singkat, kezaliman Yazid terungkap. Meski telah membantai Imam Husein as dan keluarganya serta menawan para wanita dan anak-anak Ahlul Bait as, Yazid tidak mampu mencapai tujuannya, bahkan sebaliknya kejahatannya terungkap. Setelah kejahatannya terungkap, Yazid berusaha melemparkan kesalahannya kepada Ubaidillah bin Ziyad, penguasa Kufah, dan berlepas tangan dari dosa-dosanya. Namun Ahlul Bait Rasulullah Saw telah mengungkap semua kebusukan Yazid dan antek-anteknya.

Terkait Berita: