Pesan Rahbar

Home » , , , , » Tanggal 6 Juni dan Kisah Kelahiran Bung Karno

Tanggal 6 Juni dan Kisah Kelahiran Bung Karno

Written By Unknown on Sunday, 14 December 2014 | 23:52:00


Soekemi Sosrodihardjo seorang guru muda dari Surabaya yang ditugaskan untuk mengajar di Sekolah Rakyat (setingkat SD) di Bali, tepatnya di Banjar Paketan-Liligundi-Buleleng, Singaradja Bali. Setelah mengajar Sukemi senang sekali berjalan-jalan mengelilingi desa dan melihat kehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan Soekemi sering mencatat bagaimana rakyat desa bergerak.

Satu hal yang diperhatikan Soekemi adalah budaya dari banjar Bali yang amat marak itu, sebuah kegiatan sakral dan penuh harmoni. Tiap ada upacara-upacara suci di Pura Bali sendiri ada tarian sakral bernama Tari Rejang. Tarian ini ditarikan khusus perempuan dengan gerakan amat halus, tarian ini bisa amat indahnya bila dilatari bulan purnama dan malam bersih penuh bintang, sehingga penontonnya bisa menjadi amat tenang, khidmat dan penuh syukur pada Tuhan.

Suatu saat Soekemi menonton bersama temannya yang seorang guru juga dari Jawa, tarian ini. Ia terpesona dengan dua orang perempuan cantik, tapi ia tak tau siapa namanya kedua perempuan itu. Namun kemudian ada kesempatan dimana Soekemi melempar bunga, dan lemparan bunga itu mengenai seorang penari cantik dengan mata bulat bulan ‘Ni Nyoman Srimben’. Ia penari yang amat cantik dengan bibir yang tebal manis, dan alis mata yang amat hitam, tersenyum pada Soekemi, saat itulah cinta pertama jatuh pada dua hati anak manusia.

“Perkenalan adalah takdir, menjadi teman adalah pilihan dan mencintai seseorang kerap diluar kendali dari diri seorang yang sedang jatuh cinta” Soekemi sudah jatuh cinta, ia telah memilih dan ia sanggup menghadapi resikonya apa saja.

Rupanya Ni Nyoman Srimben juga jatuh hati pada pemuda dari Jawa ini, -“Ia seorang guru ayah” kata Nyoman Srimben kepada ayahnya I Nyoman Pasek ketika menghaturkan cerita tentang pemuda pilihan hatinya. I Nyoman Pasek tentunya menolak “dia berbeda agama dengan kita” Soekemi sendiri beragama Islam, dan Nyoman Pasek menghendaki Srimben menikah saja dengan pemuda dari banjar-nya sendiri ketimbang pemuda yang berasal dari Jawa, dari tempat yang jauh.

Tapi cinta telah mengikat dua perasaan ini, cinta telah menjadikan dua cerita antara Soekemi dan Srimben sebagai naluri aksara puisi, Soekemi melihat dua mata Srimben, ada getaran, bukan saja ia melihat masa depan dirinya sendiri, tapi masa depan yang lebih besar, ‘namun ia tak mengerti’. Srimben sendiri melihat Soekemi juga dengan perasaan sama, ada perasaan pertanggungjawaban bahwa cinta ini harus diteruskan, -apapun resikonya-.

Lalu Soekemi bertanya pada Srimben “Apakah kau mencintaiku” lalu Srimben diam lama dia melihat sawah luas membentang hijau di desanya, udara langit putih bersih dan daun-daun pohon kamboja mengayun lembut. –Srimben mengangguk penuh arti-. Akhirnya Soekemi berani melamar menikah pada ayah Srimben, Bapak Nyoman Pasek. Namun Nyoman Pasek secara halus menolak.

Akhirnya dipilih suatu sikap yang berani, yaitu : Ngarorod atau Kawin Lari. Di Tengah Malam Soekemi membawa lari Srimben, lalu dikejar-kejar penduduk desa dan Soekemi berlindung di tempat seorang Polisi. Penyelesaiannya adalah ke Pengadilan, di Pengadilan tampaknya cinta dua anak manusia ini tak bisa dipisahkan, akhirnya semua orang yang menyaksikan rela dengan ikhlas menyatukan dua perbedaan ini karena keberanian dan pertanggungjawaban Soekemi serta Srimben dalam menjalankan cintanya, Soekemi hanya dimintai denda atas tindakannya melakukan Ngarorod, dan keluarga Srimben menyetujui Soekemi menikah dengan Ni Nyoman Srimben.

Pernikahan ini berlangsung damai, tiba-tiba datang surat dari penilik sekolah yang mengabarkan bahwa Soekemi harus pindah ke Blitar dan bertugas disana. Ni Nyoman Srimben ikut Soekemi, dengan menumpang perahu layar mereka mengarungi selat Bali menuju Jawa, tampak dari kejauhan pulau Jawa berkabut, keindahan pulau Jawa dengan ratusan nyiur di pantai membuat Srimben merasa bergetar, ada suara lembut menyapa kalbunya ‘Disinilah masa depanmu bermula’.

Di Blitar, Soekemi dan Srimben hidup amat sederhana, seperti layaknya penduduk Jawa yang lain, hidup dalam suasana keprihatinan suasana orang yang dijajah, tiap pagi Srimben harus menumbuk padi, menjaga tumbukannya tidak dimakan ayam, ia mencuci dan segala bentuk kegiatan lainnya, ia mencintai suaminya dengan amat sangat yang tiap hari dengan sepeda warna hitam itu pergi ke sekolah mengajar. Di tahun pertama pernikahannya, lahirlah seorang anak perempuan dan diberikan nama sebagai Soekarmini. Gembiralah rumah kecil pak guru itu dengan hadirnya anak perempuan yang lucu.

Suatu siang Srimben bermimpi tentang bulan purnama terang sekali, ia bermimpi berjalan di ruang yang bergolak, kemudian melanjutkan ke ruang yang tenang. Ia berdoa semoga mimpinya ini berjalan ke arah kebaikan, tak lama setelah mimpinya ini ada, ia hamil. Di tengah kehamilannya ini ia kerap bermimpi tentang sinar matahari berwarna kuning muda bangkit dari balik cakrawala, dan entah kenapa Srimben sangat menyukai warna pagi matahari. Soekemi senang bukan kepalang, melihat isterinya hamil lagi. Ia mengelus-elus perut isterinya dan membacai surat al fatihah, ia berharap anak ini akan menjadi berguna bagi keluarga dan bangsanya. Anak ini akan dipenuhi oleh rasa cinta, dipenuhi keberanian dalam menghadapi kehidupan dan ketabahan dalam penderitaan untuk mencapai tujuan. Anak ini harus menjadi seorang yang kuat, begitu harapan Soekemi.

Lalu tanggal 6 Juni 1901, jam 6 pagi meledaklah suara tangis bayi, Soekemi berdiri dari tempat duduknya, ia mendatangi dukun bayi yang membantu proses kelahiran…”Anakmu laki-laki, Pak Guru…laki-laki” kata dukun bayi itu dengan wajah senang seraya memberi selamat dan Soekemi dengan dada berdegup kencang berlari ke sudut rumah lalu mengucapkan syukur.

Malamnya Soekemi menuliskan surat kepada keluarga isterinya di Buleleng dengan kata-kata singkat : “Anakku telah lahir, anak kedua, dia laki-laki dan kuberikan nama Koesno. Semoga ini menjadi awal yang baik dari semuanya”. Tulis Soekemi di tengah pelita yang redup.

Bayi itu sehat, gemuk dan pipinya merah. Bayi ini sangat tampan. Bahkan beberapa kerabat Soekemi yang mengunjungi terpesona dengan ketampanan bayi ini. Satu hal yang sangat disenangi Srimben dalam merawat bayi ini adalah menghadapkannya ke timur matahari, dengan cahaya matahari yang merekah, wajah tampan bayi merah ini tertimpa alur-alur cahaya pagi lalu Srimben berucap “ Lihatlah anakku, lihatlah sang Fajar bangkit dari peraduannya, kau lahir ketika sang fajar bangkit dan menerangi dunia, kau lahir bukan saja membawa hari baru, tapi sebuah jaman baru…..”

Bung Karno semasa sekolah di HBS (Sumber Photo : Yayasan Idayu)

Kelak di kemudian hari ucapan Srimben ini semacam profetik (ramalan) yang dinisbahkan pada diri anak ini, seorang anak yang kemudian sakit-sakitan dan diganti nama menjadi SUKARNO.
Sukarno kecil tumbuh dengan gembira, ia suka berenang-renang dikali, memancing dan bermain gasing. Ia tak mau kalah dalam permainan “Bagi Sukarno, ia tak boleh dikalahkan” kenang Sukarno kelak dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Karena kemiskinan Sukarno kerap hidup kekurangan, ia harus menumbuk beras sendiri, ia berjalan kaki ke sekolah tanpa sepatu. Yang paling sedih diingat Sukarno adalah ketika hari menjelang lebaran, banyak anak-anak bermain petasan, ledakan petasan dimana-mana, ia ingin membakar petasan, ia iri teman lainnya bisa membeli dan membakar petasan menyambut malam takbiran. Sukarno ingin merayakan menjelang lebaran dengan petasan “aku ingin petasan…ingin sekali” tapi Sukarno kecil tau, ayahnya tak punya uang, ia tak tega meminta pada bapaknya. Kemudian yang ia lakukan adalah menangis di kamar, ia melingkari wajahnya dengan bantal yang penuh air mata, ia ingin petasan. ‘keinginan anak-anak yang lumrah’. Tak lama ketika Sukarno menangis, datanglah seseorang teman ayahnya mengetuk pintu dan memberikan sebungkus petasan pada Soekemi “ini untuk anakmu” lalu Soekemi memanggil Sukarno dan memberikan sebungkus petasan itu “Ini untuk kamu, hati-hati mainnya” Bukan main gembira hati Sukarno, kenangan ini ia tak bisa lupakan seumur hidupnya, ia juga sadar ‘tangisan yang tulus adalah doa yang didengar Tuhan”. Dan memang sepanjang hidupnya Sukarno kerap menangis diam-diam untuk bangsanya.

Sukarno dibawa ayahnya ke rumah indekost HOS Tjokroaminoto di Jalan Plampitan, Surabaya.. saat itu Sukarno diterima di HBS Surabaya, Pak Tjokro adalah kawan dekat ayah Sukarno, “Jagalah baik-baik anakku” kata Soekemi, Pak Tjokro dengan kumis yang tegas itu memegang pundak Sukarno “Nah, kau sekarang di HBS, kau harus bertanggung jawab bukan saja pada hidupmu, tapi juga bangsamu” nasihat Pak Tjokro dengan mata tajam dan wajah yang teduh. Sukarno mengangguk pelan, lalu ia diantarkan ke kamarnya yang gelap, kecil dan agak kotor, -karena kamar yang lain sudah penuh-. Tapi Sukarno menerima dengan gembira, ia memang punya watak selalu senang dalam keadaan apapun. Bagi Sukarno ‘mengeluh adalah tanda kelemahan jiwa, bergembiralah di tiap hidupmu, seberat apapun masalahmu…gembiralah…gembiralah” itu prinsip Sukarno dalam menjalani kehidupan.

Banyak kawan-kawan yang mengenang Sukarno adalah seorang pelajar yang cerdas, pembaca buku, pintar menggambar – salah satu yang paling diingat adalah ketika di kelas sedang ada pelajaran menggambar bebas, Sukarno muda menggambar anjing dan kandangnya, gambar anjing itu amat hidup dan membuat guru Belandanya terperangah, ia memamerkan gambar Sukarno- tapi nilai gambar itu tetap tidak boleh tinggi dari gambar anak Belanda, diam-diam Sukarno mulai tau bahwa bangsanya terjajah.

Sukarno cepat bila mengerjakan PR, setelah selesai mengerjakan PR ia mengusili kawan kost yang lain, hingga kalau malam banyak kamar ditutup pintunya ‘untuk menghindari gangguan Sukarno’. Akhirnya Sukarno iseng-iseng pidato sendirian di kamar, ia meniru seorang dalang dan meniru Pak Tjokro yang sedang berpidato. Bila Sukarno kecil berpidato ia bergerak seakan-akan seorang aktor yang bisa menggenggam dunia, “Kebebasan…Kebebasan..dan Kebebasan” teriak Sukarno meniru Danton tokoh revolusi Perancis dalam khayalannya itu. Lalu anak-anak melongok keluar jendela kamar dan dengan malas-malasan kembali lagi ke meja belajarnya sambil mengomel “Ah, Paling itu Si No…ingin menguasai dunia” kata mereka.

Dan memang Sukarno kelak menguasai dunia, dibawah pesonanya banyak negara-negara terinspirasi untuk merdeka, dibawah jalan hidupnya kemerdekaan Indonesia direbut, bangsa Indonesia memiliki martabatnya, merebut kehormatannya dan berdiri sebagai bangsa besar di dunia. Dan Sukarno-lah alasan terbesar bangsa ini berdiri-.

-Hari ini 6 juni 2012 dan Bung Karno ulang tahun, Selamat Ulang Tahun Bung Karno…………-

Jakarta, 6 Juni 2012
(Anton DH Nugrahanto)

Catatan : Nama Ibunda Sukarno adalah Ni Nyoman Srimben, pada tahun 1954 sebagai Presiden RI, Sukarno menghadiahkan nama Ida Ayu atau Idayu kepada Ibunda-nya dengan disaksikan banyak pejabat RI dan dari negara sahabat, sebuah penghargaan terbesar dari seorang anak kepada ibunya.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: