Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Nabi Harun As. Show all posts
Showing posts with label Nabi Harun As. Show all posts

Ali dengan Rasulullah bagai Harun dengan Musa


Tanya: Syiah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib berhak untuk menjadi khalifah setelah Nabi; karena Nabi berkata kepadanya, “Engkau bagiku bagaikan Harun di sisi Musa.” Pertanyaannya adalah, bukankah Harun bukan pengganti Musa? Harun telah meninggal sebelum Musa, dan pengganti Musa adalah Yusya’ bin Nun?!

Jawab: Hadits diatas yang dikenal sebagai hadits manzilah termasuk hadits yang menjelaskan salah satu dari keutamaan Imam Ali as. Hadits tersebut memiliki puluhan sanad dalam Shahihain dan kitab-kitab hadits ternama lainnya. Saya ingin menukilkan hadits tersebut secara lengkap:

Ketika Rasulullah saw hendak pergi menuju Tabuk, beliau menjadikan Ali as sebagai penggantinya di kota. Kaum munafik penyebar isu berkata, “Hubungan Rasulullah saw dengan Ali telah menjadi suram karena beliau tidak membawanya berperang bersamanya. Imam Ali as menyampaikan apa yang ia dengar itu kepada Rasulullah saw. Sang Nabi berkata, “Apakah engkau tidak suka untuk menjadi seseorang yang bagiku kedudukannya sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja tidak ada Nabi setelahku.”[1]

Al-Qur’an menjelaskan beberapa kedudukan yang dimiliki oleh Harun as:
1. Ia sama-sama Nabi sebagaimana halnya Nabi Musa as.
2. Ia adalah sahabat dan penasehat Musa as.
3. Kekuatan hebat bagi Musa as.
4. Pengganti Musa as di saat ia pergi.

Tidak diragukan bahwa Imam Ali as memiliki seluruh kedudukan yang dimiliki oleh Harun as kecuali kenabian. Oleh karenanya ia dijadikan khalifah Nabi, baik Nabi masih hidup maupun telah meninggal.

Adapun Harun as meninggal terlebih dahulu sebelum Musa as, jawabannya jika seandainya pun Ali as meninggal sebelum Nabi ia tidak akan menjadi khalifah, namun karena ia tidak meninggal maka ia menjadi pengganti Nabi; sama halnya jika seandainya Harun as tidak meninggal sebelum Musa as, pasti ia akan menjadi penerusnya; karena Harun as dan Imam Ali as sama-sama memiliki kedudukan yang agung tersebut, hanya saja Ali as berumur panjang dan hidup sampai 30 tahun sejak meninggalnya Rasulullah saw. Lalu apa salahnya kalau memang Harun as telah meninggal sebelum Musa as?


Referensi:
[1] Shahih Muslim, bab Keutamaan Ali bin Abi Thalib, hadits 2404; Shahih Bukhari, kitab 24, bab 4, Hadits 3706; Al-Mustadrak, Hakim Neysyaburi, jld. 3, hlm. 109.

Oleh Muhammad Thabari, dalam bukunya yang berjudul “Jawaban Pemuda Syiah atas Pertanyaan-Pertanyaan Wahabi”

Kepemimpinan dalam Agama-agama Ibrahimik


Terlepas dari perbedaan pemahaman imamah antara mazhab Syiah-Ahlusunah berkenaan kepemimpinan umat pasca wafat Nabi saw, Alkitab—Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru—sendiri sangat akrab dengan terminologi imamah. Mene­lusuri imamah dalam Alkitab berarti mempelajari sisi historis ajaran para nabi Tuhan yang telah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Dalam Kitab Perjanjian Lama, istilah “imam” pertama kali muncul pada zaman Nabi Ibrahim as di Kitab Kejadian 14:18 yang menceritakan tentang seorang imam Tuhan yang bernama Malkisedek:
Melkisedek, Raja Salem, membawa roti dan anggur; ia se­orang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: “Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi. (Kejadian 14: 18-19).

Kata “imam” muncul lagi di zaman Yusuf as. Singkat cerita, ketika tuduhan pelecehan seksual dari seorang wanita yang berasal dari kalangan bangsawan Mesir terhadap Yusuf as tidak terbukti, ke­mudian Yusuf as menafsirkan mimpi raja me­ngenai periode paceklik pangan yang akan melanda wilayah itu, maka penguasa negeri sungai Nil, Fir‘aun, melantik Yusuf as dan memberinya kuasa untuk meng­antisipasi masa-masa sulit yang akan dilalui bangsa Mesir.


Fir’aun juga memberi sebuah gelar atau jabatan, yang dalam istilah bahasa Mesir Kuno (Qibty) disebut Zafnat-Paneah, yang artinya dalam bahasa Inggris treasury of the glorious rest. Yang mungkin menarik dari kisah Yusuf as dalam al-Kitab, diceritakan bahwa Yusuf as menikah dengan seorang putri seorang imam di On (yaitu wilayah da­taran rendah di bagian utara Mesir, Lower Egypt) yang bernama Asenath anak dari Imam Potipherah.

Selanjutnya Fir‘aun berkata kepada Yusuf: “Dengan ini aku me­lantik engkau menjadi kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (Kejadian 41: 41).

Lalu Fir‘aun menamai Yusuf: Zafnat-Paneah, serta mem­be­rikan Asnat, anak Po­tifera, imam di On, kepadanya menjadi istrinya. Demikianlah Yusuf muncul se­bagai kuasa atas seluruh tanah Mesir. (Kejadian 41: 45).

Selanjutnya, Alkitab dalam Kitab Keluaran menceritakan lagi mengenai figur seorang imam di wilayah Midian (Madyan) pada zaman Musa as bernama Yitro (Nabi Syu‘aib as). Perkenalan Musa as dengan Yitro as terjadi setelah Musa as membantu putri-putrinya ketika mereka akan menimba air pada salah satu sumur di Midian. Setelah pertemuan itu, Yitro as juga memutuskan agar Nabi Musa as bersedia menikah dengan salah seorang putrinya, dan tinggal bersama mereka selama beberapa tahun di wilayah itu.

Adapun imam di Midian itu mempunyai tujuh anak perem­puan. Mereka datang menimba air dan mengisi palungan-palungan untuk memberi minum kambing domba ayahnya. Maka datanglah gembala-gembala yang mengusir mereka, lalu Musa bangkit menolong mereka dan memberi minum kambing domba mereka. (Keluaran 2: 16-17).

Musa bersedia tinggal di rumah itu, lalu diberikan Rehuellah Zipora, anaknya, kepada Musa. (Keluaran 2: 21).

Pada bagian-bagian lanjutan, Alkitab banyak sekali meng­gu­nakan istilah imam. Konteks religiusitas juga mulai sangat kental ikut mewarnai istilah “imam” untuk menunjukkan jabatan tertinggi bagi seseorang yang diberikan wewenang sebagai executor atau pelak­sana hukum-hukum Tuhan di wilayah Kanaan (Pa­lestina-Israel).

Setelah bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi Musa as dan Harun as men­dapat perintah Tuhan untuk bermigrasi dari wilayah Mesir ke tanah Kanaan, Tuhan juga telah memantapkan suatu ren­cana melalui kedua Rasul-Nya agar bangsa Israel dalam kehidupan mereka dapat bernaung kepada sistem Peme­rintahan Tuhan yang bisa mewujudkan ajaran-ajaran-Nya.

Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah se­muanya firman yang harus kau katakan ke­pada orang Israel. (Keluaran 19: 6).

Kata kerajaan imam menurut versi Ibraninya adalah “mam­lakah kohen”. Kata kohen berasal dari kahan, kata ini sama sekali tidak identik dengan pendeta, pastor dan paderi. Seperti pada kisah Abraham as dengan Malkisedek, Yusuf as dan juga Yitro as, Per­jan­jian Lama tetap konsisten menggunakan kata yang sama. Arti kohen juga berbeda dengan rabbi (apabila direlasikan kepada Islam, kata ini ditujukan hanya kepada seorang mujtahid atau faqih).

Pada masa Musa as dan Harun as, Tuhan membagi bangsa Israel menjadi 12 kelompok masyarakat berdasarkan keturunan mereka (suku). Pembagian itu me­ngikuti garis keturunan masing-masing yang berasal dari 12 orang putra Ya‘qub as (Israel). Tanpa harus memasuki secara lebih mendalam mengenai berbagai pe­nyim­pa­ngan terhadap ajaran Tuhan kepada bangsa Israel di kemu­dian hari (ter­masuk dalam hal imamah), yang perlu dipahami di sini bahwa: kenabian Israel paska Ya‘qub as pertama kali diperankan oleh Yusuf as. Mimpi Yusuf as yang diperlihatkan oleh Tuhan mengenai 11 kaukab (bintang) bersujud kepadanya menunjukkan orde imam bangsa Israel yang pertama.

Artinya; setelah Yusuf as wafat, peran imamah bangsa Israel dipegang oleh putra sulungnya yaitu Manasye dan diikuti oleh keturunan mereka. Setelah berla­lunya masa yang cukup lama dan bangsa Israel menetap di wilayah Mesir hingga periode perbudakan oleh Fir‘aun, bangsa Israel telah dikunjungi kembali oleh 2 orang nabi Tuhan yang sangat berperan dalam menetapkan aturan serta pengajaran-pengajaran Tuhan. Ke­dua Nabi itu adalah Musa as dan Harun as. Melalui Musa as, bangsa Israel telah diberikan sebuah Kitab Tuhan yang bernama Torah (Taurat) atau yang disebut Pentateukh (5 Kitab pertama dari Per­janjian Lama).

Musa as dan Harun as adalah Nabi yang berasal dari suku Lewi (salah seorang putra Ya‘qub as), ketika kedua nabi itu menyam­paikan pengajarannya kepada bangsa Israel, Tuhan memerintahkan Musa as agar mengangkat Harun as dan keturunannya untuk men­jadi imam (kohen) atas segenap bangsa Israel.

Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel, untuk memegang jabatan imam bagi-Ku—Harun dan anak-anak Harun, yakni Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar. (Keluaran 28: 1).

Engkau harus juga mengurapi dan menguduskan Harun dan anak-anaknya supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 30: 30).

Pengangkatan itu tidak sekadar seperti mengangkat seorang pe­mimpin dari suatu kelompok suku yang majemuk ataupun seperti seorang pemimpin untuk sebuah bangsa. Jabatan kohen kepada Harun as dan keturunannya adalah pilihan Tuhan dan bukan ini­siatif Musa as. Selain itu, periode ini juga menunjukkan transisi ke-kohen-an (imamah) dari keturunan Yusuf as kepada suku Lewi melalui Harun as dan keturunannya.

Pengangkatan mereka ditandai dengan pengurapan (pensucian, pengudusan atau pentahiran) secara langsung oleh Tuhan terhadap Harun as dan keturunan mereka. Pada saat itu, Tuhan meme­rin­tahkan Musa as untuk mengumpulkan Harun as dan anak-anaknya agar dikenakan pakaian yang kudus sebagai tanda pensucian atas diri-diri mereka dan pertanda bahwa imamah Tuhan atas Israel dideklarasikan.

Kau kenakanlah pakaian yang kudus kepada Harun, kau urapi dan kau kuduskanlah dia supaya ia memegang jabatan imam bagi-Ku.
Maka semuanya itu haruslah kau kenakan kepada abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya, kemudian engkau harus mengurapi, mentahbiskan dan menguduskan mereka, se­hingga mereka dapat memegang jabatan imam bagi-Ku. (Keluaran 28: 41).

Urapilah mereka, seperti engkau mengurapi ayah mereka, supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku; dan ini terjadi, supaya berdasarkan pengurapan itu mereka meme­gang jabatan imam untuk selama-lamanya turun-temurun. (Keluaran 40: 15).

Setelah pengangkatan Harun as dan keturunannya sebagai imam bangsa Israel, suku Lewi juga diperintahkan oleh Tuhan untuk melayani Harun as dan keturunan mereka.

Suruhlah suku Lewi mendekat dan menghadap imam Harun, supaya mereka melayani dia. (Bilangan 3: 6).

Banyak keutamaan yang telah dikaruniakan Tuhan kepada suku Lewi, khususnya kepada Harun as beserta keturunannya. Di sini, kita tidak akan menguraikannya secara lengkap, tapi terhadap mereka, Tuhan telah memerintahkan agar para imam dan suku Lewi mem­peroleh persembahan persepuluhan (10%) dari harta atau pusaka yang dimiliki bangsa Israel.

Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan. (Bilangan 18: 21).

Selain keutamaan dalam hal pendapatan, wilayah mereka juga tidak ditentukan pada satu daerah tertentu. Setelah wilayah Kanaan dikuasai oleh Yoshua, wilayah itu dibagi berdasarkan masing-masing suku yang berjumlah 12, tapi terhadap suku Lewi, Tuhan tidak memberikan satu daerah khusus sebagai konsesi mereka se­perti yang diberikan kepada suku-suku lainnya. Wilayah suku Lewi justru tersebar di daerah masing-masing suku yang diatur ber­dasar­kan kotanya masing-masing.

Selain menetapkan Harun as dan keturunannya, Tuhan juga mengangkat imam untuk masing-masing suku Israel lainnya de­ngan Harun as dan keturunannya berperan sebagai imam tertinggi bangsa Israel.

Katakanlah kepada orang Israel dan suruhlah mereka mem­be­rikan kepadamu satu tongkat untuk setiap suku. Semua pemimpin mereka harus memberikannya, suku demi suku, seluruhnya dua belas tongkat. Lalu tuliskanlah nama setiap pemimpin pada tongkatnya. (Bilangan 17: 2).

Setelah Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pe­mimpin mereka memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut suku-suku mereka, dua belas tongkat, dan tongkat Harun ada di antara tongkat-tongkat itu. (Bilangan 17: 6).

Pada materi pengantar kali ini, tentu tidak bisa dijelaskan secara komprehensif mengenai makna imamah menurut al-Kitab dan hu­bungan-hubungannya, tapi perlu dipahami bahwa kata kohen juga identik dengan nasiy. Pada ayat Bilangan 17: 2 dan 6 di atas, kata pemimpin tidak disebut kohen, tapi nasiy. Kata nasiy berasal dari nasa’, artinya dalam bahasa Inggris: to lift up, to be lifted up, to exalt, to lift oneself up. Seluruh makna-makna itu menunjukkan kepada meninggikan derajat, penyanjungan dan terangkat. Kata nasiy juga berarti captain yang secara luar biasa berkorespondensi secara tepat dengan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Tuhan telah mengangkat 12 orang Naqib dari bangsa Israel!

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pe­mimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesung­guhnya jika kamu mendirikan salat dan me­nunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pin­jaman yang baik se­sung­guhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku masukkan ke dalam surga yang mengalir di da­lamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu se­sudah itu, sesung­guhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Maidah: 12).

Kesimpulan mengenai hubungan 2 kata itu bahwa walaupun para penerjemah Alkitab (khususnya di Indonesia) menggunakan kata imam untuk kohen dan nasiy untuk pemimpin, secara umum tidak salah, tapi sebenarnya kurang tepat. Kohen terkait dengan tugas untuk menjadi penerus para nabi. Seorang pengganti (kha­lifah) atau penerus dari seorang nabi selayaknya memiliki kuali­fikasi dan we­we­nang yang sama dengan yang diberikan kuasa akan hal itu. Dalam hal ini, kata kohen sebenarnya lebih tepat disebut dengan wali. Karena, wali untuk suatu umat dari seorang nabi, memang semes­tinya memiliki kualifikasi dan kekuasaan yang sama dengan sang nabi. Sedangkan kata nasiy adalah sebutan untuk ja­batan yang di­pegang oleh sang wali tersebut, yaitu: imam.

Pengangkatan para imam juga dilakukan pada periode-periode lanjutan dari para nabi (rasul) dan imam bangsa Israel setelah Musa as hingga periode Isa as. Dalam pemahaman yang lebih luas, kata “pemimpin” juga sering direfleksikan secara simbolis sebagai batu dalam arti “gembala”.

Maka sekarang, pilihlah dua belas orang dari suku-suku Israel, seorang dari tiap-tiap suku. (Yosua 3: 12).

Pilihlah dari bangsa itu dua belas orang, seorang dari tiap-tiap suku, dan perintahkanlah kepada mereka, demikian: Angkatlah dua belas batu dari sini, dari tengah-tengah sungai Yordan ini, dari tempat berjejak kaki para imam itu, bawalah semuanya itu ke seberang dan letakkanlah di tempat kamu akan bermalam nanti malam. (Yosua 4: 2-3).

Maka orang Israel itu melakukan seperti yang diperintahkan Yosua. Mereka mengangkat dua belas batu dari tengah-tengah sungai Yordan, seperti yang difirmankan Tuhan kepada Yosua, menurut jumlah suku Israel. Semuanya itu dibawa merekalah ke seberang, ke tempat bermalam, dan diletakkan di situ. (Yosua 4:8).

Kemudian Elia mengambil dua belas batu, menurut jumlah suku keturunan Yakub—Kepada Yakub ini telah datang firman Tuhan: “Engkau akan bernama Israel.” (1 Raja-raja 18: 31).

Lalu aku memilih dua belas orang pemuka imam. (Ezra 8: 24).

Murid-murid Isa as atau Hawariyyun juga berjumlah 12 orang.
Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, se­sung­guhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah meng­ikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk meng­hakimi kedua belas suku Israel. (Matius 19: 28)
Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil. (Markus 3: 14).

Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul. (Lukas 6: 13).

Nabi terakhir untuk umat manusia, Muhammad saw juga me­nya­takan bahwa akan ada 12 orang khalifah setelah dirinya, seba­gaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Bukhari di dalam Shahih-nya, pada awal kitab al-Ahkam, bab al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, ha­laman 144; dan di akhir kitab al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalan Shahih Muslim di­sebutkan di awal kitab al-Imarah, juz II, halaman 79. Hal itu juga disepakati oleh Ashhab ash-Shihhah dan Ashhab as-Sunan, bahwa­sanya diriwayatkan dari Rasulullah saw: “Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya Hari Kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 khalifah, semuanya dari Quraisy.”

Juga diriwayatkan dari Jabir bin Samrah, dia berkata: “Aku bersama ayah­ku datang menjumpai Rasulullah saw. Lalu aku mendengar beliau bersabda, ‘Urusan ini tidak akan tuntas sehingga datang kepada mereka 12 orang khalifah.’ Kemudian dengan suara pelan beliau mengatakan sesuatu kepada ayahku. Aku pun bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang telah beliau katakan wahai ayah?’ Ayahku men­jawab, ‘Bahwa mereka semua dari kalangan Quraisy.’”

Pengantar singkat ini tentu tidak bisa memberikan kita ruang untuk membahas secara mendalam mengenai sistem kepemimpinan para nabi dan rasul Tuhan melalui perspektif Alkitab dengan pan­duan cahaya Al-Qur’an. Akan tetapi, diharapkan dapat menggugah kesadaran dan intelektualisme terhadap wawasan ilmiah dan pe­ngetahuan “keislaman” yang ternyata masih banyak yang mesti ditelusuri lagi secara lebih seksama. Wallahu‘alam. Wa Sallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘Ala Alihi ath-Thayyibin ath-Thahirin.

Persamaan aspek kenabian Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW, dan PERSAMAAN SAHABAT Muhammad SAW dengan SAHABAT MUSA AS


Berikut saya jabarkan 9 persamaan aspek kenabian Nabi Musa dan nabi Muhammad SAW.

Aspek Kenabian Musa as
1 . Nabi, Rasul & Imam
2 . Membawa Kitab Taurat untuk Bangsa Israel.
3. Bermigrasi/Hijrah
4. Menghadap Tuhan untuk menerima perintah-Nya bagi bangsa Israel
5. Mengangkat Mantan Hamba Sahayanya menjadi Panglima Militer sebelum wafat- nya.
6. Mengangkat seorang anggota Keluarga-nya menjadi Penggantinya (Wasiy) dan sebagai Imam Pertama bagi umatnya
7. Mempunyai 12 orang Imam, dan salah satunya yang menjadi Imam Besar berasal dari keturunan Penggantinya
8. Penggantinya dan keturunannya di sucikan untuk menjadi Imam Besar Bangsa Israel
9. Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya.

Aspek kenabian Nabi Muhammad sebagai mesiah universal
1. Nabi, Rasul, Imam dan Tuan para Nabi & Rasul/Nabi Penutup
2. Membawa Kitab Baru dari Tuhan sebagai Perjanjian Baru untuk seluruh umat manusia
3. Bermigrasi/Hijrah
4. Menghadap Tuhan untuk menerima PerintahNya bagi seluruh umat manusia.
5. Mengangkat Mantan Hamba Sahayanya menjadi Panglima Militer sebelum wafat nya.
6. Mengangkat serang anggota keluarganya sebagai penggantinya dan sebagai imam pertama bagi umatnya
7. Mempunyai 12 orang Imam dari keturunan Penggantinya
8. Penggantinya dan keturunannya di sucikan untuk menjadi Imam Universal.
9. Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya.

Dikarenakan adanya perbedaan pandangan antara kedua golongan Islam (Sunni dan Syi’ah), maka umat Islam hanya sepakat bulat dalam pemenuhan Aspek ke-1 s/d ke-5 dari persamaan antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa as, yaitu:

Aspek-1 : Muhammad SAW adalah Nabi, Rasul, Imam dan Tuan para Nabi & Rasul/Nabi Penutup.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Al Ahzab [33] : 40).

Aspek-2 : Nabi Muhammad SAW membawa Al Qur’an yang bersisikan hukum/ perjanjian baru bagi seluruh umat Manusia.
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, (QS. Al Furqon [25] : 1)
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,….(QS. An Nahl [16]: 44).

Aspek-3 : Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah.
Hai Nabi, …………..…… yang turut hijrah bersama kamu ………… Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al Ahzab [33]: 50).

Aspek-4 : Nabi Muhammad SAW menghadap langsung Allah SWT di dalam peristiwa Isra Mi’raj.
Aspek-5 : Nabi Muhammad SAW beberapa saat menjelang kewafatannya mengangkat mantan hamba sahayanya yaitu “Zayd bin Haritzah” sebagai Panglima Pasukan, tetapi didalam pertempuran awal Zayd bin Haritzah gugur/syahid, kemudian didalam keadaan sakit yang semakin parah, Beliau SAW mengangkat Usamah bin Zayd (anak laki-2 Zayd bin Haritzah) yang masih berumur 18 tahun sebagai Panglima Pasukan menggantikan bapaknya yang mantan hamba sahaya Nabi Muhammad SAW.
Tindakan Nabi Muhammad SAW mengangkat Zayd bin Haritzah maupun Usamah bin Zayd mengundang tanda-tanya besar (kalau tidak bisa dikatakan sebagai protes halus) dikalangan para Sahabat Beliau SAW, karena masih banyak di antara para Sahabat yang berdasarkan kemampuan berperang berada jauh di atas kemampuan Zayd dan Usamah. Apalagi mengingat usia Usamah masih sangat muda untuk diangkat sebagai Panglima Pasukan.

Ke-engganan umat Islam untuk bergabung kedalam pasukan Usamah, sampai2 menyebabkan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan sakit yang semakin parah dan hanya beberapa hari saja menjelang Beliau SAW dipanggilan ke Rahmatullah, terpaksa keluar dari kamarnya dengan dipapah dan naik ke mimbar masjid untuk berpidato menegaskan kembali akan keputusan-nya mengangkat Usamah sebagai Panglima dan memerintahkan agar pasukan Usamah segera berangkat
.
Banyak sekali umat Islam, bahkan sampai masa kini, tidak memahami latar belakang keputusan Nabi Muhammad SAW untuk mengangkat Zayd bin Haritzah dan Usamah bin Zayd sebagai Panglima Pasukan Islam, sampai2 Beliau SAW dalam keadaan sakit yang semakin parah dan hanya beberapa hari saja menjelang kewafatannya, bersikap sangat gigih mempertahankan keputusannya itu.

Tetapi jika masalah ini dilihat dari sisi Nubuat Mesianistik, khususnya berkaitan dengan Aspek Ke-5 kesamaan dengan Nabi Musa as, maka sesungguhnya sangat jelas latar belakang keputusan Nabi Muhammad SAW di dalam mengangkat Zayd bin Haritzah dan Usamah bin Zayd, yaitu Nabi Muhammad SAW se-mata2 ingin menyatakan dan membuktikan bahwa Beliau adalah sama seperti Nabi Musa as, yang menjelang kewafatannya juga mengangkat mantan hamba sahayanya menjadi Panglima Pasukan, yaitu Yusya bin Nun (Yoshua bin Nun/Nabi Dzulkifli).

Aspek -6 :Mengangkat seorang anggota Keluarganya menjadi Penggantinya/ Penerusnya (Wasiy) dan sebagai Imam Pertama bagi umatnya.

Golongan Suni :
Sekalipun mengakui adanya hadisth Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : “Hai Ali !, Tidakkah kamu menyukai (kedudukanmu) dariku seperti kedudukan Harun as dari Musa?”

Namun hadist ini tidak dimaknai sebagai pengangkatan Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi SAW) menjadi Pengganti/Penerus (Wasiy) Nabi Muhammad SAW. Golongan Suni sama sekali tidak mengakui kedudukan Ali Bin Abi Thalib sebagai Wasiy Nabi SAW, bahkan menurut mereka Wasiy Nabi SAW adalah seseorang yang dipilih/diangkat atas kesepakatan umat, dan yang pertama adalah Abu Bakar yang dipilih/diangkat di Balai Pertemuan Bani Saidah di Saqifah. Dengan demikian secara tidak disadari mereka telah menolak kemesiahan universal Nabi Muhammad Saaw.

Golongan Syi’ah:
Hadisth Nabi Muhammad SAW yang berbunyi : “Hai Ali !, Tidakkah kamu menyukai (kedudukanmu) dariku seperti kedudukan Harun as dari Musa?”, dimaknai sebagai isyarat dari Nabi Muhammad SAW bahwa Ali bin Abi Thalib adalah merupakan Penerus/Pengganti (wasiy) Beliau SAW untuk memimpin umat sebagai Imam Pertama.

Isyarat hadist di atas kemudian diwujudkan oleh Nabi Muhammad SAW sepulangnya dari Haji Wada ditengah perjalanan menuju Madinah disuatu perempatan yang dinamakan Gadhir Khum, pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H, dihadapan 120.000 umat Islam, berupa pengangkatan resmi Ali bin Abi Thalib sebagai Penerus/Pengganti (Wasiy) Nabi SAW sebagai pemimpin umat (Imam) setelah Nabi SAW.

Peristiwa Ghadir Khum di riwayatkan oleh 110 perawi hadist dan dimuat oleh ratusan kitab hadist baik dari Golongan Suni maupun Golongan Syi’ah. Tetapi anehnya tidak termuat di dalam 6 Kitab Hadist (Kuttubus Sittah) yang diakui oleh Golongan Suni sebagai kitab2 hadist yang sahih dan boleh dijadikan pegangan. Padahal Hadist Gadhir Khum ini merupakan Hadist Sahih yang Muttawatir (artinya kebenaran-nya dianggap mutlak karena diriwayatkan oleh banyak jalur perawi yang dipercaya).

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-6 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena Beliau SAW tidak mengangkat anggota keluarganya sebagai Pemimpim/Imam umat Islam. Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-6 dari persamaan dengan Nabi Musa, dengan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai Wasiy Beliau SAW.

Bahwasanya Golongan Suni tidak mengakui pengangkatan Ali bin Abi Thalib tersebut, tidaklah menjadikan pengangkatan itu menjadi tidak ada. Karena bukti hadist dan sejarah tetap menunjukkan Nabi Muhammad SAW telah mengangkat salah seorang anggota keluarga-nya sebagai Penerus/Pengganti/Wasiy dan Imam Pertama bagi umatnya.

Aspek-7: Mempunyai 12 orang Imam dari keturunan Penggantinya
Golongan Suni :
Sekalipun mengakui adanya Hadisth tentang 12 Imam sebagai hadist yang sahih dan muttawatir, tetapi berpendapat bahwa pengangkatan ke-12 Imam ini adalah berdasarkan pemilihan/kesepakatan umat Islam.
Tetapi kemudian Golongan Suni mengalami kesulitan karena tidak bisa menyebutkan/menetapkan siapakah ke duabelas Imam itu, bahkan sampai ada yang nekat memasukkan yazid bin muawiyah sebagai salah satu dari 12 imam padahal ia termasuk orang yang zalim. Akhirnya Hadist 12 Imam ini tidak pernah lagi dimunculkan dalam syariat maupun aqidah Suni.

Golongan Syi’ah :
Sebaliknya Golongan Syi’ah mengakui adanya 12 Imam setelah Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat. Hanya saja berbeda dengan 12 Imam pada Nabi Musa as (Bani Israel) yang keberadaannya sekaligus 12 Imam (horizontal) pada setiap masa, maka 12 Imam pada Nabi Muhammad SAW adalah berurut kebawah (vertikal), sesuai dengan ruang-lingkup waktu misi Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal di akhir jaman.

Adapun ke 12 Imam menurut pandangan Syiah adalah :
1. Imam ‘Ali bin Abu Thalib as – Amirul mukminin Ash Shidiq Al Faruq
2. Imam Hasan as – Al Mujtaba
3. Imam Husein as – Sayyidu Syuhada
4. Imam ‘Ali bin Husein as – As Sajjad Zainal Abidin
5. Imam Muhammad bin ‘Ali as – Al Baqir
6. Imam Ja’far bin Muhammad as – Ash Shadiq
7. Imam Musa bin Ja’far as – Al Kadzim
8. Imam ‘Ali bin Musa as – Ar Ridha
9. Imam Muhammad bin ‘Ali as – Al Jawad At Taqi
10. Imam ‘Ali bin Muhammad as – Al Hadi At Taqi
11. Imam Hasan bin ‘Ali as – Az Zaki Al Askari
12. Imam Muhammad bin Hasan as – Al Mahdi Al Qoim Al hujjah Al Muntadzar Sohib Al Zaman Hujjatullah.

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-7 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena Beliau SAW tidak mempunyai 12 Pemimpim/Imam yang berasal dari keturunannya Penggantinya (Wasiy).

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-7 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena Beliau SAW mempunyai 12 Pemimpim/Imam yang berasal dari keturunannya Penggantinya (Wasiy), yaitu dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra Binti Muhammad SAW.

Aspek-8: Penggantinya dan keturunannya di sucikan untuk menjadi Imam Universal.
Golongan Suni :
Sekalipun mengakui bahwa bahwa ayat pada QS. Al Ahzab [33]: 33 adalah berkenaan dengan penyucian, tetapi yang disucikan adalah anggota keluarga (Ahlul Bayt) Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Nabi SAW sendiri, semua isteri Beliau, anaknya (Fatimah Az-Zahra), menantunya (Ali bin Abi Thalib) dan kedua cucunya (Hasan & Husein).
Dan penyucian tersebut se-mata2 bertujuan untuk menyucikan Ahlul Bayt Nabi SAW dari semua dosa, tidak ada tujuan lainnya.

Golongan Syi’ah :
Penyucian yang dimaksud pada QS. Al Ahzab [33]: 33 hanya berkena-an dengan anggota keluarga (Ahlul Bayt) Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Nabi SAW sendiri, anaknya (Fatimah Az-Zahra), menantu-nya (Ali bin Abi Thalib) dan kedua cucunya (Hasan & Husein). Sedang-kan isteri2 Nabi SAW tidak termasuk didalamnya. Asbabun Nuzul ayat ini diperkuat dengan Hadist Al Kisa yang diakui oleh seluruh umat Islam sebagai Hadist Muttawatir.

Mengapa isteri2 Nabi SAW tidak termasuk didalam “Ahlul Bayt” yang disucikan ?
Pertama, karena penyucian ini adalah dalam rangka persiapan anggota keluarga Nabi SAW untuk menduduki jabatan Imam bagi seluruh Umat Manusia (lihat : penyucian Nabi Harun as dan anak-2nya yang akan menjabat kedudukan Imam Besar umat Israel pada Tanakh/Injil Perjanjian Lama Kitab Keluaran 40: 12-15).

Kedua, adalah aneh jika isteri2 Nabi SAW yang ada pada saat QS. Al Ahzab [33]: 33 diturunkan di sucikan, tetapi isteri Nabi SAW yang paling utama dan merupakan salah satu dari 4 wanita utama umat manusia, yaitu Khadijah Al Kubra tidak ikut di sucikan, karena telah jauh sebelumnya wafat.
Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-8 persamaan dengan Nabi Musa, karena penyucian terhadap anggota keluarga Nabi SAW tidak ada kaitannya dengan pengangkatan Pemimpin/Imam.

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-6 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena penyucian anggota keluarga Nabi SAW adalah justru dalam rangka persiapan menjadi Imam bagi Penggantinya (Wasiy) yaitu Ali bin Abi Thalib beserta anak2nya.

Aspek-9: Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya
Golongan Suni :
Karena tidak mengakui pengangkatan Imam ‘Ali bin Abi Thalib sebagai Penerus/Pengganti Nabi Muhammad SAW dengan kedudukan Imam (pemimpin) bagi umat Islam, maka Golongan Suni berpandangan tidak ada perbuatan penghianatan terhadap kepemimpinan Penerus/-Pengganti Nabi Muhammad saw.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw adalah sah menurut golongan sunni karena didasarkan pada kesepakatan (musyawarah) umat Islam yang dilaksanakan di Saqifah, Balai Pertemuan Bani Saidah.

Golongan Syi’ah:
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam (pemimpin) umat Islam (setelah Nabi SAW) oleh Nabi Muhammad SAW sendiri di Gadhir Khum adalah merupakan ketetapan Nabi SAW yang wajib di taati. Jika kemudian segelintir umat Islam yang berkumpul di Balai Pertemuan Saqifah Bani Saidah, memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama setelah wafatnya Nabi SAW, maka perbuatan itu merupakan pembangkangan terhadap Ketetapan Nabi Muhammad SAW serta merupakan pengkhianatan terhadap Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat sebagai Pemimpin/Imam Umat Islam. (Lihat Peristiwa Penolakan Bani Israel terhadap Pengangkatan Nabi Harun as sebagai Pengganti/Penerus Nabi Musa as pada Kemah Pertemuan Bani Korah, pada halam 32 s/d 36 ).

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek ke-9 persamaan dengan Nabi Musa as, karena tidak ada perbuatan penghianatan terhadap Pemimpin/Imam, sebab memang Beliau SAW tidak pernah mengangkat anggota keluarganya (Ali bin Abi Thalib as) sebagai Pemimpin/Imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah justru sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad SAW telah memenuhi Aspek ke-9 dari persamaan dengan Nabi Musa, karena pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama di Saqifah Bani Saidah jelas merupakan tindakan penghianatan terhadap Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Pemimpin/Imam Umat Islam di Gadhir Khum pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H.

Perbedaan pandangan diantara Golongan Suni dan Golongan Syi’ah di atas, membawa implikasi terhadap pemenuhan kriteria Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal, khususnya dalam dalam kriteria “sama seperti Nabi Musa as” .

Apabila mengikuti pandangan Golongan Suni, maka tentunya akan sulit meyakinkan umat beragama lainnya tentang keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal, karena pandangan Golongan Suni menafikan (menolak) adanya kesamaan antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as, khususnya berkaitan dengan Aspek Kenabian Ke-6 s/d Ke-9
.
Sedangkan menurut pandangan Golongan Syi’ah, keseluruhan Aspek Kenabian (9 Aspek) pada Nabi Muhammad SAW adalah sesuai/sama seperti Nabi Musa as, sehingga menurut pandangan Golongan Syi’ah, tidak ada keraguan sedikitpun dan sepenuhnya dapat dibuktikan tentang keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal.

Adanya dua pandangan yang berbeda di antara umat Islam tentang pemenuhan persyaratan kesamaan 9 aspek kenabian antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as sebagaimana di uraikan di atas, sesungguhnya tidak membawa konsekwensi apapun terhadap keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal.

Sebagaimana dapat dimisalkan dengan 3 (tiga) orang buta yang berkumpul pada sebuah tanah lapang di siang hari. Ketiganya tidak bisa melihat matahari yang sedang bersinar terang. Tetapi ketidak mampuan mereka untuk melihat matahari, tidaklah berarti atau tidaklah mengakibatkan matahari tersebut menjadi tidak ada. Keberadaan Matahari tidak tergantung dari mampu atau tidak mampunya manusia melihatnya.
Demikian juga kebenaran dan keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal tidaklah tergantung pada pandangan golongan-2 umat Islam yang menafikan adanya unsur2/faktor2 persyaratan sebagai Mesiah Universal pada diri Nabi Muhammad SAW, sekalipun mereka itu merupakan golongan yang mayoritas dari umat Islam.

Dalam kontek inilah hendaknya dipahami firman Allah SWT berikut ini :
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al An’am [6]: 116).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.(QS. Al Maidah [5]: 57).

Sekalipun pandangan Golongan Suni seperti yang diuraikan di atas mengakibat-kan sebahagian aspek kenabian Nabi Muhammad SAW menjadi “tidak seperti Nabi Musa as”, yaitu aspek ke-6 s/d ke-9, namun hal ini bukan berarti Golongan Suni tidak mempercayai/meyakini bahwasanya Nabi Muhammad SAW adalah “Pembawa Rahmat bagi Alam Semesta” yang bermakna juga sebagai Mesiah Universal. Hanya saja keyakinan tersebut se-mata2 di dasarkan pada Al Qur’an, tanpa didukung pembuktian yang terukur dengan alat ukur yang telah ditentukan berdasarkan Nubuat2 Mesianistik, sehingga keyakinan termaksud tidak dapat dijadikan hujjah (argumentasi) untuk menyakinkan umat non-Islam (yang tidak mempercayai Al Qur’an) tentang aspek kenabian Nabi Muhammad SAW yang “sama seperti Nabi Musa as”.

Dilain pihak, pandangan Golongan Suni yang berkaitan dengan Nubuat Mesianistik ini justru menguntungkan umat agama lainnya, terutama Umat agama Yahudi. Mengapa ?
Aqidah agama Yahudi sepenuhnya bertumpu pada harapan kedatangan Sang Mesiah Universal yang akan mengangkat derajat bangsa Israel pada tingkat yang paling tinggi di antara semua bangsa yang ada di dunia. Tanpa adanya harapan ini, maka umat Yahudi akan tercerai-berai mengikuti agama-agama lainnya.
Apabila ternyata Sang Mesiah Universal (yang di-tunggu2) sudah datang dan derajat Bangsa Israel tidak terangkat sampai puncak yang paling tinggi di antara umat manusia, maka tentunya kenyataan itu akan menghapuskan harapan umat Yahudi, dan pada gilirannya akan menghancurkan sendi2 ke-imanan mereka akan kebenaran agama Yahudi.

Oleh karena itu selama harapan umat Yahudi belum terwujud, maka mereka akan dan harus menolak semua klaim atas kemunculan Mesiah Universal yang tidak sejalan dengan harapan2 mereka.
Sebenarnya para pemimpin agama Yahudi (Rabi2) sejak awal kelahiran Nabi Muhammad SAW telah mengetahui bahwa Beliau SAW merupakan Mesiah Universal yang ditunggu2 dan dikhabarkan di dalam Nubuat2 Mesianistik pada Kitab2 Suci terdahulu. Hal inilah yang dikatakan di dalam Al Qur’an :
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.(QS. Al Baqarah [2] : 146).

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. Al A’raf [7]: 157).

Keberadaan komunitas Yahudi di Semenanjung Arab (Madinah dan Khaibar) sebenarnya dilatar belakangi oleh pengetahuan mereka tentang kedatangan Mesiah Universal dari wilayah ini. Umat Yahudi memang me-nunggu2 kedatangan Sang Mesiah Universal tetapi bukan untuk mengikutinya, melainkan untuk menggagalkan baik kedatangan maupun misi Sang Mesiah Universal ini. Karena kedatangan Mesiah Universal dari tanah Arab yang bukan berasal dari keturunan Nabi Ishak as dan bukan pula dari garis keturunan Nabi Daud as (Suku Yehuda), akan membuka rahasia kepalsuan nubuat2 mesianistik yang mereka buat2 sendiri dan pada gilirannya akan memporak-porandakan sendi-2 aqidah dan keimanan agama Yahudi.

Sejarah Islam meriwayatkan hal-2 yang berkaitan dengan aktivitas umat Yahudi di Semenanjung Arab guna menggagalkan kedatangan dan misi Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal, di antaranya :
1. Dimasa kanak2 nya Nabi Muhammad SAW diriwayatkan adanya peringatan tentang usaha pembunuhan atas Nabi Muhammad SAW oleh orang2 Yahudi ;
2. Selama Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, sejak awal sampai akhir umat Yahudi baik secara terang2an maupun sembunyi2 (bekerja sama dengan kaum Musyrik Mekkah) senantiasa berupaya menggagalkan misi Nabi Muhammad SAW.
3. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Yahudi tetap berupaya merusak agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari dalam dengan cara membuat hadist2 palsu, yang dikenal sebagai “Hadist Israiliyat”, bekerjasama dengan beberapa unsur umat Islam (munafiqun).

Pandangan dikalangan mayoritas umat Islam sendiri yang secara langsung berakibat (se-olah2) aspek kenabian Nabi Muhammad SAW tidak sama seperti aspek kenabian Nabi Musa as, sangat sejalan dengan keinginan dan kepentingan umat Yahudi sejak awal, dengan demikian para pemimpin agama Yahudi dapat mengatakan kepada umatnya :
“Hai Bani Israel !!! Lihatlah mayoritas umat Islam sendiri tidak mengakui bahwa Nabi mereka “sama seperti Nabi Musa”, artinya Nabi mereka (Nabi Muhammad SAW) bukanlah Sang Mesiah Universal yang kita tunggu. Mesiah Universal dari keturunan Nabi Ishak dan Nabi Daud belum datang !”
Keselarasan antara pandangan Golongan Suni dengan keinginan/kepentingan umat Yahudi berkenaan dengan Ke-Mesiah-an Nabi Muhammad SAW, mungkin hanya kebetulan saja. Tetapi mungkin juga bukan hal yang kebetulan.

Bukankah Sejarah Islam juga meriwayatkan keberadaan figur Kaab Al-Akhbar, seorang ulama Yahudi yang kemudian masuk Islam dimasa pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW ? Kedekatan Kaab Al-Akhbar dengan beberapa tokoh puncak umat Islam di masa itu, yaitu Khalifah Umar bin Khattab ra, Khalifah Utsman bin Affan ra , serta Abu Hurairah ra (perawi hadist terbanyak dilingkungan Golongan Suni) juga banyak diriwayatkan di dalam kitab2 sejarah Islam.

Melihat kenyataan bahwa pandangan Golongan Suni yang sejalan dan selaras dengan keinginan/kepentingan agama/kaum Yahudi, bukankah cukup alasan untuk berspekulasi, bahwa Kaab Al-Akhbar mungkin telah berhasil memasukan pemikirannya kedalam pandangan Golongan Suni melalui hadist2 Israiliyatnya, seperti hadist di bawah ini :
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: “Dua orang bercaci maki, seorang dari kaum Muslim dan seorang dari Yahudi. Orang Muslim itu berkata: ……………………………………….., lalu Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian memilih aku atas Musa karena besok pada hari Qiyamat manusia pingsan dan akupun pingsan bersama mereka, Aku adalah orang yang mula pertama sadar, tiba-tiba Musa memegang pada satu segi Arasy, maka aku tidak tahu apakah ia termasuk orang yang pingsan dan sadar sebelum aku, atau ia termasuk orang yang dikecualikan Allah”.

Pada hadist yang diriwayat oleh Abu Hurairah ra (yang sangat erat hubungannya dengan Kaab Al Akhbar) di atas, menjelaskan bahwa Nabi Musa as dibangunkan Allah SWT lebih dahulu dahulu daripada Nabi Muhammad SAW di Hari Kiamat, halmana menunjukan bahwa kedudukan Nabi Musa as lebih utama dibandingkan dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW.


DUA SUMBER PERBEDAAN Mazhab Islam.

Kepemimpinan Penggantinya di khianati oleh sebagian umatnya.

Golongan Suni :
Karena tidak mengakui pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Penerus/Pengganti Nabi Muhammad SAW dengan kedudukan Imam (pemimpin) bagi umat Islam, maka Golongan Suni berpandangan tidak ada perbuatan penghianatan terhadap kepemimpinan Penerus/-Pengganti Nabi Muhammad saw.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw adalah sah karena didasarkan pada kesepakatan (musyawarah) umat Islam yang dilaksanakan di Saqifah, Balai Pertemuan Bani Saidah.

Golongan Syi’ah:
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam (pemimpin) umat Islam (setelah Nabi SAW) oleh Nabi Muhammad SAW sendiri di Gadhir Khum adalah merupakan ketetapan Nabi SAW yang wajib di taati. Jika kemudian segelintir umat Islam yang berkumpul di Balai Pertemuan Saqifah Bani Saidah, memilih Abu Bakar sebagai Khalifah pertama setelah wafatnya Nabi SAW, maka perbuatan itu merupakan pembangkangan terhadap Ketetapan Nabi Muhammad SAW serta merupakan pengkhianatan terhadap Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat sebagai Pemimpin/Imam Umat Islam.
(Lihat Peristiwa Penolakan Bani Israel terhadap Pengangkatan Nabi Harun as sebagai Pengganti/Penerus Nabi Musa as pada Kemah Pertemuan Bani Korah).

Dengan demikian jika berpegang pada pandangan Golongan Suni, maka Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi Aspek  persamaan dengan Nabi Musa as, karena tidak ada perbuatan penghianatan terhadap Pemimpin/Imam, sebab memang Beliau SAW tidak pernah mengangkat anggota keluarganya (Ali bin Abi Thalib as) sebagai Pemimpin/Imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Kendati tak henti-hentinya Nabi saw. menasihati para sahabat dan umat Islam akan besarnya hak Ahlulbait as. atas mereka… kendati pesan demi pesan telah beliau sampaikan agar umat bersikap baik, mendukung, membela dan menerima kepemimpinan Ahlulbait as., namun pesan-pesan dan wasiat-wasiat Nabi saw  itu sepertinya tidak mendapat sambutan semestinya.

mereka makin memebenci Imam Ali dan Ahlulbait Nabi saw., sampai-sampai seakan, andai Nabi saw. memerintahkan mereka untuk membencinya.


Memahami Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal.
Ketidakpahaman mayoritas umat Islam (Golongan Suni) terhadap kedudukan dan fungsi Nabi Muhammad SAW selaku Mesiah Universal/Juru Selamat Umat Manusia/Pembawa Rahmat bagi Alam Semesta, yang berpangkal pada penolakan persamaan aspek kenabian ke-6 s/d ke-6 antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as, kemudian mempengaruhi pandangan mayoritas umat Islam terhadap sosok dan kepribadian Nabi Muhammad SAW, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi aqidah dan syariat ke-Islam-an mereka.

Sebagai konsekwensinya, maka selama mayoritas umat Islam belum mampu memahami kedudukkan dan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal, maka selama itu pula mayoritas umat Islam tidak akan mampu memahami ajaran agamanya secara utuh.

Sebagai Rahmatan lil Alamin, Nabi Muhammad SAW tidaklah sama seperti semua manusia lainnya yang pernah di ciptakan Allah SWT, Beliau SAW adalah se-mulia2-nya manusia yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Sehubungan dengan ini Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
QS. Al Ahzab [33]: 56.

Tidak ada satupun manusia sejak Nabi Adam as sampai Hari Kiamat nanti yang memperoleh kehormatan dari Allah SWT sedemikian tingginya kecuali terhadap Nabi Muhammad SAW. Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk mendirikan shalat, melaksanakan puasa, berzakat, beramal-soleh dan sebagainya, tetapi tentunya Allah SWT sendiri tidaklah melakukan/mengerjakan apa2 yang diperintahkanNya kepada umat manusia itu.

Namun berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW, sebelum Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk memberikan salam penghormatan (ber-shalawat) kepada Beliau SAW, Allah SWT sendiri beserta seluruh Malaikat telah terlebih dahulu dan terus senantiasa memberikan salam penghormatan (ber-shalawat) kepada Nabi Muhammad SAW.

Apakah Nabi SAW “maksum”?
Jikalau Para Imam Bani Israel dari keturunan Nabi Harun as dan para Imam dari ke-12 Suku Bani Israel saja disucikan oleh Allah SWT, yang artinya “maksum” yaitu setiap saat dicegah dari perbuatan melakukan kesalahan/dosa. Maka tentunya Nabi Muhammad SAW dan Para Imam Penerus (Wasiy) Beliau SAW yang berlingkup untuk seluruh umat manusia (Universal) lebih dapat dipastikan “ke-maksuman-nya”, sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam QS. Al Ahzab [33] : 33.

Sementara ini kalangan mayoritas umat Islam mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW hanya “maksum” pada saat menerima dan memberitakan wahyu Al Qur’an, sedangkan diluar itu Beliau SAW adalah seperti manusia biasa lainnya, yang dapat berbuat salah dan dosa. Sebagai akibat pemahaman ini sering kali terdengar ucapan di antara umat Islam: “Ah tidak apa2 koq berbuat salah, karena Nabi Muhammad SAW juga acapkali berbuat salah, Beliau kan hanya manusia biasa seperti kita”.

Jika benar Nabi Muhammad SAW bisa berbuat salah dan dosa (diluar saat menerima dan memberitakan wahyu Al Qur’an), maka bagaimana mungkin umat Islam diwajibkan berpegang pada Sunnah Beliau SAW? Bukankah dengan demikian di antara sunah2 Nabi SAW itu terbuka kemungkinan mencakup pula perkataan atau perbuatan Beliau SAW yang salah dan mengandung dosa? Dan jika Nabi Muhammad SAW adalah seperti manusia biasa yang bisa berbuat salah dan dosa, bagaimana mungkin Allah SWT justru memerintahkan seluruh umat manusia sampai Hari Kiamat untuk menjadikan Beliau SAW sebagai suri tauladan yang baik, sebagaimana firman Allah SWT :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al Ahzab [33] : 21).

Ucapan di atas sungguh2 merendahkan derajat dan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Rahmatan lil Alamin (Mesiah Universal), bagaimana mungkin kedudukan Nabi Muhammad SAW ditempatkan di bawah Para Imam Bani Israel yang dijamin Allah SWT tidak akan melakukan kesalahan/dosa karena mereka telah di sucikan (maksum).

Padahal dilain pihak mayoritas umat Islam mengakui adanya Hadist yang berbunyi: “Ulama2 dari umatku kedudukannya lebih tinggi dari nabi2 Bani Israel”. Para Imam Bani Israel itu kedudukannya lebih rendah dari nabi2 Bani Israel, dan Nabi Muhammad SAW ditempatkan dibawah para Imam Bani Israel, tetapi dilain pihak ulama2 umat Islam berada di atas nabi2 Bani Israel. Jadinya kedudukan Nabi Muhammad SAW berada jauh dibawah ulama2 umatnya sendiri ?

Cara berpikir mayoritas umat Islam yang kontradiktif di atas se-mata2 dikarenakan ketidakpahaman mereka terhadap kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Mesiah Universal, Juru Selamat dan Pembawa Rahmat bagi seluruh umat Manusia. (Rahmatan lil Alamin).

Nabi SAW “bermuka masam” ??
Perendahan/pelecehan kedudukan Nabi Muhammad SAW oleh mayoritas umat Islam tidak saja terjadi pada tingkatan pembicaraan2 ringan se-hari2, melainkan lebih jauh lagi, yaitu dalam menafsirkan ayat2 Al Qur’an menisbahkan (melekatkan) hal2 yang tercela kepada Beliau SAW, seperti terjadi pada penafsiran yang umum atas Surat Abasa [80] : 1-2, yang merupakan Surat Makkiyah Ke-24 :
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya,
Padahal pada Surat Al Qalam [68] : 4, yang merupakan Surat Makkiyah Ke-2, Allah SWT berfirman :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Bagaimana mungkin dapat dipahami oleh akal yang sehat bahwa Nabi Muhammad SAW yang Allah SWT sendiri telah mengatakan “berbudi pekerti yang agung”, malah bermuka masam dan berpaling ketika seorang pengikutnya yang saleh lagi buta menemuinya (Abdullah bin Ummi Maktum).

Disamping itu wahyu Al Qur’an itu diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, halmana artinya komunikasi yang terjadi adalah antara Allah SAW (melalui Malaikat Jibril as) dan Nabi Muhammad SAW.

Dalam komunikasi dua pihak, maka tentunya kata ganti orang yang digunakan adalah kata ganti orang kedua (kamu, engkau dsb), bukan kata ganti orang ketiga (dia, mereka), karena kata orang ketiga mengandung arti yang bersangkutan tidak termasuk didalam komunikasi dua pihak.

Karena QS. Abasa [80]: 1 ditafsirkan : “Dia (Muhammad)….”, maka berarti Nabi Muhammad SAW merupakan orang ketiga yang tidak termasuk di dalam komunikasi antara Allah SWT dengan orang yang menerima wahyu Al Qur’an termaksud. Jadi kepada siapakah wahyu Surat Abasa ini diturunkan ? Atau berarti juga wahyu Al Qur’an ditafsirkan tidak saja turun kepada Nabi Muhammad SAW tetapi juga ada orang lain?

Nabi SAW “kena sihir” ??
Kalangan mayoritas umat Islam mempercayai bahwa di Madinah Nabi Muhammad SAW terkena sihir yang dilakukan orang orang Yahudi, sehingga selama 3 hari Beliau SAW menjadi “linglung”, berdasarkan hadist yang di riwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra dan dimuat pada Kitab Sahih Bukhari.
Hadist ini jelas Dhaif (palsu), karena :
1. Jika benar Nabi SAW terkena sihir, maka benarlah tuduhkan kaum kaum musyrik yang mengatakan Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang yang kena sihir, sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an :
Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata: “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir”.(QS. Al Isra [17]: 47).
atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil) nya?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.”
(QS. Al Furqon [25]: 8).

2. Sihir adalah perbuatan syaitan, dan syaitan tidak bisa menggangu orang2 yang mukhlas, sedangkan Nabi Muhammad SAW pastilah lebih lagi dari sekedar orang yang mukhlas.
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia ……….(QS. Al Baqarah [2]: 102).

Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.(QS. Shaad [38]: 82-83).

Hadist Dhaif tentang Nabi Muhammad SAW terkena sihir yang diriwayatkan oleh Aisyah ra (Kitab Sahih Bukhari) ini kemudian diperkuat lagi dengan hadist2 lainnya (seperti pada Kitab Hadist Al Baihaqi), yang meriwayatkan ketika Nabi SAW terkena sihir inilah Allah SWT menurunkan Surat Al Falaq dan Surat An Nas (Surat Al Mu’awwidzatain), padahal kedua surat tersebut turun di Mekkah sebagai Surat Makkiyah Ke-20 dan Ke-22, sedangkan menurut riwayat hadistnya Nabi SAW terkena sihir ketika di Madinah.
Ketiga contoh di atas tentang rendahnya pandangan dan penghargaan mayoritas Umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW, hanya sekedar mewakili dari banyak lagi contoh2 lainnya yang sejenis, dimana jika dijelaskan satu persatu, niscaya dapat disusun ke dalam sebuah buku tebal tersendiri.

Pandangan dan penghargaan mayoritas umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW sebagaimana digambarkan di atas jelas sekali bertentangan dengan kedudukan dan fungsi Beliau SAW sebagai Mesiah Universal/Juru Selamat dan Pembawa Rahmat bagi umat manusia serta seluruh alam semesta.

Dengan keadaan seperti ini bagaimana mungkin umat Islam mampu menyakinkan umat agama lainnya tentang kebenaran ajaran Agama Islam, karena syarat utama kebenaran ajaran agama samawi di akhir jaman adalah bahwa Nabi Pembawa Risalahnya haruslah memenuhi persyaratan sebagai Sang Mesiah Universal.
Dan sebaliknya, rendahnya penghargaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW, justru dapat dijadikan senjata oleh umat agama lainnya, dimana mereka akan mengatakan, “lihat ! umat Islam sendiri mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai banyak kelemahan seperti layaknya manusia biasa, jadi mana mungkin Nabi Muhammad SAW bisa di akui sebagai Sang Mesiah Universal”.

Kesimpulan/Penutup:
1. Ditinjau dari aspek ajarannya, maka pada hakekatnya semua agama samawi mengandung ajaran yang sama, baik pada segi Tauhid maupun Aqidahnya, yang berbeda adalah pada segi syariatnya saja, karena disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktunya.

Semua agama samawi mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan itu adalah Maha Pencipta Alam Semesta berserta Isinya, sembahlah Tuhan Yang Esa jangan menduakanNya, berlombalah berbuat kebaikan dan janganlah berbuatan kejahatan. Perbedaannya hanyalah berkaitan dengan muatan materi ajarannya yang disesuaikan dengan kemampuan umat manusia pada kurun waktunya untuk memahami ajaran agama yang bersangkutan.

Mungkin tahapan perkembangan muatan materi ajaran agama2 samawi ini dapat di ibaratkan seperti pelajaran pada jenjang pendidikan formal yang ada.
Ajaran agama (pesan Ilahiyah) yang dibawakan oleh Nabi Nuh as sampai Nabi Saleh as (Kaum Tsamud), dapat di umpamakan seperti pelajaran bagi tingkat Taman Kanak2 dan Sekolah Dasar.
Ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as sampai Nabi Yunus as, dapat di umpamakan seperti pelajaran bagi tingkat Sekolah Dasar. Kemudian ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi Musa as sampai Nabi Zakaria as & Nabi Yahya as, dapat di umpamakan seperti pelajaran bagi tingkat Sekolah Lanjutan Pertama. Sedangkan ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi Isa as diumpamakan seperti pelajaran bagi Sekolah Lanjutan Atas, dan sekaligus mempersiapkan Bani Israel untuk memasuki jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi. Akhirnya, ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk tingkatan pendidikan yang terakhir, yaitu tingkat Perguruan Tinggi sampai mencapai gelar akademis yang tertinggi, yaitu Tingkat S-3. Seluruh ajaran agama yang dibawa sejak Nabi Adam as sampai ke Nabi Muhammad SAW merupakan satu paket pelajaran pendidikan formal yang terpadu, selaras dan sejalan sesuai dengan tingkatannya, dan paket ajaran ini namanya “Islam”.

2. Agama-2 Samawi pada hakekatnya bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek ajaran (aqidah dan syariat) dan aspek sosok/figur Pembawa Risalah Agama yang bersangkutan (Nabi/Rasul) berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Juru Selamat/Pembawa Rahmat bagi Kaum tertentu atau bagi seluruh Umat Manusia (Mesiah Universal). Kedua aspek agama samawi ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka memperoleh pemahaman yang seutuhnya atas masing2 agama samawi yang bersangkutan.
Oleh karena itu ajaran Agama Yahudi tidaklah mungkin dapat dipahami secara utuh tanpa memahami kedudukan dan fungsi Nabi Musa as, Pembawa Risalah Agama Yahudi dengan Kitab Tauratnya (dan juga Nabi Daud as dengan Kitab Zaburnya) sebagai Juru Selamat Bani Israel (Mesiah Bani Israel).

Demikian juga, Agama Nasrani/Kristen tidaklah mungkin dapat dipahami secara utuh tanpa memahami kedudukan dan fungsi Nabi Isa as (Yesus), Pembawa Risalah Agama Nasrani dengan Kitab Injilnya, sebagai Nabi Terakhir/Penutup Bani Israel dan sekaligus Juru Selamat Bani Israel, yang dikirim oleh Allah SWT guna memberikan peringatan kepada Bani Israel atas penyelewengan2 yang telah mereka dilakukan dan sekaligus mempersiapkan Bani Israel untuk menyongsong kehadiran Sang Juru Selamat/Pembawa Rahmat bagi seluruh umat manusia (Sang Mesiah Universal).

Dan terlebih lagi tentunya dengan Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia. Ajaran Agama Islam mutlak hanya mungkin dipahami secara utuh dan benar dengan bertitik pangkal pada pemahaman tentang kedudukan dan fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai Juru Selamat/Pembawa Rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta (Rahmatan lil Alamin), yaitu sebagai Sang Mesiah Universal.

3. Kehadiran Mesiah Universal yang dijanjikan menjadi “Thema Sentral” agama2 samawi, dimana hampir semua Nabi yang di utus oleh Allah SWT memberitakan tentang ciri2 dari Sang Mesiah Universal tersebut. Berita2 atau Riwayat2 tentang Mesiah yang terdapat pada Kitab2 Suci Agama Samawi disebut pula sebagai “Nubuat Mesianistik”.
Adapun ciri utama Sang Mesiah Universal menurut Nubuat Mesianistik yang diakui oleh semua agama samawi adalah:
1). Sang Mesiah Universal berasal dari keturunan anaknya Nabi Ibrahim as yang dikorbankan,
2). Sang Mesiah Universal itu memiliki kesamaan dalam aspek kenabian dengan Nabi Musa as.

4. Di dalam perkembangan sejarahnya agama2 samawi ternyata tidak dapat bebaskan dirinya dari pengaruh2 kepentingan umatnya untuk mengaku/-mengklaim bahwa masing2 agama merupakan satu2nya agama yang benar dan Nabi Pembawa Risalah Agamnya adalah Sang Mesiah Universal yang ditunggu oleh segenap penganut agama samawi.

Untuk memperkuat klaim tersebut tidak segan2 pula para pemuka agama samawi, dalam hal ini Agama Yahudi, merubah bagian2 tertentu dari Kitab Suci Taurat (Tanakh), agar ciri2 Sang Mesiah Universal sesuai dan sejalan dengan apa yang mereka kehendaki.

Akhirnya, dapat kiranya disimpulkan bahwa perbedaan agama yang ada diantara agama2 samawi adalah bersumber dari persoalan siapakah anak Nabi Ibrahim yang dikorban itu, Ismail-kah atau Ishak-kah dan persoalan Nabi siapakah yang memiliki kesamaan dalam aspek kenabiannya dengan Nabi Musa as.
Kedua persoalan yang nampaknya sangat simpel, tetapi tidak mampu diselesaikan oleh umat manusia.
Dan kedua persoalan ini semata-mata membuktikan betapa benarnya firman Allah SWT,
…………..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,(QS. Al Maidah [5]: 48).

Dari ayat QS. Al Maidah [5]: 48 di atas sebenarnya sangat terang dan jelas, dimana melalui ayat tersebut Allah SWT menyatakan sesungguhnya sangat mudah bagi Allah SWT untuk menjadikan umat manusia seluruhnya sepakat terhadap siapakah yang sebenarnya Mesiah Universal itu (‘pemberian-Nya”), tetapi Allah SWT justru menjadikan “pemberian-Nya kepadamu” yaitu Sang Mesiah Universal untuk seluruh umat manusia itu sebagai ujian bagi umat manusia apakah mampu mengenali dan mengimani Sang Mesiah Universal itu.

Tetapi pada akhirnya, ketika umat manusia kembali kepada Allah SWT, maka Dia akan memberitahukan siapakah yang sebenarnya Sang Mesiah Universal itu, yang selalu diperselisihkan oleh umat manusia.
Sebagaimana layaknya suatu ujian, maka pemberitahuan Allah SWT tentang siapakah sebenarnya Sang Mesiah Universal adalah juga merupakan jawaban yang berfungsi untuk menilai keberhasilan ujian termaksud.

Bilamana selama hidup di dunia ternyata seseorang telah mengenali dan mengimani Mesiah Universal yang salah, maka artinya yang bersangkutan tidak berhasil lulus dari ujian Allah SWT, dan sebagai akibatnya yang bersangkutan tidak akan memperoleh keselamatan dan keberkatan pada kehidupan di dunia dan di akherat.
Tetapi sebaliknya, jika selama hidup di dunia ternyata seseorang telah mengenali dan mengimani Mesiah Universal yang benar, maka artinya yang bersangkutan berhasil lulus dari ujian Allah SWT, dan sebagai ganjarannya yang bersangkutan akan memperoleh keselamatan dan keberkatan pada kehidupan di dunia dan di akherat.

Orang nasrani kemudian menganggap Nabi Isa as sebagai juru selamatnya dan menganggap Nabi Muhammad Saw sbg mesiah dan Nabi palsu. Tapi setelah diselidiki Nabi Isa as tidak memiliki ciri kesamaan apapun dgn Nabi Musa as.

Bukankah di Al-Quran dikatakan bahwa nama Nabi Muhammad tertulis di alkitab? Coba anda cari ga bakalan ada, dan itulah senjata nasrani. Tapi setelah di cek dalam alkitab bahasa Ibrani, ternyata ditemukan, tapi bukan dgn nama “Ahmad” namun dgn tulisan “HMD” atau “Hamda” yang artinya adalah terpuji. Tapi “Hamda” juga bisa berarti “barang yang indah”, bah terjemahan kedualah yang diambil dan dijadikan patokan alkitab, namun itulah kelemahan kita karena tidak ada bukti lain.

Oleh ahli sejarah kemudian ditelusuri kembali, dan ditemukan bahwa ciri2 yang sama seperti musa as ternyata ada pada diri nabi muhammad saw. dan umat nasrani ga berkutik ketika disodorkan bukti terebut.
Ingat bung, bukti2 di atas lah yang disembunyikan oleh bangsa israil pada masa kenabian Nabi Muhammad Saw, karena bukti itulah mereka hendak membunuh Nabi Muhammad Saw.

Tentu anda tahu hadits 12 imam, 12 khalifah, Hadits kedudukan Imam ‘Ali dalam kitab2 sunni, sekarang saya tanya siapa saja 12 imam/khalifah versi sunni?
Apabila mengikuti pandangan Golongan Suni, maka tentunya akan sulit meyakinkan umat beragama lainnya tentang keabsahan Nabi Muhammad SAW sebagai Sang Mesiah Universal, karena pandangan Golongan Suni menafikan (menolak) adanya kesamaan antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Musa as, khususnya berkaitan dengan Aspek Kenabian Ke-6 s/d Ke-9.


PERSAMAAN SAHABAT NABI SAW DAN SAHABAT MUSA AS.

Jika sesetengah (bukannya semua) sahabat Nabi Muhammad Saw diterangkan oleh al-Quran sebagai orang yang lari dari medan perang (Uhud dan Hunain), munafik, meninggalkan Nabi ketika khutbah Jumaat dan sebagainya, maka bagaimanakah pula sikap sahabat/kaum Nabi Musa as.? Al-Quran dalam Surah al-Maidah ayat 20-26 menjelaskan sikap mereka seperti berikut:
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka (setelah kamu diperhamba oleh Firaun dan orang-orangnya), dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”.QS. al-Mai’dah (5) : 20. 
Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina- Baitul Muqaddis) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. QS. al-Mai’dah (5) : 21. 
Mereka berkata: “Wahai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.”     QS. al-Mai’dah (5) : 22. 
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. QS. al-Mai’dah (5) : 23.
Mereka berkata: “Wahai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu (berperang) bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. QS. al-Mai’dah (5) : 24. 
Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku (Nabi Harun). Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”.
QS. al-Mai’dah (5) : 25. 
Allah berfirman: ” (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” QS. al-Mai’dah (5) : 26.
Kesimpulannya:
1. Sebagian sahabat Nabi Musa (Bani Israil) telah ingkar dengan arahan Nabi Musa supaya memasuki tanah suci Palestin kerana takut berperang.
2. Mereka yang ingkar itu mengarahkan Nabi Musa agar berperang bersama Tuhan  manakala mereka hanya menunggu sahaja.
3. Mereka disifatkan sebagai sahabat/kaum yang fasiq oleh al-Quran.
4. Akibat ingkar dengan arahan Nabi Musa mereka disesatkan oleh Allah swt selama 40 tahun di tengah padang pasir Tiih (sekarang terletak di wilayah Mesir).
Justeru itu, sebagian sahabat Nabi Musa yang ingkar dengan arahannya bukanlah sahabat yang layak dijadikan contoh dan mereka bukanlah sahabat yang adil.
Kini Umat Mengkhianati Sang Imam as.!

Pengkhiatan itu begitu menyakitkan…. Karena ia akan membawa kesengsaraan dunia akhirat …. Pengkhianatan yang akan menghalangi sang Imam meberikan bimbingan keselamatan dan menghindarkan mereka dari kebinasaan… Karenanya, Imam Ali as. berulang kali mengatakan:

إنّه ممّا عهد إليّ النبي (صلى الله عليه وآله وسلم) أنّ الاُمّة ستغدر بي بعده

“Termasuk yang dijanjikan Nabi kepadaku bahwa umat akan mengkhianatiku sepeninggal beliau.”

Sumber Hadis:
Hadis ini telah diriwayatkan dan dishahihkan al Hakim dan adz Dzahabi. Ia berkata:

صحيح الاسناد

“Hadis ini sahih sanadnya.”

Adz Dzahabi pun menshahihkannya. Ia berkata:

صحيح

“Hadis ini shahih.” [1]

Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al Bazzâr, ad Dâruquthni, al Khathib al Baghdâdi, al Baihaqi dkk.

Nabi saw. Mengabarkan Bahwa Umat Akan Menuangkan Kedengkian Mereka Kepada Imam Ali as.

Pengkhianatan itu akan mereka tuangkan dalam bentuk dendam kusumat terlaknat ke atas Imam Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw. sepeninggal beliau.

Demikianlah, mereka yang memendam dendam kusumat dan kebencian kepada Nabi saw. akan menuangkannya kepada Imam Ali as., dan puncaknya akan mereka lakukan sepeninggal Nabi saw.
Kenyataan itu telah diberitakan Nabi saw. kepada Ali as. Para ulama meriwayatkan banyak hadis tentangnya, di antaranya adalah hadis di bawah ini:
Imam Ali as. berkata:

بينا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) آخذ بيدي ونحن نمشي في بعض سكك المدينة، إذ أتينا على حديقة، فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! فقال: إنّ لك في الجنّة أحسن منها، ثمّ مررنا بأُخرى فقلت: يا رسول الله ما أحسنها من حديقة ! قال: لك في الجنّة أحسن منها، حتّى مررنا بسبع حدائق، كلّ ذلك أقول ما أحسنها ويقول: لك في الجنّة أحسن منها، فلمّا خلا لي الطريق اعتنقني ثمّ أجهش باكياً، قلت: يا رسول الله ما يبكيك ؟ قال: ضغائن في صدور أقوام لا يبدونها لك إلاّ من بعدي، قال: قلت يا رسول الله في سلامة من ديني ؟ قال: في سلامة من دينك

“Ketika Rasulullah saw. memegang tanganku, ketika itu kami sedang berjalan-jalan di sebagian kampong kota Madinah, kami mendatangi sebuah kebun, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah alangkah indahnya kebun ini!’ Maka beliau bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Kemudian kami melewati tujuh kebun, dan setiap kali aku mengatakannya, ‘Alangkah indahnya’ dan nabi pun bersabda, ‘Untukmu di surga lebih indah darinya.’ Maka ketika kami berda di tempat yang sepi, Nabi saw. memelukku dan sepontan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rrasulullah, gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis?’ Beliau menjawab, ‘Kedengkian-kedengkian yang ada di dada-dada sebagian kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.’ Aku berkata, ‘Apakah dalam keselamatan dalam agamaku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Dalam keselamatan agamamu.’”
Sumber Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, al Bazzâr dengan sanad shahih, al Hakim dan adz Dzahabi dan mereka menshahihkannya,[2] Ibnu Hibbân dkk. [3]

Ia juga disebutkan oleh asy Syablanji dalam kitab Nûr al Abshârnya:88
Jadi jelaslah bagi kita apa yang sedang dialami oleh Imam Ali as. dari sebagian umat ini!

Imam Ali as. Mengeluhkan Pengkhianat Sahabat Dari Suku Quraisy dan Para Pendukungnya
Dalam banyak pernyataannya, Imam Ali as. mengeluhkan kedengkian, kejahatan dan pengkhianatan tokoh-tokoh suku Quraisy terhadap Nabi saw. yang kemudian, ketika mereka tidak mendapatkan jalan untuk meluapkannya kepada beliau saw., mereka meluapkan dendanm kusumat kekafiran dan kemunafikan kepadanya as.

Di bawah ini akan saya sebutkan sebuah kutipan pernyataan beliau as. tersebut.

اللهمّ إنّي أستعديك على قريش، فإنّهم أضمروا لرسولك (صلى الله عليه وآله وسلم) ضروباً من الشر والغدر، فعجزوا عنها، وحُلت بينهم وبينها، فكانت الوجبة بي والدائرة عليّ، اللهمّ احفظ حسناًوحسيناً، ولا تمكّن فجرة قريش منهما ما دمت حيّاً، فإذا توفّيتني فأنت الرقيب عليهم وأنت على كلّ شيء شهيد

“Ya Allah, aku memohon dari Mu agar melawan Quraisy, karena mereka telah memendam bermacam sikpa jahat dan pengkhianatan kepada Rasul-Mu saw., lalu mereka lemah dari meluapkannya, dan Engkau menghalang-halangi mereka darinya, maka dicicipkannya kepadaku dan dialamatkannya ke atasku. Ya Allah peliharalah Hasan dan Husain, jangan Engkau beri kesempatan orang-orang durjana dari Quraisy itu membinasakan keduanya selagi aku masih hidup. Dan jika Engkau telah wafatkan aku, maka Engkau-lah yang mengontrol mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.”[4]

Coba Anda perhatikan pernyataan Imam Ali as. di atas, bagaimana dendam dan pengkhianatan Quraisy terhadap Nabi saw. akan mereka luapkan kepadanya! Dan di dalamnya juga terdapat penegasan bahwa mereka tidak segan-segan akan menghabisi nyawa bocah-bocah mungil kesayangan Rasulullah saw.; Hasan dan Husain as. yang akan meneruskan garis keturunan kebanian sebagai melampiasan dendam mereka kepada Nabi saw.!

Dalam salah sebuah pidatonya yang lain, Imam Ali as. mempertegas hal tersebut, beliau berkata:

وقال قائل: إنّك يا ابن أبي طالب على هذا الامر لحريص، فقلت: بل أنتم ـ والله ـ أحرص وأبعد، وأنا أخص وأقرب، وإنّما طلبت حقّاً لي وأنتم تحولون بيني وبينه، وتضربون وجهي دونه، فلما قرّعته بالحجة في الملا الحاضرين هبّ كأنه بهت لا يدري ما يجيبني به.

اللهم إني استعديك على قريش ومن أعانهم، فانهم قطعوا رحمي، وصغّروا عظيم منزلتي، وأجمعوا على منازعتي أمراً هو لي، ثم قالوا: ألا إنَّ في الحق أنْ تأخذه وفي الحق أن تتركه .

“Ada seorang berkata, ‘Hai putra Abu, Sesungguhnya engkau rakus terhadap urusan (Kekhalifahan) ini!’ Maka aku berkata, “Demi Allah, kalian-lah yang lebih rakus dan lebih jauh, adapun aku lebih khusus dan lebih dekat. Aku hanya meminta hakku, sedangkan kalian menghalang-halangiku darinya, dan menutup wajahku darinya. Dan ketika aku bungkam dia dengan bukti di hadapan halayak ramai yang hadir, ia terdiam, tidak mengerti apa yang harus ia katakan untuk membantahku.

Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu atas Quraisy dan sesiapa yang membela mereka, karena sesungguhnya mereka telah memutus tali kekerabatanku, menghinakan keagungan kedudukanku dan bersepakat merampas sesuatu yang menjadi hakku. Mereka berkata, ‘Ketahuilah bahwa adalah hak kamu untuk menuntut dan hak kamu pula untuk dibiarkan.”[5]

Coba Anda perhatikan pengkhianatan apa yang mereka lakukan… ketika Imam Ali as. berusaha mengambil kembali hak beliau yang mereka rampas, jusretu mereka menuduhnya rakus dan gila kekuasaan… sementara mereka yang merampas haknya merasa benar dan menjalanlan apa yang seharusnya mereka lakukan! Karenanya, kemudian beliau membungkam mulut khianat mereka dengan hujjah yang tak terbantahkan….

[1] Mustadrak al Hakim,3/140 dan 142.
[2] Al Mustadrak,3/139 hanya saja bagian akhir radaksi hadis ini terpotong, sepertinya ada “tangan-tangan terampil” yang sengaja menyensor hadis di atas.
[3]Teks hadis di atas sesuai dengan yang terdapat Majma’ az Zawâid,9/118.
[4] Syarah Nahjul Balaghhah, 20/298.
[5] Nahjul Balaghah, kuthbah ke.172.


Dialog Ibnu Abbas ra. Dan Sayyidina Umar Seputar Perampasan Hak Imamah Ali as.

Banyak spekulasi yang dipaksakan para ulama Sunni dalam menyikapi apa yang terjadi sesa’at setelah Nabi saw. wafat ketika para sahabat menyingkirkan Imam Ali as. dari hak kepemimpinan tertinggi umat Islam.. Mereka terpaksa mendustakan atau memalingkan ketegasan makna nash-nash penunjukan Imam Ali as. khususnya sabda Nabi saw. di Ghadir Khum, hanya karena satu alasan yaitu jika diterima kenyataan baahwa Nabi saw. telah menunjuk Ali sebagai Imam dan pemimpin tertinggi umat Islam sepeninggal beliau, mana mungkin para sahabat itu sepakat menentangnya?! Itu artinya kita menuduh para sahabat itu sebagai yang fasik karena terang-terangan menentang wasiat Nabi saw.

Tetapi jika kita mau jujur dalam melihat masalah ini, kita akan menyaksikan bahwa telah ada kesepakatan di balik meja antara para pembesar Quraisy (termasuk di antara mereka adalah para tokoh kafir Quraisy yang baru memeluk Islam karena terpaksa setelah kota Mekkah ditaklukkan dan juga sebagian sahabat lama dari suku Quraisy) yang akan berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan Imam Ali as. dan bahkan siapapun dari suku bani Hasyim (sukunya Nabi saw.) dari tampuk kekuasaan khilafah… mereka hanya akan menggilir khilafah ini pada suku-suku Quraisy selain bani Hasyim.

Dialoq di bawah ini akan menjelaskan kenyataan adanya persekongkolan jahat tokoh-tokoh Quraisy… Dan dokumen ini sangat bernilai mengingat ia memuat pengakuan dari arsitek pembaiatan Saqifah yaitu sayyidina Umar ibn al-Khaththab…. Dan yang juga menentang penulisan wasiat keselamatan abadi yang hendak dituliskan Nabi saw di hari-hari akhir sebelum beliau meninggalkan umat Islam untuk selamanya.

Sayyidina Umar Membongkar Persekongkolan Quraisy Dalam Menyingkirkan Imam Ali as.
Ibnu Abil Hadid Al Mu’tazili dalam Syahr Nahjul Balaghah-nya dan Ibnu Al Atsir dalam al Kamil-nya menriwayatkan dialog panjang antara Sayyidinna Umar dan Ibnu Abbas ra. sebagai berikut:
Umar, “Hai Ibnu Abbas, tahukah kamu apa yang mendorong kaum Quraisy menolak kepemimpinan Ahlulbait sepeningal Muhammad?”
Ibnu Abbas, “Maka aku tidak ingin berterus terang dalam menjawab, lalu aku katakan kepada Umar, ‘Kalau saya tidak mengetahuinya, tentu Amirul Mu’minin mengetahuinya.’
Umar, Karena mereka (kaum Quraisy) tidak menyukai berkumpul kenabian dan kekhilafahan pada kalian (Bani Hasyim), sebab kalian akan menjadi congkak dan semena-mena tehadap kaum kalian. Oleh sebab itu kaum Quraisy memilih untuk mereka seorang pemimpin dan langkah itu benar dan sesuai ….. .
Ibnu Abbas“Apakah Amirul Mukminin bersedia menjauhkan dariku amarahnya lalu mendengarkan pembicaraan saya?”
Umar, “Ucapkan terserah kamu!”
Ibnu Abbas“Adapun ucapan Amirul Mukminin bahwa Quraiys membenci (berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan pada bani Hasyim), maka sesungguhnya Allah –Ta’ala- telah berfirman :“Yang demikian itu adalah kerena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di turunkan Allah lalu Allah menghapus (pahal-pahala) amal –amal mereka ” (QS:47;9).
Adapun ucapan Anda, ‘Bahwa kami akan congkak. Maka jika kami bakal congkak dikarenakan jabatan khilafah maka sesungguhnya kami akan congkak dikarenakan kekerabatan kami (dengan Nabi saww), akan tetapi kami adalah kaum yang akhlak kami terbelah dari akhlak Rasulullah yang Allah berfirman tentangnya“Dan sesungguhnya kamu berada di atas akhlak(budi pekerti)  yang agung”(QS:68;4) dan Allah berfirman kepadanya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,yaitu orang-orang yang beriman “(QS:26;215).
Adapun ucapan Anda bahwa kaum Quraiys memilih …, maka Allah telah berfirman : “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka”. (QS:28;68). Dan Anda –wahai Amirul Mukminin- mengetahui sesungguhnya Allah telah memilih dari hambaNya untuk jabatan itu .Dan andai kaum Quraisy berpendapat seperti yang ditetapkan Allah niscaya mereka tepat dan benar .
Umar, Tunggu, hai Ibnu Abbas, memang hati kalian Bani Hasyim enggan kecuali kebencian yang tiada padam dan kedengkian yang tiada berubah terhadap urusan kaum Quraisy.”
Ibnu Abbas, Tenang wahai Amurul Mukminin, jangan Anda menuduh hati Bani Hasyim dengan kedengkian, sebab hati mereka dari hati Rasulullah yang disucikan dari noda, mereka adalah Ahlulbait yang Allah berfirman kepada mereka: “Sesungguhnya Kami berkehendak untuk menghilangkan dari kalian rijs –wahai Ahlul-Bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya” .
Adapun ucapan Anda, “Mereka sakit hati. Maka benar, bagaimana seseorang yang miliknya dirampas dan melihat miliknya di tangan orang lain ia tidak sakit hati?!”
Umar“Adapun kamu hai Ibnu Abbas telah sampai kepada saya ucapanmu yang saya tidak suka memberitahukannya kepadamu, sebab akan menjatuhkan kedudukanmu disisiku.”
Ibnu Abbas“Apa itu wahai Amirul Mukminin, beritahukan kepadaku, kalua ia kebatilan maka orang seperti saya layak menjauhkan kebatilan dari dirinya dan jika ia haq maka kedudukanku disisi Anda tidak sepatutnya akan jatuh.”
Umar“Telah sampai kepadaku bahwa kamu senantiasa mengatakan: Perkara ini di rampas dari kami karena kedengkian (rasa hasut) dan dengan kezaliman.”
Ibnu Abbas, Adapun ucapan Anda ‘karena rasa hasut’, maka sesungguhnya Iblis telah mengahsut Adam sehingga mengeluarkannya dari surga dan kami adalah anak turun Adam yang di hasuti.
Adapun ucaapan Anda ‘dengan kezaliman’, maka sesungguhnya Amirul Mukminin mengatahui pemilik hak ini, siapa dia?
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah bangsa Arab berhujjah atas orang ajam (non Arab) dengan kedudukan Rasulullah, dan suku Quraisy berhujjah atas seluruh bangsa Arab dengan kedudukan Rasulullah saww, maka kami lebih berhak terhadap Rasulullah dari seluruh Quraiys.”
Umar, Berdirilah sekarang dan pulanglah kerumahmu!”
Maka Ibnu Abbas berdiri dan ketika ia berjalan Umar memanggilnya, “Hai orang yang sedang berpaling, saya tetap seperti dulu, memelihara hakmu. Lalu Ibnu Abbas menoleh dan berkata, “Sesungguhnya saya punya hak atas Anda, wahai Amirul Mukminin dan atas seluruh kaum Muslimin dengan kedudukan Rasulullah saw., maka barang siapa memeliharanya berarti ia memelihara hak dirinya sendiri dan barang siapa menyia-nyiakannya maka ia menyia-nyiakannya. Kemudian ia berlalu, maka Umar berkata kepada mereka yang duduk bersamanya, “Aduh, Ibnu Abbas, tiada saya melihat ia berdebat dengan seorang kecuali ia mengalahkannya.[1]
Analisa Ringkas terhadap Dialoq diatas.

Dari dialoq panjang antara Sayyidina Umar; arsitek pembaiatan Saqifah dan Ibnu Abbas ra. salah seorang keluarga besar Bani Hasyim yang dirampas hak kepemipimnanya oleh mereka yang merampasnya dapat Anda saksikan beberapa poin penting, di antaranya:
  • Umar berterus terang bahwa suku Quraisy benci pengaturan Tuhan yang menggabungkan kenabian dan khilafah pada keluarga Muahammad saww.
  • Pengaturan Tuhan mengandung arti menzalimi hak suku Quraisy –selain Bani Hasyim-, sebab Dia memberikan kepada Bani Hasyim kenabian dan khilafah, sementara  yang lainnya tidak kebagian keutamaan tersebut.
  • Kendati hal itu adalah ketetapan Tuhan akan tetapi kalangan Quraisy menolak penggabungan kenabian dan khilafah dengan alasan bahwa ketetapan itu akan menyebabkan Bani Hasyim akan merasa congkak dan angkuh.
  • Khalifah Umar membekukan ketentuan Tuhan yang menetapkan hak kenabian dan khilafah bagi Bani Hasyim dan menyajikan konsep alternatif yang mencabut dari mereka hak khilafah  dan ia menyebutnya sebagai tindakan benar dan lurus.
  • Khalifah menuduh banwa Bani Hasyim curang dan dengki terhadap suku-suku Quraisy lain, sebab mereka berusaha mengambil kembali khilfaha dari Quraisy.
  • Khalifah memposisikan dirinya sebagai jubir resmi pihak Quraisy dan sekaligus sebagai pembela kepentingan-kepentingannya.
  • Orang pertama dari kalangan Quraisy yang melahirkan alasan-alasan tersebut dan menyatakannya serta merancang kekuasaan Quraisy adalah Umar bin Khaththab. jadi beliau adalah anak Quraisy yang bakti dan perancang konsep alternatif.
  • Khalifah Umar selalu mewaspadai semua keluarga besar Bani Hasyim dan khawatir mereka mengambil kembali kekuasaan khilafah dari Quraisy. Adapun sikap akrabnya terhadap Ibnu Abbas adalah mata rantai sikap politis yang bertujuan memecah belah kesatuan Bani Hasyim yang selalu setia mendukung Imam Ali as., sebagaimana sebelumnya mereka lakukan terhadap Abbas dengan menawarkan jabatan agar ia meninggalkan Ali as akan tetapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Abbas paman Nabi tersebut.
.
Tanggapan Ibnu Abbas ra. Terhadap Sikap Sayyidina Umar.
  • Sesungguhnya suku-suku Quraisy, diantara mereka adalah Umar sendiri benci terhadap ketetapan Allah Swt.dengan dipilihnya Ahlulbait as. sebagai pemimpin umat Islam.
  • Sesungguhnya suku-suku Quraisy menyimpang dari kebenaran syar’iyah dan salah karena memilih selain yang di pilihkan Allah.
  • Sesungguhnya kekhawatiran Quraisy terhadap kecongkakan Bani Hasyim apabila kenabian dan khilafah ditangan meraka, walau hal itu adalah ketetapan Allah, sama sekali tidak beralasan, baik alasan syar’iyah maupun berdasar logika.
  • Suku-suku Quraisy dalam sikap politis mereka dengan meninggalkan pilihan Allah dan menentukan pilihan mereka sendiri adalah bertentangan dengan ketetapan syar’iyah. Meraka mengatakan bahwa sikap itu benar dan menuduh Ahlulbait as.yang disucikan Allah sesuci-sucinya yang berusaha mengambil kembali hak mereka yang terampas sebagai berbuat curang dan memendam rasa hasut.
  • Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa Umar telah mengetahui siapa sebenarnya pemilik hak khilafah itu, yaitu Ali as. namun kendati demikian mereka merampasnya.
  • Sesungguhnya suku Quraisy mendengki dan menzalimi Ahlul-Bait as dengan merampas hak khilafah dari mereka.
  • Sesungguhnya mereka yang menyia-nyiakan hak Ahlulbait as dalam kepemimpinan umat sebenarnya meraka menzalimi diri mereka sendiri!
Ketidak Sukaan Suku Quraisy Terhadap Kepemiminan Ali as. Didasari Oleh Kebencian!
Dokumen dan ketarangan di bawah akan memperjelas kenyataan di atas dan sekaligus mengungkap latar belakang perampasan hak kepemimpinan Imam Ali as. yang dilakukan ooleh tokoh-tokoh Quraisy.
Kebencian bangsa Arab dan khususnya suku Quraisy terhadap Imam Ali as. adalah dikarenakan pembelaan beliau terhadap Nabi saww. dan agama Islam, sehingga dengan ketajaman pedang Ali as., musuh-musuh Islam dikalahkan, dan korban dari kalangan merekapun berjatuhan, sehingga walaupun di kemudian hari mereka memeluk Islam rasa dengki dan dendam tersebut masih ada dalam hati mereka. Apalagi mereka yang memeluk Islam bukan karena ketulusan akan tetapi karena tujuan-tujuan lain seperti: karena ikut-ikutan, menginginkan mendapatkan materi, takut terhadap kejayaan Islam dan lain lain .

Ibnu Abi al Hadid mengatakan, “Ketahuilah bahwa semua darah yang ditumpahkan Rasulullah saw. dengan pedang Ali as. dan dengan pedang yang lainnya maka orang-orang Arab sepeninggal Nabi saw. hanya akan menuntut balas semua itu kepada Ali as., dan itu adalah kebiasaan bangsa Arab apabila ada seorang dari mereka terbunuh mereka menuntut balas kepada si pembunuhnya dan apabila ia telah mati atau ada halangan untuk membalasnya maka mereka akan membalas keluarga yang paling sepadan dengan si pembunuh dari keluargnya.” [2]

Dan selain itu kedengkian itu pada sebagain mereka di kerenakan rasa iri dan hasut terhadap berbagai keistimewaan dan keutamaan Imam Ali as. yang selalu diutarakan dan di tablighkan Nabi Muhammad saww. serta kedudukan sentral yang di berikan kepada beliau as. Dan perlu di ketahui bahwa suku Quraisy adalah terkenal dengan rasa hasut dan iri serta kompetisi tidak sehat diantara mereka, sebagaimana di tegaskan oleh Khalifah Umar  kepada Abu Musa al-’Asy’ari dan Mughirah bin Syu’bah.[3]
.
Bukti-bukti Adanya Kedengkian Suku Quraisy Terhadap Imam Ali as. dan Ahlulbait as.
Dalam sebuah hadis  dari Abu Utsman an Nahdi dari Ali as. beliau berkata, “Pada suatu hari Nabi saww. memelukku sambil menangis tersedu-sedu, maka saya bertanya kepada beliau: Gerangan apa yang menyebabkan Anda menangis, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, ‘Kedengkian terhadapmu yang ada di dada-dada beberapa kaum yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah kematianku.
Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah dalam keselamatan agamaku?’
Beliau menjawab, ‘Ya, dalam keselamatan agamamu.’” [4]

Ibnu Abi al Hadid setelah membenarkan sikap Imam Ali as. bergabung dengan dewan syura yang di bentuk oleh Umar kendati beliau tahu bahwa tidak akan terpilih dan Abbas pun telah menyarankan agar beliau tidak terlibat dalam dewan tersebut, karena menurut hemat Ibnu Abi al Hadid dengan tidak ikut sertanya beliau dalam dewan itu akan menggembirakan hati kaum Quraisy sebab, “Quraisy sangat membenci Ali as.”[5]

Dalam kesempatan lain ia mengemukakan, “Ketahuilah bahwa keadaan Ali dalam hal ini (kebencian bangsa Arab terhadapnya) sangat masyhur dan tidak perlu di perpanjang lagi , tidakkah Anda menyaksikan bagaiamana pemberontakan bangsa Arab dari berbagai penjuru ketika beliau di baiat sebagai khialifah setelah dua puluh lima tahun dari wafat Nabi saw. dan semestinya dalam kurun waktu kurang dari itu kedengkian itu sudah terlupakan, tuntutan balas dendam sudah padam  dan hati-hati yang membara meredah serta terhibur, berlalunya sebuah generasi dan datangnya generasi baru dan tidak tersisa dari generasi menyandang dendam kecuali sebagaian kecil, namun demikian keadaan beliau dengan suku Quraisy setelah kurun waktu yang panjang itu seperti keadaan beliau apabila menerima jabatan khilafah langsung sepeninggal anak pamannya (Nabi) saww. dalam sisi penampakan apa yang terpendam dalam jiwa dan gejolak hati, sehingga generasi pelanjut Quraisy dan para pemuda yang tidak ikut serta menyaksikanperistiwa-peristiwa yang dilakuakan Ali as.dan penghunusan pedang terhadap pendahulu dan ayah-ayah mereka juga melakukan apa-apa yang seandainya  para pendahulu itu masih hidup tidak akan melakukan seperti itu. Lalu apa bayangan kita kalau beliau duduk di kursi khilafah sementara pedang beliau masih bercucuran darah bangsa Arab, khususnya Quraisy… [6]

Dan inilah salah satu bentuk penghianatan umat terhadap beliau seperti yang di sabdakan Nabi saww. kepada Ali as.
Habib bin Tsa’labah bin Yazid berkata : Saya mendengar Ali berkata ketika dipaksa memberi baiat untuk Abu Bakar, “Demi Tuhan langit dan bumi (beliau ucapkan tiga kali), sesungguhnya ini adalah janji Nabi yang ummi kepadaku, “Bahwa umat akan berkhianat terhadapmu sepeninggalku.[7]

Beberapa bukti adanya kebencian sahabat terhadap Imam Ali as.
Dalam banyak riwayat dapat kita temukan bukti adanya rasa dengki dan kebencian sebagian sahabat Nabi saww. terhadap Imam Ali as. walaupun Nabi saww. dalam banyak kesempatan telah menegaskan bahwa kebencian terhadap Imam Ali as. adalah kemunafikan. Dibawah ini akan kami sebutkan beberapa riwayat hadis yang membuktikan adanya kebencian itu .

Para muhadis seperti at-Turmudzi, ath-Thabarani, an-Nasa’i dan lain-lain meriwayatkan beberapa hadis yang menyebutkan bahwa ada sekelompok sahabat yang bersekongkol menyampaikan keluhan tentang sikap Ali as. kepada Nabi saww. ketika menjadi komandan pasukan yang di kirim ke negri Yaman dengan tujuan menjatuhkan kedudukan Ali as. di hadapan Nabi saww., melihat tindakan mereka Nabi saww. marah dan menegur mereka agar tidak membenci Ali as. seraya menegaskan bahwa Ali adalah wali mereka sepeninggal Nabi saww.

Setiap kali mereka mengeluhkan tetntang Ali as. Nabi saww. mengatakan kepada mereka dengan nada marah : Apa yang kalian maukan dari Ali? Apa yang kalian maukan dari Ali? Dia adalah pemimpin kalian setelahku . [8]

Dalam riwayat lain di katakan: “Maka Khalid bin walid [9] menulis sepucuk surat kepada Nabi saww. dan memerintah saya  (Buraidah) untuk mengecam Ali, maka saya serahkan surat itu dan saya kecam Ali ra. maka tiba–tiba berubahlah wajah Rasulullah saww. dan bersabda: Janganlah kamu membenci Ali sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali dan dia adalah wali(pemimpin) kalian setelahku.” [10]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Buraidah berkata: Maka Khalid memanggilku dan mengatakan manfa’atkan kesempatan ini dan beritakan kepada Nabi saww apa yang ia lakukan, maka saya berangkat kembali ke Madinah dan sesampainya di madinah saya menuju masjid dan ketika itu Rasulullah saww. sedang berada dirumahnya sementara sekelompok sahabat beliau di hadapan pintu rumah beliau. Mereka bertanya: Ada berita apa hai Buraidah? Saya menjawab: baik, Allah memenangkan kaum muslimin. Mereka bertanya lagi, “Lalu apa yang membawamu pulang? Saya menjawab : Ali mengambil seorang tawanan wanita dari bagaian khumus dan saya datang untuk melaporkan hal itu kepada Nabi saw.”.

Mereka serempak menjawab, “Ya, beritahukan kepada Nabi saw. agar ia jatuh di mata Nabi saw. Sementara itu Rasulullah mendenganrkan pembicaraan mereka, lalu beliau keluar dengan muka marah dan bersabda: Mengapakah gerangan ada sekelompok kaum mencela-cela Ali? Barang siapa mencela-cela Ali berarti ia mencela saya dan barang siapa meninggalkan Ali berarti telah meninggalkan saya .Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali  … .”[11]


[1] Syarah Nahj: jilidIII\12\107, Tarikh Thabari: 4\223 dan  Al Kamil Fit Tarikh: 3\62 (peristiwa tahun 23).
[2] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:283.
[3] Baca dialoq lengkap mereka dalam Syarah Nahjul Balaghah :jilid:I juz 2\125-126, dan dalam dialoq tersebut Umar menegaskan bahwa yang paling hasut diantara suku Quraisy adalah Abu Bakar.
[4] Nuur al-Abshar (asy-Syablanji asy-Syafi’i):88.Cetakan Daar al-Fikr.
[5] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:283.
[6] Syarah Najh :jilid III\juz:13 hal:38.
[7] Syarah Najh :jilid II\juz6 hal:18 .
[8] Hadis riwayat an-Nasa’i dalam Khashaish(dengan komentar Abu Ishaq al-hawaini) diterbitkan Daar al-Baaz Makkah ,hadis nomer 84 dengan sanad Shahih .
[9] dalam espedisi tersebut Nabi saww. mengirim dua pasukan ,satu di bawah pimpinan Khalid dan yang lain di bawah pimpinan Imam Ali as. dan Nabi saww.mengatakan : Jika kalian bertemu maka Alilah pimpinan tunggal atas pasukan itu dan jika kalian berpisah maka setiap pasukan di bawah pimpinan masing-masing ,dan sesampainya di Yaman mereka bertemu .(An-Nasa’i: hadis ke 85).
[10] Ibid. hadis nomer:85 denagn sanad hasan .
[11] Majma’ az Zawaid ;al-Haitsami,9\18 dari riwayat ath-Thabarani dalam Mu’jam Ausath.

Terkait Berita: