Untuk mengkaji makna berpikir dan
berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara
global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan
dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat
pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal
dalam al-Quran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang
diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir
dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang
lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan
riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian.
Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup
semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran
menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak
menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia
melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh
urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan
sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki
kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan
akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk,
petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain
sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi
yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah
manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam
Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal
manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat
tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka
agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara
iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan
pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila
digunakan dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya
tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang
dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini,
harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna
menggunakan akal yang dikenal secara terminologis. Tatkala al-Quran
menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih
serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi
merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam
pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan
menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh
hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi
buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran
menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan
dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini
dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
- Mencela secara langsung manusia yang tidak mau berpikir:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, Allah Swt
menghukum manusia disebabkan karena mereka tidak berpikir. Dengan
beberapa ungkapan seperti, “afalâ ta’qilun”, “afalâ tatafakkarun”, “afalâ yatadabbaruna al-Qur’ân”,[9] Allah Swt mengajak mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya.
- Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:
Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya
itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari
apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah,
“Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu?
Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi
Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan
bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil
dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan
palsu.[11] Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan
dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah mereka tidak
memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila? Ia
(Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata
(yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah,
“Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu
supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau
sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada
penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah
pemberi peringatan bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)
- Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:
Mencermati langit dan bumi serta
keagungannya, demikian juga aturan yang berlaku pada unsur-unsur alam
natural, merupakan salah satu jalan terbaik untuk memahami keagungan
Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru manusia untuk memperhatikan dan
mencermati fenomena makhluk, sejatinya mengajak mereka untuk berpikir
tentang Pencipta makhluk-makhluk tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah
yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia
(berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit.
Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12]dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)
- Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:
Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa
Allah Swt Mahakuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematian mereka
didasarkan argumen-argumen rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran,
kemungkinan adanya hari Kiamat dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk
berpikir pada contoh-contoh yang serupa; seperti datangnya para wali
manusia,[13] hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah
hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas permintaan Nabi Ibrahim
AS,[15] kisah Ashabul Kahfi,[16]kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak
contoh lainnya.
- Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:
Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan
menyinggung sebagian sifat Allah Swt, manusia diajak untuk berpikir
tentang Allah Swt dan tentang amalan perbuatan mereka. Sifat-sifat
seperti, Qadir, Malik, Sami’dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah
mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan
bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah
[9]:78)[18] dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya
sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs.
Ali Imran [3]:98)[19] jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang
prinsip-prinsip akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan
Ilahi. Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam
al-Quran. Karena prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari
pembahasan-pembahasan rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan
menggunakal akal. Taklid dalam hal ini tidak dibenarkan.
- Menjelaskan ragam kisah dan azab yang diturunkan akibat dosa-dosa kaum-kaum terdahulu:
Harap diperhatikan menjelaskan
kisah-kisah kaum terdahulu yang disampaikan dalam al-Quran, bukan
dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan satu kisah atau kisah yang membuat
manusia larut di dalamnya, melainkan sebuah pelajaran berharga untuk
umat selanjutnya. Atau dengan menelaah nasib dan peristiwa yang menimpa
mereka, manusia seyogyanya berpikir tentang akhir dan pengaruh amalan
perbuatan mereka sehingga dapat menuntun manusia untuk tidak melakukan
perbuatan yang sama; seperti kisah Nabi Yusuf,[20] kisah yang sarat
dengan pelajaran wanita-wanita para nabi,[21] azab-azab yang turun untuk
kaum Ad, Tsamud dan Luth.[22]
- Menjelaskan mukjizat-mukjizat para nabi:
Jalan terbaik untuk menetapkan kebenaran
seorang nabi dan klaim risalah yang dibawanya dari sisi Allah Swt
adalah mukjizat. Mukjizat hanya dapat menetapkan klaim kenabian seorang
nabi tatkala hal itu berada di luar kemampuan dan kekuatan manusia;
karena itu demonstrasi mukjizat merupakan sebuah ajakan nyata kepada
manusia untuk berpikir sehingga manusia dengan berpikir terhadap
ketidakmampuannya dan kekuatan mukjizat ia beriman kepada ucapan-ucapan
para nabi; seperti mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, al-Quran yang
akan tetap abadi selamanya dan manusia dengan berpikir dan ber-tafakkur
pada ayat-ayatnya dapat meraih iman pada kebenaran nabi
pamungkas,[23] dan mukjizat-mukjizat agung yang diriwayatkan dari para
nabi ulul azmi.[24]
- Tantangan dalam al-Quran:
Salah satu contoh ajakan dan seruan
al-Quran untuk berpikir adalah tantangan kepada orang-orang kafir untuk
menghadirkan seperti ayat-ayat al-Quran. Tatkala manusia mencari
kebenaran, mereka menjumpai ketidakmampuan orang-orang kafir sepanjang
tahun ini, mereka beriman kepada kebenaran al-Quran dan pembawa
pesannya; seperti ayat, “Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an
yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah
(paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika
kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:23)[25]
Pada kebanyakan ayat al-Quran,
orang-orang kafir untuk mencari pembenaran atas tindakannya menyembah
berhala, tidak mau berpikir dan sebagai gantinya menjadikan taklid buta
dari datuk-datuknya sebagai pembenar atas perbuatan-perbuatan mereka.
Allah Swt mencela mereka karena tidak mau memanfaatkan kemampuan akal
dan menyeru mereka untuk berpikir dan merenung dalam masalah-masalah
akidah; misalnya pada ayat, “Dan apabila dikatakan kepada mereka,
“Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab,
“(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari
(perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti
juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan
tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Baqarah [2]:170)[26] sebagaimana Allah Swt mencela Ahlulkitab disebabkan akidah-akidah batil dan taklid buta mereka, “Katakanlah,
“Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas)
dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:77)
- Meminta argumentasi di hadapan ucapan-ucapan tak berguna:
Tatkala Allah Swt di hadapan
ucapan-ucapan tak berguna dan tidak benar sebagian manusia, menuntut
dalil dan burhan, dan dengan lugas meminta seluruh manusia untuk tidak
mengikut sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya;[27] artinya
Allah Swt menginginkan seluruh manusia menjadikan akalnya sebagai
panglima untuk memutuskan di hadapan pelbagai khurafat dan hal-hal
nonsense dan meminta argumentasi dari mereka; seperti, “Dan mereka
(orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah
masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.”
Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah,
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang
benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111)[28] Demikian juga para nabi meminta argumentasi di hadapan klaim-klaim kosong seperti,
“Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah Dzat yang dapat
menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya juga dapat
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari
barat.” Lalu, orang yang kafir itu terdiam (seribu bahasa); dan Allah
tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qs. Al-Baqarah [2]:258)
- Menggunakan penyerupaan dan permisalan dalam memotivasi dan mencela manusia:
Allah Swt pada kebanyakan ayat mengajak
manusia untuk berpikir dengan menggunakan penyerupaan sehingga ia mau
merenung atas apa perbuatanya; seperti, “Perumpamaan orang-orang
yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba
yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:41)[29]
- Mengingatkan pelbagai nikmat:
Allah Swt dalam al-Quran dengan
mengingatkan pelbagai nikmat, meminta manusia untuk menjauhi sikap
angkuh dan memuja diri serta tidak melupakan kedudukan penghambaan dan
ibadah. Metode mengajak berpikir seperti ini kebanyakan digunakan untuk
kaum Bani Israel; seperti, “Wahai Bani Isra’il, ingatlah akan
nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwa
Aku telah mengutamakan kamu atas segala umat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:47 & 122) dan Tanyakan kepada Bani Isra’il, “Berapa
banyakkah tanda-tanda (kebenaran) nyata yang telah Kami berikan kepada
mereka.” Dan barang siapa yang merubah nikmat Allah setelah nikmat itu
datang kepadanya, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya” &
Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu
merenungkan. (Qs. Al-Baqarah [2]:211 & 242) dan pada hari kiamat akan menjadi hari tatkala seluruh anugerah ini akan ditanya.”[30]
- Membandingkan antara manusia dengan memperhatikan pikiran dan perbuatannya:
Tatkala seorang berakal melakukan
perbandingan antara dua hal, pada hakikatnya ingin menjelaskan tipologi
dan pengaruh positif dan negative masing-masing dari dua hal yang
dibandingkan. Membandingkan antara orang-orang beriman dan orang-orang
kafir juga merupakan seruan nyata Allah Swt kepada manusia untuk
berpikir dan berenung, sehingga manusia yang berpikir dapat menimbang
akibat orang-orang beriman dan orang-orang kafir, kemudian menemukan
jalannya; seperti ayat,“Sesungguhnya telah ada tanda (dan pelajaran)
bagimu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan
berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan
mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali lipat
jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (Qs. Ali Imran [3]:13)[31]
Tatkala mengirimkan pelbagai mukjizat,
ayat-ayat, dan tanda-tandanya yang beragam, Tuhan telah menuntaskan
hujjah bagi para hamba-Nya dan memberikan kepada mereka janji-janji
pahala dan azab, pada hakikatnya mereka diseur untuk berpikir dan
berenung sehingga manusia mau menimbang segala yang dilakukan dan
dikerjakannya. Para nabi juga tidak mendatangi para umatnya kecuali
menuntaskan hujjat dengan pelbagai dalil, argument dan tanda-tanda, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata” (Qs. Hud [11]:96) tatkala mereka menolak untuk menjadi hamba, tidak akan diampuni, “Sesungguhnya
Musa telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti kebenaran
(mukjizat), kemudian kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan)
setelah ia pergi, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim
& Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah datang
kepadamu bukti-bukti kebenaran yang nyata, maka ketahuilah, bahwasanya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah [2]:92 & 209)[32]seluruh hujjah tidak terkhusus untuk para pendosa saja, melainkan mencakup seluruh nabi, “Dan
sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum
kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Qur’an itu (kepadamu) sebagai
peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali
tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah.” (Qs. Al-Ra’d [13]:37)[33]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan
berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan
mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena
mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka
Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka
menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35]
Referensi:
[1]. “Sesungguhnya binatang
(makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang
bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” (Qs. Al-Anfal [8]:22)
[2]. Nahj al-Balâgha, (Subhi Shaleh), hal. 43, Intisyarat Hijrat, Qum, 1414 H.
[3]. Akal dan Agama, 4910; Hubungan Akal dan Agama, 12105.
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil, 1, hal. 10, Diedit oleh Ghaffari dan Akhundi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[5]. Ibid, hal. 28.
[6]. Ibid, hal. 11.
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 26661 yang terdapat pada site ini.
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[9]. “Apakah kalian tidak berpikir” redaksi kalimat ini dan redaksi kalimat yang serupa digunakan sebanyak 20 kali dalam al-Quran.
[10]. Dan ayat-ayat serupa pada surah al-Mukminun “Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang
lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu
akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan
itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka sifatkan itu.” [23]:91)
[11]. “Ketika malam telah menjadi
gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, “Inilah Tuhanku.”
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, “Saya tidak suka
kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia
berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia
berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia
melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-78)
[12]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs.
Yunus [10]:5); (Qs. Al-Mulk [67]:3 & 4); (Qs. Al-Baqarah [2]:3
& 4); (Qs. Al-Mukminun [23]:69 & 80) dan seterusnya; Allah Swt
pada ayat 190 surah Ali Imran menyebut orang-orang yang memikirkan
tanda-tanda Ilahi sebagai “ulul albab” yaitu orang-orang yang berpikir.
[13]. “Kawannya (yang mukmin)
berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah kamu
kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna?” (Qs. Al-Kahf [18]:37); “Hai manusia, jika kamu ragu
tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sebagiannya
berbentuk dan sebagian yang lain tidak berbentuk, agar Kami jelaskan
kepadamu (bahwa Kami Maha Kuasa atas segala sesuatu), dan Kami tetapkan
dalam rahim (ibu) janin yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, supaya (dengan
berangsur-angsur) kamu sampai kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada
yang diwafatkan dan (ada pula) yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,
sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah ia
ketahui. Dan (dari sisi lain) kamu lihat bumi ini kering, kemudian
apabila telah Kami turunkan air di atasnya, bumi itu hidup dan tumbuh
subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al-Hajj [22]:5)
[14]. “Dan Dia-lah yang mengirim
angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya
(hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau
ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu,
maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan.
Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati (pada hari
kiamat), mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’rafa [7]:57); (Qs. Al-Rum [30]:50); (Qs. Fathir [35]:9) dan lain sebagainya.
[15]. (Qs. Al-Baqarah [2]:260)
[16]. (Qs. Al-Kahf [18]:9-25)
[17]. (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[18]. (Qs. Al-Taubah [9]:78); (Qs. Al-Baqarah [2]:96 & 107)
[19]. (Qs. Ali Imran [3]:98); (Qs. Al-Nisa [4]:33 & 166)
[20]. Surah Yusuf mengulas kisah ini secara rinci.
[21]. (Qs. Al-Tahrim [66]:4, 10 dan 11)
[22]. Seperti ayat-ayat, (Qs. Al-Fushilat [41]:13-17) dan (Qs. Al-A’raf [7]:80-84)
[23]. Mukjizat Rasulullah SAW lainnya pada (Qs. Al-Isra [17]:1 & 88); (Qs. Al-Qamar []:1)
[24]. Mukjizat-mukjizat Nabi Nuh As pada
(Qs. Al-Ankabut [29]:15); Mukjizat-mukjizat Nabi Ibrahim As pada (Qs.
Al-Anbiya [21]:69); Mukjizat-mukjizat Nabi Musa As pada (Qs. Thaha
[20]:17-20) dan (Qs. Al-Qashash [28]:32) dan (Qs. Al-Baqarah [2]:50);
Mukjizat-mukjizat Nabi Isa As pada (Qs. Al-Maidah [5]:110)
[25]. Dan ayat-ayat lainya seperti (Qs. Yunus [10]:38) dan (Qs. Hud [11]:13)
[26]. Dan seperti ayat-ayat (Qs. Al-Maidah [5]:53 & 54); (Qs. Al-Syua’ara [26]:74); (Qs. Al-Zukhruf [43]:23)
[27]. (Qs. Al-Isra [17]:36)
[28]. Ketika Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am [6]:49)
[29]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs.
Al-Jumu’ah []:5); (Qs. Al-Baqarah [2]:26, 171, 261, dan 265); (Qs. Ali
Imran [3]:118) dan (Qs. Al-A’raf [7]:176)
[30]. “Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (Qs. Al-Takatsur [102]:8)
[31]. (Qs. Al-Maidah [5]:50); (Qs.
Al-An’am [6]:50); (Qs. Hud [11]:24); demikian juga perbandingan
orang-orang mujahid dan orang-orang yang tidak berjihad pada surah
al-Nisa:95)
[32]. (Qs. Al-Nisa [4]:153); (Qs. Al-Maidah [5]:32)
[33]. Demikian juga “(Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan
Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak
(berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan
mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
[34]. Jelas bahwa yang dimaksud dengan
mendengarkan di sini bukanlah taklid buta, melainkan mendengarkan
berdasarkan pemikiran dan perenungan.
[35]. Menyinggung ayat “Adapun
orang-orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kanan, maka dia
berkata (lantaran bahagia dan bangga), “Ambillah, bacalah kitabku (ini)
& Adapun orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kiri,
maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya kitabku ini tidak
diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haqqa [69]: 19 & 25 ).