Pemimpin rezim Zionis, Reuven Rivlin mengkritik
pengesahan RUU oleh Knesset yang secara resmi menetapkan Israel sebagai
"Negara Yahudi." Dia menyebut langkah itu tidak urgen. Berbicara dalam
sebuah konferensi di pelabuhan selatan Eilat, Rivlin keberatan jika
warga Arab yang tinggal di wilayah pendudukan Palestina disebut sebagai
kelompok minoritas. Dia mengatakan, "Etnis Arab mencakup seperempat dari
jumlah pelajar di Sekolah Dasar dan mereka membentuk seperlima
masyarakat Zionis." Rivlin menambahkan RUU tersebut tidak akan
memperkuat karakter "Negara Yahudi," tapi justru akan melemahkannya.
Rivlin
kemudian menyinggung pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu,
yang selalu menekankan bahwa RUU tersebut untuk menggagalkan upaya
masyarakat internasional yang ingin menghapus karakter "Negara Yahudi
Israel." Rivlin mengklaim Palestina pendudukan sebagai negara masyarakat
Yahudi dan orang-orang yang meragukan masalah itu jumlah mereka sedikit
atau mereka pihak yang terkucil.
Berbeda
dengan komentar Rivlin dan RUU "Negara Yahudi," struktur masyarakat
Palestina senantiasa dibentuk oleh komunitas Muslim, Yahudi, dan
Kristen. Akan tetapi, rezim Zionis – melalui berbagai metode tidak
manusiawi – berusaha meloloskan program Yahudisasi di Palestina
pendudukan. Selain mengusir warga non-Yahudi dari bumi syuhada, rezim
Zionis juga mendistorsi fakta sejarah di kawasan. Buku-buku geografi dan
sejarah di sekolah-sekolah di Palestina pendudukan membuktikan fakta
itu, di mana kebohongan tentang penduduk asli Palestina, struktur
masyarakatnya, dan agama mereka telah menggantikan fakta sejarah.
Sebagai contoh, kurikulum sekolah mengklaim bahwa rakyat Palestina telah
menjual rumah dan tanah mereka kepada Zionis.
Menurut
sejumlah informasi, proses perusakan situs-situs kuno di bumi Palestina
meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Statistik Dinas Warisan
Budaya Palestina mencatat bahwa aktivitas pencurian dan perdagangan
peninggalan kuno dan sejarah Palestina naik sejak tahun 2000 dan lebih
dari 500 situs kuno telah dijarah. Zionis Israel adalah satu-satunya
rezim yang tidak menangkap dan menginterogasi para penadah benda-benda
tersebut dan berdasarkan undang-undang Israel, warga Zionis diizinkan
untuk memboyong peninggalan-peninggalan kuno ke luar negeri tanpa
diperiksa oleh polisi.
Jelas
bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan undang-undang internasional
tentang pelestarian peninggalan kuno dan UNESCO berkewajiban untuk
mengambil sikap tegas terhadap fenomena itu.
Sekjen
Liga Arab Nabil Elaraby baru-baru ini dalam sebuah seminar “Palestine
in Arabic Documents” di Kairo, mengatakan bahwa Israel telah mencuri
80.000 buku dan manuskrip Palestina sejak 1948. Dia menyerukan upaya
untuk mengembalikan arsip sejarah yang dijarah di wilayah Palestina.
Menurut Elaraby, kekuatan kolonial mencoba untuk melenyapkan warisan
Arab, tetapi Israel mengklaim buku dan dokumen "dikumpulkan" dari
rumah-rumah yang ditinggalkan bertujuan untuk "dilestarikan dan
dilindungi."
Nabil
Elaraby menerangkan bahwa negara-negara Arab menghadapi tantangan
serius di fase ini dan itu adalah meningkatnya upaya untuk melenyapkan
sejarah dan warisan budaya Arab dan Islam. Menurut televisi Al Jazeera,
Zionis telah menjarah lebih dari 30.000 buku dari Yerusalem dan 30.000
lainnya dari Haifa dan Jaffa. Yang jelas dan berdasarkan sejumlah
dokumen, puluhan ribu buku dan manuskrip telah dicuri oleh Zionis dan
dengan cara ini, mereka ingin melenyapkan sejarah dan budaya bangsa
Palestina. Rakyat Palestina – dengan harapan dapat kembali ke tanah air
mereka suatu hari nanti – tidak membawa barang-barang seperti buku
bersama mereka, namun rezim pendudukan memasuki rumah-rumah mereka dan
menjarah seluruh isinya.
Perpustakaan
Universitas Pendidikan Bahasa Ibrani saja "mengoleksi" 30.000 buku,
surat kabar, dan manuskrip kuno Palestina antara bulan Mei 1948 sampai
Februari 1949. Berdasarkan laporan itu, situasi yang sama juga mendera
kota-kota lain di Palestina pendudukan dan kebanyakan dokumen-dokumen
sejarah sudah dimusnahkan atau dijarah. Seorang dosen di Universitas Ben
Gurion, Doktor Gish Amit menemukan buku-buku dan manuskrip Palestina
yang sudah dideklasifikasi di perpustakaan tersebut. Tentu saja, warga
Palestina tahu harta benda mereka dicuri selama pendudukan, namun tidak
satu pun percaya bahwa itu adalah sebuah konspirasi yang disusun sebelum
masa pendudukan.
Seorang
penulis dan aktivis politik Palestina, Ghada Karmi yang tinggal di
Baitul Maqdis sampai tahun 1948, mengisahkan tentang perpustakaan
pribadi ayahnya. Dia menuturkan, perpustakaan itu merupakan salah satu
harta karun keluarga mereka dan nenek moyang mereka telah mewariskan
sejarah Palestina selama bertahun-tahun. Ghada Karmi menambahkan, "Pada
masa serangan Zionis, tragedi kemanusiaan dan pembantaian massal terjadi
secara luas dan tidak ada orang yang berpikir untuk menyelamatkan
buku-buku Palestina. Pada dasarnya, Zionis memiliki skenario agar rakyat
Palestina tidak dapat mengklaim kepemilikan tanah air mereka di masa
depan dan mereka tidak mengantongi dokumen untuk itu."
Sebuah
film dokumenter yang diputar pada tahun 2013 telah menyita perhatian
dari kebanyakan kritikus film di dunia. Judul film itu adalah "The Great
Book Robbery," sebuah penjarahan besar-besaran dari
peninggalan-peninggalan bersejarah Palestina oleh rezim Zionis Israel.
Harian al-Akhbar cetakan Lebanon dalam sebuah laporannya
terkait film itu menulis, "Film ini memperkenalkan para penjarah raksasa
yang mencuri buku-buku milik warga Palestina dari
perpustakaan-perpustakaan pribadi mereka dan melarang mereka untuk
mempelajari buku-buku itu."
Dalam
film "The Great Book Robbery" kita menyaksikan bahwa penjarahan itu
dilakukan Zionis secara terorganisir dan terencana dari
perpustakaan-perpustakaan pribadi warga Palestina. Militer Zionis
melaksanakan program itu di bawah kerjasama Perpustakaan Nasional
Israel. Perpustakaan ini merupakan sebuah lembaga Zionis yang dibangun
pada tahun 1982 dan mengoleksi buku-buku yang dicuri dari warga
Palestina. Dalam film dokumenter ini, Zionis berkata bahwa buku-buku
tersebut merupakan pinjaman dan nanti akan dikembalikan kepada
pemiliknya!! Tentu saja ketika pemiliknya kembali.
Sejarawan
Israel, Ilan Pappe mengidentifikasi dua jenis perampokan buku sejak
pendudukan Baitul Maqdis yaitu, individu yang bertindak sendiri dan
membawa pulang buku-buku yang mereka jarah, dan penjarah kolektif atau
formal yang bertindak atas nama rezim dan mencuri buku-buku warga
Palestina untuk Perpustakaan Nasional Israel. Sebuah tim bersama militer
Israel mencari dari rumah ke rumah di barat al-Quds dan membawa pulang
buku-buku dengan berbagai tema sastra, hukum, tafsir al-Quran, sejarah,
filsafat, dan buku-buku terjemahan.
Menurut
Ilan Pappe, "Perampokan buku-buku itu merupakan sebuah aksi penjarahan
terhadap warisan tertulis Palestina. Ini adalah bagian dari upaya yang
disebut orientalisme, yang bertujuan mendistorsi sejarah Islam dan Arab
serta merusak citra mereka dan menghapus Palestina dari sejarah."
Lalu,
apakah UNESCO – yang sudah menerima keanggotaan Palestina – sudah
berkontribusi untuk menyelamatkan warisan budaya dan sejarah Palestina?
Atau penerimaan keanggotaan Palestina hanya sebuah aksi simbolis untuk
menyelamatkan citra organisasi itu di dunia? Aksi kebungkaman UNESCO
tampaknya mempertegas gerakan pencitraan tersebut dan
instrumen-instrumen lembaga itu tidak berdaya dalam menghadapi
konspirasi dan arogansi rezim Zionis di bumi Palestina.
(IRIB
Indonesia/RM)
Post a Comment
mohon gunakan email