Oleh MUHAMMAD ANIS MAULACHELA.
Seiring dengan bergulirnya revolusi industri pada abad ke-18 M, para kapitalis (pemilik modal) berlomba-lomba membangun perusahaan industri, dari hulu hingga hilir. Tak ayal, nasib perekonomian negara pun berada di tangan mereka. Ketergantungan inilah yang kemudian menjadikan mereka merambah dunia politik. Sehingga, terbentuklah pemerintahan kapitalis, yang kemudian berkembang menjadi korporatokrasi (kekuasaan yang dikendalikan oleh elit politik, pengusaha, dan bank).
Namun pada akhirnya kapitalisme ini tidak hanya bersifat lokal, melainkan dikembangkan secara global. Kaum kapitalis rupanya tidak hanya puas menguasai negaranya, mereka juga ingin menguasai dunia. Mereka berpendapat bahwa ekonomi tidak memiliki batasan teritorial, dan pemerintah tidak semestinya mencampuri urusan pasar. Sehingga muncullah gagasan dan praktik demokrasi pasar, liberalisasi ekonomi, korporasi global, perdagangan bebas, deregulasi ekonomi, privatisasi, hutang luar negeri, globalisasi, dan lain-lain.
Dengan demikian kapitalisme pun bermetamorfosis menjadi neo-liberalisme, sebagai sarana imperialisme baru, di mana negara lain dapat dikuasai melalui penghancuran ekonomi negara tersebut. Amerika, sebagai dedengkot kapitalisme dunia, bahkan memiliki tim khusus perusak ekonomi (EHM/Economic Hit Man) yang berada di bawah koordinasi badan keamanan nasional (NSA/National Security Act). Kerja tim ini adalah dengan menjadikan suatu negara bergantung secara ekonomi dan politik pada Amerika dan Barat melalui hutang luar negeri.
Indonesia sebenarnya telah menjadi korban kapitalisme global atau neo-liberalisme semenjak masa-masa akhir penjajahan fisik Belanda dan Jepang. Sehingga tak heran bila kemudian Amerika justru berupaya agar Belanda dapat menjajah dan berkuasa kembali di Indonesia, demi membendung pengaruh komunisme (di masa perang dingin) dan melindungi kepentingan perusahaan-perusaha an minyak dan karet miliknya. Hal ini tergambar jelas dalam surat Menteri Luar Negeri AS, Byrnes, kepada Dubes AS untuk Inggris, Harriman, pada 12 Juni 1946, “Perlindungan terhadap berbagai kepentingan yang berkaitan dengan minyak di wilayah Palembang, khususnya ladang-ladang minyak, merupakan hal yang amat mendesak, mengingat kaum ekstremis sedang bersiap-siap untuk menghancurkan sumur-sumur minyak dan berbagai instalasi yang berkaitan dengan penyulingan minyak. Sejauh ini Departemen Luar Negeri belum mendapat kejelasan mengenai siapa yang akan melindungi ladang-ladang minyak itu, sementara rencana untuk melindungi kota Palembang tetap meragukan. Berhubung kepentingan Inggris dalam melindungi perusahaan Shell juga melibatkan perlindungan sumur-sumur dan berbagai peralatan yang letaknya tak jauh dari lokasi perusahaan Amerika di Pendopo dan Talang Akar, maka Departemen Luar Negeri berharap bahwa pemerintah Inggris akan mengambil langkah-langkah guna melindungi berbagai aset tersebut.”
Namun pengaruh neo-liberalisme ini mulai sedemikian sangat terasa sejak runtuhnya pemerintahan Orde Lama dan naiknya pemerintahan Orde Baru pada 1967. Indonesia telah menjadi target signifikan bagi kepentingan ekonomi dan politik negara-negara kapitalis. Sebagaimana yang tersirat dalam tulisan Stanley Hornbeck, seorang mantan pejabat luar negeri AS, pada 1948, “Indonesia merupakan rangkaian kepulauan yang paling kaya di dunia. Suatu wilayah yang secara politis, ekonomis, dan strategis amat penting bagi seluruh dunia.”
Globalisasi segera merambah di segala bidang, dari produk pangan hingga sekolah. Mekanisme pasar bebas juga tak ketinggalan mengambil peran. Sehingga untuk kebutuhan gula dan beras sekalipun, kita mesti mengimpor. Ironis sekali untuk sebuah negeri agraris. Lebih dahsyat lagi, perusahan-perusahaa n besar Amerika telah dengan leluasa mengeruk kekayaan alam Indonesia. Ratusan triliun harta publik telah diboyong ke Amerika, melalui persetujuan pemerintah kita yang lebih suka menjadi budak asing dan bermental inlander. Sementara, rakyat hanya bisa menggigit jari sembari berkutat dengan kelaparan, kemiskinan, penyakit, dan kebodohan. Persis seperti yang disinyalir oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontents, “Sistem ekonomi internasional yang saat ini sedang berjalan justru telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi ratusan juta penduduk di negara-negara dunia ketiga.”
John Pilger dalam bukunya The New Rulers of the World menceritakan tentang kerja para kartel internasional dalam menghisap negara-negara miskin. Ia berkata, “Di dunia ini, yang tak terlihat oleh sebagian besar dari kami yang hidup di belahan utara adalah cara perampokan canggih, yang telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara untuk masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak 1980-an, yang telah membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Hal ini disebut sebagai Nation Building (pembangunan bangsa) dan Good Governance (pemerintahan yang baik) oleh empat serangkai yang mendominasi World Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Dunia) yaitu Amerika, Eropa, Kanada, dan Jepang; serta tiga serangkai Washington yaitu Bank Dunia, IMF, dan Departemen Keuangan Amerika; yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari hutang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar 100 juta dolar per hari kepada para kreditur Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang lebih sedikit dari satu milyar orang menguasai 80% kekayaan seluruh umat manusia.”
Jeffrey Winters dalam bukunya Power in Motion dan Brad Simpson dalam disertasinya yang mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan Barat, menyatakan, “Pada November 1967, menyusul tertangkapnya hadiah terbesar yang hasilnya lalu dibagi-bagi, The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, seperti David Rockefeller. Sementara, raksasa korporasi Barat diwakili oleh perusahaan-perusaha an minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, dan US Steel. Sementara itu, di seberang meja duduk orang-orang Soeharto, yang oleh Rockefeller disebut sebagai ekonom-ekonom top Indonesia. Di Jenewa, mereka (para ekonom tersebut) juga dikenal dengan sebutan The Berkeley Mafia, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika untuk belajar di Universitas California, Berkeley. Mereka datang sebagai pengemis, yang menyuarakan apa-apa yang diinginkan oleh para majikan yang hadir; serta menyodorkan butir- butir, yang dijual dari negara dan bangsa mereka sendiri.”
Kenaikan harga BBM secara beruntun merupakan salah satu hasil dari praktik neo-liberalisme di Indonesia. Tujuan sebenarnya tak lain hanyalah demi melayani keinginan para kapitalis global. Pemerintah boleh saja mengemukakan berbagai macam dalih, namun sesuai dengan UU Migas No. 22/2001 kenaikan harga BBM tak dapat dipisahkan dari sedang berlangsungnya liberalisasi industri migas di negeri ini. Akibatnya, rakyat mesti membayar BBM dengan harga yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX), berdasarkan ketentuan mekanisme pasar yang diatur dalam UU Migas tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro sendiri mengakui bahwa tujuan dinaikkannya harga BBM antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke sektor hilir industri migas di Indonesia. Ia mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
Jelas sekali, karena sejak semula memang diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, maka tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan keputusan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan kenaikan harga BBM sarat oleh campur tangan pihak asing; khususnya Amerika, yang—melalui USAID, ADB (Bank Pembangunan Asia), Bank Dunia, dan perusahaan Price Waterhouse Coopers—telah turut terlibat dalam penyusunan UU Migas, Kelistrikan, dan BUMN.
Oleh karena itu, banyak negara-negara dunia ketiga—khususnya di Asia seperti Iran, India, Cina, Malaysia, dan lain-lain—telah bersikap tegas dengan menolak neo-liberalisme. Bahkan beberapa waktu yang lalu (Januari 2004) berlangsung konferensi internasional menolak korporasi global, yang bertajuk Forum Sosial Dunia (FSD) IV di Mumbay, India.
Aksi penolakan terasa kental mewarnai seluruh penyelenggaraan konferensi ini. Tak satu pun spanduk sponsor dari perusahaan—entah itu bank, hotel, produk pangan, apalagi kosmetik—yang ditemukan. Tak ditemukan pula aneka merek minuman ringan yang biasanya mudah diperoleh di pedagang asongan pinggir jalan. Air minum kemasan dari merek lokal juga tak nampak, apalagi keluaran korporasi internasional. Sebagai gantinya, di berbagai lokasi disediakan keran-keran yang mengalirkan air minum gratis hasil pemurnian dengan cara lokal. Bagi yang enggan minum beramai-ramai dari keran, disediakan stan-stan air yang dimurnikan. Satu liter air dalam botol tanpa merek dijual hanya 10 rupee (sekitar Rp. 2.000,-). Bila telah memiliki botol, tinggal mengisi ulang dengan hanya membayar 3 rupee (sekitar Rp. 600,-).
Semboyan “another world is possible” dalam konferensi tersebut muncul bersama kesadaran terhadap fakta bahwa lokalitas dan kearifan tradisional makin tak memperoleh tempat. Orang tak lagi bangga bila di badannya tidak menempel tas, kacamata, sepatu, dan baju dari merek asing. Orang pun tak lagi mau minum air rebusan, melainkan menggantinya dengan air kemasan atau menyediakan berkaleng-kaleng minuman ringan dalam kulkasnya. Padahal dampak dari semua itu sangat terasa. Di Filipina misalnya, produk minuman ringan dan air minum kemasan telah dimonopoli oleh korporasi internasional. Demikian pula di Thailand, produk minuman lokal menjadi tak laku dan banyak industri dalam negeri gulung tikar. Di India bahkan terdapat organisasi “People’s Forum Against Coca-Cola” (Forum Masyarakat Anti Coca-Cola), yang selama berlangsungnya FSD IV aktif menyelenggarakan lokakarya, konferensi pers, serta mengorganisir massa untuk berdemo dalam memprotes kiprah korporasi global di India. Pasalnya, industri Coca-Cola di India dituding telah menghabiskan cadangan air dan mengkontaminasi sumber air masyarakat di beberapa daerah.
Dengan demikian, sudah saatnya Indonesia mengikuti langkah negara-negara ini, dengan menolak neo-liberalisme serta penjarahan dan intervensi pihak asing dalam sistem perekonomian dan pemerintahannya.
MUHAMMAD ANIS MAULACHELA,
Koordinator Bidang Riset dan Pengembangan, Gerakan Masyarakat Peduli Pilkada dan Pemilu (GMPP)
Post a Comment
mohon gunakan email