Pesan Rahbar

Home » , , » Perjalanan Dalam Menempuh Kebenaran

Perjalanan Dalam Menempuh Kebenaran

Written By Unknown on Friday, 8 August 2014 | 09:21:00


By: Abu Aqilah

Al-Qur’an menjelaskan tiga persyaratan bagi setiap golongan dan agama umat ini yaitu: iman kepada Allah, beriman kepada akhirat dan melaksanakan perbuatan amal shaleh, ayat tersebut berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[1], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[2], hari Kemudian dan beramal saleh[3], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [4] Yang menjelaskan persyaratan keselamatan buat mereka. Apakah tujuan ayat adalah sesuatu yang telah mereka pahami? Ataukah dalam bentuk pamahaman yang lain?

Kaum Yahudi dan Nasrani, mereka masing-masing mengatakan bahwa mereka adalah umat yang terbaik. Klaim yang mereka dengungkan ini juga disebutkan dalam al-qur’an, yang berbunyi: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka Mengapa Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu”)[1].(QS AL-Maidah ayat 18).

Dan dengan kesombongan kaum Yahudi, disebutkan dalam Al-qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 80, yang berbunyi: “Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Setelah klaim ini, adalah sebuah kebatilan yang nyata, kelanjutan ayat ini menyebutkan: “Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu Hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”

Ayat diatas menjelaskan akan kelemahan pengetahuan mereka terhadap Tuhan. Dan pengetahuan terhadap Tuhan adalah pengetahuan secara fitrah. Manusia tanpa membutuhkan sebuah pengajaran telah menyadari kebutuhan akan Tuhannya. Oleh karenanya, manusia yang memiliki akal tidak memperoleh pemaafan bila terjadi pengingkaran terhadap Tuhan. Dalil tersebut dapat disebutkan dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”, Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”[2]

Maksudnya adalah agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa bapak-bapak mereka dahulu Telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.

Dari ayat diatas bahwa semua manusia telah mengikat janji dengan Tuhannya dan tidak menghalangi seandainya mereka yang dahulunya musyrik dari keturunan mereka untuk dapat mengenal sebuah kebenaran. Sekali lagi, bahwa pengetahuan akan pengenalan terhadap Tuhan adalah pengenalan secara fitrah. Dalam ayat Allah Swt berfirman . Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui .”[3] (fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan).

Dari penjelasan ayat diatas bahwa keselamatan tidaklah berkaitan dengan orang non muslim, disebabkan hujjah mereka terhadap Islam telah sempurna dan tanpa usaha pencaharian. Dalam kategori mereka hujjah Islam terhadap mereka belum sempurna dan terhalang bagi mereka untuk mendapatkan pengetahuan Islam seperti halnya pengikut Al-Masih yang hanya mengetahui pengajaran nabi Isa dan dengan pengetahuannya ia beramal dan dari muslim yang ia ketahui tidak beramal baik, adalah keselamatan bagi mereka. Dalam hal ini, Allamah Muttahari berkata: “Seseorang bukan dikarenakan namanya kafir menyebabkan ia masuk neraka, juga bukan karena nama (Islam) menyebabkan ia masuk surga. Akan tetapi yang berpengaruh adalah iman dan amal sholeh.”

Namun dalam kategori hujjah mereka telah sempurna, tidak ada jalan keselamatan bagi mereka kecuali menerima Islam.

Dalil diatas kita berbicara terhadap kemungkinan keselamatan bagi seseorang non Islam, bukan penetapan terhadap hukum keselamatan tersebut. Dan dengan dalil ini, apakah keselamatan tersebut menyangkut semua keberadaan golongan dan mazhab Islam? Dalam hal ini persoalan berkisar tentang orang yang beramal atas kebenaran yang ia ketahui. Tentunya dengan informasi yang cukup pada masa sekarang, dapat menilai arti kebenaran tersebut. Kecuali, mereka yang termasuk golongan mustadhafiin. Dan Syekh Makarim Syirazi ketika menafsirkan kaum mustadh’afiin dalam surat An-Nisa ayat 97-98, adalah mereka secara pemikiran , jismani dan ekonomi tidak mampu untuk dapat mengenal kebaikan dari kebatilan atau tidak dapat menilai sebuah kebenaran akidah dan dengan keterbatasan lingkungan tempat tinggalnya, tidak dapat melaksanakan tugasnya secara sempurna serta mereka pun tidak mampu untuk berhijrah.[4]

Dalam riwayat lain, seseorang bertanya kepada Imam Musa Bin Ja’far as tentang mustadhafiin. Beliau as, menjawab: “Mustadhaf adalah ketika hujjah dan dalil tidak sampai kepadanya dan tidak mengetahui adanya perbedaan (mazhab dan akidah yang mengacu pada penelitian). Dan ketika mengetahui adanya perbedaan ini maka tidak disebut sebagai mustadhaf.[5]

Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam ayat yang pertama kali kita sebutkan, bukanlah sebuah kelebihan yang diberikan kepada kaum Nasrani dan Yahudi pada masa sekarang, dikarenakan hujjah mereka telah sempurna untuk memperoleh informasi kebenaran. Dan ayat tersebut sebahagian mufasir menyebutkan, adalah berlaku bagi umat yang terdahulu sebelum kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saaw. Adapun umat Islam yang tidak termasuk dalam mustadhafiin, harus mencari nilai kebenaran dalam realitas terpecahnya umat Islam dalam berbagai golongan dan mazhab.


Catatan Kaki:

[1]Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.

[2]orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.

[3]ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.

[4] Surat Al-Baqarah ayat 62

[1] Al-Maidah ayat 18

[2] Al-A’raf ayat 172-173

[3] Ar-Ruum ayat 30

[4] Tafsir Amstal dalam terjemahan bahasa Parsi (Nemune) juz 4 hal 88

[5] Ibid hal 89.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: