Pertanyaan:
Mengapa pusara-pusara suci para Imam Maksum dihiasi dengan kubah emas sementara masih banyak orang-orang miskin yang merana, kaum Muslimin menderita demikian juga non-Muslim yang membutuhkan? Alih-alih menghabiskan dana untuk menghiasi pusara-pusara suci tersebut bukankah lebih baik mendermakannya untuk orang-orang miskin? Dan dari sisi lain, tempat-tempat suci di Madinah dan di Mekah tidak demikian adanya. Menghadapi pertanyaan semacam ini jawaban apa yang harus kita berikan untuk non-Syiah dan non-Muslim?
Jawaban Global
Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil
Jawaban Detil:
Pertanyaan ini dapat dijawab dari beberapa sisi:
1. Masalah seperti ini memiliki fondasi rasional, di seluruh dunia dan di antara peradaban agama-agama dunia penghormatan kepada para pembesar dan menghidupkan karya-karya mereka adalah suatu hal yang lumrah dan tidak ada halangannya sama sekali secara rasional.
2. Para Imam Maksum menampik dunia sementara pada saat yang sama mereka mendermakan seluruh harta dan kepemilikiannya untuk masyarakat. Mereka rela mengorbankan jiwa untuk agama dan keselamatan masayarakat. Karena itu sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi masyarakat kepada orang-orang suci ini, mereka membangunkan pusara-pusara suci untuk mereka.
3. Haramain Syarifain (Mekah dan Madinah) dan haram-haram[1] para Imam Ahlulbait As dan sebagainya merupakan bangunan, peninggalan bersejarah dan simbol peradaban Islam yang terpenting. Karena itu, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, haram-haram tersebut memiliki seni arsitektur, keunikan tersendiri dan mengikut pada budaya agama dan bangsanya.
4. Di Haramain Syarifain juga terdapat lempengan emas yang digunakan untuk menghias keduanya; sebagai contoh: gerbang Ka'bah dihiasi dengan emas yang bernilai tinggi dan sangat mahal. Demikian juga emas yang digunakan di Masjid Nabawi juga tidak kurang nilainya dari emas yang digunakan untuk menghias haram para Imam Maksum; dan juga kebanyakan masjid dan sentral-sentral lainnya kaum Muslimin di antaranya masjid-masjid penting Ahlusunnah mirip-mirip dengan kondisi ini. Karena itu – apabila kritikan ini dapat diterapkan – maka tempat-tempat ini harus diganti dengan bahan-bahan biasa.
5. Karya-karya ini dengan segala dimensinya dari sisi kebudayaan, politik dan sosial adalah simbol keislaman dan peradaban serta merupakan harta peninggalan dan kebudayaan dalam masyarakat dan bangsa-bangsa Islam.
6. Menghidupkan dan menggalakkan karya-karya dan tempat-tempat bersejarah ini merupakan sejenis tabligh (propaganda) yang menunjukkan kekuatan kaum Muslimin dan peradaban Islam di hadapan para penentangnya.
7. Biaya pembangunan kubah dan pusara haram-haram Ahlulbait As itu didanai dari tempat-tempat wakaf atau bantuan dan sumbangan masyarakat yang harus dihargai dan diperhatikan. Atas dasar ini, menjual emas dan benda-benda berharga lainnya (dari tempat-tempat suci ini) lalu mendermakannya pada orang-orang membutuhkan dan fakir miskin yang tidak sejalan dengan niat orang-orang yang menyumbang adalah bermasalah secara syar'i.
Terlepas dari itu, biasanya orang-orang yang mewakafkan hartanya atau orang-orang yang membantu adalah orang-orang kaya dan di samping mereka telah menyumbang langsung kepada para fakir dan miskin, mereka juga telah menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan tempat-tempat suci ini.
8. Di samping itu, melalui haram-haram Ahlulbait As banyak bantuan dan sumbangan dikumpulkan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin; sebagai contoh di Iran, terdapat lembaga-lembaga revolusi dan kemasyarakatan yang didirikan atas perintah Imam Khomeini Ra dengan nama "Komite Imdâd" yang mengelola bantuan-bantuan dan dana-dana pemerintah, bantuan dan santunan yang melimpah dari masyarakat yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin. Sebagian besar bantuan dan santunan tersebut terwujud berkat adanya haram-haram dan tempat-tempat suci ini.
9. Penjualan emas haram-haram para Imam tersebut di samping tidak begitu banyak membantu untuk memenuhi segala kebutuhan orang-orang miskin, juga akan meninggalkan kerugian bagi benda-benda bersejarah dan simbol peradaban Islam. Sementara budaya membantu kepada orang-orang miskin di kalangan Ahlulbait As adalah sebaik-baik model untuk membantu fakir dan orang-orang miskin.[]
Referensi:
[1]. Tempat-tempat suci berupa pusara para Maksum ini ghalibnya disebut sebagai haram.
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email