Terlepas dari perbedaan pemahaman imamah antara mazhab Syiah-Ahlusunah berkenaan kepemimpinan umat pasca wafat Nabi saw, Alkitab—Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru—sendiri sangat akrab dengan terminologi imamah. Menelusuri imamah dalam Alkitab berarti mempelajari sisi historis ajaran para nabi Tuhan yang telah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Dalam Kitab Perjanjian Lama, istilah “imam” pertama kali muncul pada zaman Nabi Ibrahim as di Kitab Kejadian 14:18 yang menceritakan tentang seorang imam Tuhan yang bernama Malkisedek:
Melkisedek, Raja Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: “Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi. (Kejadian 14: 18-19).
Kata “imam” muncul lagi di zaman Yusuf as. Singkat cerita, ketika tuduhan pelecehan seksual dari seorang wanita yang berasal dari kalangan bangsawan Mesir terhadap Yusuf as tidak terbukti, kemudian Yusuf as menafsirkan mimpi raja mengenai periode paceklik pangan yang akan melanda wilayah itu, maka penguasa negeri sungai Nil, Fir‘aun, melantik Yusuf as dan memberinya kuasa untuk mengantisipasi masa-masa sulit yang akan dilalui bangsa Mesir.
Fir’aun juga memberi sebuah gelar atau jabatan, yang dalam istilah bahasa Mesir Kuno (Qibty) disebut Zafnat-Paneah, yang artinya dalam bahasa Inggris treasury of the glorious rest. Yang mungkin menarik dari kisah Yusuf as dalam al-Kitab, diceritakan bahwa Yusuf as menikah dengan seorang putri seorang imam di On (yaitu wilayah dataran rendah di bagian utara Mesir, Lower Egypt) yang bernama Asenath anak dari Imam Potipherah.
Selanjutnya Fir‘aun berkata kepada Yusuf: “Dengan ini aku melantik engkau menjadi kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (Kejadian 41: 41).
Lalu Fir‘aun menamai Yusuf: Zafnat-Paneah, serta memberikan Asnat, anak Potifera, imam di On, kepadanya menjadi istrinya. Demikianlah Yusuf muncul sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir. (Kejadian 41: 45).
Selanjutnya, Alkitab dalam Kitab Keluaran menceritakan lagi mengenai figur seorang imam di wilayah Midian (Madyan) pada zaman Musa as bernama Yitro (Nabi Syu‘aib as). Perkenalan Musa as dengan Yitro as terjadi setelah Musa as membantu putri-putrinya ketika mereka akan menimba air pada salah satu sumur di Midian. Setelah pertemuan itu, Yitro as juga memutuskan agar Nabi Musa as bersedia menikah dengan salah seorang putrinya, dan tinggal bersama mereka selama beberapa tahun di wilayah itu.
Adapun imam di Midian itu mempunyai tujuh anak perempuan. Mereka datang menimba air dan mengisi palungan-palungan untuk memberi minum kambing domba ayahnya. Maka datanglah gembala-gembala yang mengusir mereka, lalu Musa bangkit menolong mereka dan memberi minum kambing domba mereka. (Keluaran 2: 16-17).
Musa bersedia tinggal di rumah itu, lalu diberikan Rehuellah Zipora, anaknya, kepada Musa. (Keluaran 2: 21).
Pada bagian-bagian lanjutan, Alkitab banyak sekali menggunakan istilah imam. Konteks religiusitas juga mulai sangat kental ikut mewarnai istilah “imam” untuk menunjukkan jabatan tertinggi bagi seseorang yang diberikan wewenang sebagai executor atau pelaksana hukum-hukum Tuhan di wilayah Kanaan (Palestina-Israel).
Setelah bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi Musa as dan Harun as mendapat perintah Tuhan untuk bermigrasi dari wilayah Mesir ke tanah Kanaan, Tuhan juga telah memantapkan suatu rencana melalui kedua Rasul-Nya agar bangsa Israel dalam kehidupan mereka dapat bernaung kepada sistem Pemerintahan Tuhan yang bisa mewujudkan ajaran-ajaran-Nya.
Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kau katakan kepada orang Israel. (Keluaran 19: 6).
Kata kerajaan imam menurut versi Ibraninya adalah “mamlakah kohen”. Kata kohen berasal dari kahan, kata ini sama sekali tidak identik dengan pendeta, pastor dan paderi. Seperti pada kisah Abraham as dengan Malkisedek, Yusuf as dan juga Yitro as, Perjanjian Lama tetap konsisten menggunakan kata yang sama. Arti kohen juga berbeda dengan rabbi (apabila direlasikan kepada Islam, kata ini ditujukan hanya kepada seorang mujtahid atau faqih).
Pada masa Musa as dan Harun as, Tuhan membagi bangsa Israel menjadi 12 kelompok masyarakat berdasarkan keturunan mereka (suku). Pembagian itu mengikuti garis keturunan masing-masing yang berasal dari 12 orang putra Ya‘qub as (Israel). Tanpa harus memasuki secara lebih mendalam mengenai berbagai penyimpangan terhadap ajaran Tuhan kepada bangsa Israel di kemudian hari (termasuk dalam hal imamah), yang perlu dipahami di sini bahwa: kenabian Israel paska Ya‘qub as pertama kali diperankan oleh Yusuf as. Mimpi Yusuf as yang diperlihatkan oleh Tuhan mengenai 11 kaukab (bintang) bersujud kepadanya menunjukkan orde imam bangsa Israel yang pertama.
Artinya; setelah Yusuf as wafat, peran imamah bangsa Israel dipegang oleh putra sulungnya yaitu Manasye dan diikuti oleh keturunan mereka. Setelah berlalunya masa yang cukup lama dan bangsa Israel menetap di wilayah Mesir hingga periode perbudakan oleh Fir‘aun, bangsa Israel telah dikunjungi kembali oleh 2 orang nabi Tuhan yang sangat berperan dalam menetapkan aturan serta pengajaran-pengajaran Tuhan. Kedua Nabi itu adalah Musa as dan Harun as. Melalui Musa as, bangsa Israel telah diberikan sebuah Kitab Tuhan yang bernama Torah (Taurat) atau yang disebut Pentateukh (5 Kitab pertama dari Perjanjian Lama).
Musa as dan Harun as adalah Nabi yang berasal dari suku Lewi (salah seorang putra Ya‘qub as), ketika kedua nabi itu menyampaikan pengajarannya kepada bangsa Israel, Tuhan memerintahkan Musa as agar mengangkat Harun as dan keturunannya untuk menjadi imam (kohen) atas segenap bangsa Israel.
Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel, untuk memegang jabatan imam bagi-Ku—Harun dan anak-anak Harun, yakni Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar. (Keluaran 28: 1).
Engkau harus juga mengurapi dan menguduskan Harun dan anak-anaknya supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 30: 30).
Pengangkatan itu tidak sekadar seperti mengangkat seorang pemimpin dari suatu kelompok suku yang majemuk ataupun seperti seorang pemimpin untuk sebuah bangsa. Jabatan kohen kepada Harun as dan keturunannya adalah pilihan Tuhan dan bukan inisiatif Musa as. Selain itu, periode ini juga menunjukkan transisi ke-kohen-an (imamah) dari keturunan Yusuf as kepada suku Lewi melalui Harun as dan keturunannya.
Pengangkatan mereka ditandai dengan pengurapan (pensucian, pengudusan atau pentahiran) secara langsung oleh Tuhan terhadap Harun as dan keturunan mereka. Pada saat itu, Tuhan memerintahkan Musa as untuk mengumpulkan Harun as dan anak-anaknya agar dikenakan pakaian yang kudus sebagai tanda pensucian atas diri-diri mereka dan pertanda bahwa imamah Tuhan atas Israel dideklarasikan.
Kau kenakanlah pakaian yang kudus kepada Harun, kau urapi dan kau kuduskanlah dia supaya ia memegang jabatan imam bagi-Ku.
Maka semuanya itu haruslah kau kenakan kepada abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya, kemudian engkau harus mengurapi, mentahbiskan dan menguduskan mereka, sehingga mereka dapat memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 28: 41).
Urapilah mereka, seperti engkau mengurapi ayah mereka, supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku; dan ini terjadi, supaya berdasarkan pengurapan itu mereka memegang jabatan imam untuk selama-lamanya turun-temurun. (Keluaran 40: 15).
Setelah pengangkatan Harun as dan keturunannya sebagai imam bangsa Israel, suku Lewi juga diperintahkan oleh Tuhan untuk melayani Harun as dan keturunan mereka.
Suruhlah suku Lewi mendekat dan menghadap imam Harun, supaya mereka melayani dia. (Bilangan 3: 6).
Banyak keutamaan yang telah dikaruniakan Tuhan kepada suku Lewi, khususnya kepada Harun as beserta keturunannya. Di sini, kita tidak akan menguraikannya secara lengkap, tapi terhadap mereka, Tuhan telah memerintahkan agar para imam dan suku Lewi memperoleh persembahan persepuluhan (10%) dari harta atau pusaka yang dimiliki bangsa Israel.
Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan. (Bilangan 18: 21).
Selain keutamaan dalam hal pendapatan, wilayah mereka juga tidak ditentukan pada satu daerah tertentu. Setelah wilayah Kanaan dikuasai oleh Yoshua, wilayah itu dibagi berdasarkan masing-masing suku yang berjumlah 12, tapi terhadap suku Lewi, Tuhan tidak memberikan satu daerah khusus sebagai konsesi mereka seperti yang diberikan kepada suku-suku lainnya. Wilayah suku Lewi justru tersebar di daerah masing-masing suku yang diatur berdasarkan kotanya masing-masing.
Selain menetapkan Harun as dan keturunannya, Tuhan juga mengangkat imam untuk masing-masing suku Israel lainnya dengan Harun as dan keturunannya berperan sebagai imam tertinggi bangsa Israel.
Katakanlah kepada orang Israel dan suruhlah mereka memberikan kepadamu satu tongkat untuk setiap suku. Semua pemimpin mereka harus memberikannya, suku demi suku, seluruhnya dua belas tongkat. Lalu tuliskanlah nama setiap pemimpin pada tongkatnya. (Bilangan 17: 2).
Setelah Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pemimpin mereka memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut suku-suku mereka, dua belas tongkat, dan tongkat Harun ada di antara tongkat-tongkat itu. (Bilangan 17: 6).
Pada materi pengantar kali ini, tentu tidak bisa dijelaskan secara komprehensif mengenai makna imamah menurut al-Kitab dan hubungan-hubungannya, tapi perlu dipahami bahwa kata kohen juga identik dengan nasiy. Pada ayat Bilangan 17: 2 dan 6 di atas, kata pemimpin tidak disebut kohen, tapi nasiy. Kata nasiy berasal dari nasa’, artinya dalam bahasa Inggris: to lift up, to be lifted up, to exalt, to lift oneself up. Seluruh makna-makna itu menunjukkan kepada meninggikan derajat, penyanjungan dan terangkat. Kata nasiy juga berarti captain yang secara luar biasa berkorespondensi secara tepat dengan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Tuhan telah mengangkat 12 orang Naqib dari bangsa Israel!
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku masukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Maidah: 12).
Kesimpulan mengenai hubungan 2 kata itu bahwa walaupun para penerjemah Alkitab (khususnya di Indonesia) menggunakan kata imam untuk kohen dan nasiy untuk pemimpin, secara umum tidak salah, tapi sebenarnya kurang tepat. Kohen terkait dengan tugas untuk menjadi penerus para nabi. Seorang pengganti (khalifah) atau penerus dari seorang nabi selayaknya memiliki kualifikasi dan wewenang yang sama dengan yang diberikan kuasa akan hal itu. Dalam hal ini, kata kohen sebenarnya lebih tepat disebut dengan wali. Karena, wali untuk suatu umat dari seorang nabi, memang semestinya memiliki kualifikasi dan kekuasaan yang sama dengan sang nabi. Sedangkan kata nasiy adalah sebutan untuk jabatan yang dipegang oleh sang wali tersebut, yaitu: imam.
Pengangkatan para imam juga dilakukan pada periode-periode lanjutan dari para nabi (rasul) dan imam bangsa Israel setelah Musa as hingga periode Isa as. Dalam pemahaman yang lebih luas, kata “pemimpin” juga sering direfleksikan secara simbolis sebagai batu dalam arti “gembala”.
Maka sekarang, pilihlah dua belas orang dari suku-suku Israel, seorang dari tiap-tiap suku. (Yosua 3: 12).
Pilihlah dari bangsa itu dua belas orang, seorang dari tiap-tiap suku, dan perintahkanlah kepada mereka, demikian: Angkatlah dua belas batu dari sini, dari tengah-tengah sungai Yordan ini, dari tempat berjejak kaki para imam itu, bawalah semuanya itu ke seberang dan letakkanlah di tempat kamu akan bermalam nanti malam. (Yosua 4: 2-3).
Maka orang Israel itu melakukan seperti yang diperintahkan Yosua. Mereka mengangkat dua belas batu dari tengah-tengah sungai Yordan, seperti yang difirmankan Tuhan kepada Yosua, menurut jumlah suku Israel. Semuanya itu dibawa merekalah ke seberang, ke tempat bermalam, dan diletakkan di situ. (Yosua 4:8).
Kemudian Elia mengambil dua belas batu, menurut jumlah suku keturunan Yakub—Kepada Yakub ini telah datang firman Tuhan: “Engkau akan bernama Israel.” (1 Raja-raja 18: 31).
Lalu aku memilih dua belas orang pemuka imam. (Ezra 8: 24).
Murid-murid Isa as atau Hawariyyun juga berjumlah 12 orang.
Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. (Matius 19: 28)
Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil. (Markus 3: 14).
Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul. (Lukas 6: 13).
Nabi terakhir untuk umat manusia, Muhammad saw juga menyatakan bahwa akan ada 12 orang khalifah setelah dirinya, sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Bukhari di dalam Shahih-nya, pada awal kitab al-Ahkam, bab al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, halaman 144; dan di akhir kitab al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalan Shahih Muslim disebutkan di awal kitab al-Imarah, juz II, halaman 79. Hal itu juga disepakati oleh Ashhab ash-Shihhah dan Ashhab as-Sunan, bahwasanya diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya Hari Kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 khalifah, semuanya dari Quraisy.”
Juga diriwayatkan dari Jabir bin Samrah, dia berkata: “Aku bersama ayahku datang menjumpai Rasulullah saw. Lalu aku mendengar beliau bersabda, ‘Urusan ini tidak akan tuntas sehingga datang kepada mereka 12 orang khalifah.’ Kemudian dengan suara pelan beliau mengatakan sesuatu kepada ayahku. Aku pun bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang telah beliau katakan wahai ayah?’ Ayahku menjawab, ‘Bahwa mereka semua dari kalangan Quraisy.’”
Pengantar singkat ini tentu tidak bisa memberikan kita ruang untuk membahas secara mendalam mengenai sistem kepemimpinan para nabi dan rasul Tuhan melalui perspektif Alkitab dengan panduan cahaya Al-Qur’an. Akan tetapi, diharapkan dapat menggugah kesadaran dan intelektualisme terhadap wawasan ilmiah dan pengetahuan “keislaman” yang ternyata masih banyak yang mesti ditelusuri lagi secara lebih seksama. Wallahu‘alam. Wa Sallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘Ala Alihi ath-Thayyibin ath-Thahirin.