Oleh: M Bambang Pranowo
Staf Ahli Menteri Pertahanan RI, Guru Besar UIN Ciputat Pertengahan Juli lalu, mewakili Menteri Pertahanan RI, kami berkunjung ke Iran untuk sebuah seminar internasional yang diselenggarakan di Qom dilanjutkan dengan silaturahmi ke Departemen Pertahanan serta Departemen Luar Negeri Negeri negara tersebut.
Apa yang menarik dari pemandangan di Iran adalah keinginan kuatnya untuk mandiri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Selama ini, kita di Tanah Air hanya terkesima oleh kehebatan Iran dalam membangunan teknologi militernya. Iran, misalnya, telah berhasil membuat tank, senjata berat, peluru kendali jarak jauh, dan berbagai peralatan militer lain.
Kemampuan Iran dalam membangun teknologi militernya itulah yang membuat AS dan sekutunya khawatir. AS menyatakan, dengan kemampuan militernya yang besar, Iran akan menguasai Timur Tengah dan mengancam keberadaan Israel. Itulah sebabnya, dengan berbagai dalih, AS menghalangi Iran untuk mengembangkan teknologi nuklirnya. Meski Iran sudah menyatakan bahwa teknologi nuklirnya adalah untuk perdamaian, AS tetap tidak mau percaya. Ini sebuah kekhawatiran yang mengada-ada karena Iran dan para ulamanya sudah menyatakan bahwa teknologi nuklir Iran adalah untuk pembangkit tenaga listrik.
Ternyata tak hanya teknologi militer yang dikembangkan Iran. Negeri Mullah itu pun mengembangkan teknologi transportasi dan elektronika. Di Teheran, misalnya, mobil produk perusahaan-perusahaan Iran seperti Iran Khodro, Saipa, Pars Khodro,dan Kerman Khodro berseliweran di mana-mana. Begitu pula motor produk Iran seperti Hormuz, Bahran,dan Phisro. Ketika kami masuk ke Kedubes RI di Teheran kami juga menjumpai televisi buiatan Iran: Sanam. Mereka bangga dengan hasil produksi negaranya. Sikap semacam itulah yang menjadikan para pakar iptek Iran berlomba-lomba mengembangkan risetnya.
Bertolak belakang dari berita di televisi bahwa rakyat Iran menderita karena embargo AS, yang terjadi adalah rakyat Iran tetap ceria dan terlihat hidup makmur. Dengan nilai satu dolar AS sama dengan 9.250 real Iran, di mana harga gandum (makanan pokok mereka) 100 real per kg. Ini artinya, harga makanan pokok rakyat Indonesia sama dengan 30 kali lipat harga makanan pokok rakyat Iran. Barangkali itulah sebabnya, di Iran sulit ditemui pengemis seperti halnya di kota-kota besar di Indonesia.
Tawaran senjata.
Ketika kami berbincang-bincang tentang kehidupan dan keamanan umat manusia di dunia yang memprihatinkan karena krisis politik, ekonomi, dan pemanasan bumi, tiba-tiba salah seorang pejabat Departemen Pertahanan Iran menyinggung tentang kemungkinan pemerintah Indonesia membeli berbagai senjata dari Iran. Dia katakan bahwa senjata buatan Iran tidak kalah dari senjata buatan manapun. Indonesia adalah negeri Islam terbesar di dunia karena itu harus berani menghadapi ancaman AS, kata para pejabat Iran.
Dengan semangat Islamnya yang menggebu-gebu, mereka mengkritik AS dan sekutunya yang selalu melindungi Isreal dan menjadikan Timur Tengah sebagai kawasan yang selalu dilanda peperangan. Umat Islam Indonesia juga harus bangkit melawan AS dan melengkapi militernya dengan persenjataan yang canggih, kata para pejabat Iran itu.
Dalam kondisi seperti itu, kami sebagai tamu hanya manggut-manggut. Tapi, ketika diberi kesempatan untuk berbicara, kami terus terang mengatakan bahwa saat ini yang dibutuhkan umat Islam Indonesia bukanlah senjata militer, tapi senjata non-militer berupa keadilan dan kemakmuran. Umat Islam Indonesia harus membuktikan kepada saudara sebangsanya yang non-Muslim bahwa dalam negara yang mayoritasnya Muslim, mereka tetap terlindungi dan diperlakukan secara adil.
Kami tunjukkan kepada para pejabat Iran bahwa Indonesia, meski sebagian besar rakyatnya beragama Islam, tapi hanya terkonsentrasi di bagian barat. Jadi, menyebut Indonesia sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Islam tantangannya bukanlah dari aspek militer harus kuat, tapi dari aspek ekonomi. Apakah umat Islam di Indonesia mampu menjadi lokomotif untuk menyejahterakan penduduk Indonesia yang sebagian besar masih miskin itu. Itulah tantangan umat Islam Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan hegemoni AS? Umat Islam Indonesia sulit menantang AS. Dia negeri super power dengan persenjataan yang luar biasa lengkap dan cangggih. Bagi Indonesia, melawan AS adalah ibarat semut melawan gajah. Karena itu, yang perlu kami lakukan di Indonesia, bagaimana agar AS tidak menginjak-injak kami. Senjata yang kami pakai adalah demokrasi. Jika Indonesia bisa membangun demokrasi dengan baik, maka AS akan menghormati kami. Melawan AS, bukan berarti kita harus berhadapan head to head, tapi bagaimana menggunakan senjata andalan AS yakni demokrasi untuk memperkuat diri kita sebagai bangsa.
Melihat pejabat-pejabat Iran yang sudah mulai mengangguk-angguk, kami kemudian mengutip hadis yang Nabi, “Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina.” Baginda Rasulullah memang sangat cermat melihat perkembangan budaya manusia. Lihat, bangsa Cina. Mereka tidak pernah mau berhadapan head to head dengan AS. Bangsa Cina mengirimkan putra-putri terbaiknya ke AS untuk belajar teknologi, lalu pulang mengembangkannya di negeri sendiri. Mereka tidak berkoar-koar anti-AS. Tahu-tahu, AS terkejut karena Cina telah demikian maju.
Cina bisa meluncurkan pesawat ruang angkasa setelah sebelumnya menguasai teknologi nuklir, termasuk teknologi pembuatan bom atom. Akibatnya, AS pun respek terhadap Cina. Sikap Cina yang tidak mau berhadapan atau bermusuhan head to head dengan AS ternyata berhasil menciutkan nyali AS. Seandainya umat Islam belajar strategi perlawanannya kepada AS dari Cina, niscaya sikap memusuhi AS dengan cara terang-terangan head to head tak akan terjadi.
Hal yang sama terjadi pada Jepang. Setelah kalah perang melawan AS pada Perang Dunia Kedua, Jepang tidak pernah melawan AS secara militer. Tapi diam-diam, Jepang membangun perekonomiannya. Hasilnya, kini Jepang merajai perekonomian dunia.
(Republika/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email