Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Nasrani. Show all posts
Showing posts with label Nasrani. Show all posts

Al-Quran menyeru manusia untuk berpikir


Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran.

Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia.  Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.

Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.

Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis.  Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.

Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]

Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]

Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan  dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]

Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis.  Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.

Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]

Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
  1. Mencela secara langsung manusia yang tidak mau berpikir:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, Allah Swt menghukum manusia disebabkan karena mereka tidak berpikir. Dengan beberapa ungkapan seperti, “afalâ ta’qilun”, “afalâ tatafakkarun”, “afalâ yatadabbaruna al-Qur’ân”,[9] Allah Swt mengajak mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya.
  1. Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:
Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah, “Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan palsu.[11] Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila? Ia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata (yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)
  1. Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:
Mencermati langit dan bumi serta keagungannya, demikian juga aturan yang berlaku pada unsur-unsur alam natural, merupakan salah satu jalan terbaik untuk memahami keagungan Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru manusia untuk memperhatikan dan mencermati fenomena makhluk, sejatinya mengajak mereka untuk berpikir tentang Pencipta makhluk-makhluk tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12]dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)
  1. Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:
Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematian mereka didasarkan argumen-argumen rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran, kemungkinan adanya hari Kiamat dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk berpikir pada contoh-contoh yang serupa; seperti datangnya para wali manusia,[13]  hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas permintaan Nabi Ibrahim AS,[15] kisah Ashabul Kahfi,[16]kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak contoh lainnya.
  1. Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:
Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan menyinggung sebagian sifat Allah Swt, manusia diajak untuk berpikir tentang Allah Swt dan tentang amalan perbuatan mereka. Sifat-sifat seperti, Qadir, Malik, Sami’dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah [9]:78)[18] dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]:98)[19] jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang prinsip-prinsip akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan Ilahi. Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam al-Quran. Karena prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari pembahasan-pembahasan rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan menggunakal akal. Taklid dalam hal ini tidak dibenarkan.
  1. Menjelaskan ragam kisah dan azab yang diturunkan akibat dosa-dosa kaum-kaum terdahulu:
Harap diperhatikan menjelaskan kisah-kisah kaum terdahulu yang disampaikan dalam al-Quran, bukan dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan satu kisah atau kisah yang membuat manusia larut di dalamnya, melainkan sebuah pelajaran berharga untuk umat selanjutnya. Atau dengan menelaah nasib dan peristiwa yang menimpa mereka, manusia seyogyanya berpikir tentang akhir dan pengaruh amalan perbuatan mereka sehingga dapat menuntun manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang sama; seperti kisah Nabi Yusuf,[20]  kisah yang sarat dengan pelajaran wanita-wanita para nabi,[21] azab-azab yang turun untuk kaum Ad, Tsamud dan Luth.[22]
  1. Menjelaskan mukjizat-mukjizat para nabi:
Jalan terbaik untuk menetapkan kebenaran seorang nabi dan klaim risalah yang dibawanya dari sisi Allah Swt adalah mukjizat. Mukjizat hanya dapat menetapkan klaim kenabian seorang nabi tatkala hal itu berada di luar kemampuan dan kekuatan manusia; karena itu demonstrasi mukjizat merupakan sebuah ajakan nyata kepada manusia untuk berpikir sehingga manusia dengan berpikir terhadap ketidakmampuannya dan kekuatan mukjizat ia beriman kepada ucapan-ucapan para nabi; seperti mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, al-Quran yang akan tetap abadi selamanya dan manusia dengan berpikir dan ber-tafakkur pada ayat-ayatnya dapat meraih iman pada kebenaran nabi pamungkas,[23] dan mukjizat-mukjizat agung yang diriwayatkan dari para nabi ulul azmi.[24]
  1. Tantangan dalam al-Quran:
Salah satu contoh ajakan dan seruan al-Quran untuk berpikir adalah tantangan kepada orang-orang kafir untuk menghadirkan seperti ayat-ayat al-Quran. Tatkala manusia mencari kebenaran, mereka menjumpai ketidakmampuan orang-orang kafir sepanjang tahun ini, mereka beriman kepada kebenaran al-Quran dan pembawa pesannya; seperti ayat, “Dan jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:23)[25]
  1. Mencela taklid buta:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, orang-orang kafir untuk mencari pembenaran atas tindakannya menyembah berhala, tidak mau berpikir dan sebagai gantinya menjadikan taklid buta dari datuk-datuknya sebagai pembenar atas perbuatan-perbuatan mereka. Allah Swt mencela mereka karena tidak mau memanfaatkan kemampuan akal dan menyeru mereka untuk berpikir dan merenung dalam masalah-masalah akidah; misalnya pada ayat,  “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Baqarah [2]:170)[26] sebagaimana Allah Swt mencela Ahlulkitab disebabkan akidah-akidah batil dan taklid buta mereka, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:77)
  1. Meminta argumentasi di hadapan ucapan-ucapan tak berguna:
Tatkala Allah Swt di hadapan ucapan-ucapan tak berguna dan tidak benar sebagian manusia, menuntut dalil dan burhan, dan dengan lugas meminta seluruh manusia untuk tidak mengikut sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentangnya;[27] artinya Allah Swt menginginkan seluruh manusia menjadikan akalnya sebagai panglima untuk memutuskan di hadapan pelbagai khurafat dan hal-hal nonsense dan meminta argumentasi dari mereka; seperti, “Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111)[28] Demikian juga para nabi meminta argumentasi di hadapan klaim-klaim kosong seperti, “Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah Dzat yang dapat menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya juga dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat.” Lalu, orang yang kafir itu terdiam (seribu bahasa); dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qs. Al-Baqarah [2]:258)
  1. Menggunakan penyerupaan dan permisalan dalam memotivasi dan mencela manusia:
 Allah Swt pada kebanyakan ayat mengajak manusia untuk berpikir dengan menggunakan penyerupaan sehingga ia mau merenung atas apa perbuatanya; seperti, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:41)[29]
  1. Mengingatkan pelbagai nikmat:
Allah Swt dalam al-Quran dengan mengingatkan pelbagai nikmat, meminta manusia untuk menjauhi sikap angkuh dan memuja diri serta tidak melupakan kedudukan penghambaan dan ibadah. Metode mengajak berpikir seperti ini kebanyakan digunakan untuk kaum Bani Israel; seperti, “Wahai Bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwa Aku telah mengutamakan kamu atas segala umat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:47 & 122) dan Tanyakan kepada Bani Isra’il, “Berapa banyakkah tanda-tanda (kebenaran) nyata yang telah Kami berikan kepada mereka.” Dan barang siapa yang merubah nikmat Allah setelah nikmat itu datang kepadanya, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya” &  Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu merenungkan. (Qs. Al-Baqarah [2]:211 & 242) dan pada hari kiamat akan menjadi hari tatkala seluruh anugerah ini akan ditanya.”[30]
  1. Membandingkan antara manusia dengan memperhatikan pikiran dan perbuatannya:
Tatkala seorang berakal melakukan perbandingan antara dua hal, pada hakikatnya ingin menjelaskan tipologi dan pengaruh positif dan negative masing-masing dari dua hal yang dibandingkan. Membandingkan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir juga merupakan seruan nyata Allah Swt kepada manusia untuk berpikir dan berenung, sehingga manusia yang berpikir dapat menimbang akibat orang-orang beriman dan orang-orang kafir, kemudian menemukan jalannya; seperti ayat,“Sesungguhnya telah ada tanda (dan pelajaran) bagimu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali lipat jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (Qs. Ali Imran [3]:13)[31] 
  1. Menuntaskan hujjah:
Tatkala mengirimkan pelbagai mukjizat, ayat-ayat, dan tanda-tandanya yang beragam, Tuhan telah menuntaskan hujjah bagi para hamba-Nya dan memberikan kepada mereka janji-janji pahala dan azab, pada hakikatnya mereka diseur untuk berpikir dan berenung sehingga manusia mau menimbang segala yang dilakukan dan dikerjakannya. Para nabi juga tidak mendatangi para umatnya kecuali menuntaskan hujjat dengan pelbagai dalil, argument dan tanda-tanda, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata” (Qs. Hud [11]:96) tatkala mereka menolak untuk menjadi hamba, tidak akan diampuni, “Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan) setelah ia pergi, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim & Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran yang nyata, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Baqarah [2]:92 & 209)[32]seluruh hujjah tidak terkhusus untuk para pendosa saja, melainkan mencakup seluruh nabi, “Dan sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Qur’an itu (kepadamu) sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah.” (Qs. Al-Ra’d [13]:37)[33]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35]


Referensi:
[1].  “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” (Qs. Al-Anfal [8]:22)
[2].  Nahj al-Balâgha, (Subhi Shaleh), hal. 43, Intisyarat Hijrat, Qum, 1414 H.
[3]. Akal dan Agama, 4910; Hubungan Akal dan Agama, 12105.  
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil, 1, hal. 10, Diedit oleh Ghaffari dan Akhundi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.  
[5]. Ibid, hal. 28.
[6]. Ibid, hal. 11.  
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 26661 yang terdapat pada site ini.   
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.  
[9].  “Apakah kalian tidak berpikir” redaksi kalimat ini dan redaksi kalimat yang serupa digunakan sebanyak 20 kali dalam al-Quran.  
[10]. Dan ayat-ayat serupa pada surah al-Mukminun “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” [23]:91)  
[11]. “Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-78)  
[12]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Yunus [10]:5); (Qs. Al-Mulk [67]:3 & 4); (Qs. Al-Baqarah [2]:3 & 4); (Qs. Al-Mukminun [23]:69 & 80) dan seterusnya; Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran menyebut orang-orang yang memikirkan tanda-tanda Ilahi sebagai “ulul albab” yaitu orang-orang yang berpikir.
[13].  “Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya, “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (Qs. Al-Kahf [18]:37); “Hai manusia, jika kamu ragu tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sebagiannya berbentuk dan sebagian yang lain tidak berbentuk, agar Kami jelaskan kepadamu (bahwa Kami Maha Kuasa atas segala sesuatu), dan Kami tetapkan dalam rahim (ibu) janin yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, supaya (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah ia ketahui. Dan (dari sisi lain) kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, bumi itu hidup dan tumbuh subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al-Hajj [22]:5)  
[14]. “Dan Dia-lah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati (pada hari kiamat), mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’rafa [7]:57); (Qs. Al-Rum [30]:50); (Qs. Fathir [35]:9) dan lain sebagainya.  
[15]. (Qs. Al-Baqarah [2]:260)
[16]. (Qs. Al-Kahf [18]:9-25)  
[17]. (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[18]. (Qs. Al-Taubah [9]:78); (Qs. Al-Baqarah [2]:96 & 107)   
[19]. (Qs. Ali Imran [3]:98); (Qs. Al-Nisa [4]:33 & 166)  
[20]. Surah Yusuf mengulas kisah ini secara rinci.  
[21].  (Qs. Al-Tahrim [66]:4, 10 dan 11)  
[22]. Seperti ayat-ayat, (Qs. Al-Fushilat [41]:13-17) dan (Qs. Al-A’raf [7]:80-84)
[23]. Mukjizat Rasulullah SAW lainnya pada (Qs. Al-Isra [17]:1 & 88); (Qs. Al-Qamar []:1)
[24]. Mukjizat-mukjizat Nabi Nuh As pada (Qs. Al-Ankabut [29]:15); Mukjizat-mukjizat Nabi Ibrahim As pada (Qs. Al-Anbiya [21]:69); Mukjizat-mukjizat Nabi Musa As pada (Qs. Thaha [20]:17-20) dan (Qs. Al-Qashash [28]:32) dan (Qs. Al-Baqarah [2]:50); Mukjizat-mukjizat Nabi Isa As pada (Qs. Al-Maidah [5]:110)  
[25]. Dan ayat-ayat lainya seperti (Qs. Yunus [10]:38) dan (Qs. Hud [11]:13)
[26]. Dan seperti ayat-ayat (Qs. Al-Maidah [5]:53 & 54); (Qs. Al-Syua’ara [26]:74); (Qs. Al-Zukhruf [43]:23)  
[27]. (Qs. Al-Isra [17]:36)   
[28]. Ketika Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am [6]:49)
[29]. Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Al-Jumu’ah []:5); (Qs. Al-Baqarah [2]:26, 171, 261, dan 265); (Qs. Ali Imran [3]:118) dan (Qs. Al-A’raf [7]:176)  
[30].   “Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (Qs. Al-Takatsur [102]:8)
[31].  (Qs. Al-Maidah [5]:50); (Qs. Al-An’am [6]:50); (Qs. Hud [11]:24); demikian juga perbandingan orang-orang mujahid dan orang-orang yang tidak berjihad pada surah al-Nisa:95)
[32].  (Qs. Al-Nisa [4]:153); (Qs. Al-Maidah [5]:32)  
[33].   Demikian juga “(Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak (berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
[34].  Jelas bahwa yang dimaksud dengan mendengarkan di sini bukanlah taklid buta, melainkan mendengarkan berdasarkan pemikiran dan perenungan.
[35].  Menyinggung ayat “Adapun orang-orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kanan, maka dia berkata (lantaran bahagia dan bangga), “Ambillah, bacalah kitabku (ini) & Adapun orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kiri, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya kitabku ini tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haqqa [69]: 19 & 25 ).

Terdapat dalam buku sejarah yang manakah cerita tentang tangan baidha atau tangan putih, tongkat Nabi Musa yang menjadi Naga dan Nabi Musa yang melewati sungai Nil?

Fakta Mu'jizat Nabi Musa "Membelah Laut Merah"


Seorang Arkeolog bernama Ron Wyatt pada ahir tahun 1988 silam mengklaim bahwa dirinya telah menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur kuno didasar laut merah. Menurutnya, mungkin ini merupakan bangkai kereta tempur Pharaoh yang tenggelam dilautan tsb saat digunakan u ntuk mengejar Musa bersama para pengikutnya.

Menurut pengakuannya, selain menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur berkuda, Wyatt bersama para krunya juga menemukan beberapa tulang manusia dan tulang kuda ditempat yang sama. Temuan ini tentunya semakin memperkuat dugaan bahwa sisa2 tulang belulang itu merupakan bagian dari kerangka para bala tentara Pharaoh yang tenggelam di laut Merah. Apalagi dari hasil pengujian yang dilakukan di Stockhlom University terhadap beberapa sisa tulang belulang yang berhasil ditemukan,memang benar adanya bahwa struktur dan kandungan beberapa tulang telah berusia sekitar 3500 tahun silam, dimana menurut sejarah,kejadian pengejaran itu juga terjadi dalam kurun waktu yang sama. poros roda dari salah satu kereta kuda Selain itu, ada suatu benda menarik yang juga berhasil ditemukan, yaitu poros roda dari salah satu kereta kuda yang kini keseluruhannya telah tertutup oleh batu karang, sehingga untuk saat ini bentuk aslinya sangat sulit untuk dilihat secara jelas.

Mungkin Allah sengaja melindungi benda ini untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa mukjizat yang diturunkan kepada Nabi2-Nya merupakan suatu hal yang nyata dan bukan merupakan cerita karangan belaka. Diantara beberapa bangkai kereta tadi, ditemukan pula sebuah roda dengan 4 buah jeruji yang terbuat dari emas.

Sepertinya, inilah sisa dari roda kereta kuda yang ditunggangi oleh Pharaoh sang raja. Sekarang mari kita perhatikan gambar diatas, Pada bagian peta yang dilingkari (lingkaran merah), menurut para ahli kira-kira disitulah lokasi dimana Nabi Musa bersama para kaumnya menyebrangi laut Merah. Lokasi penyeberangan diperkirakan berada di Teluk Aqaba di Nuweiba. Kedalaman maksimum perairan di sekitar lokasi penyeberangan adalah 800 meter di sisi ke arah Mesir dan 900 meter di sisi ke arah Arab.

Sementara itu di sisi utara dan selatan lintasan penyeberangan (garis merah) kedalamannya mencapai 1500 meter. Kemiringan laut dari Nuweiba ke arah Teluk Aqaba sekitar 1/14 atau 4 derajat, sementara itu dari Teluk Nuweiba ke arah daratan Arab sekitar 1/10 atau 6 derajat Diperkirakan jarak antara Nuweiba ke Arab sekitar 1800 meter.Lebar lintasan Laut Merah yang terbelah diperkirakan 900 meter.

Dapatkah kita membayangkan berapa gaya yang diperlukan untuk dapat membelah air laut hingga memiliki lebar lintasan 900 meter dengan jarak 1800 meter pada kedalaman perairan yang rata2 mencapai ratusan meter untuk waktu yang cukup lama, mengingat pengikut Nabi Musa yang menurut sejarah berjumlah ribuan? (menurut tulisan lain diperkirakan jaraknya mencapai 7 km, dengan jumlah pengikut Nabi Musa sekitar 600.000 orang dan waktu yang ditempuh untuk menyeberang sekitar 4 jam).

Menurut sebuah perhitungan, diperkirakan diperlukan tekanan (gaya per satuan luas) sebesar 2.800.000 Newton/m2 atau setara dengan tekanan yang kita terima Jika menyelam di laut hingga kedalaman 280 meter. Jika kita kaitkan dengan kecepatan angin,menurut beberapa perhitungan, setidaknya diperlukan hembusan angin dengan kecepatan konstan 30 meter/detik (108 km/jam) sepanjang malam untuk dapat membelah dan mempertahankan belahan air laut tersebut dalam jangka waktu 4 jam!!! sungguh luar biasa, Allah Maha Besar.

Sumber:  http://sangpembuatjejak.blogspot.com/2013/01/fakta-mujizat-nabi-musa-membelah-laut.html

Senbagai Jawaban AHLUL BAIT NABI SAW:


Terdapat dalam buku sejarah yang manakah cerita tentang tangan baidha, tongkat Nabi Musa yang menjadi naga dan Nabi Musa yang melewati sungai Nil? Mohon Anda perkenalkan beberapa nama ahli sejarah dan kitab-kitabnya dalam kaitannya dengan para Nabi-nabi lainnya, demikian juga para Imam maksum As. Saya juga menginginkan nama-nama para sejarahwan non Muslim untuk menghilangkan keragu-raguan.

Jawaban Global:
Banyak dari surah-surah al-Quran yang berbicara tentang mukjizat-mukjizat para nabi, termasuk Nabi Musa dan terutama cerita tentang tangan baidha, tongkat beliau yang menjadi naga dan cerita mengenai lewatnya Nabi Musa di atas sungai Nil.

Demikian juga banyak kitab-kitab sejarah yang membahas tentang masalah ini, termasuk Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah dan Ya'qubi dalam kitab Tarîkh Ya'qubî-nya.

Dengan menggunakan kitab-kitab samawi lainnya dan riwayat-riwayat yang sampai dari para maksum, para sejarahwan dan para pembesar agama menjelaskan tentang banyak dari nama-nama mereka bersama dengan biografinya.

Antara lain:
An-Nûr al-Mubîn fî Qashashi al-Anbiyâ wa al-Mursalîn, Muhaddits Jazairi.
Qishâshu al-Anbiyâ, Fatimah Masyayikh.
Dâstân Payâmbarân yâ Qeshehhâye Qurân az Âdam to Khâtam.

Dan mengenai pertanyaan Anda yang kedua:
Dari riwayat-riwayat Islam dapat disimpulkan bahwa baik sifat-sifat maupun keutamaan-keutamaan Rasul Saw dan juga para penerus dan kekhalifahan Imam Ali As, demikian juga seluruh Imam, telah dijelaskan dalam kitab-kitab mereka.

Akan tetapi kitab-kitab suci yang berada di tangan para Yahudi dan Nasrani telah banyak mengalami penyimpangan. Oleh karena itu, banyak masalah yang disinggung dalam riwayat-riwayat mereka tidak lagi terdapat dalam "Dua Perjanjian" (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang ada saat ini, pada saat yang bersamaan, dalam Taurat saat ini terdapat sebuah tema yang membuktikan kandungan riwayat.

Jawaban Detil:
Sebelum membahas jawaban di atas, terdapat satu poin penting.
Dengan seluruh masalah dan kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh non Muslim atas Quran, kendati mereka tidak menerima penisbatannya pada Tuhan, akan tetapi sama sekali tak ada seorang pun yang ragu dalam penisbatannya pada Rasulullah. Oleh karena itu al-Quran sebagai salah satu dari kitab terpercaya yang memiliki nukilan-nukilan sejarah, paling tidak bisa diletakkan sebagai sandaran.

Banyak dari surah-surah al-Quran yang membahas tentang mukjizat-mukjizat para nabi, termasuk Nabi Musa As, terutama mengenai cerita tangan baidha, tongkat beliau yang berubah menjadi naga, dan beliau yang berhasil melewati sungai Nil.

Di antaranya:
Surah Qishash, ayat 31 dan 32.
Surah an-Naml ayat 10-12.
Surah Thaha, ayat 17-23, 66 hingga 70, dan 78.
Surah al-A'raf, ayat 136.
Surah Al-Dzariyat, ayat 40.

Demikian juga kitab-kitab sejarah banyak yang membahas tentang tema ini, termasuk Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah[1], Ya'qubi dalam Tarîkh Ya'qubî[2]. Para ahli sejarah dan penulis sirah juga menggunakan kitab-kitab langit lain dan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para Imam Maksum As dan para pembesar agama. Kebanyakan nama-nama mereka dijelaskan bersama dengan biografi mereka.

Di antaranya:
An-Nûr al-Mubîn fî Qahashi al-Anbiyâ wa al-Mursalîn, Muhaddits Jazairi.
Qishash al-Anbiyâ, Fatimah Masyayikh.
Dâstân Payâmbarân yâ Qeshehhâye Qurân az Âdam to Khâtam.

Dan mengenai pertanyaan Anda yang kedua:
Jika yang dimaksud adalah bagaimana sosok para Imam Maksum As direfleksikan dalam kitab kitab-kitab agama tauhid, maka harus dikatakan, dari riwayat-riwayat Islami bisa disimpulkan bahwa sifat-sifat dan keutamaan-keutamaan Rasulullah, pelanjut, dan khalifah benar setelahnya, yaitu Imam Ali As, demikian juga seluruh Imam As lainnya, terdapat dalam kitab-kitab suci mereka.

Allah Swt dalam salah satu ayat al-Quran berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui."[3]
Ayat ini telah membuka tirai hakikat penting bahwa terdapat penjelasan yang sangat jelas dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat ruh, jasmani dan keistimewaan-keistimewaan Rasulullah Saw, dimana gambaran sempurna darinya terpatri pada benak-benak mereka yang berurusan dengan kitab ini.

Dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa suatu hari seorang Yahudi bertanya kepada Imam Ali As, "Apa nama Muhammad, anak paman Anda, nama Anda dan nama putra-putra Anda di Taurat?, beliau menjawab, "Nama Muhammad Saw di Taurat adalah Thab-thab, namaku Iliya, nama putra-putraku Syubbar dan Syubair."

Mendengar jawaban ini, lelaki Yahudi ini segera memeluk agama Islam dan mengucapkan syahadatain, setelah bersaksi atas ketauhidan Tuhan dan kerisalahan Rasulullah, ia juga bersaksi atas kewashian dan kewilayahan Imam Ali As.[4]

Dari riwayat ini bisa disimpulkan bahwa kekhalifahan Imam Ali As dan kedudukan beliau sebagai pelanjut Rasulullah, secara tegas telah diungkapkan dalam Taurat. Karena jika yang terjadi adalah selain itu, maka lelaki Yahudi ini tidak akan segera menerima perkataan Imam Ali As.

Demikian juga telah dinukilkan bahwa nama-nama mulia seluruh para Imam Ahlulbait As juga telah dinukilkan dalam Turat dengan bahasa Ibrani sebagai berikut: Midzmidz (Mushthafa), Iliya (Ali Murtadha), Qaidzur (Hasan Mujtaba), Iril (Husain Syahid), Masyfur (Zainal Abidin), Mashur (Imam Baqir), Masymuth (Ja'far Shadiq), Dzumara (Musa Kazdim), Hadzad (Ali bin Musa ar-Ridha), Taimura (Muhammad Taqi), Nasthur (Ali an-Naqi), Nuqasy (Hasan Askari), dan Qadimuniya (Muhammad bin Hasan) Shahibuzzaman.[5]

Akan tetapi, kitab-kitab suci yang berada di tangan Yahudi dan Nashrani telah banyak mengalami penyimpangan, oleh karena itu banyak tema-tema yang disinggung dalam riwayat-riwayat mereka, tidak ada lagi dalam "Dua Perjanjian" yang ada saat ini.

Demikian juga, dalam Taurat terdapat tema-tema yang membuktikan kandungan riwayat-riwayat. Dalam perjalanan kemunculan Taurat dikatakan, "Wahai Ibrahim, Aku mendengar doamu dalam hak kebenaran Ismail. Kini ia telah diberkati. Aku akan mengantarkannya pada makam yang tinggi. Akan muncul di antara keturunannya, duabelas orang amir dan pemimpin."[6] Jelaslah bahwa kedua belas amir ini tak lain adalah Ahlulbait As, dan dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang terdapat dalam kaitannya dengan masalah ini, dengan yakin bisa dikatakan bahwa yang dimaksud tak lain adalah para Ahlulbait As.

Dalam Injil resmi Kristen tidak terlihat tema khusus dalam kaitannya dengan Imam Ali As, dan memang tidak bisa diharapkan, karena Injil yang asli dan hakiki tidak bisa lagi dijangkau, Injil yang ada saat ini pada hakikatnya adalah pandangan-pandangan dari sebagian Hawariyun yang dikumpulkan dan disusun setelah Nabi Isa As diangkat ke langit. Oleh karena itu terdapat banyak kontradiksi dan perbedaan dalam Injil-injil itu sendiri. Itulah sebabnya hal ini tidak bisa dipercaya, bersamaan dengan itu, dalam Injil Barnabas, menurut pemilik kitab Bisyârât ‘Ahdain, Imam Ali As disebut sebagai seorang yang pantas memiliki segala bentuk kesempurnaan.[7]

Akan tetapi, jika yang dimaksud dari pertanyaan tersebut adalah bagaimana pandangan-pandangan para sosok dan penulis penting dan terpercaya agama dan mazhab mengenai para Imam As secara umum, dan Imam Ali As secara khusus, hal ini tidaklah tersembunyi dari pandangan para teorikus dan ilmuwan agama-agama lain. George Jordac, salah seorang dari penulis besar Kristen mengatakan, "Pernahkah Anda mengenal manusia besar seperti Ali yang mengenalkan hakikat manusia pada rasio dan akal manusia, sebuah hakikat insani yang mendalam seperti azal dan masa depan yang tetap seperti abadiyat."

Gibran Khalil Gibran, salah satu dari pembesar, penulis mahir dan pemikir Kristen, mengatakan, "Aku percaya bahwa putra Abi Thalib adalah orang pertama Arab yang berinteraksi dengan ruh sempurna, ia adalah sosok pertama Arab yang lisannya menyenandungkan melodi ruh sempurna di telinga manusia yang sebelumnya tidak pernah didengar. Ia meninggalkan dunia ini sementara belum menyampaikan risalahnya kepada dunia, ia menutup matanya dari dunia, sebagaimana para nabi yang diangkat di tengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkan para nabi tersebut. Ia telah masuk ke tengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki kelayakan atas para nabi. Allah memiliki hikmah atas hal ini dan Dialah yang lebih mengetahui."

Mikha'il Na'imah, seorang pemikir Kristen mengatakan, "Tak seorang pun dari sejarahwan dan penulis, kendati memiliki kelebihan dan kecerdasan, yang akan mampu menggambarkan wajah sempurna dari manusia besar seperti Ali As bahkan dalam sebuah kumpulan seribu halaman."[8]

Literatur untuk kajian lebih lanjut:
Imâm ‘Ali Usweye Wahdat, Muhammad Jawad Chirri.
Imâm ‘Ali wa Akhlâq Islâmi, Muhammad Dasyti.[9]
Al-Imâm ‘Ali Shautu al-‘Adâlah al-Insaniyyah, tulisan Geroge Jordac Masi.

Dalam kaitannya dengan pertanyaan Anda mengenai para Imam As, rujuklah pada penelitian-penelitian yang berkaitan dengan masalah ini di situs ini.
Indeks: Nama Para Imam dalam al-Quran', No. 6104(id6304).
Indeks: Tipologi Para Imam dalam al-Quran', No. 7754(id7921).
Indeks: Dalil-dalil Keyakinan terhadap Imamah dan para Imam, No. 6761(id6846).

Referensi:
[1]. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Damisyqi (w. 774 HQ), Beirut, Dar al-Fikr, 1407/1986.
[2]. Tarîkh Ya'qûbî, Ahmad bin Abi Ya'qub bin Wadhih Ya'qubi (w. 292 HQ), terjemahan Muhammad Ibrahim Aiti, Teheran, Intisyarat ‘Ilmi wa Farhanggi, cet. 6, 1371 Hsy.
[3]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 146).
[4]. Ats-Tsûqib fî Manâqib, hlm. 271,Thusi,, Hamzah, , Qom, Anshariyan, Duwwum, 1412 HQ.
[5]. Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr ar-Ridhâ, jil. 2, hlm. 147, Beirut, Muasasah ‘Ilmi Mathbu'ati, Awwal, 1404 HQ.
[6]. Kejadian, 20/17, hlm. 14.
[7]. Shadiqi, Muhammad, Bisyârat al-‘Ahdain, hlm. 213, Daru al-Kutub al-Islamiyyah, 1362 HQ.
[8]. Ja'fari, Muhammad Taqi, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hlm. 173,Teheran, Daftar Nasyr al-Islami, Keempat, 1380 HQ.
[9]. Pusat Kajian dan Penelitian-penelitian Budaya Hauzah Ilmiah (dengan sedikit perubahan)

HATI-HATI TERHADAP LITERATUR “PALSU” HASIL EDIT & PROVOKASI ZIONIS DI TANGAN WAHABI DAN BAYYINAT YANG MENYEBARKAN KEBOHONGAN TTG ISI KITAB KARYA ULAMA2 SYI’AH IMAMIYAH


sumber asal -> PERSATUAN ISLAM

BISMILLAH
BI MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD..
 Imam Khomaini kembali di fitnah, group-group anti syiah di forum jejaring sosial menyajikan postingan yang berisi tulisan Ayatullah  Khomeini  yang konon kabarnya mengecam habis dan mencaci maki para sahabat. Keberadaan tulisan tersebut telah menyulut  kutukan dan cacian yang ditujukan kepada Imam… Khomaini. Benarkah Imam Khomaini telah membuat senerai tulisan yang mengutuk para sahabat? syiahnews kali ini membongkar konspirasi kejahatan orang-orang yang mengaku Islam yang telah dengan sengaja memalsukan pernyataan Imam Khomaini. Sebuah kejahatan yang didukung oleh dua agen besar CIA dan MOSAD Israel dan dinegeri ini kembali di edarkan oleh orang-orang yang mengaku Islam sejati.

Membaca Postingan Para Pembenci Imam Khomaini.

Postingan yang konon di kutip dari Kitab Kasyful Asrar  karya Imam Khomaini dituliskan oleh admin sebuah group jejaring sosial yang menamakan dirinya ANTI SYIAH RAFIDOH, ia bernama Khamid al Khamid yang berasal dari Pasuruan Jawa Timur. Kutipan ini oleh Khamid telah disebarluaskan ke seluruh anggota group itu, berikut kutipan postinganya :
Pernyataan Alkhumaini, terhadap para Sahabat Nabi S.A.W., Al Qur’anul Karim dan terhadap Imam- imam ahlilbait sebagai berikut :
1. Mereka (para sahabat Nabi) yang tiada lain terkecuali dunia yang mereka cari dan haus kekuasaan yang menjadi incaran mereka dan bukanlah Al Qur’an semata-mata sebagai alat untuk mewujudkan niat-niat mereka yang buruk dan dengan mudah membuat mereka membuang ayat-ayat itu dari Al Qur’an dan juga membuat mereka mengubah-ubah dan mensirnakannya, sehingga kehinaan terhadap Al Qur’an dan kaum Muslimin dapat berkelanjutan sampai Hari Kiamat. Tuduhan (perubahan kitab Taurat dan Injil) yang mereka (kaum Muslimin) tuduhkan kepada Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya telah menjadi satu ketetapan atas mereka (kaum Muslimin) sendiri. (Kasyful Asrar, Al-Khumaini, hlm 114).

Demikianlah, dengan tegas Khumaini menyatakan kepercayaannya, bahwa sahabat-sahabat Nabi itu durhaka dan jahat, yang bertujuan hanya mencari dunia dan haus kekuasaan serta mengubah-ubah Al Qur’an dan membuang banyak ayatnya, yang berakibat hilangnya Qur’an yang asli untuk selama-lamanya; malah Khumaini membela Yahudi dan Nashara dan mengatakan, justru bukan Taurat dan Injil yang telah berubah, tetapi justru Al Qur’an yang diubah oleh para Sahabat Nabi, demikianlah ocehan-ocehan Al Khumaini. Sesudah meyaksikan tulisannya, adakah sesuatu keraguan lagi bahwa apa yang dikatakan alkhumaini itu adalah “kesesatan dan kekafiran yang nyata ?”.

Dan selanjutnya dia tidak segan-segan menuduh Rasulullah dengan tuduhan sebagai berikut :
2. Dan telah menjadi nyata, sekiranya Nabi benar-benar menyampaikan perintah mengenai “IMAMAH” sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan berdaya upaya untuk hal itu, niscaya tidak akan timbul di negeri-negeri Islam semua perselisihan, pertengkaran dan peperangan itu, dan tidak akan timbul pertentangan dalam pokok agama maupun cabangnya. (Kasyful Asrar, hlm.155).

Selanjutnya dia berani berdusta atas nama Allah dengan berkata :
3. Dengan Imamah-lah agama menjadi lengkap dan missi menjadi sempurna. (Kasyful Asrar, hlm.145).
Padahal Allah berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Artinya :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Al-Maidah, ayat 3).


Pemalsuan Kitab Kasyful Asrar Karya Imam Khomaini.
Menanggapi tulisan tersebut Ibnu Jawi al Jogjakartani  berusaha meminta penjelasan dari saudara Khamid al Khamid, apakah dia sudah membaca dengan sendirinya kitab karya imam khomaini ataukah dia hanya mengutip dari suatu tempat, tetapi sayang dia bukannya memberi  jawaban melainkan pernyataan yang menggelikan, katanya “ulama-ulama syiah jawa timur berpegang kepada kitab kasyful asrar” kemudian seperti biasa melakukan cacimaki kepada syiah.

Di tulisan sebelumnya di blog syiahnews.wordpress.com ini, ibnu jawi al jogjakartani pernah menuliskan tentang kejahatan-kejahatan pemalsuan karya-karya ulama syiah oleh kelompok Nawashib, salah satunya adalah pemalsuan terhadap karya Imam Khomaini, ada baiknya kami kutipkan kembali :

Kitab Kasyful Asrar karya Imam Khomaini.
Kitab ini ditulis untuk menanggapi buku berjudul Asrar Umruha alfu ‘Am, buku ini ditemukan telah dipalsukan oleh kelompok konspirasi (yang sudah saya sebutkan diatas)  dan buku palsu ini telah dimanfaatkan secara sempurna oleh kelompok konspirasi untuk menyerang Imam Khomaini dan Syi’ah diantaranya kemudian diterbitkan buku  berjudul Ma’al ‘Khomaini fi kasyfi Asrarihi karya Dr Ahmad Kamal ,  Sa’id Hawwa juga menulis buku berjudul Al Fitnat-ul Khumayniyah (diterbitkan pula ke bahasa Indonesia). Sa’id Hawwa juga bekerjasama dengan Dr Abdul Mun’im Namer beserta organisasi Konferensi Islam Rakyat Iraq menerbitkan buku berjudul Fadhlalh Ul Khumainiyah . Maha suci Allah, konspirasi tersebut akhirnya terbongkar dan yang membongkar justru ahlu sunnah sendiri, adalah Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata, seorang professor dan kepala bagian bahasa dan sastra timur universitas cairo, menemukan tindakan criminal kelompok konspirasi ini. Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata  kemudian melakukan langkah-langkah hukum untuk memperbaiki  nama baik ahlu sunnah. Temuan beliau diantaranya : Kitab Kasyful Asrar dipalsukan di Yordania  oleh penerbit bernama  Dar Ammar It Thaba’an wa-n ‘Nasr buku ini diterjemahkan oleh Dr. Muhammad al Bandari yang ternyata setelah diteliti nama ini tidak ada. Kemudian tercantum pula nama Sulaim al Hilalali  (komentator) dan terakhir Prof Dr Muhammad Ammad al Khatib.  Buku ini telah dipalsukan dari aslinya dengan sedemikian kasarnya, untuk mengetahui bagaimana kelompok konspirasi ini memalsukan kitab Imam Khomaini tersebut silahkan membaca di Kasyful Asrar Bayna  if shlihi al farisy wt tarjamah al urdaniyah karya Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata, dalam kitab itu Dr Dasuki sata menjelaskan secara detail per kata pemalsuan kelompok ahlu sunnah pro konspirasi.

Pada kesempatan ini, syiahnews.wordpress.com menyajikan tulisan Dr Ibarhim ad dasuki Syata yang membongkar kejahatan terhadap karya Imam Khomaini Kasyful Asyrar. Tulisan ini diambil seluruhnya dari buku yang sudah dialih bahasakan ke bahasa Indonesia yang berjudl KASYFUL ASRAR KHOMAEINI antara bahasa Arab dan Bahasa Parsi karya Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata Diterbitkan oleh Yayasan As Sajjad Jakarta.


Bantahan Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata Atas Pemalsuan Kasyful Asrar Khomeini

Teks Surat Tuntutan
Kepada
Yth. Al Ustadz Dr Sa’ad Muhammad Al Hajarsy.
Assalamu’alaikum Wr Wb.

Saya tidak bermaksud agar anda lebih mengutamakan surat ini saja, saya bermaksud membicarakan tentang buku Kasyful Asrar, karya Ayatullah Khomeini yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab di Yordan pada tahun 1987. Untuk pembahasan ini  saya mempercayakan kepada anda karena saya tidak yakin bahwa selain anda ada majalah lain, yang saya percaya untuk menerbitkan sebagaimana adanya, tanpa pengurangan  atau perubahan, sedikit maupun banyak.

Kepada Anda, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan sebelumnya atas apa yang saya harapkan dan saya percaya tentang pentingya surat ini…! Barangkali belum ada sebuah buku dalam beberapa tahun terakhir yang begitu membuat heboh  sebagaimana buku terakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, buku tersebut adalah  “Kasyful Asrar” karya Ayatullah Khomeini yang diterbitkan oleh Dar Ammar Lin Nasyr wat Tauzi’ di Amman tahun 1987.

Buku terjemahan itu di mukaddimahi oleh seorang guru besar hukum Islam, ia bernama Ahmad Al Khathib,  dalam prakatanya ia menuliskan, (bahwa syiah)  berdasarkan ucapan Khomeini meyakini tentang langgengnya jiwa setelah kepunahan raga, yang ini merupakan suatu kepercayaan tentang inkarnasi (penitisan penyusupan) roh, dan menutup akan suatu pengingkara terhadap hari kebangkitan dan hisab, bahwa ziarah kubur yang dilakukan oleh kaum syiah telah membuat mereka menjadi musyrik dan kecintaanya kepada Ahlul Bayt adalah suatu penghancuran terhadap Tauhid, Bahwa Ayatullah Khomeini yang meninggal pada tahun 1989 itu adalah orang pertama yang berpendapat tentang Al Bada.

Sesungguhnya permasalahan keyakinan syi’ah itu sudah menjadi pembicaraan  tersendiri,  masing-masing golongan Islam seperti  Syiah, Sunni, Mu’tazilah, Murjiah dan Qadariyah sudah banyak diketahui. Siapapun orangnya – tidak harus seorang guru syariah – dapat dengan mudah mengetahui prinsip-prinsip masing-masing cukup hanya dengan membuka sebuah buku eksiklopedia ilmu kalam karya Syahrastani, atau Ibnu Hazm, atau al Baghdadi atau Al Asy’ari untuk menelaah sejarah permasalahan itu.

Sangat di sayangkan Ahmad Al Khathib  telah menafsirkan kata-kata dengan bersandar pada terjemahan yang salah, ia menyandarkan pada terjemahan yang tidak sesuai aslinya, yang menyebutkan bahwa Khumeini  telah  mencaci maki  sahabat dan Rasul. Meski buku terjemahan yang keliru ini diprakatai oleh seorang Ustadz Syari’ah,  maka kita harus  menyatakan, tidak ikut campur dan mengikuti cara-caranya yang kurang sopan.

Sepanjang pengamatan saya, buku terjemahan itu telah mendapat tanggapan dari orang-orang yang saya katakan ” tidak penting”, mereka bermaksud untuk merobohkan Islam (syiah) dengan cara menjatuhkan pemikiran Ayatullah Khomeini, karena sudah tidak mungkin menjatuhkan khomeini, lantaran orang itu sekarang telah menghadap Tuhanya. Substansi persoalanya disini  sebetulnya adalah persoalan ilmiah, yakni pemalsuan penterjemahan, yang sudah barang tentu memerlukan penuntut umum (seorang jaksa), dan persoalan ini bukan masalah perbedaan sejarah, tetapi masalah pemalsuan,  oleh karenanya yang diperlukan adalah seorang jaksa saja, untuk menuntut kasus pemalsuan atas Kasyful Asrar Khomeini. Karena buku terjemahan ini telah menjadi narasumber perpecahan yang menjurus konflik, karena buku terjemahan itu telam memancing orang berteriak-teriak mengutuk Revolusi Islam Iran dan pemimpinya, dan menjadi sumber untuk menghakimi Khomeini, beberapa buku telah diterbitkan untuk merespon buku yang dipalsukan itu, antara lain : Ma’al Khomaini Fi Kasyfi Asrarihi oleh Dr Ahmad Kamal Sya’st, “At Finat-Ul Khumainiyah oleh Sa’id Hawwa dan enam artikel yang berbeda-beda yang ditulis oleh pemikir Islam dibawah pimpinan Dr Bisyar Ma’ruf dalam buku yang berjudul Fadhlaih-Ul Khumainiyah,  yang kemudian diterbitkan oleh Organisasi Konfrensi Islam Rakyat Irak.

Yang mendorong saya untuk membahas masalah ini adalah artikel yang diterbitkan oleh sebuah surat kabar (edisi Februari 1989) yang ditulis oleh Abdul Mun’im Namer, ketika dunia Islam seluruhnya merasa terhina oleh kekurang ajaran Salman Ruhsdi yang mengigaukan penghinaan terhadap Islam, Qur’an dan Nabi SAWW dalam bukunya (Ayat-Ayat Setan). Tiba-tiba Dr Namer datang sambil menuntut agar kecaman terhadap Salam Rushdi dikurangi, dan ia meminta agar umat Islam mengalihkan sebagian kemarahannya kepada Ayatullah Khomeini,  karena Khumaeni dalam bukunya “Kasyful Asrar” itu  telah mencaci maki sahabat Nabi beberapa kali lipat lebih banyak daripada yang dilakukan salaman Rushdi, dan ia memberikan  gelar kepada Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Dua berhala Qurasy”.

Saya berupaya untuk mengingat-ingat, saat saya mempersiapkan buku ” Revolusi Iran : Akar-akar dan Idiologinya”,  saya membaca buku asli Kasyful Asrar  yang masih dalam bahasa Parsi, saya tak  pernah membaca kebohongan  sebagaimana yang disebutkan oleh Dr Abdul Mun”im Namer. Untuk memastikan, saya merujuk kembali pada buku itu, dan ternyata tidak kudapati teks yang telah mengundang kemarahan sang Doktor itu. Akhirnya, dalam hati kukatakan, kalau begitu, sumber permasalahan ini menjadi tanggungjawab penuh penerjemah dari bahasa Parsi ke bahasa Arab.

Setelah melakukan penelitian pada buku terjemahan yang berbahasa Arab dan membandingkan dengan buku aslinya yang berbahasa Parsi, saya telah dapat mengungkap rahasia pemalsuan buku terjemahan Arab itu, yakni :
1. Kudapatkan pada diri sang Profesor syari’ah itu sendiri, yang kata-katanya tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan sejarah  Islam
2. Kudaptkan tulisan-tulisan baru, yang tak pernah ada dalam buku-buku dan buku aslinya.

Dalam buku itu, kudapati seorang pemberi catatan pinggir – bernama Sulaim Al Hilaly – ia telah menganggap Abu Ali Ibnu Sina (ibnu Sina-pen), sebagai bukan seorang muslim,  ia menuduh Ibnu Sina sebagai “Mulhid” (ataeis), qaramithah dan kebatinan  (Kasyful Asrar terjemahan Bahasa Arab yang di palsukan halaman 17).. betapa anehnya pernyataan ini, bukankah di zaman kita ini nama-nama perguruan tinggi dan metodologi pendidikan tinggi kita diambil dari beliau ? bukankah ini adlah tduhan tanpa realitas sejarah ? yang dilakukan oleh seoarang Sulaim al HIlaly.

Sulaim al Hilaly si marjiner notes itu telah memberi catatan -Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab  yang dipalsukan itu-  dengan cacian dan kata-kata kotor yang ditujukan kepada pengarang buku itu Ayataullah Khomeini, ia menuliskan Khomeini sebagai Mulhid, kebatinan, pembohong, pendengki dan fanatik Parsi. Padahal Khomaini tidak pernah menuliskan tulisan sebagaimana yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, sepenuhnya tulisan bahasa Arab itu menjadi tanggung penerjemah yang telah memalsukanya.

Kejahatan penerjemah bahasa Arab tersebut terjadi, saat Khomaini menuliskan penjelasan pada pembaca  bahwa bukunya ditulis dalam bahasa Parsi (Farisiyah) – kata Farisiyah jika diterjemahkan berarti Bahasa Parsi –  tetapi oleh penterjemah Arab dirubah menjadi “Furs” yang berarti Bangsa Parsi, lalu si marjiner notes mencacinya sebagai pengobar fanatik persia dan ia manantangnya sambil memberi nama Khomeini sebagai yang punya wahyu-wahyu syetan dan si pandir.

Dalam buku Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab  dalam setiap halamanya dipenuhi caci maki semacam itu… itu bukan tanpa kesengajaan, karena dalam setiap lembar buku itu tersedia bahwan terjemahan yang di palsukan sehingga memberikan bahan untuk mencaci maki penulisnya (Ayatullah Khomeini), sebagai contohnya adalah pada halaman 59 (Kasyful Asrar berbahasa Arab yang di palsukan), Khomeini ketika menjelaskan tentang syahid  ia menuliskan ” Wa dhaha bi kulli wujudihi fi sabilillahi” (dan ia telah mengorbankan semua yang ada di jalan Allah) kemudian oleh penerjemah berbahsa Arab di palsukan sehingga berbunyi “Wa Khasaro ruhahu min ajlillahi ta’ala” (dan ia telah merugikan rohnya lantaran Allah Ta’ala).  kemudian komentator menentangnya dengan melancarkan caci maki terhadap Khomeini lantaran beliau memandang syahid itu sebagai merugikan rohnya.

Penerjemah Arab dengan jahat menterjemahkan “Markaz Tasyayyu” yang tertera dengan bahasa parsi yang berarti pusat pengkajian syiah, diputarbalikan artinya dengan kata mamlaka as syi’ah al kubra yang artinya kerajaan syi’ah raya (lihat di halaman 90 Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan) kemudian komentator catatan pinggir menantang Khomeini dengan mengatakan : Kaum muslimin seluruh dunia harus mewaspadai Khomeinisme yang tersembunyi du balik baris-baris buku ini”.

Penerjemah Arab dengan jahat menciptakan permusuhan dengan cara membelokan artinya, Khomeini menuliskan dalam bukunya “an Thariqi al Umum”  yang artinya dengan cara yang umum yakni pada umumnya atau menurut semua muhaddisin, tetapi penerjemah Arab merubah dengan “an Thariqil ahlul ammah” (menurut jalan Ahlu Sunnah) pemberi catatan pinggir mengatakan bahwa wa yang dimaksud dengan Ammah itu adalah Ahlu sunnah, dan khomeini telah menghina Ahlu Sunnah. Padahal  dalam buku aslinya Khomaini tidak pernah menyebut Ahlu Sunnah apalagi menghinanya.

Pemberi catatan pinggir itu kadang-kadang menerangkan – sekalipun ia sudah terlalu jelas bodohnya – bahwa ia merasa lebih mampu memahami keterangan-keterangan daripada pengarangnya sendiri, lalu ia mengomentari keterangan pengarangya tentang sebuah hadis syi’ah, dengan mengatakan “riwayat yang sudah gugur ini tidak berarti telah diakui oleh khomeini” (lihat kasyful Asrar terjemahan bahasa arab yang dipalsukan halaman 92).

Atau kadang ia mengatakan : Semoga Allah tidak memecahkan giginya dalam mendifinisikan tentang Al Bada’, dan sipenerjemah memalsukan difinisi Al ba’da dengan arti yang tidak pernah tercantum dalam kitab-kitab ilmu kalam dan kemudian dinyatakan itu sebagai pernyataan Komeini. (Al Bada’ ialah bahwa Allah mengetahui apa yang sebelumnya tidak ia ketahui) halaman 99, dan contoh pemalsuan yang kemudian dinyatakan sebagai pernyataan Khomeini sangat banyak dan tidak mungkin disebutkan semuanya dalam tulisan ini.

Kini kita kembali membicarakan penerjemah, yang akan memikul beban besar pekerjaan ini, yakni Dr. Muhammad Al bandari, dan kemungkinan namanya itu nama alias yang tentu saja menyandang gelar Doktor. Tetapi bukan Doktor dalam bahasa Parsi dan ilmu-ilmu bahasa Parsi, yang pengetahuan si penerjemah itu hanya mengetahui bahasa lisan saja. Nama Al Bandari yang dipakai penerjemah itu saya sebut nama alias, mungkin untuk meyakinkan ke pembacanya, klarena nama al Bandari dipinjam dari seorang tokoh besar ahli Bahasa Parsi Al Fath bin Ali Al Bandari penerjemah Syahnameh Al Firdausi kedalam bahasa Arab pada permulaan abad ke tujuh Hijriah.

Saya tidak habis mengerti, mengapa ia mencatut nama samaran dengan tokoh besar itu? Bagaimanapun buku ini ditulis oleh seorang alim terkemuka dalam suasana tertentu, buku kasyful Asrar ini ditulis untuk membantah dan menangkis buku-buku tertentu dan menggunakan istilah tertentu pula, yang mengherankan penerjemah  yang bernama hebat itu,tidak mengetahui sedikitpun tentang masalah itu, ini menunjukan sebagai bukti bahwa terjemahan Kasiful Asrar itu sebagai terjemahan keterlaluan dan penerjemah tidak memiliki pemahaman terhadap yang diterjemahkan baik dari segi permasalahanya maupun keseluruhan tulisanya. Ada kemungkinan hal ini menjadi penyebab lemah dan bekunya teks bahasa Arab itu sehubungan dengan revolusi yang hebat itu dan dalam segi-segi teks bahasa yang sedang tersiar.

Buku Kasyful Arar ini telah ditulis oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1942, keyika ia berusia empat puluh tahun, dan belum mencapai derajad mujtahid dan ketika Reza Syah Pahlevi jatuh, maka mualilah periode keterbukaan di negeri Iran, maka seorang penganjur nasionalisme Iran memanfaatkan masa itu untuk menyerang islam. Maka khomeini menulis bukunya untuk menangkis tulisan-tulisan Ahmad Kisrawi, seorang nasionalis Iran, yang menyerukan secara terbuka  agar bangsa Iran kembali ke bahasa dan agama Iran sebelum Islam.Buku Kasyful Asrar itu juga sebagai tangkisan  tulisan Syai’at Sankalji seorang penganjur pembaruan madzhab, dan  seorang yang bernama Abi L Fazal Galbaigani al Bahaiy dan pengikutnya  yang menyerang syiah Istna ‘asyariyah.

Oleh karena faham wahabbi pada waktu itu merusak peninggalan bersejarah islam, dengan menyerang peninggalan-peninggalan Islam dengan menuduh peninggalan itu sebagai kuburan. Wahabi juga menyerang dan menggoncangkan Al Azahrus Syarif, ketika rombongan utusan Al Azhar dibawah pimpinan rektornya datang kepada Wahabi di tolak karean dituduh pemuja kuburan. Kaum Wahabbi merasa buku kasyful Asrar yang ditulis Khomaini ditujukan kepada mereka, padahal buku itu  sekalipun membahas Ziarah Kubur, Nazar, Istikharah dan syafaat buku itu hanya membahas sekali.

Badan yang menyelenggarakan pekerjaaan terjemahan ini tidak mengetahui latar belakang teks alsinya oleh karenaya komentator dengan sangat serampangan memberikan alasan untuk mengkafirkan Khomeini. Dan penerjemah itu sendiri yang memikul beban dosa paling banyak.

Pernahkan ada dengar tentang seorang penerjemah yang menampilkan terjemahan suatu naskah dalam bidang kelilmuan yang tak dikuasainya, atau melakukan suatu kesalahan kecil dengan mengganti istilah, “riwayah” yaitu istilah fiqh diganti dengan “hikayah”? (halaman 93), atau memutar balik terjemahan suatu teks, yang latar belakangnya sudah diterima dan terpakai dalam masa cukp lama dari kultuir syi’ah, filsafat dan tasawuf.

Namun tanpa pengetahuan sedikitpun tentang permasalahanya, ia menerjemahkan dengan serampangan dan mengganti tauhid dengan syirik, tanzih yang berarti menyucikan Allh diterjemahkan menjadi tajdif (penghinaan terhadap Allah), Penterjemah mengganti kalimat “turabul ahya wahibun lil hayati (tanah yang akan memberi kehidupan) dengan at turbatu wahbatul lil hayati” (turbah itu memberi kehidupan) penerjemah mengganti ” turabul” menjadi “at turbatu”, mungkin untuk mengejek umat syiah yang kebanyakan mereka sujud dalam salatnya di atas sekeping tanah kering yang disebut turbah (lihat halaman 61).

Penerjemah tidak mampu membedakan antara riwayat “sapi betina Bani israel ” yang menghidupkan kembali orang mati, ketika sebagian tubuh sapi-yang sudah dipotong-itu dipukulkan kepada orang mati tersebut (QS Al Baqarah ayat 67-73) dengan  Riwayat “anak sapi Samiry” yang telah ia gengam sekepal tanah dari jejak Rasul, kemudian ia masukkan ke dalam mulut sapi, kemudian jadilah patung mas itu anak sapi yang mempunyai suara (QS Thaha ayat 96).

yang dimaksud Rasul di sini ialah Jibril, dan riwayat itu meripakan salah satu dari bab-bab tasawuf bahasa persi, tetapi ia menrjemahkan Rasul itu dengan Nabi, sehingga campur aduklah kedua riwayat itu (lihat hal 62).

Inilah kejahilan yang parah, yang disandang oleh penerjemah itu tentang semua apa yang bersangkutan dengan keislaman, kemudian katanya, semestinya Ayatullah khomeinilah yang mengatakan kekufuran ini, perbedaan pendapat antara kaum muslimin tentang apabila Allah sudah atau belum mempunyai wujud, kemudian ia melanjutkan (apakah ia mencair dalam zatnya ataukah tidak cair, dan apakah mungkin Allah itu suatu jism atau bukan dan seterusnya) (terjemahan halaman 135) Berdasarkan terjemahan ini, penerjemah hendak menggiring pembacanya bahwa Khomaeini telah membuat pernyataan sia -sia itu. Apakah Khomeini menyatakan itu ?

Sepotong katapun Khomeini tidak menuliskan hal itu dalam Kasyful Asrar, Dalam buku asli berbahasa Persia khomaini menulis sebagai berikut ” namun ada suatu contoh tentang khilafay diantara kaum mulimin, yang berkisar apakah Allah mempunyai sifat-sifat atau tidak mempunyai sifat-sifat, kalau ia mempunyai sifat-sifat apakah sifat-sifatnya ialah dzatnya sendiri, apakah mungkin Allah merupakahn suatu raga? (Teks Asli bahasa Persi hgal 113) bandingkan antara kedua terjemahan itu.

Ketika penetjemah itu kebetulan menghadapi masalah hukum Fiqhiyah bahwa air menjadi najis meskipun seukuran ujung jarum selama airnya kurang dari satu kur, maka ini akan mencampakan seluruhnya, lantaran si penerjemah tidak memahami arti kata “kur” dan tidak mau membenahi pikiran dengan mencari artinya.  Ia disibukan dengan urusan lebih penting, yaitu pemalsuan teks. (bandingkan kitab terjemahan yang dipalsukan hal 231 dan teks aslinya hal 218) tentang kaidah fiqhiyah : “Muqadimat’ul wajibi wajibatun (Pengantar sesuatu yang wajib sesuatu yang wajib), penerjemah mencoretnya dua kali (yang pertama pada halaman 244 dan yan kedua di halaman 245) namun saya tidak tahu kenapa penerjemah membuang halaman 265 secara keseluruhan. Khususnya yang menyangkut keterangan bahwa Ayatullah khomaini mencanangkan langkah-langkah dalam penanaman dan pertanian padi dan kesulitan-kesulitan yang memberatkan petani padi. namun pasalanya apabila penerjemah itu tidak tahu tentang fiqh, tidakkah ia dalam keluasan ilmunya sebagai ustadz syariah dapat dapat mengalihkan pandangan atau pendapatnya, atau mungkin ia belum mwmbaca teks itu, kemudian melakukan terjemahanya ?

Antaralain yang memperkuat keraguan, ialah, bahwa penguasaan penerjemah akan bahasa parsi adalah  isapan jempol belaka, dan kebodohanya yang sempurna tentang sejarah Iran.

Ia lagi-lagi membuang teks yang memuat nama orang kejam  yang bersejarah itu atau peristiwa yang melatari sejarah tersebut, sebagai contohnya ia tidak mau menterjemahkan terjadinya perjanjian kerjasama antara kerjaan Iran dan Inggris yang kemudian menyengsarakan rakyat Iran,  bahkan dua orang algojo kejam Mukhtari dan Ahmadi  yang gemar membunuh rakyat dimasa kekuasaan Reza Khan juga dibuang tidak dia terjemahkan, maka  jadilah ia  membaung sebagian besar teks  halaman 283 dari buku yang asli dan ia tidak menerjemahkanya, sepertinya ia mendukung kejahatan Reza Khan dan setuju dengan kerjasama Kerajaan Iran dengan Inggris yang ditentang Khomeini itu.

Tetapi sikap tak konsistenya itu justru membuka kedok kejahatan sang penerjemah, ia telah dengan sengaja mencuri nama besar Al bandari, penerjemah kata-kata sulit dalam sastra perisa, tapi ia memalsukan bahkan menghilangkan substansi buku yang ditulis khomaini tersebut.

Bila kita katakan, bahwa penerjemah itu menjunjug kejujuran dalam penerjemahan, maka apakah dapat dibenarkan  ketika ia menerjemahkan ayat  Al Qur’an yang diterjemahkan kedalam bahasa parsi itu kemudain ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab lagi dengan semanunya sendiri tanpa merujuk kepada mushaf Al Qur’an :
perhatikan bagaimana penerjemah Kasyful Asrar memalsukan ayat Al Qur’an, ia menuliskan
” Rab-isyrahli shadri wa yassili amri wahlul uqdatan min lisani yafqhu quhi, waj’al mu’ini Haruna akhi fa sydud sa’di bihi waj’allhu syariki”.

(Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku, bukakakan buhul tal;i yang mengingat lidahku sehingga mereka mengerti perkataanku, jadikanlah penolongku Harun, saudaraku, kuatkan lenganku denganya dan jadikan dia sekutuku) lihat terjemahan bahasa arab yang dipalsukan halaman 158
Padahal ayat tersebut dalam buku aslinya tertulis sebagaimana termuat dalam QS Thaha yang berbunyi :
“Qala Rab isyrahli wa yassirli amri wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qauli waj’alli waziran min ahli Haruna akhi usydud bihi azri waasyrikhu fi amri “(Q Thaha 25-32).

(Ia musa) berkata “Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, bukakan buhul tali yang mengikat lidahku agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, Harun saudaraky, kuatkanlah denganya bebanku dan persekutukanlah dia dalam urusanku).
Kalau dia memang tidak bermaksud menerjemahkan suatu nas dari Al Qur’an, mengapa ia meletakanya diantara dua kurung akulade ?

Dihalaman 160 dari terjemahan itu, kta baca : “Allahumma-b’adni wa auladi ‘an ‘Ibadatil austan (Ya Allah jauhkan daku dan anak-anaku dari penyembahan berhala) dan tentu yang ia maksud adalah ayat :
Rabbi j’nubni wa baniyya an na’budal ashnam (Tuhanku, jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala).

kita dapat membayangkan, seorang penerjemah yang tidak mau membuka mushaf (Qur’an) itu agar kita dapat melihat segi-segi geneusnya yang luarbiasa tetapi ia memalsukan tek-teks, membuang  maksudnya, yang pada akhirnya ia dapat mengeluarkan pernyataan yang mengkafirkan Ayatullah Khomeini, dan setiap orang akan mengikutinya dalam mengkafirkan Khomeini, sungguh kejahatan yang luar biasa.

Ya saya merasa berbahagia, wahai tuan-tuan para syeikh yang mulia, dan para ulama terkemuka dengan segala penghormatan dan penghargaanku untuk ikut mendorong dan menjadi me3diator saya merasa pula berbahagia, untuk mengingatkan tuan-tuan semua, bahwa tuan-tuan telah tertipu dengan teks yang dipalsukan dan dibohongi, yang serupa dengan bahan-bahan perfilman palsu.. ingin tahu buktinya ? marilaj kita bersama-sama membuka-buka itu melalui teks Kasyful Asrar yang asli yang berbahasa Parsi :
Artikel yang khusus mengenai masalah Akidah, yang oleh pengarangnya dinamakan “Tauhid” ialah, sebagaimana yang saya katakan, memuat sebagian masalah-masalah keislaman dalam catatan pinggirnya, dan di dalamnya tidak ada pengkafiran terhadap siapapun yang berbeda dengan keyakinan penulisnya (khomaini).

Maka jadilah permasalahan kita yang paling pokok sekarang, di zaman keterbelakangan, zaman ikut-ikutan dan zaman minyak ini, dan paling wajar pula bagi penerjemah adalah cukup menukil (memindahkan) apa adanya, tetapi niat dan tujuan buruk itulah yang mendorong penerjemah melakukan perubahan dalam sebagain teks itu, kemudian ia buang apa yang ingin ia buang, sehingga munculah serangan terhadap Khomeini, salah satunya adalah masalah Mukjizat, penerjemah telah dengan sengaja memutar balikan keterangan Khomaini sehingga menjadi keterangan yang tidak logis dan tidak dimengerti (lihat halaman 66 dan 67 dari terjemahan Kasyfula Asrar berbahasa Arab) dimana beberapa baris keteranganya dibuang sehingga terjemahanya tidak bisa dipahami .

Demikian pula terjadi pengubahan melalui pembuangan pengurangan, pada halaman 74 dari teks bahasa Arab yang berlawanan dengan halaman 57  dari terjemahanya itu, yang membuat teks bahasa Arab dalam terjemahan itu tidak dapat dimengerti, itu di lakukan dengan tujuan agar dapat diperkirakan oleh para pembacanya bahwa itu adlah ide penulisnya Khomaini.

Perhatikan pula, ketika penerjemah itu membuang keterangan di halaman 61 setelah keterangan ” kami persilahkan kalian bertanya kepada siapapun dari orang syiah Istna Astary, dan keterangan yang dibuang adalah “kami tidak bertanggungjawab tentang syiah yang lain” (pada tekas asli bahasa parsi halaman 57), kita tidak mampu mengatakan bahwa pembuangan itu bukan tanpa maksud bahkan cenderung sebagai kesengajaan penterjemah, hal itu tidak lain adalah agar pembaca menyimpulkan bahwa Syi’ah Itsna Asyary  dipersamakan dengan Syi’ah Ghaliyah (ekstrim).

Demikian pula halnya, bahwa sebagian isi pemotongan tersebut menunjukan bahwa penerjemah tersebut menunjukan bahwa penerjemah itu menghadapi terjemahan yang berbeda dengan kieyakinan yang ia peluk, maka ia dengan sengaja membuang keterangan, sehingga dia tidak memahami taswiyah dan tasnim dalam suatu diskusi tentang masalah bangunan kuburan lalu ia buang seluruhnya (hal 85).

Demikian pula kita tidak mengerti, mengapa dia membuang enam baris  dalam halaman 96 tidak lain karena baris-baris itu memuat pujian dan sanjuangan terhadap Al Qur’an Karim ? anda dapt melihat bahwa penerjemah tidak senang pada penulis Kasyful Asrar yang tampak sangat mencintai Al Qur’an
Fakta Kasyful Asrar terjemahan Arab menunjukan, bahwa hampir setiap halaman dari terjemahan tidak ada yang terbebas dari pembuangan dan pemalsuan.  Maksud dan tujuan dari pembuangan itu adalah memalsukan dan memperjauh terjemahan dari teks aslinya, dalam masalah Imamah misalnya  terdapat banyak sekali bahkan dikatakan seluruhnya dipalsukan oleh penerjemah, berikut catatan kami :
1. Pandangan pemikiran Khomini tentang Imamah, wilayah, wasiyat dan khilafah dinyatakan sebagai hasil pemikiran dan ijthad Khomaini, padahal pemikiran itu sudah ada sebagai peninggalan syiah seribu tahun silam, karena ada tujuan politik maka Khomainilah yang harus dinyatakan sebagai kreator paham itu.
2. Surat saya ini berkisar pada penerjemahan semata dan menilai sedekat apa terjemahan ini dengan teks aslinya yang erbahasa persia. Ia merupakan diskusi ilmiah yang memuat nurani ilmiah pengetahuan di negeri kita ini, tetapi penerjemahan itu telah menghilangkan nurani keilmiahan.

Banyak sekali pemalsuan terhadap Kasyful Asrar nya khomaini sehingga nurani keilmiahan hilang, ketika penerjemah menterjemahkan kalimat “arbabul ahwa wa thullab ur ‘riasah (pemimpin hawa nafsu dan pemburu kepemimpinan ) teks asli hal 107 penerjemah mengganti dengan al intihaziyin al mutrabbishin (mereka yang mengambil kesempatan dan mereka yang menunggu-nunggu (hal 123 pada terjemahan yang dipalsukan), atau ia menerjemahkan “Ul ubatun fi yadi hafnatin min akhdzii ma laisa haqqan lahum”(permainan-permainan di telapak tangan orang-orang pengambil yang bukan hak mereka, diganti dengan “Al Qarashinah al waqihin” (pembajak yang tahu malu) ia lakukan penyelewengan penerjemahan itu dengan maksud membuka daun pintgu caci maki, kemudian Ahlu Sunnah akan memandang, bahwa kandungan keterangan itu ialah ketiga khalifah pertama (Abu Bakar, Umar dan Utsman), padahal yang dimaksud oleh khomaini adalah semua orang yang mengambil bagian atau bersekutu di saqifah setelah rasululaah saw wafat, atau setelah peristiwa-peristiwa seterusnya, dan telah disetujui atau terdapat dalam sumber-sumber sunnah dan syiah.

Ketika penerjemah atau pemberi catatan pinggir  memilih dan memberi catatn pinggir di halaman 126, lalu memutuskan bahwa Khomaini dan pengikutnya menyerupakan Abu bakar dan Umar dengan Dua berhala Qurasy, ia juga mengutip sebuah do’a yang salah dan tidak dipakai, yang tidak dibaca kecuali oleh orang fasiq, Sementara itu penerjemah menuliskan ” sesungguhnya do’a ini telah ditandatangani oleh para fuqaha besar syiah, dan diantaranya oleh khomaini, kemudian penterjemah melanjutkan  sesungguhnya do’a itu terdapat dalam kitab Az Dzariy’ahdan kitab-kitab itu termasuk peninggalan syiah dan lebih dari itu ia di kutip dari sebuah kitab berbahasa urdu bernama Tuhfatul ‘Awam, maka atas setiap orang berlimu atau pelajar harus mengambil doa tersebut dan mneghubungkan dengan khomini. Padahal dalam naskah aslinya tidak ditemukan redaksi semacam itu Khomaini tidak pernah menyebut Abu Bakar dan Umar kecuali dengan sebutan “Syaikhain” dan ia molak secara terbuka pencacimakian kepada mereka berdua setelah ia mencapai kekuasaan.

Agaknya – para ulama kita dengan ini – hendak menambahkan hal baru tersebut dalam metode ilmiah, yaitu bahwa catatan pinggir apapun yang ditambahkan kepada sebuah buku terjemahan, tidak boleh tidak harus dinisbahkan kepada pengarangya sekalipun itu bukan tulisan pengarangnya,  apakah nurani ilmiah kita pernah mendengar kaidah seperti ini ? kemudian dari mana  penerjemah dan komentator itu memperoleh dan meniru tanda tangan syikhsyekhdi atas do’a-do’a itu ? dan kapankah orang awam dari firqah apa saja yang mengatakan demikian -kalau mereka mengatakannya- yang dihubungkan kepada para pemikir dan ulamanya ? yang tahu tentang hal itu hanya penerjemah dan pencatat pinggir.

Kini kita beralih ke bagian berikutnya yang mengatakan bahwa (mentaati pemerintah Ulil Amri artinya mentaati pemerintah Islam (hal 125). pernyataan tendensius ini  yang memutar balikan pikiran khomaini secara paksaitu, agaknya merupakan terjemahan untuk keterangan yang mengatakan : “karena Allah swy telah mewajibkan  umat agar menaati ulil Amri, maka pemerintahan Islam pasti tidak boleh lebih dari satu pemerintahan. Kalau tidak, maka akan terjadi kekacauan/ketidak teraturan (hal 109 teks asli).

Penterjemah juga memalsukan  Hukmul kalalah wa mirastul jaddah (hukum kalalah -orang meninggal tidak meninggalkan saudara laki-laki dan permpuan dan warisan nenek) yang diterjemahkan menjadi :Ahkamul qashirin wal irsti (hukum-hukum tentang orang-orang yang kekurangan dan warisan). terjemahan ini membabi buta dalam perkara seperti ijni, dan telah menciptakan permusuhan antar golongan-golongan yang berbeda dari kaum muslimin dianggap sebagi suatu kejahatanm dengan tolak ukur apapun. Dapat dipastikan bahwa terjemahan ini tidak bertujuan lain kecuali menciptakan permusuhan.

Ketika pengarang (Khomaini) menjawab pertanyaan : “Kalau Imamah memang penting, mengapa Allah swt tidak memberi nash, dan tidak menyebutkan secara tegas dalam Al Qur’an bahwa Imamah itu untuk Ali dan anak keturunanya sesudah dia ? Khomaini menjawab : Peryataan yang dicario-cari ini hendaklah kalian sendiri yang menjawabnya, tidak lebih dan tidak kurang. Maka apabila Imamah adalah perkara batil, mengapa Allah swt tidak mengumumkan dengan terang-terangan dengan tegas tentang kebatilan imamah agar perselisihan pendapat diantara kaum muslimin dapat dicegah dam supaya tidak terjadi semua pembantaian ini karena isu imamah ini

Adalah lebih utama kalau Allah menurunkan sebuah surat yang mnegaskan bahwa Imamah bukan untuk Ali dan anak keturunanya, maka perselisihan akan hilang, sebab Ali tidak pernah mendurhakai perintah Allah sekejap matapun, sebagaimana  pula tidak pernah menjadi penuntun riasag. namun saya akan membuktikan kebenaran anggapan walaupun Allh SWT menyebutkan nama Imam secara tegas maka khilaf, perselisihan pendapat tidak akan hilang bahkan pasti muncul problem-probelm yang lebih merugikan (Teks asli hal 113)
Bagian ini oleh penerjemah dimanipulasi sehingga berisi demikian : Problem berhubungan dengan kalian, bahwa para agamawan sedapat mungkin mengatakan, bawha imamah sudah ada, tetapi mengapa  Allah tidak memperjelasnya agar perselisihan pendapat antar kaum muslimin mengenai masalah itu lenyap ? adalah lebih baik jika ia menurunkan suatu ayat yangmenunjuk Ali ni Abi Thalib dana anak keturunanya, karena hal itu menyelesaikan masalah (terjemahan hal 129).

Biarlah kita tinggalkan dahulu meteode baku itu. Sebaiknya kita lihat adakah sesuatu hubungan antar dua teks tersebut.

Tidakkah lebih utama demi rencana yang keji, jika ia menampilkan terjemahan yang dipercaya untuk buku itu lalu memberikan bantahan dari seorang terpercaya, khususnya dalam bidang itu, karena sesungguhnya persoalan-persoalan itu yang diributkan itu menghentikan studi tentang khazanah Islam ? namun akan tampak jelas bahwa segi yang menjadi tanggunganya untuk dibantah, membuatnya tidak menemukan cara yang efektif selain memalsukan teks-teks, kemudian membantah dan mencaci maki.

Contoh-contoh seperti pencelupan dan terjemahan global tak terhitung banyaknya, sehingga pembaca seakan-akan membaca buku baru bukan terjemahan. Jika tidak maka jumlag para pakar bahasa parsi selain al Bandari modrn itu sungguh banyak. Mereka bisa diundang dan dimintai sarannya tentang masalah ini.
Kini giliran  catatan-catatn pinggir yang menjadi sasaran manipulasi penerjemah, Ketika pengarang memberikan sebuah catatan pinggir tentang tentang sumber-sumber  terpenting, yang ia jadikan pula sebagai alasan atas apa yang ia katakan. Sedangkan nomor-nomor halaman yang dapat menunjukkannya , dibuang seluruhnya oleh penerjemah (hal 115 dari teks asli dan hal 132 dari terjemahan), lalu akan kita namakan apa ini terjemahan atau pemalsuan ?

Pada akhirnya penerjemah terperosok kedalam suatu kesalahan yang menertawakan dan mengerikan, namun saya berangan-angan mudah-mudahan itu hanya kesalahan cetak semata. Seandainya ia tidak nmengulang, perhatikan terjemahan ini : lalu mengatakan bahwa ahlu sunnah dan syiah sepakat beranggapan bahwa nabi mempunyai saham dari khumus dan Allah mempunyai saham lain (lihat di buku yang dipalsukan hal 132) dan teks dari kandungan buku yang jelas itu menyebutkan  kata yang artinya keluarga dekat (aqarib, ahl da aal)  (lihat pada buku aslinya halaman 446) apakah penerjemah menghendaki agar kel;uarga Nabi itu tidak mendapatkan haknya dari Khumus melalui terjemahan itu ?

Kemudian kita datangi tempat tempat penghentian kuda dari terjemahan ini, agar pembaca mengampuniku lantaran aku telah berkepanjangan dalam pembicaraan … maka terjemahan dalam topik ini terutama tentang kelemahan nilai fikirnya, yang memberikan gambaran jelek kepada pembaca  tentang penerimaan Khomeini  terhadap pandanganya dan pandangan syi’ah sebelumnya tentang hal yang dibesar-besarkan dan dihubungkan dengan Umar, sedangkan teks yang tercantum di dalam riwayat syi’ah disebut ”Raziyyah Yaumal Khamis (bencana hari kamis), yaitu hari wafat Rasulullah saww,  disini Khomeini berkata, ”Ketika Rasulullah saw  menjelang wafat dalam keadaan sakit, sejumlah orang berkerumun dihadapan beliau yang diberkahi itu. Kemudian beliau mengangkat suara yang parah, ”Bawalah kemari sesuatu untuk kutulis, yang kelak menjaga kja;lian dari kesesatan sepeninggalku selamanya !”.

Tiba-tiba Umar bin Khatab berkata : ”Rasulullah mengigau ”, riwayat ini telah dikutip oleh penulis-penulis sejarah dan para perawi hadis, eperti Bukhori, Muslim dan Ahmad dengan teks berlainan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa ucapan yang telah dilontarkan secara serampangan oleh Umar bin Khatab dan merupakan bujukan atau gurauan ini, cukuplah bagi orang muslim yang memendam kecemburuan keagamaan sebagai suatu kenyataan sampai hari kiamat, behwa mereka telah memberikan penghargaan yang mulia kepada Rasululah lantaran beliau telah mengorbankan dirinya, menanggung ujian dan musibah demi pembimbingan yang beliau lakukan untuk mereka.

Dan bagaimanapun orang-orang terhormat dan pencemburu mengetahui, bahwa kepergian roh suci itu setelah mendengar kata-kata ini dari Umar bin Khatab, kata-kata gurau yang hanya muncul dari prinsip kufur dan zindiq. Karena menyalahi Al Qur’an dan ayat-ayatnya yang dzahir dan mengatakan dalam surah An najm ayat 3-5 ”Dan tia tidak berkata dari keinginan dirinya. Tidak demikian dia, melainkan menurut wahyu yang diwahyukan. Yang diajarkan oleh Malaikat yang sangat kuat”.

Dalam ayat lain Allah berfirman :”Taatlah kepada Allah dan taat pula kepada Rasul Apa yang Rasul bawa kepadamu ambilah dan apa yang dicegahnya hentikanlah, dan tiada teman kalian itu gila : (Teks asli bahasa parsi hal 199).

Kemudian si penerjemah memalsukan sebagai berikut : Ketika Rasulullah sedang terbaring sakit menjelang wafat, dan sejumlah orang mengerumuninya, maka beliau bersabda kepada hadirin : ”Bawalah kemari sesuatu untuk aku tuliskan tentang sesuatu yang menyelamatkan kalian dari kesesatan ”.

Kemudian Umar bin Khatab berkata, Rasulullah mengigau. Riwayat telah dikutip oleh para sejahrawan dan ahli hadis, diantaranya Bukhori, Muslim dan Ahmad dengan perbedaan kata, dan ini menjadi bukti bahwa laporan ini dari ibnul khattab yang mengada-ada dan menjadi bukti yang paling baik bagi seorang muslim yang mempunyai semangat, dan kenyataan bahwa mereka telah memberikan penghargaan yang semestinya kepada nabi yang telah bersusah payah dan menanggung beberapa musibah lantaran petunjuk dan bimbinganua kepada mereka.

Beliau telah menutupo kedua matanya, sedangkan dalam telinganya terngiang-ngiang perkataan ibnul khattab  atas dasar kepalsuan kebohongan dan tumbuh dari tindakan kekufuran dan Zindiq, serta menyalahi ayat-ayat Qur’an tersebut… sampai akhir (Terjemahan bahasa arab yang dipalsukan hal 137).

Dia teks itu berdekatan maknanya, sedekat dua perkataan : ”Engkau adalah seorang yang terjangkit kejahilan” dan ”Enkau telah musyrik, demi Tuhan Ka’bah”, padahal di antara kedua ungkapan itu ada perbedaan makna yang mengakar, jika seorang muslim memendam cinta pada Rasululah saww, yang dikatakan bahwa beliau sedang sakit keras dan beliau meracau/mengigau, lalu ia melontarkan suatu ungkapan yang menyalahi sopan santun (adab), maka alngkah kufur dan syiriknuya ini, apakah para ulama yang mulia akan menerimanya, bahwa Nabi mengigau, namun mereka tidak akan menerima jika dikatakan, bahwa Umar bin Khattab berkata kasar,sungguh setakar dibanding dengan dua takar.

Penerjemah itu tidak mungkin akan berkeras kepala mengubah-ubah dan mengganti apa yang ia sukai. Sekiranya dia belakang dia tidak ada suatu lembaga yang mendorong dan melindungi serta menyebarkan omong kosong ini, kemudian perhatikanlah teks yang ada di ujung halaman 123 dari teks bahasa parsi yang asli ini.

Patut disebutkan disini, bahwa nazar bagi Nabi atau Imam atau siapapun saja adalah sah secara syar’i, ketika nadzar itu pada prinsipnya ditujukan kepada Allahdan diniatkan karena Allah, dalam suatu perkara yang dibenarkan serta berlaku ucapan atau pernyataan nadzar. Kalau tidak demikian , maka berarti nabi dan Imamlah yang akan memberi pahala, namun hal ini suatu yang sia-sia dan tertolak, bahkan haram hukumnya menurut syara’.

Kemudian sang penerjemah memalsukan demikian :
”Hendaklah kita jangan lupa, bahwa nazar untuk Nabi dan Imam adalah benar dan sah secara syar’i, apabila dazar itu ditunjukan kepada Tuhan, dan pelaksanaanya diletakan pada proporsinya. Pada saat itu Nabi  dan Imam itulah yang akan memberinya pahala, jika tidak, maka ia dianggap suatu yang batil dan boleh jadi haram (terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan halaman 141).

Perhatikan bahwa ia telah memutarbalikan teks secara sempurna, seperti ia memutar balikan perkataan-Imam Ali- diputar balikan kepada perkataan ”Keledai liar yang membalik wajahnya yang lebih buruk.

Demikian, dalam banyak bagian dari terjemahan yang mengherankan seperti ini, ia melakukan nafi (peniadaan) dirubah menjadi Istbat (pengiyaan).

Demikianlah, dalam banyak bagian dari terjemahan aneh seperti ini ia melakukan pemutar balikan. Sesuatu yang seemestinya firmatif dinegatifkan, dan semestinya negatif dipostifkan. Sehingga secar tiba-tiba kita dapati keterangan Khomaini diterjemahkan demikian :
”Berperang bersama-sama Imam itu seperti makan daging babi” (halaman238 dari terjemahan bahasa arab yang di palsukan).

padahal Khomaini berkata sebagai berikut (lihat di buklu asli yang berbasaha Parsi halaman 225) :
”Berperang tidak bersama Imam itu seperti makan daging babi ” (Khomaini berkata ”fi ghairi ma’iyyatil Immam) oleh penerjemah perkataan ”fi ghairi” di buang dan diganti dengan perkataan ”ma’al imam” ,
Kemudian kita masuki kasus lain berkenaan  dengan manipulasi yang dilakukan oleh penerjemah ini, yaitu isu bahwa Syi’ah itu mempunyai Mushaf (Qur’an ) sendiri, karena mereka beranggapan bahwa wahyu turun atas Fatimah as, sebagai bela sungkawa atas kematian nabi Saww, kemduain ia terus membawakan riwayat-riwayat abad-abad terdahulu.

Atas dasar inilah syiah menyebutnya ”mushaf Fatimah”. Yaitu mushaf khusu bagi syiah yang di duga bukan aslinya, merka (pembuat tuduhan palsu) melebih-lebihklan, dengan mengutip surah-surah dan ayat-ayat dari mushaf yang dipersangkakan itu, apa saja yang dibicarakan tentang permasalahan tersebut dalam buku ini merupakan bantahan dari khomaini terhadap orang yang mendakwakan dengan tuduhan palsunya, bahwa orang-orang yang bersandat pada gosip-gosip dan ucapan orang awam yang tak berpendidikan dan melekatkan kebohongan demikian pada Syi’ah Istna Asyiriyah ”.

Lalu apa yang dituliskan penerjemah :
Seperti biasanya, ia memanipulasi perkataan Khomaini, ia tampilkan bagian ini di bagian akhir tulisan, atas dasar agar tampak bahwa itu adalah pendapat Khomaini (padahal Khomaini membantah tudingan itu di manipulasi menjadi seolah-olah pendapat khomaini), ini terjemahanya :
Ketika Khomaini berkata ”Janganlah kalian membebani kami untuk menyanggah kalian tanpa sebab, karena urusan penurunan wahyu itu tidak menuntut agar para Nabi itu berjumlah empat belas orang, yang dimaksud Khomaini adlah Rasulullah, Fatimah dan dua belas Imam dengan cara yang mudah dan sederhana ini , penerjemah berusaha mengalihkan tuduhan bohong dari seseorang yang ditujukan kepada syiah, dan sama sekali memutar balikan pernyataan Khomaini yang menolak tahrif Al Qur’an . Inilah kejahatan-kejahatan dari penerjemah, hampir-hampir disetiap kesempatan ia tidak melewatkan pemalsuan untuk menciptakan kesan buruk kepada khomaini.

Ketika Khomaini berbicara tentang Rasulullah saww , ia menuliskan : ia (Rasul)tidak pernah takut karena celaan orang atas perbuatan kebajikan yang rasul kerjakan, karena Allah akan melindungi dirinya. Oleh penerjemah pernyataan itu dipalsukan demikian : ” Sesungguhnya perbuatan-perbuatan beliau (Nabi) itu tidak pernah menghadapi kesulitan, perbuatan jelek (Nabi) itu memang mengenai sasaranya”.

Ketikla ia menerjemahkan hadis syiah : ”Orang-orang telah murtad sesudah Rasulullah, kecuali tiga Orang (teks asli bahasa persia hal 133) kemudian dipalsukan :”Orang-orang  telah murtad sesudah tiga orang” (teks terjemahan yuang dipalsukan hal 152) – lafaz ”Rasulullah” oleh pemalsu dibuang diganti dengan kata ”Stalastah” sehingga kalimat ba’da Rasulillah menjadi Ba’da stalatsah kata ’illah stalastah menjadi ba’da stalastah” – bukan hanya itu saja, si penerjemah membuang semua –sebanyak  enam alenia – yang berisi penjelasan Khomaini tentang kata ”murtad” , dan berikut kata murtad yang dibuang si penerjemah :
” Adapun maksud  orang-orang telah murtad sesudah Rasululah itu artinya ialah, bahwa mereka telah menarik diri/mundur dari bai’at  kepada Amirul Mukminin pada hajjatul wada dan terhadap para Imam Islam pada umumnya. Pengunduran diri mereka dari ba’iat tersebut merupakan riwayat yang mutawatir menurut pengukuhan riwayat hadis sunni dan syi’ah. Hanya tiga atau tujuh orang yang dapat dipastikan dalam keadaan bagaimanapun, tidak mundur secara lahiriah dan bathiniah, dan menentang orang-orang yang menetang Ali. Jika tidak betul demikian, maka orang-orang yang tidak menarik ba’iatnya kepada Ali –pada kenyataanya- berjumlah 220 orang sebagaimana ditetapkan oleh sayyid Syafrudin dalam al Fushul Muhimmah dalam  Al Isti’ab, Al Ishabah, usudul Ghabah dan kitab-kitab ahlu sunnah lainya mengakui itu (Teks Asli bahasa parsi halaman 133).

Penjelasan Khomaini tersebut telah dengan sengaja dibuang oleh si penerjemah kasyful Asrar, jika keterangan dihilangkan apa maksud tujuan penerjemah selain agar Khomaeini dicaci maki.
Mengapa sejak semula ia tidak menerjemahkan buku tersebut dengan cermat, lalu menyodorkan teks yang berbahasa Arab kepada para pakar dan ulama, jika pihak yang menjadi dalangnya ulama sunni sekalipun. Jika tidak demikian, mak apa tendensinya membuang dan menggantinya  dialog tentang wasiat untu Ali (halaman 176 dari nakah terjemahan yang dipalsukan).

Apakah isu kontroversial ini tidak pernah dibantah di zaman modern kecuali oleh seorang penerjemah bodoh, dan komentator keji dan penulis pengantar yang tidak mumpuni ?
Apakah dengan banyaknya pengkhianatan ilmiah dan caci maki ini suatu madzhab aliran tertentu dapat dimenangkan ?

Apakah teks yang dipalsukan iini dapat memusakan seseorang ?
Perhatikan pemalsuan penterjemah atas pernyataan Khomaini : ” saya menantang siapapun , terutama  orang berbangsa Arab, memahami sesuatu yang dikutipnya tentang masalah Syafaat, Qurbah, Ta’ziyah dan Rauzah (hal 188-195 dari terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan).

Jumlah teks yang dipalsukan oleh penerjemah benar-benar mengerikan, setiap halaman dari buku kasyful asrar mengalami  manipulasi teks sebanyak antara 4, 10 hingga 14 baris teks.

Oleh karena itu, saya pun menantang pula saudara penterjemah,  yang ia adalah sorang keturunan Arab dan berbahasa Arab, agar ia membaca tentang apa yang ia perbuat terhadap halaman 192 dan 193, lalu beritahukan kepada saya tentang apa yang telah ia pahami dari pernyataan Khomaeini sesungguhnya, saya akan memberitahukan kepada saudara penterjemah tentang apa yang telah ia lakukan, pemalsuan, pengguntingan dan penterjemahan yang salah dan serampaangan.

Inilah salah satu bagian yang menjadi sasaran anak panah para penyerangnya. Apakah kesemuanya ini pantas untuk di serang, ataukah memang sengaja terjemahan itu disodorkan sebagai bahan-bahan penyerangan ?

Meskipun bagian-bagian yang tersisa dari buku itu tidak dipergunakan dalam medan pertengkaran yang telah disulut dan dikobarkan oleh penerjemah buku Kasyfurl Asrar, namun justru ini adalah indikasi tentang motif sang penerjemah, Yang panans yang senag dengan penggelapan, manipulasi dan pemutar balikan fakta.
Yang aneh pula, bahwa buku itu dari halaman 199 sampai halaman 334, yaitu sampai akhir buju itu memuat pendapat-pendapat penulisnya tentang peranan politik  al faqih (peran politik ulama Islam) , pemikiran-pemikiranmsosial politiknya tentang pemerintahan Islam  telah dengan sengaja dibuang sebagian dan dimanipulasi sebagian yang lain.

Ia membuang semua apa yang memuat kritik (khomaeini) terhadap raja-raja dan pemerintahanya, ia membuang tulisan khomaini yang mengkritik Amerika, dan kadang-kadang ia membuang pendapat penulis  yang menyerang Reza Syah Pahlevi, dan membuang peryataan Khomaini tentang perlunya pelaksanaan dan keagungan syariat Islam dalam rangka menghadapiu undang-undang konvensional.

Contoh-contohnya cukup banyak, sehingga hampir-hampir tidak terdapat satu halamanpun yang selamat dari pembuangan, mulai dari halaman 199 sampai akhir buku itu.

Pembuangan itu terjadi berturut-turut di antaraketerangan atau kalimat yang penerjemahnya tidak dapat memahaminya, sampai 15 baris bahkan satu halaman penuh merupakan pemalsuan.

Di akhir-akhir tulisan Khomaeini yang mengulas kerjasama keuangan antara para sayyid dari keluarga Rasulullah (aal-ul bayt) si penerjemah  membuang penjelasan Khomaini, kemudian menggantinya dengan pernyataan penerjemah sendiri yang tampil bak pahlawan kesiangan. Inilah kalimat yang di hilangkan oleh penterjemah :
”Mereka telah menetapkan batas-batas hukium waris  buat orang yang dilahirkan dalam kondisi berkepala dua, hukum mayat sejak kematianya sampai tiupan sangkakala, namun diskusi yang mana saja tentang persoalan pemerintahan islam tidak pernah selesai, padahal ia merupakan langkah pertama dalam hubungan sosial dengan manusia sepanjang zaman (hal 237 teks asli berbahasa persia).

Penerjemah berulangkali menerjemahkan kata mengada-ada dengan kata cara ”Kayfiyyah”, menterjemahkan ”Tajnid ul ijbariy fil Islam ” (wajib militer dalam Islam) diterjemahkan dengan an nizham ul qasriy fil Islam (sistem pemalsuan dalam islam), dan ia melakukan terjemahan demikian ini, sepanjang pembicaraanya tentang ketentaraan dalam islam, yang merupakan manipulasi teks dan Islam sekaligus. Ia mengubah pula catatan pinggir halaman 255 dari aslinya kitab al wasail diubah dengan kitab al frusiyah karya Ibnul Qayyim Al jauziyah

Ketika Khomaini menulikan kewajiban atas orang-orang kaya agar mengganti pajak orang fakir yang tidak mampu membayar, si penerjemah sengaja membuangnya (hal 266 dari teks terjemahan berbahsa arab)  Agaknya sipenerjemah tidak mau membuat marah orang-orang kaya dan milyader, dengan cara membiarkan terjemahan bagian ini semua dengan cara di transliterasikan secara ngawur sesuai pemahaman penerjemah.
Adalah menjadi keharusan atas kita untuk mengetahui jurang perbedaan antara terjemahan dan teks aslinya, jika kita membandingkan akal penerjemah dan akal penulisnya, mengukur pendidikan penerjemah dan pendidikan penulisnya, untuk deapat mengetahui berapa banyak kesalahan-keasalahan, maka saya harus menterjemahkan kembali buku tersebut , dan kita perlihatkan itu semua kepada orang yang ingin mengetahuinya.

Penterjemah dengan sengaja menghilangkan kalimat pada halaman 329 dan hanya meringkas secara serampangan pada halaman 330-332 dari tek asli yang berbahasa parsi, saya tidak tahu mengapa ia membuangnya, padahal teks yang dibuang itu terdapat penjelasan tentang masalah berpalingnya manusia dari agama dan penyebab-penyebabnya.Saya tidak habis mengerti mengapa orang mau berbuat bodoh dengan memalsukan sebuah karya.

Nah, kemudian : Apa . bagaimana pendapat tuan-tuan para pembahas, para peneliti dari kalangan Doktor-Doktor, para syaikh, Ustadz dan para pelopor konfrensi, yang telahmnegutip dari buku yang penuh kebohongan dan kepalsuan ini dan menggembar-gemborkanya ? adakah diantar mereka yang menyanggahnya ?

Dr Ibrahim Ad dasuqi Syata
Rektor Bahasa-Bahasa dan Sastra Timur
Fakultas Sastra Univeritas Kairo
Main Source : Copaste Artikel..

Rujuk:
http://syiahnews.wordpress.com/2010/12/25/pelurusan-sarjana-sunni-atas-pemalsuan-kitab-kasyful-asrar-karya-imam-khomaini-oleh-wahabbi-dr-ibrahim-ad-dasuki-syata-membongkar-kejahatan-wahabbi/

Terkait Berita: