Jawabnya, para ulama telah sepakat, bahwa hadits yang telah sampai pada derajat shahih atau hasan adalah baik untuk diamalkan, atau dijadikan hujjah dalam menyatakan hukum syara’. Adapun hadits dhaif, mayoritas ulama membolehkan menggunakannya untuk memberi sugesti amalan utama dan perkara mustahab dengan sayarat tertentu, sebagaimana telah kita maklumi. Akan tetapi, ada sebagian imam yang suka berpagang pada hadits dhaif untuk hujjah hukum syara’, halal dan haram. Bahkan mereka lebih suka pada hadits dhaif ini dari pada berpegang pada kias, yang memang menjadi salah satu sumber legislasi hukum Islam, sebagaimana telah disepakati oleh mayoritas ulama Islam. Ulama yang berpegang pada hadits dhaif dalam persoalan ini adalah ketiga Imam Mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbul. 2) Disamping itu, ada pula sekelompok ahli hadits, seperti Imam Abu Dawud, Imam Nasai dan Imam Ibnu Hatim 3) berpendapat sama, tapi dengan dua syarat, yaitu :
1. Hadits dhaif itu tidak keterlaluan dhaifnya.
2. Hanya hadits itulah satu-satunya yang menjelaskan masalah itu, tidak ada hadits lainnya yang lebih kuat. Dengan kata lain, tujuan hadits dhaif itu masih dibenarkan oleh hadits shahih atau hasan.
Abdullah, putra Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayah tentang seorang yang merantai ke suatu negeri, dan orang itu tidak mendapatkan ulama tempat bertanya. Hanya ada seorang penemu hadits yang tidak mengetahui, apakah hadits itu shahih atau dhaif. Di negeri itu orang suka menggunakan pendapat (kias). Pengembara itu menjumpai masalah yang harus dipecahkan. Kepada siapakah ia harus bertanya? Apakah kepada penemu hadits itu, atau kepada orang yang suka menggunakan pendapatnya?” Maka ayah menjawab, “Dia harus bertanya kepada penemu hadits, dan tidak boleh bertanya kepada orang yang menggunakan pendapatnya. Sebab, hadits itu dhaif lebih kuat dari pada pendapat.” 1) Bahkan Imam Syafi’i sendiri menggunakan hadits mursal, apabila dalam suatu masalah ia tidak menemukan hadits lainnya.
Padahal ia berpendapat, bahwa hadits mursal itu dhaif. Begitulah Imam Sakhawi mengutip dari Imam Syafi’i melalui Imam Mawardi, salah seorang dari pemuka madzhab Syafi’iah dalam kitab Fathul Mughits Jilid I, halaman 80, 142 dan 268.
Adalagi medan lain untuk pengamalan hadits dhaif ini, yaitu apabila ada sebuah hadits yang lafalnya mengandung dua arti yang tidak diketahui salah satu artinya yang lebih kuat, lalu ada sebuag hadits dhaif yang menguatkan salah satu arti itu. Dalam hal ini kita berpegang dalam salah satu arti dari lafal hadits yang diperkuat oleh hadits dhaif tersebut. Hendaklah kita memperhatikan, bahwa para ulama imam salaf kita juga menggunakan hadits dhaif, sebagaimana telah kita ketahui. Lain dengan sekelompok manusia sekarang, yang tergesa-gesa dan dengan gegabah menyia-nyiakan hadits dhaif, bahkan menggolongkannya kedalam hadits maudhu’ (palsu), dan dikaitkan menjadi sepasang hadits yang tak ada artinya.
Catatan:
1. Syarah Musnad Abi Hanifah, Al-Qari, halaman 3 dengan sanad dari Ath-Thahawi dari Abi Hanifah.
2. Mirkatul Mafatih syarah misyakatul Mashabih, Ali Al-Qari jilid I, halaman 19
3. Fathul Mughhits, Sakhawi jilid I, halaman 80 dan 267, dan kitab ilmu hadits yang lain. Juga dalam Hasyiyah As- Sindi Ala Sunan An-Nasaai jilid I, halaman 6 dan dalam Al-Jarhu wat-Ta’dil Ibnu Abi Hatim jilid IV, I, halaman 347 dan Imam Nawawi mengutip pembicaraannya dalam Tahdzibul Asma’wal- Lughat Jilid II, I, halaman 86
*****
1. Dari kitab AL-Muhalla Ibnu Hazm jilid I, halaman 68, dan disebutkan juga oleh Sakhawi dalam kitab Fathul Mughits jilid Im halaman 80 dengan keterangan yang sama dan isnad yang shahih pula.
(All-About-Wahabi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email