Massa buruh di Indonesia adalah massa buruh terbesar di Asia, bahkan di satu masa pernah melampaui Cina. Sebagai catatan Indonesia pernah menjadi negara perkebunan terbesar di dunia antara tahun 1840-1905, setelah tahun 1905 massa buruh di Cina melonjak akibat kebijakan industrialisasi diperkenalkan.
Di Hindia Belanda buruh perkebunan adalah massa buruh lapis pertama. Tapi tidak tercerahkan.
Pergerakan buruh belum dikenal sampai pada tahun 1880-an ketika banyak pemberontakan-pemberontakan radikal petani, kaum buruh masih merasa satu nafas terhadap industri yang pertama kali dibangun di Hindia Belanda, massa buruh perkebunan belum memiliki kesadaran, karena ditempatkan di tempat yang terkucil dan jauh dari peradaban intelektual.
Massa buruh yang tercerahkan justru dibangun dari jaringan kereta api yang dibangun di seluruh pelosok Jawa pada tahun 1862. Saat itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. berkunjung ke London dan berpidato di depan forum investor Eropa atas tanah-tanah kolonial, dia berpidato “Tanah Jawa dan Jaringan Lalu Lintas Kereta Api” Van den Beele dalam pidatonya berkata : “Salah satu fungsi mempercepat kemajuan dalam dunia industri perkebunan di Jawa adalah terdapatnya Kereta api dan Tenaga Buruh” Disini Van Den Beele sudah menempatkan buruh sebagai bagian dari penilaian produksi pemerintahan Hindia Belanda.
Buruh menjadi kekuatan penting, isu terbesar dalam forum investor itu adalah ketersediaan tenaga kerja murah bahkan seperti budak. Namun angin kebebasan yang ditiupkan Lincoln membuat para bandar-bandar modal di Eropa menjadi amat berhati-hati dengan perbudakan, mereka mulai menilai kerja-kerja manusia sebagai kerja yang di ‘subkontrakkan’.
Dalam pertemuan investor di London, road show investments Van Den Beele berhasil, ia berhasil menarik beberapa investor, pooling fund atas investor itu dibentuk dalam badan hukum bernama “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV. NISM), yang dipimpin Ir. J.P de Bordes. Tiang pancang pembangunan pertama kali adalah di wilayah Tanggoeng, Semarang, selesai pada tahun 1867.
Apa yang dikatakan Van Den Beele menjadi kenyataan, pekerja kereta api meningkat pesat jumlahnya,, mereka menjadi pekerja-pekerja intelektual, lapisan paling elite dalam jajaran pekerja pribumi dan tidak diperlakukan sebagai budak.
Setiap jaringan kereta api menjadi pusat dari segala seluruh pergerakan politik di Indonesia yang paling realistis namun karena bersifat agak cenderung kiri dan kemerah-merahan, gerakan ini tidak pernah dicatat sebagai sejarah resmi negara.
Gerakan kebangsaan dicatat hanya sebagai gerakan kaum elite menengah atas, kaum bangsawan yang banyak terdapat di sekolah-sekolah bentukan Hindia Belanda, pergerakan kesadaran kebangsaan tidak dicatat dalam rapat-rapat politik di stasiun kereta api atau berada di kafe-kafe tempat para pekerja kereta api berkumpul.
Barulah pada tahun 1915 gerakan buruh kereta api menjadi sangat penting dalam percaturan politik setelah Sarekat Islam membuka afdeeling (Pengurus Cabang) di stasiun-stasiun penting di Jawa seperti: Semarang dan Surabaya.
Pada tahun 1918 di Garut terjadi pemberontakan yang ditengarai dilakukan SI Afdeeling B (Afdeeling B adalah kode, cabang rahasia yang sampai saat ini tidak ditemukan susunan pengurusnya, ini macam biro chusus pada masa DN Aidit di tahun 1965). Pemberontakan di Garut itu mendorong radikalisasi gerakan buruh di berbagai lini, pemogokan yang paling efektif dan menekan kaum pemodal justru terjadi pertama kali di industri percetakan Van Dorp yang berhasil menaikkan gaji 20% dan uang makan 10%, kemenangan kaum buruh dalam lingkungan percetakan Van Dorp membuat kaum agen-agen intelektual buruh mengembangkan dialektikanya atas sasaran perdjoangan.
Pergerakan buruh mencapai momentum terbesarnya ketika Soerjopranoto seorang bangsawan Jawa dari Trah Pakualaman masuk ke dalam Sarekat Islam dan mampu membius dengan pemikiran-pemikiran gerakan buruh yang taktis dan tepat. Soerjopranoto menjadikan gerakan buruh sebagai bagian tak terpisahkan dalam pembentukan pertama kali sebuah bangsa, sebagai bagian dari gerakan intelektual radikal. Soerjo mengatur pemogokan-pemogokan sebagai agenda gradual dalam menekan pemerintahan Hindia Belanda, lewat gerakan pemogokan ala Surjopranoto, Pemerintahan Hindia Belanda rugi jutaan gulden. Surjopranoto mendapat perhatian khusus oleh dinas intelijen Belanda dalam rapat khusus mereka di Istana Bogor tahun 1919.
Rapat khusus penggede “Politieke Inlichtingen Dienst” (PID) di awal tahun 1922 itu memutuskan dikenakannya : “exorbitante rechten”, penangkapan berdasarkan kecurigaan intelijen tanpa harus lewat proses hukum, yang jadi contoh kasus dalam operasi ini adalah Soerjopranoto. “Operasi Bogor” inilah yang kemudian menjadi amat keras bagi pergerakan-pergerakan buruh di masa selanjutnya dan pergerakan politik yang lain. Puncak dari “Operasi Bogor” adalah kekejian pemerintah Hindia Belanda dalam menumpas gerakan kemerdekaan yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927 lewat pemberontakan yang mereka lakukan di Prambanan, Semarang, Banten dan Silungkang Sumatera Barat.
Gerakan buruh setelah pemberontakan PKI dan ditangkapnya Bung Karno pada tahun 1930-an nyaris tak terdengar, dimasa-masa ini pula muncul generasi baru yang lahir pada tahun 1920-an awal dan bersemi antara tahun 1941-1949 menjadi kalangan kelas menengah namun menjadi agen intelektual atas gerakan-gerakan buruh dalam masa revolusi kemerdekaan 1945-1949.
Gerakan buruh menjadi terdengar gaungnya ketika terjadi perebutan massa buruh oleh kekuatan-kekuatan politik di sekitar revolusi 1945. Pada 1 Mei 1946, gerakan buruh didekati kelompok pemegang kekuasaan Perdana Menteri Sjahrir untuk dimasukkan ke dalam barisan Partai Sosialis, saat itu Sjahrir masih akur dengan Amir Sjarifuddin dan membentuk Partai Sosialis yang memegang jalannya pemerintahan. Di pihak lain kelompok Tan Malaka amat ingin sekali buruh masuk ke dalam garis perdjoangan mereka, kelompok Tan Malaka tak ingin kaum buruh masuk ke dalam kelompok pemerintah yang cenderung lebih kepada perdjoangan diplomasi, pada tahun 1946 tren diplomasi sudah ditengarai oleh Tan Malaka salah satunya adalah sikap begitu kompromisnya Sjahrir pada Inggris, Tan Malaka menghendaki tanpa kompromi perang dengan seluruh pasukan asing apapun alasannya dan menguasai seluruh perkebunan-perkebunan dan kilang.
Sjahrir dan Amir lalu memamerkan penguasaan kekuatan buruh mereka pada 1 Mei 1946, gerakan buruh 1 Mei 1946 sesungguhnya merupakan gerakan tandingan atas aksi Rapat Ikada 17 September dimana rapat raksasa itu adalah mainan dari kelompok Tan Malaka dan menjadi gema atas kekuatan rakyat paling spektakuler pada masa awal revolusi, kelompok Sjahrir menjadi gerakan 1 Mei 1946 sebagai bentuk kekuatan massa milik mereka di depan kelompok oposisi.
Gerakan buruh di masa Revolusi dan kemudian di masa Sukarno sama sekali tak menjadi kekuatan otentik, mereka tidak mendirikan partainya sendiri, mereka diageni banyak Partai dan banyak kepentingan, sehingga apa yang terjadi dalam dinamika gerakan buruh menjadi bagian dari sejarah Partai Politik bukan lagi sebagai bagian gerakan buruh murni, ini berbeda di lapangan perdjoangan intelektual kelas menengah yang menjadikan gerakan intelektual sebagai gerakan otentik.
Di masa Suharto, kemanusiaan buruh menjadi titik paling rendahnya, dalam konferensi di Swiss, dimana Frans Seda, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik melakukan lobi-lobi politik Internasional untuk mendapatkan bantuan keuangan internasional, buruh dimasukkan sebagai free warrant atas garansi instrumen hutang yang diterbitkan pihak Indonesia. Buruh menjadi sumber murah dalam pemanis sebuah investasi, hal ini bahkan lebih keji daripada yang dilakukan Van den Beele, dimana Van den Beele secara gentleman mengakui bahwa buruh diakui sebagai bagian subkontrak kerja.
Kebijakan ‘benda mati buruh’ dalam masa Orde Baru berlangsung terus menerus dan sistematis, kekuatan buruh dihajar habis-habisan, buruh dianggap sebagai bagian dari gerakan politik kiri, bahkan di tahun 1998 saat gerakan reformasi yang digerakkan mahasiswa terjadi kelompok buruh dilarang ikut-ikutan sehingga cap gerakan penggulingan Suharto hanya dilakukan kelompok mahasiswa.
Marginalisasi politik kaum buruh kemudian membuat buruh belajar sendiri, bahwa pergerakan mereka tidak membutuhkan agen-agen intelektual kelas menengah, mereka mengorganisir dirinya sendiri, bahkan sekarang kekuatan buruh adalah kekuatan paling terorganisir diantara seluruh kekuatan politik masyarakat yang ada, kekuatan buruh adalah kekuatan raksasa yang tenor perdjoangannya lebih lama ketimbang tenor perdjoangan mahasiswa. Bahkan bisa dikatakan, apabila kaum buruh mampu membentuk Partainya sendiri, membentuk jaringannya sendiri tanpa menggantungkan diri pada kekuatan Partai Politik mapan maka bisa dipastika, Partai Buruh menjadi Partai politik paling kuat di Indonesia.
Persoalan kaum buruh di Indonesia dalam konteks kekuasaan hanya satu yang mereka sampai saat ini tidak berani langsung berhadapan head to head dengan kelompok penguasa dinasti yang dibekeng kaum pemodal, kaum buruh masih enggan menggaris demarkasi permusuhan politik dan belum menggariskan sikapnya dalam kebijakan besar visioner tentang ‘Konstelasi Pergerakan Buruh di Indonesia melawan penguasa politik”.
Apabila garis-garis realistis perdjoangan kaum buruh bisa diletakkan dengan dasar yang baik, mampu menemukan hukum-hukum revolusi dalam perubahan bentuk susunan masyarakat maka tak pelak lagi, Partai Buruh akan menjadi Partai terkuat seperti dalam tradisi Inggris dan Negara-Negara Commonwealth.
(Anton DH Nugrahanto, 1 Mei 2012)
(Anto-DH-Nugrahanto/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Di Hindia Belanda buruh perkebunan adalah massa buruh lapis pertama. Tapi tidak tercerahkan.
Pergerakan buruh belum dikenal sampai pada tahun 1880-an ketika banyak pemberontakan-pemberontakan radikal petani, kaum buruh masih merasa satu nafas terhadap industri yang pertama kali dibangun di Hindia Belanda, massa buruh perkebunan belum memiliki kesadaran, karena ditempatkan di tempat yang terkucil dan jauh dari peradaban intelektual.
Massa buruh yang tercerahkan justru dibangun dari jaringan kereta api yang dibangun di seluruh pelosok Jawa pada tahun 1862. Saat itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. berkunjung ke London dan berpidato di depan forum investor Eropa atas tanah-tanah kolonial, dia berpidato “Tanah Jawa dan Jaringan Lalu Lintas Kereta Api” Van den Beele dalam pidatonya berkata : “Salah satu fungsi mempercepat kemajuan dalam dunia industri perkebunan di Jawa adalah terdapatnya Kereta api dan Tenaga Buruh” Disini Van Den Beele sudah menempatkan buruh sebagai bagian dari penilaian produksi pemerintahan Hindia Belanda.
Buruh menjadi kekuatan penting, isu terbesar dalam forum investor itu adalah ketersediaan tenaga kerja murah bahkan seperti budak. Namun angin kebebasan yang ditiupkan Lincoln membuat para bandar-bandar modal di Eropa menjadi amat berhati-hati dengan perbudakan, mereka mulai menilai kerja-kerja manusia sebagai kerja yang di ‘subkontrakkan’.
Dalam pertemuan investor di London, road show investments Van Den Beele berhasil, ia berhasil menarik beberapa investor, pooling fund atas investor itu dibentuk dalam badan hukum bernama “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV. NISM), yang dipimpin Ir. J.P de Bordes. Tiang pancang pembangunan pertama kali adalah di wilayah Tanggoeng, Semarang, selesai pada tahun 1867.
Apa yang dikatakan Van Den Beele menjadi kenyataan, pekerja kereta api meningkat pesat jumlahnya,, mereka menjadi pekerja-pekerja intelektual, lapisan paling elite dalam jajaran pekerja pribumi dan tidak diperlakukan sebagai budak.
Setiap jaringan kereta api menjadi pusat dari segala seluruh pergerakan politik di Indonesia yang paling realistis namun karena bersifat agak cenderung kiri dan kemerah-merahan, gerakan ini tidak pernah dicatat sebagai sejarah resmi negara.
Gerakan kebangsaan dicatat hanya sebagai gerakan kaum elite menengah atas, kaum bangsawan yang banyak terdapat di sekolah-sekolah bentukan Hindia Belanda, pergerakan kesadaran kebangsaan tidak dicatat dalam rapat-rapat politik di stasiun kereta api atau berada di kafe-kafe tempat para pekerja kereta api berkumpul.
Barulah pada tahun 1915 gerakan buruh kereta api menjadi sangat penting dalam percaturan politik setelah Sarekat Islam membuka afdeeling (Pengurus Cabang) di stasiun-stasiun penting di Jawa seperti: Semarang dan Surabaya.
Pada tahun 1918 di Garut terjadi pemberontakan yang ditengarai dilakukan SI Afdeeling B (Afdeeling B adalah kode, cabang rahasia yang sampai saat ini tidak ditemukan susunan pengurusnya, ini macam biro chusus pada masa DN Aidit di tahun 1965). Pemberontakan di Garut itu mendorong radikalisasi gerakan buruh di berbagai lini, pemogokan yang paling efektif dan menekan kaum pemodal justru terjadi pertama kali di industri percetakan Van Dorp yang berhasil menaikkan gaji 20% dan uang makan 10%, kemenangan kaum buruh dalam lingkungan percetakan Van Dorp membuat kaum agen-agen intelektual buruh mengembangkan dialektikanya atas sasaran perdjoangan.
Pergerakan buruh mencapai momentum terbesarnya ketika Soerjopranoto seorang bangsawan Jawa dari Trah Pakualaman masuk ke dalam Sarekat Islam dan mampu membius dengan pemikiran-pemikiran gerakan buruh yang taktis dan tepat. Soerjopranoto menjadikan gerakan buruh sebagai bagian tak terpisahkan dalam pembentukan pertama kali sebuah bangsa, sebagai bagian dari gerakan intelektual radikal. Soerjo mengatur pemogokan-pemogokan sebagai agenda gradual dalam menekan pemerintahan Hindia Belanda, lewat gerakan pemogokan ala Surjopranoto, Pemerintahan Hindia Belanda rugi jutaan gulden. Surjopranoto mendapat perhatian khusus oleh dinas intelijen Belanda dalam rapat khusus mereka di Istana Bogor tahun 1919.
Rapat khusus penggede “Politieke Inlichtingen Dienst” (PID) di awal tahun 1922 itu memutuskan dikenakannya : “exorbitante rechten”, penangkapan berdasarkan kecurigaan intelijen tanpa harus lewat proses hukum, yang jadi contoh kasus dalam operasi ini adalah Soerjopranoto. “Operasi Bogor” inilah yang kemudian menjadi amat keras bagi pergerakan-pergerakan buruh di masa selanjutnya dan pergerakan politik yang lain. Puncak dari “Operasi Bogor” adalah kekejian pemerintah Hindia Belanda dalam menumpas gerakan kemerdekaan yang dilakukan PKI pada tahun 1926/1927 lewat pemberontakan yang mereka lakukan di Prambanan, Semarang, Banten dan Silungkang Sumatera Barat.
Gerakan buruh setelah pemberontakan PKI dan ditangkapnya Bung Karno pada tahun 1930-an nyaris tak terdengar, dimasa-masa ini pula muncul generasi baru yang lahir pada tahun 1920-an awal dan bersemi antara tahun 1941-1949 menjadi kalangan kelas menengah namun menjadi agen intelektual atas gerakan-gerakan buruh dalam masa revolusi kemerdekaan 1945-1949.
Gerakan buruh menjadi terdengar gaungnya ketika terjadi perebutan massa buruh oleh kekuatan-kekuatan politik di sekitar revolusi 1945. Pada 1 Mei 1946, gerakan buruh didekati kelompok pemegang kekuasaan Perdana Menteri Sjahrir untuk dimasukkan ke dalam barisan Partai Sosialis, saat itu Sjahrir masih akur dengan Amir Sjarifuddin dan membentuk Partai Sosialis yang memegang jalannya pemerintahan. Di pihak lain kelompok Tan Malaka amat ingin sekali buruh masuk ke dalam garis perdjoangan mereka, kelompok Tan Malaka tak ingin kaum buruh masuk ke dalam kelompok pemerintah yang cenderung lebih kepada perdjoangan diplomasi, pada tahun 1946 tren diplomasi sudah ditengarai oleh Tan Malaka salah satunya adalah sikap begitu kompromisnya Sjahrir pada Inggris, Tan Malaka menghendaki tanpa kompromi perang dengan seluruh pasukan asing apapun alasannya dan menguasai seluruh perkebunan-perkebunan dan kilang.
Sjahrir dan Amir lalu memamerkan penguasaan kekuatan buruh mereka pada 1 Mei 1946, gerakan buruh 1 Mei 1946 sesungguhnya merupakan gerakan tandingan atas aksi Rapat Ikada 17 September dimana rapat raksasa itu adalah mainan dari kelompok Tan Malaka dan menjadi gema atas kekuatan rakyat paling spektakuler pada masa awal revolusi, kelompok Sjahrir menjadi gerakan 1 Mei 1946 sebagai bentuk kekuatan massa milik mereka di depan kelompok oposisi.
Gerakan buruh di masa Revolusi dan kemudian di masa Sukarno sama sekali tak menjadi kekuatan otentik, mereka tidak mendirikan partainya sendiri, mereka diageni banyak Partai dan banyak kepentingan, sehingga apa yang terjadi dalam dinamika gerakan buruh menjadi bagian dari sejarah Partai Politik bukan lagi sebagai bagian gerakan buruh murni, ini berbeda di lapangan perdjoangan intelektual kelas menengah yang menjadikan gerakan intelektual sebagai gerakan otentik.
Di masa Suharto, kemanusiaan buruh menjadi titik paling rendahnya, dalam konferensi di Swiss, dimana Frans Seda, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik melakukan lobi-lobi politik Internasional untuk mendapatkan bantuan keuangan internasional, buruh dimasukkan sebagai free warrant atas garansi instrumen hutang yang diterbitkan pihak Indonesia. Buruh menjadi sumber murah dalam pemanis sebuah investasi, hal ini bahkan lebih keji daripada yang dilakukan Van den Beele, dimana Van den Beele secara gentleman mengakui bahwa buruh diakui sebagai bagian subkontrak kerja.
Kebijakan ‘benda mati buruh’ dalam masa Orde Baru berlangsung terus menerus dan sistematis, kekuatan buruh dihajar habis-habisan, buruh dianggap sebagai bagian dari gerakan politik kiri, bahkan di tahun 1998 saat gerakan reformasi yang digerakkan mahasiswa terjadi kelompok buruh dilarang ikut-ikutan sehingga cap gerakan penggulingan Suharto hanya dilakukan kelompok mahasiswa.
Marginalisasi politik kaum buruh kemudian membuat buruh belajar sendiri, bahwa pergerakan mereka tidak membutuhkan agen-agen intelektual kelas menengah, mereka mengorganisir dirinya sendiri, bahkan sekarang kekuatan buruh adalah kekuatan paling terorganisir diantara seluruh kekuatan politik masyarakat yang ada, kekuatan buruh adalah kekuatan raksasa yang tenor perdjoangannya lebih lama ketimbang tenor perdjoangan mahasiswa. Bahkan bisa dikatakan, apabila kaum buruh mampu membentuk Partainya sendiri, membentuk jaringannya sendiri tanpa menggantungkan diri pada kekuatan Partai Politik mapan maka bisa dipastika, Partai Buruh menjadi Partai politik paling kuat di Indonesia.
Persoalan kaum buruh di Indonesia dalam konteks kekuasaan hanya satu yang mereka sampai saat ini tidak berani langsung berhadapan head to head dengan kelompok penguasa dinasti yang dibekeng kaum pemodal, kaum buruh masih enggan menggaris demarkasi permusuhan politik dan belum menggariskan sikapnya dalam kebijakan besar visioner tentang ‘Konstelasi Pergerakan Buruh di Indonesia melawan penguasa politik”.
Apabila garis-garis realistis perdjoangan kaum buruh bisa diletakkan dengan dasar yang baik, mampu menemukan hukum-hukum revolusi dalam perubahan bentuk susunan masyarakat maka tak pelak lagi, Partai Buruh akan menjadi Partai terkuat seperti dalam tradisi Inggris dan Negara-Negara Commonwealth.
(Anton DH Nugrahanto, 1 Mei 2012)
(Anto-DH-Nugrahanto/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email