Ki-ka: Asvi Warman Adam, Iwan Santosa (moderator), Bonnie Triyana, dan
Anhar Gonggong, dalam bedah buku "Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir
Soekarno" di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014.
Foto: Micha Rainer Pali, 2014.
Kerap menepis keterlibatan Sukarno dalam peristiwa
G30S yang dilontarkan sejawatnya, Maulwi Saelan bukan hanya penjaga
fisik Sukarno tapi juga nama baiknya.
OLEH: YUDI ANUGRAH NUGROHO
PEKIK merdeka
menggema di auditorium Museum Nasional, Jakarta Pusat, 1 Oktober 2014.
Maulwi Saelan (88 tahun), mantan wakil komandan pasukan pengawal
presiden, Tjakrabirawa, mengumandangkannya sesaat sebelum memberi
sambutan acara peluncuran dan diskusi biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno.
Sebagai saksi dan pelaku sejarah, Maulwi
merasa terpanggil memberi kesaksian dari sebagian kecil sejarah
Indonesia, khususnya mengenai Sukarno. Penodaan terhadap nama baik
presiden pertama Indonesia itu begitu besar dan terus berlanjut hingga
kini akibat sejarah monoversi yang dipaksakan penguasa Orde Baru. “Saya
bersedia dan terpanggil untuk menyatakan hitam dan putihnya sejarah,
khususnya yang terkait dengan Sukarno,” ujarnya.
Kedekatannya dengan Sukarno bermula
ketika Maulwi menjadi wakil komandan Tjakrabirawa pada 1962. Semenjak
itu, kata Maulwi, “saya berada sangat dekat dengan presiden Sukarno,
baik pada situasi penting dan genting, juga pada hal-hal yang kecil,
remeh-temeh, hingga berkelakar.”
Salah satu informasi terpenting adalah
detik-detik di sekitar peristiwa G30S. Kala itu, Maulwi mendampingi dan
berada dekat dengan Sukarno. Menurutnya, pernyataan Kolonel KKO Bambang
Widjanarko bahwa Sukarno terlibat dan menginstruksikan Letkol Untung
untuk menindak para jenderal tidak loyal adalah tidak benar. Pada 4
Agustus 1965 pagi di serambi belakang Istana Merdeka, Sukarno menderita
sakit, sehingga tidak mungkin ada pertemuan dengan Untung. Lagipula,
Untung hanyalah komandan batalion. “Tidak mungkin dia bisa begitu saja
bertemu presiden,” ujarnya.
Sejarawan Anhar Gonggong menanggapi
perbedaan keterangan dua orang terdekat Sukarno itu. Persoalan yang
mesti diingat, menurutnya, adalah tentang rasio dan background
ketika keterangan itu diberikan. Ada kondisi-kondisi tertentu yang harus
dipahami ketika keduanya memberi keterangan. “Saya khawatir bahwa
Widjanarko berada dalam tekanan, sebab kondisinya tidak memungkinkanya
untuk tidak mengatakan itu. Bila dia tidak mengatakan itu (keterangan
yang diinginkan rezim Orde Baru –red), boleh jadi dia dipenjara. Faktor itulah yang harus diperhitungkan,” ujar Anhar.
Faktor psikis pula yang menjadi sorotan
Bonnie Triyana, sejarawan sekaligus penulis biografi Maulwi Saelan.
Menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, Bambang
Widjanarko, Maulwi Saelan, dan Moh. Sabur (komandan Tjakrabirawa)
sama-sama diinterogasi Team Pemeriksa Pusat (Teperpu). Perbedaan faktor
psikologi di antara ketiganya dan down mental akibat interogasi
dan paksaan menghasilkan keterangan yang berbeda. Widjanarko memberikan
keterangan yang sesuai keinginan penguasa, yakni menyatakan Sukarno
mengetahui dan merestui penculikan para jenderal. Sedangkan Maulwi
memberikan keterangan yang jelas tak dikehendaki penguasa sehingga dia
dipenjara.
Selepas bebas dari penjara, Maulwi
sempat mengajak bertemu Bambang Widjanarko guna mengoreksi cerita
keterlibatan Sukarno pada peristiwa G30S. Namun, hingga akhir hayatnya,
Bambang tak pernah memenuhi janjinya untuk bertemu Maulwi.
Sejarawan Asvi Warman Adam berpendapat,
Maulwi menepis anggapan miring bahkan tuduhan keterlibatan Sukarno dalam
peristiwa G30S. Selain mengkonfirmasi dan membantah adanya pertemuan
pada 4 Agustus 1965, Maulwi juga membantah informasi adanya penyerahan
secarik kertas dari Untung kepada Sukarno yang dibawa Sogol, anggota
Tjakrabirawa bagian hygiene, di malam 30 September dan dibaca
Sukarno di toilet. Bantahan-bantahan itu membuat “Maulwi tak hanya
menjaga fisik Bung Karno, tetapi juga menjaga nama baik Sukarno dalam
urusan sejarah,” ujar Asvi.
Asvi melanjutkan, peran Maulwi sebagai
“penjaga” telah berjalan sejak Indonesia berdiri. Dia seorang penjaga
revolusi karena ikut dalam perang kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Jawa
Timur, hingga Yogyakarta. Saat perhelatan Olimpiade Melbourne 1956, dia
tampil sebagai penjaga gawang sekaligus kapten timnas Indonesia saat
mengadapi Uni Soviet. Peran penjaga itu berlanjut ketika dia menjaga
presiden Sukarno saat bertugas di Resimen Tjakrabirawa. Dan terakhir,
dia aktif sebagai penjaga pendidikan dengan mendirikan sekolah al-Azhar
Syifa Budi.
Post a Comment
mohon gunakan email