Salah satu fakta yang memperkuat indikasi bahwa pribumi Nusantara sebenarnya merupakan keturunan Rasulullah yang pada awalnya bermazhab Syiah, adalah membandingkan keadaan di Indonesia dengan keadaan di situasi wilayah di belahan bumi lain yang mana di daerah tersebut juga terdapat pada Habib/Sayyid.
Contoh yang paling cocok adalah di Iran misalnya, yang mana di Iran sebelum perang Syiraz penduduknya masih Sunni, di Iran juga terdapat inreraksi Sunni-Syiah sebelumnya
Para Sayyid di Nusantara atau oleh masyarakat pribumi lebih familier mendapatkan sebutan gelar: “Habib” kebanyakan adalah masyarakat keturunan Hadhramauth yang tinggal di wilayah2 pesisir utara Jawa. Akan tetapi kedudukan para habib di Nusantara ini dalam peradaban dan kancah percaturan sosial maupun politik masyarakat di Nusantara sepertinya kurang berhasil. Memang awalnya mereka berhasil yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kakek-kakek mereka dahulu, yaitu para Walisanga misalnya. Para Walisanga adalah mubaligh yang mengajarkan ajaran Sunni-Syafii di Nusantara, oleh karena itu besar kemungkinan bahwa asal-usul mereka sebenarnya dari Yaman. Mazhab Islam Syafi’I hanya ada di Yaman dan Nusantara.
Dari sudut pandang gerakan para Walisanga, dan diluar pembahasan mengenai sasaran dakwah yang menjadi target dakwah mereka, sebenarnya patut diajukan sebuah pertanyaan, yaitu: apakah para Walisanga memang berdakwah Islam kepada masyarakat Nusantara yang masih beragama Hindu dan Budha, ataukah mereka berdakwah kepada masyarakat Nusantara yang sudah memeluk Islam, akan tetapi Islam mazhab ahlul bayt? Secara umum, misi dakwah para Walisanga mengajarkan mazhab Sunni-Syafii dapat dikatakan berhasil di Nusantara. Hingga saat ini mayoritas muslim di Nusantara menganut mazhab Syafii yang dibawa Walisanga.
Pada abad ke 16 masyarakat di Nusantara mengalami penjajahan, kemudian pada abad ke 20 berhasil terlepas dari penjajahan tersebut dan mencapai kemerdekaan bahkan menyatukan diri menjadi sebuah Negara Kesatuan. Akan tetapi selain berdakwah Islam mazhab Sunni-Syafii di Nusantara pada awal kedatangannya oleh para Walisanga, praktis pada masa-masa setelahnya, partisipasi para habib keturunan pendatang dari Hadhramauth ini dapat dikatakan tidak mampu berkembang. Bahkan mereka hampir tidak mempunyai partisipasi sama sekali dalam perjuangan membebaskan diri dari penjajahan atau perjuangan melawan penjajahan di awal kedatangan Belanda ke wilayah Nusantara.
Hampir semua pahlawan melawan penjajahan di Nusantara ini adalah pribumi. Padahal penjajahan Belanda sangat mengancam keislaman penduduk Nusantara. Seperti misalnya Pangeran Diponegoro yang dalam babadnya secara tidak langsung mengungkapkan bahwa misi perjuangan beliau sebenarnya bukanlah mengusir penjajahan Belanda. Akan tetapi lebih kepada mempertahankan keislaman masyarakat Jawa. Dan menurut pangeran Diponegoro, beliau berhasil dalam perjuangannya mempertahankan keislaman masyarakat. Hal ini yang mendasari pertanyaan besar dari kita; apakah benar mereka jugalah yang menyebarkan Islam di Nusantara untuk pertamakali, atau mereka sebenarnya tidak berdakwah Islam akan tetapi hanya mengganti mazhabnya saja?
Kemudian pada masa-masa setelahnya lagi. Pada masa sekarang dimana masyarakat Nusantara melalui pemerintah Republik Indonesia mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua elemen masyarakat tanpa melihat golongan dan ras untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Semua warga Negara diberi kesempatan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Masyarakat juga diberi kesempatan mengembangkan diri berkarir sesuai dengan profesi dan bidang kerjanya masing-masing. Pada masa pembangunan ini dimana kesempatan yang besar terbuka, ternyata para habaib di Nusantara juga kurang berhasil memanfaatkan kesempatan. Para habaib kurang mampu dalam memanfaatkan peluang pendidikan. Demikian pula jarang diantara para habaib di Nusantara yang sukses menjadi para sarjana, ahli matematika, pemikir, insinyur dan para intelektual negeri ini. Juga para politisi sukses dan pejabat pemerintahannya. Memang ada beberapa habaib yang mampu mencapai kedudukan politis, pejabat atas dan kedudukan akademik yang tinggi akan tetapi prosentasenya amat sangat sedikit, jauh sekali apabila dibandingkan dengan pencapaian dari berbagai bidang oleh para Sayyid di Iran yang mana jumlah mereka yang berpartisipasi dalam kemajuan bangsa Iran sangat massif.
Para Sayyid di Indonesia dan Para Sayyid di Iran: Sebuah Perbandingan
Keadaan para habaib di Nusantara masa kini amat berbeda jauh dengan keadaan saudaranya yaitu para Sayyid di suatu tempat berbeda pada bagian lain belahan bumi, yaitu para Sayyid yang berada di wilayah Persia dimana para Sayyid yang memasuki wilayah tersebut di masa awal pada perang Syiraz, pada akhirnya mampu mengembangkan segala potensinya. Mereka bahkan mampu menjadi motivator dan dinamisator gerakan-gerakan intelektual, sosial, keagamaan, politik dan pendidikan masyarakat. Iran adalah sebuah negara yang menempati wilayah Persia sekarang ini. Saat ini negara tersebut mengalami kemajuan yang amat pesat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, pendidikan keagamaan, politik, sosial, pendidikan masyarakat, teknologi, sains dan lain sebagainya.
Prestasi-prestasi yang berhasil dicapai para Sayyid di Iran sangat impresif, banyak diantara mereka yang menemukan penemuan-penemuan baru dari berbagai bidang disiplin ilmu. Penemuan-penemuan mereka sarat kualitas dan mencengangkan publik internasional. Dengan berbagai pencapaian mereka yang sarat prestasi inipun tidak menjadikan mereka menjadi sombong dan membanggakan diri, situasi yang sangat jauh jika tidak mau dikatakan berkebalikan apabila kita bandingkan akhlak mereka ini dengan yang dilakukan oleh para Habib di Nusantara dengan prestasinya yang justru sangat minim.
Gerakan maju bangsa Iran saat ini bersumber dari para Sayyid, dan dipelopori serta dimotori oleh mereka pula. Sejak masa perang Syiraz, maka dakwah akidah Islam Syiah kepada masyarakat Persia yg bermazhab Islam Sunni, secara perlahan tapi pasti mengalami kemajuan. Setelah memeluk Islam Syiah, secara perlahan tapi pasti, bangsa Persia terus mengalami kemajuan. Kesuksesan yang berhasil diraih pada awalnya adalah dakwah tauhid dan akhlak Islam Syiah, kemudian mereka mampu mendirikan kerajaan Islam Syiah yang ketiga setelah Perlak dan Fatimiyyin, yaitu kerajaan dinasti Safawi. Setelah itu mereka mampu mengembangkan berbagai Husainiyyah di masa dinasti Safawi, para Sayyid-lah yang menjadi penggerak dan sumber ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan masyarakat Persia. Kemudian pada masa-masa setelahnya pada masa dinasti Qajar yang represif kepada masyarakat, para Sayyid-lah yang menjadi pelindung rakyat sekaligus motivator untuk melawan penindasan.
Hingga puncaknya pada masa revolusi yg menggulingkan kezaliman dan penindasan monarki Syah Iran yang dibelakangnya terdapat kekuatan Amerika dan Israel. Masyarakat Iran yang dipimpin oleh seorang Sayyid kharismatik yaitu Ayatullah Khomeini. Dengan bimbingan dan motivasi Imam Khomeini, bangsa Iran dapat membebaskan diri dari pemimpin boneka yang tunduk pada kekuatan asing tetapi tega menindas bangsanya sendiri. Lalu pada masa-masa sek arang ini, dimana bangsa Iran sedang giat membangun bangsanya, tidak seperti para Habib di Nusantara, para Sayyid di Iran selalu berhasil dalam mempelopori berbagai bidang akademik, keagamaan, ilmu pengetahuan, teknologi, disiplin-disiplin ilmu pada berbagai bidang seperti kedokteran, pendidikan, teknik, humaniora, sains, lingkungan dan lain-lain. Prestasi para Sayyid pada berbagai bidang tersebut selalu pada posisi teratas.
Keadaan diatas sedikit banyak menyimpulkan; bahwa prestasi para Sayyid di Persia/Iran sejak mereka memasuki daerah itu pada perang Syiraz dalam keadaan tertindas, hingga akhirnya mereka mampu membalikan keadaan, sangat jauh berbeda dengan keadaan para Sayyid dari Hadhramauth yang memasuki wilayah Nusantara pada abad ke 15 hingga sekarang ini. Para Habib dari Hadhramauth keadaannya berangsur menurun dibandingkan pribumi Nusantara. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, yaitu; apa sebab yang membedakan kedua keadaan diatas sehingga hasilnya bisa berbeda? mengapa hal ini dapat terjadi?
Kemungkinan jawaban dari pertanyaan diatas bermacam-macam, akan tetapi tidak bisa lepas dari fakta bahwa kedudukan para Sayyid eks perang Syiraz pada saat ini di wilayah Persia lebih superior dibandingkan penduduk pribumi Persia. Mereka bahkan juga dapat menarik dan mempelopori para pribumi setempat untuk mencapai perkembangan potensi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Peristiwa di Syiraz berlangsung lebih awal daripada di Nusantara.
Maka dapat diajukan pertanyaan lanjutan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan pertama yaitu apakah situasi di Nusantara adalah keadaan yang sebenarnya? Yaitu apakah para habaib dari Hadhramauth di Nusantara adalah benar-benar Sayyid yang sesungguhnya? Pertanyaan ini wajar diajukan, karena keadaan mereka berbeda dengan peristiwa pada tempat lain di Syiraz, di Syiraz para Sayyid menunjukkan superioritas atas pribumi Persia. Superioritas ini sampai sekarang masih terjaga. Sedangkan keturunan-keturunan para habib dari Hadhramauth yang masuk wilayah Nusantara justru kalah bersaing dari pribumi Nusantara dalam berbagai bidang kemajuan, baik bidang keagamaan, politik, ilmu pengetahuan, sains, dll.
Apabila kita lacak jalur periwayatan untuk mengecek keshahihan dokumen pernasaban para Sayyid di Nusantara yang berasal dari Hadhramauth atau Yaman, maka mustahil diragukan akan status kesayyidan para Habaib di Nusantara. Beberapa ciri-ciri dan karakter mereka juga menunjukkan bahwa mereka memang para Sayyid keturunan Rasululah. Lalu kenapa mereka bisa inferior dibandingkan pribumi? Situasi yang jauh berbeda dengan yang dialami oleh saudara mereka di Syiraz? Maka jawaban yang mungkin tertinggal hanyalah bahwa: para pribumi Nusantara juga sebenarnya merupakan para Sayyid.
Perang Syiraz
Suatu peristiwa yang penting telah terjadi di Timur Tengah menurut periwayatan sejarah mazhab Ja’fari terjadi pada abad ke 2 Hijriah. Peristiwa ini penting diurai karena berimbas terhadap penyebaran dan dakwah agama Islam di Nusantara. Peristiwa tersebut adalah perang Syiraz. Pada masa keemasan dimana dinasti Abbasyiah mendirikan kekhalifahan yang paling berpengaruh. Kekhalifahan dinasti Abbasyiah saat itu mendapatkan lawan berat untuk mendapatkan simpati masyarakat dari Imam ke 8 mazhab Ja’fari Ali Bin Musa Ar Ridha dan para pengikut beliau. Khalifah dinasti Abbasyiah saat itu, Al-Ma’mun Bin Harun memindahkan ibukota kekhalifahan dari Baghdad ke Masyhad.
Peristiwa sejarah yang mendasari perang Syiraz dapat dinukil dari buku Mazhab Pecinta Keluarga Nabi karangan Ayatullah Sayyid Muhammad al-Musawi terbutan Tim Muthahari Press dibawah ini:
Menurut ahli sejarah mazhab ahlulbayt pemindahan ibukota kekhalifahan yang dilakukan oleh Ma’mun ini bukannya tanpa alasan. Ada unsur politik yang mendasari perpindahan ibukota kekhalifahan dinasti abbasyiah. Ma’mun melihat bahwa ketertarikan dan kecintaan masyarakat di sekitar ibukota Baghdad pada para imam ahlulbayt membahayakan kedudukannya. Langkah awal yang dilakukan Ma’mun adalah memindahkan ibukota. Tetapi konsentrasi masyarakat tetap tertuju pada imam ahlulbayt yang pada masa itu dipegang oleh imam Ali Bin Musa yang juga digelari oleh masyarakat dengan nama Ar-Ridha. Hal ini menyebabkan Ma’mun menempuh langkah yang lebih ekstrem lagi. Ma’mun akhirnya memaksa Imam Ali Ar-Ridha untuk menjadi menantunya. Ma’mun memaksa Imam Ali Ar-Ridha untuk menjadi putra mahkota dengan dinikahkan pada salah satu putrinya. Awalnya Imam Ali Ar-Ridha menolak pinangannya tersebut. Akan tapi Ma’mun memerintahkan utusan dengan dikawal segenap pasukan untuk menemui Imam Ali Ar-Ridha supaya membunuh beliau jikalau imam menolaknya. Akhirnya Imam menerima usulan Ma’mun. Imam dengan dikawal pasukan Ma’mun pindah dari Madinah menuju ke Thus, Khurasan. Masyarakat dan para alawiyyin saudara-saudara imam (orang-orang keturunan Rasulullah) resah dengan kepindahan Imam ini. Mereka merasa diputuskan hubunganya dengan Imam Ali Ar-Ridha. Maka para (alawiyyin) yang berfungsi sebagai penghubung antara Imam dengan kaum muslimin merasa bertanggung jawab atas putusnya rantai komunikasi, sosial dan politik dengan perpindahan imam ini. Situasi ini oleh para alawiyyin dianggap sangat membahayakan kelangsungan kebenaran risalah islam yang sejati. Oleh karena itu sebagian besar para alawiyyin bertekad untuk menyusul Imam ke Masyhad. Rantai komunikasi antara kepemimpinan spiritual islam dengan masyarakat yang terputus harus disambung lagi.
Para alawiyyin kemudian mengirimkan surat kepada al-Ma’mun meminta persetujuan atas perjalanan mereka ke Thus Khurasan.
Tujuan perjalanan itu adalah mendekati saudara yang menjadi pemimpin mereka; Ali Ar-Ridha. Hal ini dimaksudkan supaya Al-Ma’mun dan pasukannya tidak menghalangi maksud mereka dan tidak menimpakan keburukan kepada mereka. Al-Ma’mun menyetujuinya. Semakin kuatlah keinginan mereka untuk berangkat. Mereka sudah bertekad untuk melakukan perjalanan guna mengunjungi Imam Ali Ar-Ridha. Maka sebuah kafilah besar yang terdiri dari anak-cucu keturunan Rasulullah berangkat dari Hijaz dan Irak menuju Khurasan. Perjalanan mereka dilakukan melalui Basrah, Ahwaz, Busyahr, Syiraz dan seterusnya.
Ketika kafilah itu melewati sebuah negeri yang dihuni para pengikut ahlul bayt yang setia kepada keluarga Rasulullah Saw, bergabunglah mereka ke dalam kafilah Bani Hasyim tersebut. Kafilah para sayyid (julukan untuk keturunan rasulullah) ini dipimpin oleh saudara-saudara Imam Ali ar-Ridha, diantaranya Sayyid Ahmad yang lebih dikenal dengan “Syah Chiragh”, Sayyid Muhammad Al Abid yang dikenal dengan Jadduna Al-A’la, Sayyid Alaudin Husain. Mereka adalah para sayyid keturunan Rasulullah yang seayah dengan Imam Ali Ar-Ridha, yaitu sama-sama putra-putra dari Imam Musa Al-Kazhim.
Berkenaan dengan hijrah rombongan alawiyyin ini para sejarawan berkata, “Ketika mendekati Syiraz, kafilah ini telah beranggotakan lebih dari 15000 orang baik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Para mata-mata dan pejabat pemerintahan al-Ma’mun di Thus memberitahukan banyaknya anggota kafilah tersebut. Mereka mengingatkan Ma’mun akan akibat yang ditimbulkan dengan sampainya mereka di pusat pemerintahan di Thus Khurasan. Maka Ma’mun------- setelah mendengar berita tentang khafilah Bani Hasyim itu----merasa takut. Ia merasakan bahaya yan mengancam rencananya selama ini memisahkan Imam Ridha dari masyarakat. Simpati masyarakat yang lebih besar kepada para Imam daripada penguasa politik kepemimpinan islam dapat membahayakan kedudukannya.
Maka kemudian Ma’mun memerintahkan kepada para mata-mata di jalan-jalan dan kota-kota yang dilalui khafilah Bani Hasyim untuk menghalangi dan mensabotase perjalanan tersebut. Mereka harus mencegah perjalanan kafilah tersebut tidak sampai pada tujuannya di kota Thus. Padahal ketika perintah khalifah itu sampai pada gubernur, rombongan kafilah itu sudah hampir sampai ke Syiraz. Segera gubernur Syiraz menunjuk komandan pasukannya yang bernama Qatlagh Khan. Gubernur memerintahkan Qatlagh Khan untuk menyiapkan 40.000 orang tentara untuk menghadang rombongan kafilah para alawiyyin dan menghalau mereka kembali ke Hijaz.
Pasukan Qatlagh Khan itu berangkat dari Syiraz menuju jalan yang dilewati kafilah di Khan Zaniyun, sebuah tempat yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Syiraz. Mereka diam disitu menunggu kafilah lewat. Tidak lama kemudian kafilah melewati daerah itu, jalan menuju Thus yang melewati Syiraz. Segera komandan pasukan Qatlagh khan, mengirim seorang utusan kepada para sayyid. Dan menyampaikan perintah khalifah. Ia meminta mereka agar segera kembali ke Hijaz.
Maka Syah Chiragh, sebagai yang tertua diantara mereka----berkata:
Pertama, dengan perjalanan kami ini, kami tidak bermaksud apa pun kecuali mengunjungi saudara kami Imam Ali Ar-Ridha di Thus.
Kedua, kami tidak keluar dari Madinah dan tidak menempuh perjalanan panjang ini kecuali dengan izin dan persetujuan dari khalifah. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menghalangi perjalanan kami.
Utusan itu pergi dan menyampaikan jawaban ketua rombongan kafilah kepada Qatlagh. Kemudian ia dating lagi dan berkata, “Komandan Qatlagh memberikan jawaban bahwa khalifah mengeluarkan perintah baru dan memastikan kepadaku serta dengan segala kekuatan, kami akan menghadang perjalanan ini ke Thus. Barangkali itu merupakan perintah baru karena tuntutan keadaan. Karenanya anda semua harus kembali ke Hijaz.
Menyikapi situasi baru ini Syah Chiragh bermusyawarah dengan saudara-saudaranya dan anggota-anggota kafilah yang memiliki pandangan dan pendapat tentang perintah itu. Tak seorang pun di antara mereka yang setuju untuk kembali. Mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke Khurasan meskipun hal itu memberatkan mereka. Mereka menempatkan kaum wanita di barisan belakang sedangkan kaum laki-laki di barisan depan. Mereka mulai melanjutkan perjalanan.
Qatlagh pun memberangkatkan pasukannya guna menghadang kafilah itu. Setiap para sayyid keturunan Rasulullah menasihati mereka untuk memberi jalan, mereka tidak mempedulikannya. Sikap itu menyebabkan terjadinya peperangan dan pertempuran. Berkobarlah api peperangan di antara kedua belah pihak. Pasukan al-Ma’mun menderita kekalahan dalam melawan kafilah para sayyid.
Karenanya Qatlagh menggunakan tipu daya. Ia memerintahkan orang-orangnya agar naik ke atas bukit dan berseru dengan suara keras, “Hai anak cucu Ali dan para pengikutnya, jika kalian mengira bahwa Ar-Ridha akan memberikan pertolongan di samping khalifah, ketahuilah bahwa telah sampai berita wafatnya kepada kami. Khalifah pun telah menyatakan bela sungkawa kepadanya. Oleh karena itu, untuk apa kalian berperang? Ar-Ridha telah tiada.
Tipuan ini berpengaruh besar terhadap semangat para mujahid perang. Mereka pun bercerai-berai di tengah malam dan meninggalkan medan perang. Maka Syah Chiragh memerintahkan saudara-saudaranya dan orang-orang yang masih menyertainya agar mengenakan pakaian penduduk setempat. Mereka berpencar di tengah malam gulita. Mereka menapaki jalan umum sehingga dapat menyelamatkan diri dan tidak jatuh ke tangan Qatlagh dan pasukannya. Mereka berpencar ke bukit-bukit dan lembah-lembah dalam keadaan terusir. Dalam sejarah para alawiyyin dalam rombongan Syah Chiragh ini setelah pecah berantakan terus berlari dan berlari. Pasukan kekhalifahan Baghdad juga terus tak bosan-bosannya mencari-cari mereka dan keturunanya selama beratus-ratus tahun.
Adapun Syah Chiragh, demikian pula adik-adiknya Sayyid Muhammad al-Abid dan Sayyid Alaudin masuk ke Syiraz secara sembunyi-sembunyi. Masing-masin dari mereka mengasingkan diri di tempat yang terpencil dan menyibukkan diri dengan beribadat kepad Allah Swt.
Pada akhirnya nanti para Sayyid pelarian Perang Syiraz yang tertindas ini secara perlahan-lahan mampu keluar dari persembunyiannya. mereka yg awalnya taqiyyah perlahan2 berani berkomunikasi dengan masyarakat sekitar mereka yg membenci mereka karena perbedaan mazhab. lambat laun bahkan mulai berani dakwah, akhirnya mereka mampu mensyiahkan hampir semua penduduk Iran yang sebelumnya memeluk Islam Sunni.
Sejak Perang Syiraz ini kaum Syiah mulai ada yg keluar dari tekanan Sunni
Hubungan antara Perang Syiraz dengan Kerajaan Perlak Syiah
Kerajaan Perlak berdiri pada masa yang tidak begitu jauh kurun waktunya dengan peperangan di Syiraz antara rombongan alawiyyin yang dipimpin oleh Syah Ceragh dengan pasukan Ma’mun yang dipimpin oleh Qatlagh Khan. Kerajaan Perlak disinyalir berdiri pada tahun 840 Masehi. Sedangkan peperangan antara rombongan alawiyyin berlangsung sekitar tahun 823 Masehi. Terdapat selisih kurang lebih 13 tahun antara peperangan Syiraz dengan berdirinya kerajaan Perlak, dengan kerajaan Perlak berdiri sesudah terjadinya peperangan di Syiraz. Suatu jarak yang bisa dikatakan berurutan, antara perang Syiraz dengan berdirinya kerajaan Perlak. Apabila hal ini dikatakan suatu kebetulan maka suatu kebetulan yang luar biasa. Karena Perlak adalah tradisi islam yang terjauh pertama dari tempat kelahiran islam itu sendiri. Bahkan di wilayah-wilayah yang relatif lebih dekat jaraknya dengan jazirah Arab seperti India pun masih banyak yang belum memeluk Islam.
Kerajaan Perlak juga ternyata di masa awalnya adalah kerajaan berdasar pada Islam mazhab Syiah (Ahlul Bayt). Sama dengan mazhab Islam yang dianut oleh para rombongan alawiyyin di perang Syiraz. Oleh karena itu tidak mungkin kerajaan Perlak mendapatkan paham Syiah diluar dari para Sayyid peserta perang Syiraz, karena pada saat itu hanya kelompok Perang Syiraz sajalah yang merupakan kaum muslimin yang bermazhab Syiah.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kerajaan Perlak merupakan kerajaan Syiah yang berdiri pertamakali di dunia, bahkan lebih dahulu dari kesultanan Syiah yang didirikan oleh bangsa Iran sendiri, bangsa Iran mendirikan kesultanan Safawi yang bermazhab Syiah pada abad ke 15. Orang-orang yang tercerai-berai dalam perang Syiraz adalah para keturunan nabi yang bermazhab Syiah. Bisa dikatakan bahwa pada saat itu hanya mereka saja kelompok manusia yang menganut mazhab Islam Syiah di dunia ini. Sejak perang Syiraz itu mereka (para keturunan nabi yang bermazhab Syiah) yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di jazirah Arab, kemudian tersebar ke wilayah-wilayah di luar jazirah Arab. Mereka sampai mengembara ke wilayah-wilayah barat yang tidak berada dalam naungan kekuasaan daulah Abbasyah. Ketidakpergian mereka berhijrah ke arah timur melainkan malah berhijrah kearah barat disebabkan karena arah kehijrahannya mengikuti Imam Ali Ridha yang bergerak ke barat. Setelah tercerai-berai, mereka juga memberanikan diri untuk melarikan diri ke wilayah-wilayah barat diluar wilayah Daulah Abbasyah. Hal ini terpaksa mereka lakukan karena keadaan pada wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan kesultanan Baghdad membahayakan keselamatan mereka. Wilayah-wilayah timur jauh seperti Nusantara adalah tempat yang aman dari kejaran orang-orang Bani Abbas, bisa dipastikan bahwa Perlak/Lamuri berada di suatu wilayah yang tidak terjangkau pengaruh dari kesultanan Bani Abbas.
Ketika melihat riwayat sejarah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa besar kemungkinan bahwa penyebar Islam di Nusantara pertama yang mendirikan Kerajaan Perlak/Lamuri adalah para Sayyid pelarian perang Syiraz. Nama orang-orang yang menjadi cikal-bakal kesultanan Perlak/Lamuri adalah Ali Bin Muhammad Ja’far Shadiq. Nama tersebut sangat bernuansa Syiah atau mazhab ahlul-bayt. Ali adalah nama Imam Syiah yang pertama. Sedangkan Ja’far Shadiq adalah nama Imam ke 6 mazhab ahlul bayt. Pada masa itu hanya para keturunan nabi yang memeluk Syiah berani memakai nama-nama yang bernuansa imam-imam Syiah. Baru sekitar abad ke 13 saja ketika bani Abbas runtuh, maka masyarakat Islam mazhab Sunni mulai memberanikan diri menggunakan nama-nama itu untuk disematkan pada anak-anak mereka. Pada masa itu bahkan para pengikut Syiah pun, jika dia bukan orang yang masih merupakan keturunan Rasulullah maka tidak akan berani menggunakan nama-nama tersebut. oleh karena itu pada masa Daulah Abbasyah banyak para penganut Syiah tinggalnya di wilayah kekuasaan kerajaan tersebut justru memakai nama-nama orang-orang yang merupakan musuh para Imam Syiah, seperti Mu’awiyah, Yazid, dll.
Berdasar uraian sejarah diatas maka bisa ditarik hipotesa bahwa penduduk Nusantara masuk Islam karena jasa para keturunan Rasulullah Muhammad. Pengislaman yang terjadi di Nusantara dilaksanakan oleh para keturunan nabi yang berasal dari Persia bukan dari Yaman. Selama ini kesimpulan yang lebih popular adalah bahwa pengislaman di Nusantara dilakukan oleh para keturunan nabi yang berasal dari Gujarat atau Yaman. Berbeda dengan para sayyid yang berasal dari Yaman pada abad ke 15. Para Sayyid dari Syiraz/Persia sudah masuk ke Nusantara sekitar kurang lebih 600 tahun lebih awal dari para Sayyid yang berasal dari Yaman/Hadramauth. Para Sayyid yang dari Syiraz Persia yang masuk ke Nusantara pada masa awal Islam tidak terlalu mementingkan identitas dan jati diri karena mereka dalam pelarian. Begitu besarnya tekanan terhadap mereka sampai dalam sejarah ada diantara mereka yang masuk agama Hindu, terdapat riwayatnya pada buku ''Kisah-kisah ajaib'' karya Ayatullah Sayyid Dasteghib diterbitkan Qorina. []
(Republika/Al-Shia/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email