Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Surabaya. Show all posts
Showing posts with label Surabaya. Show all posts

Peringatan Hari HAM : Syiah Sampang dan Lumpur Lapindo Catatan Hitam Jawa Timur


Surabaya – Bertempat di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, pemerintah didesak segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM terbesar di Jawa Timur, yaitu tragedy lumpur Lapindo dan kekerasan terhadap warga Syiah Sampang.

Mengutip dari VOA, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, menyoroti belum tuntasnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Jawa Timur, yaitu tragedi semburan lumpur Lapindo serta kekerasan terhadap warga Syiah Sampang. Kedua kasus itu hingga kini belum juga ada titik terang dalam penyelesaiannya, termasuk belum adanya langkah konkrit dari pemerintah untuk mengatasinya.

Kasus semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan Desa di tiga Kecamatan di Sidoarjo, telah berlangsung lebih dari delapan tahun tanpa penyelesaian hak warga yang terlanggar. Sementara kasus kekerasan terhadap warga Syiah Sampang sudah berlangsung selama tiga tahun, yang menyebabkan terusirnya warga Syiah Sampang dari kampung halamannya sendiri.

Kasus Lapindo dan Syiah, Catatan Hitam Pelanggaran HAM di Jawa Timur
Koordinator KontraS Surabaya Andy Irfan Junaidi menegaskan, pemerintah di tingkat pusat hingga daerah harus segera membuat skema penyelesaian kasus kekerasan berlatar belakang agama serta sumber daya alam di Jawa Timur. Hal ini dimaksudkan, agar tidak menjadi preseden buruk pada penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Jawa Timur.

“Kita mendesak pemerintahan Jokowi, sekaligus juga pemerintah daerah di Jawa Timur untuk segera merancang skema yang lebih progresif, lebih maju dari skema yang dulu dimiliki oleh pemerintah sebelumnya baik dalam kasus kekerasan berlatar belakang konflik sumber daya alam seperti di Lapindo, maupun kasus berlatar belakang agama di Sampang,” kata Andy Irfan Junaidi, Koordinator KontraS Surabaya
“Sampai sekarang kita belum melihat ada skema itu, kita belum melihat ada keselarasan masing-masing lembaga negara, kementerian, maupun pemerintah di level paling bawah dalam berkomitmen untuk menuntaskan dua kasus ini,” lanjutnya.

Anggota Komisi bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Provinsi Jawa Timur, Agatha Retnosari mengatakan, masukan serta data yang diperoleh dalam diskusi kali ini akan dijadikan masukan kepada pemerintah pusat, terutama dalam menuntaskan pelanggaran HAM pada kasus luapan lumpur Lapindo maupun kekerasan terhadap warga Syiah Sampang.

Sementara itu, hak dasar berupa kesehatan dan pendidikan yang selama ini belum diberikan, DPRD Provinsi Jawa Timur kata Agatha, akan mendesak pemenuhannya oleh pemerintah daerah.
“Hasil diskusi ini adalah bukti, dan akan saya masukkan kepada laporan di Fraksi, supaya Fraksi PDI Perjuangan Jawa Timur bisa membawa ini ke nasional, sebagai masukan untuk Presiden Jokowi beserta kabinetnya, sehingga kita yang sudah lama, terutama korban Lapindo ini yang sudah lama terabaikan itu lebih terperhatikan. Karena kan pusat itu jauh ya dari Lapindo, itu tugas kita untuk kemudian menginput data dan informasi terkini,” jelas Agatha Retnosari.

Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasai Manusia, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur, Ninik Ariwanti menegaskan, lembaganya akan menjadikan dua kasus besar di Jawa Timur ini sebagai contoh penyelesaian kasus hukum dan hak asasi manusia, terutama untuk menghadirkan peran negara dalam penuntasan setiap persoalan hak asasi manusia yang terlanggar.
“Kita akan masukkan di dalam Ranham, (rencana aksi nasional daerah hukum dan hak asasi manusia) untuk memfasilitasi pemerintah, kabupaten terkait ya, Pemprov Jawa Timur dan Kabupaten Sampang ini untuk segera menyelesaikan secara komprehensif,” ungkap Ninik Ariwanti.

Sekarang hanya menjembatani-menjembatani ternyata dari pihak sini akan minta lebih, lebih dari sekedar untuk menjembatani, tetapi bagaimana negara ini bisa menegakkan NKRI ya, artinya bukan negara agama,” lanjut Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur.

Gelombang Sejarah Radio

Radio Philips Tombstone produksi Belanda 1930-1940-an.

Radio hadir di negeri ini hampir seabad lalu.
OLEH: WENRI WANHAR

SETIAP tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio karena pada tanggal itu, 69 tahun lalu, kali pertama Radio Republik Indonesia (RRI) mengudara. Radio tersebut hasil merebut kantor radio Jepang (Hosokyoku). Stasiun RRI yang pertama di Jawa ada delapan buah, yakni bekas Hosokyoku, di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.

Pada masa revolusi (1945-1949), selain RRI, dikenal juga radio-radio perjuangan. Di antaranya Radio Pemberontakan di Surabaya, Malang, dan Solo, di mana Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan; Radio Internasional Indonesia di Kediri; Gelora Pemuda di Madiun; Radio Militer dan Radio Indonesia Raya di Yogyakarta; Radio Perjuangan di Semarang; dan Rimba Raya di Aceh.

Sejarah radio di negeri ini sebetulnya sudah dimulai sejak 91 tahun silam. Gubernur Jenderal de Fock meresmikan pemancar radio Malabar di Bandung pada 5 Mei 1923. Inilah stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. (Baca: Malabar Bubar ditangan Laskar)
*****
Malabar Bubar di Tangan Laskar

Radio Malabar, 1915. Foto: KITLV.

Simbol paling ampuh radio kolonial. Hancur-lebur di tangan Republiken.
OLEH: WENRI WANHAR

BANDUNG, 5 Mei 1923. Pagi-pagi sekali Gubernur Jenderal de Fock beserta rombongan keluar dari penginapan di hotel Preanger. Iring-iringan kendaraan bergerak melintasi Dayeuhkolot ke arah perbukitan Bandung Selatan. Setelah melampaui Ciwidey, sampailah mereka di kaki Gunung Malabar.

Hari itu de Fock meresmikan pemancar radio Malabar, “stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda,” tulis Haryadi Suadi dalam Riwayat Radio Republik Indonesia.
Pemancar Malabar dibangun Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), alumnus teknik listrik dan rekayasa mekanis Delftse Polytechnische School, Karlsruhe, Jerman.

“Dalam disertasi yang berjudul Radiotelegrafie In The Tropen, Groot mengemukakan perlunya hubungan radio secara langsung antara Nederland dan Hindia Belanda. Dia yakin, secara teknis hal itu bisa dilakukan,” tulis buku The Year-book of Wireless Telegraphy & Telephony terbitan Marconi Press Agency Limited, 1920.

Pria bertubuh tambun itulah yang memimpin Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda melakukan serangkaian percobaan komunikasi radio untuk menghubungkan Hindia Belanda dengan Belanda.
Akhir 1916, Groot mulai mendirikan pemancar di kaki Gunung Malabar. Perangkat teknologinya dipesan dari perusahaan elektronik Telefunken, Jerman. Medan yang berat tak menyurutkan langkahnya. Peralatan berat berupa besi-besi dan mesin-mesin diangkut lewat jalan kecil, menanjak dan berliku ke lokasi pemasangan antena yang terjal.

Berbeda dari pemasangan antena pada umumnya, Groot merentangkan antena pada dua sisi lereng gunung sepanjang kurang lebih duaribu meter. Ketinggian rentangan kabel rata-rata 250-750 meter di atas permukaan laut, atau rata-rata 350 meter di atas permukaan tanah.

Perjuangan Groot tak sia-sia. Dia berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. Ini menandai titik tolak kemajuan dunia telekomunikasi penyiaran. Sejawaran Rudolf Mrazek, penulis buku Engineers of Happy Land, menyebut pemancar Malabar di pegunungan Jawa Barat adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda.

Groot meningal dunia pada 1 Agustus 1927. Namanya diabadikan oleh Walikota Bandung B. Coops sebagai nama jalan di kota itu: Dr de Grootweg (kini Jalan Siliwangi).
Kini, Groot dan pemancar Malabar hanya tinggal cerita. Kompleks stasiun radio Malabar yang megah itu hancur-lebur saat meletus peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. “Saya yang menghancurkan,” kata Entang Muchtar, dikutip Her Suganda dalam Jendela Bandung.

Entang bersama tiga kawannya menghancurkan stasiun radio Malabar dengan dinamit setelah mendapat perintah dari Mayor Daan Yahya. “Bumi seakan terguncang dan suara ledakan sangat memekakkan telinga. Ledakan pertama disusul ledakan-ledakan berikutnya sehingga seluruh bangunan luluh-lantak.”

*****
Empat tahun kemudian, Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda. Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Untuk memuluskan ujicoba tersebut, beberapa hari sebelumnya pihak Belanda telah mengantar sebuah pesawat radio tombstone merek Philips seri 703 A kepada Sri Mangkunegara VII, penguasa Pura Mangkunegaran. Penguasa Keraton Solo itu mempercayakan Ir Sarsito melayani radio itu.

Sejumlah orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Sekian pasang mata tertuju pada Sarsito yang nampak hati-hati, putar-putar tuning mencari baris gelombang yang selaras. Terdengar suara bersuit-suit sangat keras. Terkadang menggelegar seperti geluduk. Tapi lebih sering, “menggero sebagai mengaumnya harimau. Maka terkejutlah sekalian pendengar karena ketakutan,” tulis SRV Gedenkboek, 1936.

Begitu Sarsito menemukan gelombang yang tepat, terdengar suara orang berkata-kata. Sekali pun hanya berbisik-bisik, sekalian pendengar senang dan tertawa. Ketika mendengar suara musik yang tiada ketahuan siapa yang memainkannya, tercenganglah mereka. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat dan mendengar radio.

Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah koloninya dari laboratorium radio Philips. Siaran internasional yang dipancarkan secara live pada 31 Maret 1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Sarsito, dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939) menceritakan, malam  itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur. Mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito.

Setelah pidato live Sang Ratu, selain bertalian dengan kepentingan politik kolonial, Philips melihat prospek bisnis. Semenjak itu, “Philips langsung memproduksi radio secara massal,” kata Didi Sumarsidi, ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya, kepada Historia di sela pembukaan pameran radio lama bertajuk Layang Swara, di Bentara Budaya Jakarta, 24 April lalu. 

Situs resmi Philips melansir, mereka mulai serius memproduksi radio sejak 1927. Hingga 1932, Philips telah menjual satu juta radio dan langsung menjelma jadi produsen radio terbesar di dunia. Bahkan Philips mendirikan pabrik di Hindia Belanda.

Peran Tionghoa dalam Kemiliteran

Leo Wenas, seorang Tionghoa veteran pertempuran Surabaya, November 1945. Foto: Iwan Santosa/Repro buku "Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran."

Tionghoa identik dengan perekonomian. Namun, ternyata mereka juga berkiprah dalam kemiliteran.
OLEH: ARYONO

SEJARAH Indonesia dibentuk oleh berbagai tokoh dari berbagai latarbelakang, termasuk warga Tionghoa. Namun, penulisan sejarah oleh orang atau kelompok dengan tujuan tertentu telah menenggelamkan sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara.

“Tiga dekade Orde Baru berkuasa telah menyembunyikan peran-peran Tionghoa kepada negara,” kata pengamat militer, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran karya Iwan “Ong” Santosa, di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (4/12).

Oleh karena itu, kata Jaleswari, sejarah harus dikritisi karena banyak yang direduksi. Buktinya, buku ini menguak peran-peran Tionghoa dalam kemiliteran yang tidak dimuat dalam buku-buku sejarah. Buku ini menapaktilasi peran Tionghoa, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial Belanda, revolusi Indonesia, hingga awal Orde Baru (1966-1967), dan sekilas era reformasi.

Tionghoa yang melegenda dalam militer adalah Laksamana Muda John Lie. Dia menjadi Pahlawan Nasional pertama dari etnis Tionghoa. Selain dia, masih banyak Tionghoa lainnya yang berkiprah dalam kemiliteran yang termuat dalam buku ini.

Sonny Adrianto, Asintel Kodam Jayakarta, mengatakan bahwa selama Orde Baru, khususnya pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, peran Tionghoa dalam kemiliteran berkurang. “Mungkin akibat stigma negatif bahwa golongan Tionghoa dekat dengan golongan komunis saat peristiwa 1965,” kata Sonny.
Kendati demikian, Sonny, menunjukkan beberapa Tionghoa yang justru memegang posisi strategis di kemiliteran: Teguh Santosa (Tan Tiong Hiem) mantan wakil asisten perencanaan Kasad (1993-1995); Iskandar Kamil (Liem Key Ho) mantan kepala badan pembinaan hukum (1998); Teddy Yusuf (Him Tek Ji) komandan resort militer 131 Manado (1995); dan Bambang Soembodo, asisten logistik kepala staf umum (1996-1999).

Mayjen Gede Sumertha, kepala satuan pengawas Universitas Pertahanan, menyebut nama Surya Margono, seorang muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi atase udara di kantor atase pertahanan Indonesia di Tiongkok, yang kemudian berdinas di Kementerian Pertahanan.

Gede sendiri menceritakan pengalamanya ketika masuk Akademi Militer Negara, diasuh oleh dua pengasuh bernama, Hendra dan Totok. “Hendra, seorang Tionghoa dipanggil Acong. Dia pengasuh paling galak dan cerewet. Tetapi anak didiknya berhasil semua,” kenang Gede.

Dalam acara ini, hadir juga seorang tentara Tionghoa, Hendra K. (30 tahun), yang bertugas di Bravo 90 Penanggulangan Teror. Orangtuanya terpaksa menyingkat namanya menjadi Hendra K., karena kalau “Hendra Kho” akan menimbulkan masalah pada masa Orde Baru.

“Saat masa pendidikan dulu, oleh pelatih, saya sering dipanggil Dji Sam Soe. Sebab nomor helm saya 234,” ujar Hendra. Dia masuk tentara karena terispirasi kakeknya yang datang dari Tiongkok sekira tahun 1912-an. “Dan ketika disini, dia juga mengangkat senjata,” kata pria asal Jambi ini.

Dalam sambutannya, Iwan Ong menyatakan, buku yang ditulisnya selama tiga tahun ini bukan tentang kelompok etnis tertentu, dalam hal ini Tionghoa. “Tapi, ini tentang kita. Tentang ke-Indonesia-an,” ujar Iwan.
Hal senada dikemukakan Jaleswari, bahwa buku ini bukan tentang statistik berapa banyak orang Tionghoa berperan dalam kemiliteran. Tetapi yang terpenting, buku ini memberikan pesan akan pentingnya kesetaraan dan kebhinekaan.

Terkait Berita: