Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Isra' Mikraj. Show all posts
Showing posts with label Isra' Mikraj. Show all posts

Memaknai Isra’ Mi’raj


Oleh: Dr. M. Quraish Shihab

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.


Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.

Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar, seperti tergambar dalam ucapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.

Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.

Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.

Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai’i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra’ adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor “ratu”. Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah “bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu.”

Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.

Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan “telah datang ketetapan Allah,” mengapa dinyatakan-Nya juga “jangan meminta agar disegerakan datangnya”? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya “kun” (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).

Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.

Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.

Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. “Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru,” kata David Hume. “Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar,” kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B,” demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.

Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali “a summary o f statistical averages” (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan “kebetulan” dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, “Al-‘Aziz Al-‘Alim”, Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).

Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra’ ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.

Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, dalam surat Isra’ sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).

Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: “Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun.” Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa “pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia.”

Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara “ilmiah” menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra’ dan Mi’raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.

Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.” Dan itu pulalah sebabnya mengapa “oleh-oleh” yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra’ dan Mi’raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.

Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra’ dan Mi ‘raj terjadi, tetapi mengapa Isra’ dan Mi ‘raj.

Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra’-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra’), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.

Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.

Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: “Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.” Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.

Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra’ dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).

Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).

Ditekankan dalam surat ini bahwa “Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan” (QS 17:27).

Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).

Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra’ ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).

Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan “jalan tengah” itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, “Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing.” Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: “Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan).” Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).

Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra’ sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.

Catatan kaki:

204. Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur’an.
205. Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.

Mempelajari Rahasia Ajaran Syiah dari Sumber Aslinya

Mempelajari Rahasia Ajaran Syiah dari Sumber Aslinya.

Bila terdengar berita tentang demonstrasi menentang Syiah di daerah Tanah Air, sebagian orang menganggapnya sebagai tindakan berlebihan. “Padahal sama-sama Islam,” begitu komentar yang kerap terdengar.

Untuk dapat menilai dengan objektif tentang Syiah, tentu perlu pengkajian yang cermat dan kritis tentang ajaran Syiah itu sendiri. Tidak serta merta menyalahkan atau membela. Sebagaimana kata pepatah, “Jangan membeli kucing dalam karung,” begitu juga dalam menyikapi aliran semacam Syiah, jangan kita menilai tanpa meneliti dan mempelajarinya terlebih dahulu.


anda menuduh bahwa sampai akhir hidup Rasulullah SAW tidak menunjuk pengganti ?. Jadi menurut anda setelah Rasulullah berjuang begitu lama menjalankan perintah Allah kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang melanjutkan untuk memberi petunjuk. Aneh.

Sedangkan dalam Alqur’an begitu banyak Firman Allah yang menyatakan bahwa disetiap masa, setiap kaum akan ada orang2 yang akan Allah beri pentunjuk untuk memberi petunjuk pada kaumnya. Jadi kalau menurut anda Allah tidak memberi petunjuk pada Rasulullah untuk menunjuk orang/ penerus sesudah Rasulullah SAW ?

Imamah atau ke-imaman dari segi bahasa adalah kepemimpinan dan setiap orang yang memiliki kedudukan sebagai seorang pemimpin disebut dengan imam (yang mana kata jamaknya adalah aimmah), baik memimpin di jalan yang benar maupun di jalan yang batil. Allah Swt. berfirman:
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS. Al-Qashash [28] : 41).

Adapun dalam istilah ilmu Kalam, adalah kepemimpinan umum atas seluruh masyarakat Muslim di seluruh perkara baik perkara agama maupun dunia yang mana dari sudut pandang syi’ah keabsahaman kepemimpinan ini bergantung pada penobatan Tuhan dan nabi-Nya. Oleh karena itu, penentuan imam setelah kenabian adalah hal yang dituntut oleh hikmah Ilahi.

syiah mengklaim bahwa Ali ra adalah khalifah pengganti Rosululloh saw setelah wafat
hadis 12 khalifah:
dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).

Bani Hasyim adalah yang termulia dari suku Quraisy dan Ahlul Bait adalah yang termulia dari Bani Hasyim. Tidak berlebihan kalau dikatakan Ahlul Bait semulia-mulia dari Quraisy . Dalam Hadis Shahih Muslim Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi no: 2276 diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kalau khalifah islam yang ada untuk umat Islam itu hanya 12 belas.
Sebelumnya saya ingin menunjukkan sebuah hadis dalam Musnad Ahmadno 3781 diriwayatkan dari Masyruq yang berkata”Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud mempelajari Al Quran darinya. Seseorang bertanya padanya ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah SAW berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?Ibnu Mas’ud menjawab ‘tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dan Beliau SAW menjawab ‘Dua belas seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil’.
Dalam Fath Al Bari Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan hadis Ahmad dengan kutipan dari Ibnu Mas’ud ini memiliki sanad yang baik. Hadis ini juga dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Merujuk ke hadis di atas ternyata Khalifah untuk umat Islam itu hanya 12 belas. Padahal kenyataannya ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam sunni.
Bagi Ulama Syiah hadis ini merujuk kepada 12 Imam Ahlul Bait sebagai pengganti Rasulullah SAW. Jika kita mengambil premis bahwa ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam atau khalifah yang dimiliki umat Islam maka jelas sekali pemerintahan yang dimaksud bukanlah pemerintahan Islam yang memiliki banyak kahlifah yang terbagi dalam Khulafaur Rasyidin(di sisi Sunni), Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah karena mereka semua jauh lebih banyak dari 12. Dari sini dapat dimengerti mengapa Ulama Syiah menyatakan bahwa khalifah yang dimaksud disini adalah 12 khalifah pengganti Rasulullah SAW.
Tentu saya pribadi tidak akan menilai penafsiran mana yang lebih baik. Saya hanya ingin menampilkan bahwa penafsiran Ulama Syiah terhadap hadis 12 khalifah ini juga ada dasarnya.
Bagi Syiah keimamahan Ali dan keturunannya bersifat tegas, dan dalil-dalil tentang ini dapat ditemukan dalam kitab Sunni. Bukankah jika Rasulullah SAW menetapkan hal ini berapapun banyaknya mau sedikit atau sering maka itu sudah menjadi hujjah yang nyata.

Rukun iman adalah berkaitan dengan apa yang kita yakini. Apa salahnya jika Syiah meyakini setiap apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang Imamah.
Dalil disisi Syiah jelas sangat banyak oleh karena itu mereka mengimaninya. Sedangkan dalil di sisi Sunni maka Syiah lagi-lagi berkata juga banyak, contohnya adalah hadis Al Ghadir yang mutawatir di sisi Sunni. Hadis Al Ghadir ini dari sisi sanad tidak bisa ditolak tetapi Sunni memang mengartikan lain hadis ini. Yang perlu diingat kesalahan atau penolakan memang selalu saja bisa dicari-cari.

cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar.

wahabi berkata :
Buktinya syi’ah dalam sejarahnya terpecah belah menjadi beberapa firqah karena mereka berselisih siapakah yang akan menjadi imam selanjutnya setelah satu imam meninggal. (Lihat Al-Milal wa Al-Nihal).

Mereka yang berpecah belah dari Syiah imamiyah tidaklah lagi disebut Syiah kecuali sebagai sebutan saja. Syiah Zaidiyah dan Syiah Ismailiyah tidaklah disebut Syiah oleh Syiah Imamiyah. Lagipula adanya orang yang menyalahi nash tidaklah berarti nash itu sendiri palsu. Logika darimana itu, bukankah bisa juga sebaliknya berarti orang tersebut telah membangkang atau melanggar nash.

di sisi Sunni terdapat kecenderungan di antara Ulama-ulamanya ketika berhujjah dengan Ulama Syiah
• Mereka Ulama Sunni cenderung untuk menyalahkan setiap apapun yang dikatakan Syiah walaupun dalilnya ternyata shahih disisi Sunni(kecenderungan ini saya temukan pada Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah).
• Selain itu Ulama Sunni juga punya kecenderungan untuk begitu mudah mencacat suatu dalil dengan alasan perawi dalil itu adalah syiah walaupun dalil itu sendiri tercatat dalam kitab Sunni.
Yang menuduh Syi’ah Sesat adalah orang bodoh yang mustahil mampu menilai orang pintar.


Bismillaahirrahmaanirrahiim.
TAK MUNGKIN ISLAM BANGKIT TANPA KEHADIRAN ULAMA WARIS NABI
(ULAMA WARASATUL AMBYIA),
TETAPI RAKYAT (UMMAH) MUNGKIN SAJA
MENGENAL,
ULAMA YANG TIDAK ASLI,
MELALUI INSPIRASI PARA ULAMA WARASATUL AMBYA,
WALAUPUN DARI KAWASAN YANG JAUH ,
 NAMUN DEKAT VIA INTERNET.
 
“Kita hidup di atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita berjalan di bela kang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang ada di sisi kita ini ada lah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam? Setelah me lakukan pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh dalam pandangan saya, yaitu Syi’ah.
 
“Salah satu bukti dari kebenaran Syi’ah ialah mereka berargumentasi atas kebe naran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalam nya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan je las sekali.””Kalau begitu, sumber-sumber rujukan Syi’ah adalah sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah itu sendiri?””Tidak, Syi’ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya ber kali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semua nya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargu mentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sum ber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diya kini oleh kalangan Ahlus Sunnah.””Apakah di perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad, Turmudzi dan Nasa’i?”
 “Mulailah dari sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, kare na di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya me ngikuti ajaran Ahlul Bait as.”
“Semuanya jelas menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait.”

Riwayat-riwayat yang digunakan untuk memberi penilaian sesat tidaknya pemahaman Syiah harusnya adalah riwayat-riwayat yang secara ijma diakui keshahihannya oleh ulama-ulama hadits Syiah yang dianggap mumpuni dan kafabel dikalangan mereka, saya seringkali menemukan adanya teks-teks riwayat yang direkayasa, sebab ketika mengecek keberadaannya sebagaimana alamat riwayat yang telah dituliskan saya tidak menemukan keberadaannya pada kitab yang dimaksud.

Gambar diatas: Website Wahabi Tukang kibul, Tukang fitnah.

Gambar diatas: Website Wahabi Tukang kibul, Tukang fitnah.

Gambar diatas: Website Wahabi Tukang kibul, Tukang fitnah.

Gambar diatas: Website Wahabi Tukang kibul, Tukang fitnah.

Syiah Menjawab:
 Tawaran Metode Mengenali Syiah.
“Segala sesuatu berubah, kecuali tulisan menyerang Syiah,
setiap awal tentu berakhir, kecuali tuduhan terhadap Syiah,
setiap vonis berdasarkan hukum dan bukti, kecuali vonis terhadap Syiah.”-Sayyid Murtdha al Askari-
Tawaran Metode Mengenali Syiah 
Syiah.
Setiap mendengar kata syiah, atau membaca tulisan mengenai syiah, apa yang tiba-tiba terlintas dipikiran anda?. Sebuah kelompok yang memiliki pemahaman yang sesat dan kufur kah? Orang-orang yang gemar berdusta, taqiyah atau melakukan hal-hal yang memecah belah umat bahkan dalam segala hal berbahaya bagi umat Islam kah?
 
atau setiap mendengar mengenai syiah, yang terbayang langsung mengenai Mut’ah yang katanya telah diharamkan namun masih getol dipraktikkan oleh orang-orang Syiah kah? atau mungkin mengenai aqidah mereka yang begitu menyimpang dari mainstream keyakinan kaum muslimin kebanyakan, mengenai Zat Allah, kemaksuman Nabi, keimamahan yang hanya menjadi hak Ahlul Bait, ataukah mengenai keyakinan mereka yang katanya telah terjadi perubahan dan pengurangan terhadap Al-Qur’an, ataupun mengenai penghinaan dan kekurang ajaran mereka terhadap sahabat dan istri-istri Nabi?.
 
Apapun itu, adalah tidak fair jika kita memberi vonis dan penghukuman terhadap sesuatu, tanpa bersikap adil. Dalam surah al Maidah ayat 2, Allah SWT berpesan, janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kita berbuat aniaya. Kita memang harus menanamkan kebencian terhadap penyimpangan, kesesatan dan apapun anasir-anasir kotor yang berusaha dimasukkan kedalam dien yang suci ini, atau kesesatan didakwahkan sebagai kebenaran dan diakui merupakan bagian dari syiar Islam. 
 
Namun kita juga jangan sampai lalai bahkan keluar dari koridor yang telah digariskan ajaran agama ini. Kita bisa saja menaruh rasa curiga terhadap pemahaman Syiah, namun kecurigaan semata tidak pernah cukup untuk dijadikan dasar penilaian terhadap sebuah ajaran. Diperlukan sebuah kajian yang komprehensif dan menyeluruh untuk mencapai sebuah kesimpulan. Fatwa-fatwa ulama terdahulu mengenai kesesatan Syiah bukanlah sebuah hukum yang secara mutlak mengikat pada setiap waktu dan periode, mengingat fatwa adalah produk hukum yang sangat bergantung pada situasi dan kondisi dimana dan kapan sebuah fatwa dikeluarkan. Terlebih lagi jika kita mau menelisik jauh, kepentingan apa yang bermain dan pihak mana yang paling diuntungkan dengan keluarnya sebuah fatwa.

Kaidah yang terpenting untuk menilai benar tidaknya sebuah ajaran, adalah menelusuri langsung sumber ajarannya, dari manakah ajaran itu berasal, dan bagaimana mereka memahami dan meyakini sumber ajaran tersebut serta bagaimana mereka mengaplikasikannya. Setiap kita membaca artikel atau mendengar ceramah-ceramah yang mengumbar segala kesesatan dan kebusukan-kebusukan aqidah Syiah, senantiasa dilengkapi nukilan riwayat-riwayat yang katanya berasal dari kitab-kitab induk Syiah ataupun nukilan fatwa-fatwa ulama-ulama mereka. Ada beberapa kaidah yang sebelumnya mesti kita lewati untuk kemudian menentukan sikap terhadap Syiah.
.
Pertama, mengecek keberadaan riwayat-riwayat tersebut pada kitab-kitab dari mana ia dinukil. Apakah benar riwayat yang disebutkan tersebut benar keberadaanya pada kitab tersebut?, benarkah nukilannya sesuai dengan matan pada kitab yang mencantumkannya?, apakah tidak ada upaya manipulasi, dengan hanya mengambil sepenggal saja misalnya, dan lain-lain?
 
Afwan, saya seringkali menemukan adanya teks-teks riwayat yang direkayasa, sebab ketika mengecek keberadaannya sebagaimana alamat riwayat yang telah dituliskan saya tidak menemukan keberadaannya pada kitab yang dimaksud. Saya merasa perlu menceritakan, misalnya beberapa artikel yang menuliskan tentang kesesatan Syiah pada site http://www.hakekat.com ada beberapa riwayat yang saya tidak temukan meskipun telah mencari pada kitab yang dimaksud, saya berprasangka baik bahwa bisa jadi karena kitab yang dimaksud meskipun judul dan isinya sama namun penerbit dan terbitan yang berbeda sehingga juga mengalami perbedaan pada penomoran hadits atau halaman misalnya, sebagaimana shahih Bukhari yang memiliki banyak versi penerbitan. Namun ketika menanyakan ke pengelola site tersebut, penerbit dan terbitan keberapa kitab yang berada di tangan mereka, bukan hanya tidak mendapat jawaban, pertanyaan semacam itu malah tidak ditampilkan dalam kolom tanggapan yang disediakan.

Kedua, mencari tahu pendapat ulama Syiah mengenai nukilan riwayat tersebut. Kalaupun ternyata setelah dicek, riwayat yang menyatakan adanya penyimpangan aqidah kaum Syiah benar adanya bersumber dari kitab Syiah tersendiri, tugas selanjutnya adalah mencari tahu bagaimana orang-orang Syiah memahami riwayat atau nash tersebut. Kita mesti merujuk kepada orang-orang alim dikalangan mereka, bagaimana penilaian mereka terhadap riwayat tersebut, apakah kedudukannya shahih, hasan, dhaif atau malah palsu. Kalau ulama Syiah sendiri menghukumi riwayat tersebut dhaif atau palsu, adalah tidak fair menghukumi sesatnya keyakinan Syiah dari riwayat-riwayat yang tidak diakui keshahihannya oleh orang-orang Syiah sendiri meskipun terdapat dan tertulis jelas dalam kitab-kitab mu’tabar mereka. 
 
Sebagaimana halnya di kalangan Sunni, keberadaan hadits-hadits atau riwayat-riwayat dhaif dan palsu tidak bisa dinafikan keberadaannya dalam kitab-kitab mu’tabar Sunni sendiri. Dan tentu saja, merekapun tidak ingin dihakimi kelompok lain yang menyandarkan vonisnya pada keberadaan riwayat-riwayat yang lemah tersebut.

Ketiga, kalaupun ulama-ulama Syiah telah menyatakan keshahihannya, selanjutnya, apakah tidak ada perselisihan dari kalangan ulama Syiah mengenai keshahihannya?. Sebagaimana halnya ulama-ulama hadits dikalangan Sunni, misalnya Al-Hakim menshahihkannya, Imam Tirmidsi mendhaifkannya, hadits-hadits yang dianggap shahih misalnya oleh ulama-ulama hadits lainnya, namun Imam Bukhari lewat metode penilaiannya sendiri yang ketat, beliau bisa saja menilainya dhaif bahkan palsu. Hal seperti ini pun patut menjadi perhatian, riwayat-riwayat yang digunakan untuk memberi penilaian sesat tidaknya pemahaman Syiah harusnya adalah riwayat-riwayat yang secara ijma diakui keshahihannya oleh ulama-ulama hadits Syiah yang dianggap mumpuni dan kafabel dikalangan mereka.

Keempat, kalaupun riwayat-riwayat tersebut dinilai shahih secara ijma dikalangan ulama-ulama Syiah, pertanyaan selanjutnya bagaimana mereka memahami riwayat tersebut. Misalnya mengenai taqiyah atau nikah mut’ah, kalaupun ulama-ulama Syiah meyakini keshahihan riwayat-riwayat yang menegaskan keberadaan taqiyah dan nikah mut’ah untuk dipraktikkan pengikut-pengikutnya, kita mestinya menghukumi mereka dari bagaimana mereka memahami dan mempraktikkan kedua amalan tersebut. Yang berhak memberikan defenisi dan penjelasan adalah mereka, dan kita menghukumi dari apa yang mereka defenisikan dan jelaskan. Jika kita membaca artikel yang membahas mengenai nikah Mut’ah misalnya, yang ditulis oleh mereka yang mengecam Syiah, saya melihatnya terkadang terlalu tendensius dan mencium bau sentimen mazhab yang sangat menyengat. Mereka menggambarkan mut’ah tidak ubahnya dengan zina bahkan menyamakannya dengan praktik pelacuran, sehingga dengan mudahnya mereka menyematkan orang-orang Syiah dengan sebutan-sebutan yang keji, bahkan merasa mendapat pahala dengan itu. Kalau mereka mengakui sendiri nikah Mut’ah pernah dihalalkan oleh Rasulullah saww dan dipraktikkan oleh beberapa sahabatnya, maka tentu saja itu bukan zina apalagi pelacuran, karena tidak mungkin Allah SWT lewat Nabi-Nya pernah menghalalkan sesuatu perbuatan yang keji. 
 
Kalau dalam surah Al-Isra ayat 32 Allah SWT sendiri memerintahkan untuk jangan mendekati zina, lantas apakah Nabi-Nya malah pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berzina?. Karenanya, hanya Syiah sendirilah yang lebih berhak mengutarakan dan menjelaskan seperti apa nikah Mut’ah yang mereka pahami dan yakini, mengenai syarat-syarat, ketentuan, pemberlakuan masa iddah dan sebagainya, mereka yang tidak sepakat, cukup memberikan tanggapan dan kritikan terhadap yang diyakini Syiah itu, lewat hujjah-hujjah yang diterima oleh kedua kelompok. Bukan sebagaimana yang biasanya terjadi, mereka mengajukan defenisi dan memberikan penjelasan tersendiri mengenai nikah Mut’ah yang didramatisir sedemikian rupa lalu kemudian memberikan vonis penghukuman, yang bisa jadi Mut’ah yang mereka pahami itu bukanlah Mut’ah yang diakui kehalalannya oleh Syiah. Begitu juga misalnya mengenai sahabat-sahabat Nabi. 
 
Kelima, berupaya mencari tahu makna yang tersirat terlebih dulu dari apa yang tersurat dari riwayat-riwayat Syiah. Islam biasanya diserang oleh pihak-pihak yang justru tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap Islam. Yang biasa mendapat kritikan misalnya rajam dan hukum potong tangan, mereka hanya melihat dari satu sisi (yakni yang tersurat) sehingga memberikan vonis syariat Islam itu kejam dan tidak berprikemanusiaan. Mereka tidak mencari tahu terlebih dahulu hikmah dibalik adanya perintah ataupun larangan. Begitupun dengan doktrin-doktrin Syiah, terkadang secara sekilas bagi kita tidak logis, tidak berkesesuaian dengan Al-Qur’an dan Sunnah, kitapun lalu menghukumi itu bukan hukum Islam, itu di luar dari ajaran Islam. Tentu kita tidak menerima klaim-klaim orientalis yang menyebut-nyebut Islam adalah aturan-aturan yang kuno dan ketinggalan jaman bahkan membahayakan bagi kemanusiaan hanya karena mereka pada dasarnya tidak mengenal dan memahami Islam itu lebih dekat dan memahami Islam dengan perspektif mereka sendiri. Begitupun dengan Syiah, tentu saja mereka tidak bisa menerima disebut sesat bahkan kafir hanya karena yang memberikan tuduhan dan stigma tidak memiliki upaya terlebih dahulu mengenal dan memahami Syiah dari apa yang dipahami dan diyakini oleh orang-orang Syiah, bukan dari tuduhan dan klaim-klaim pihak-pihak yang memusuhi dan membencinya.

Biasanya pada bagian ini yang paling sering disalah mengerti adalah konsep kemaksuman Nabi dan para Aimmah as. Secara tersurat dalam beberapa ayat-ayat Al-Qur’an tersampaikan, para Anbiyah as juga bisa salah, khilaf bahkan zalim, sementara bagian dari keyakinan Syiah, para Anbiyah bahkan Aimmah adalah orang-orang yang maksum. Sebelum menghukumi Syiah menyimpang pemahamannya dari apa yang disampaikan Allah SWT lewat Al-Qur’an, kita mesti tahu dulu, bagaimana Syiah memahami dan memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang menceritakan mengenai kekhilafan dan kesalahan beberapa Nabi as, bagaimana mereka mensinkronkan keyakinan mereka dengan ayat-ayat tersebut. Penjelasan mereka tentang itulah yang kemudian mestinya mendapat tanggapan dan kritikan jika tetap tidak sependapat. Bukan menabrakkannya sejak awal, tanpa lebih dahulu berusaha mengenali alur berpikir orang-orang Syiah. Perlu proses pengenalan terlebih dahulu, berusaha memahami sebelum menentukan sikap. Semua ada pertanggungjawabannya di sisi Allah.“Seseorang cenderung memusuhi apa yang tidak dikenalinya…” begitu pesan Imam Ali as. 
 
Mengenal Nabi Muhammad saww:
 Nabi Muhammad saww dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadits.
Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.
Nabi Muhammad saww dalam Pandangan Al-Qur
 
Apa Tujuan Hidup Manusia ?Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia.

Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ?

Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.

Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.

Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.

Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya.
Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat Al-An’am ayat 162).

Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96).
Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205).
Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Anfal ayat 32).

Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.

Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.

Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat ayat 99).

Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ? Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50).

Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).

Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.
Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.

Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.

Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.”/

Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.
Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.

Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).
Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.

Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.
Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108).

Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.

Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).

Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.
Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra ayat 15).

Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.
Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.

Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).
Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).

Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.
Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal : 128).

Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.

Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.
Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ?
Siapakah Muhammad Saaw?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ? Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ? Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.

Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.
Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.
Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.

Allah Ta’ala berfirman, “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.” (QS. Al-Hujurat : 13).
“Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah : 11).

Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.

Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.
Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.

Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?
Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?
Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.

Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.
Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala.

Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu?
Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :
“Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi dengan batas yang dapat diungkap mulut manusia.”
Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.

Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.
1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.
Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.

Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.

Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31).

Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?

2. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :
“Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.”

3. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.”

4. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

5. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :
“Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).”

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.
Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.

Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?

Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis.
Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.

Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :
1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.
Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,
Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.
Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.

Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?”

Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?”

Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ? Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?”

1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.
Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.

Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :
“Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.”.

Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.

Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.

Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.

Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’.

Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.

Kesimpulan:
Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?

Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw. Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? []

Terkait Berita: