By: Abu Aqilah
Al-Qur’an menjelaskan tiga persyaratan bagi setiap golongan dan agama
umat ini yaitu: iman kepada Allah, beriman kepada akhirat dan
melaksanakan perbuatan amal shaleh, ayat tersebut berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin[1], siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah[2], hari Kemudian dan beramal saleh[3],
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [4] Yang
menjelaskan persyaratan keselamatan buat mereka. Apakah tujuan ayat
adalah sesuatu yang telah mereka pahami? Ataukah dalam bentuk pamahaman
yang lain?
Kaum Yahudi dan Nasrani, mereka masing-masing mengatakan bahwa mereka
adalah umat yang terbaik. Klaim yang mereka dengungkan ini juga
disebutkan dalam al-qur’an, yang berbunyi: “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani mengatakan: “Kami Ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka Mengapa Allah menyiksa kamu
Karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara
orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya
dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan kepunyaan Allah-lah kerajaan
antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu”)[1].(QS
AL-Maidah ayat 18).
Dan dengan kesombongan kaum Yahudi, disebutkan dalam Al-qur’an dalam
surat Al-Baqarah ayat 80, yang berbunyi: “Dan mereka berkata: “Kami
sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa
hari saja.” Setelah klaim ini, adalah sebuah kebatilan yang nyata,
kelanjutan ayat ini menyebutkan: “Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima
janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah
kamu Hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Ayat diatas menjelaskan akan kelemahan pengetahuan mereka terhadap
Tuhan. Dan pengetahuan terhadap Tuhan adalah pengetahuan secara fitrah.
Manusia tanpa membutuhkan sebuah pengajaran telah menyadari kebutuhan
akan Tuhannya. Oleh karenanya, manusia yang memiliki akal tidak
memperoleh pemaafan bila terjadi pengingkaran terhadap Tuhan. Dalil
tersebut dapat disebutkan dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:. Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”, Atau agar
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”[2]
Maksudnya adalah agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa
bapak-bapak mereka dahulu Telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka
tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi
jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang
mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka
tidak patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.
Dari ayat diatas bahwa semua manusia telah mengikat janji dengan
Tuhannya dan tidak menghalangi seandainya mereka yang dahulunya musyrik
dari keturunan mereka untuk dapat mengenal sebuah kebenaran. Sekali
lagi, bahwa pengetahuan akan pengenalan terhadap Tuhan adalah pengenalan
secara fitrah. Dalam ayat Allah Swt berfirman . Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui .”[3] (fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia
diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada
manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka
tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan).
Dari penjelasan ayat diatas bahwa keselamatan tidaklah berkaitan dengan
orang non muslim, disebabkan hujjah mereka terhadap Islam telah sempurna
dan tanpa usaha pencaharian. Dalam kategori mereka hujjah Islam
terhadap mereka belum sempurna dan terhalang bagi mereka untuk
mendapatkan pengetahuan Islam seperti halnya pengikut Al-Masih yang
hanya mengetahui pengajaran nabi Isa dan dengan pengetahuannya ia
beramal dan dari muslim yang ia ketahui tidak beramal baik, adalah
keselamatan bagi mereka. Dalam hal ini, Allamah Muttahari berkata:
“Seseorang bukan dikarenakan namanya kafir menyebabkan ia masuk neraka,
juga bukan karena nama (Islam) menyebabkan ia masuk surga. Akan tetapi
yang berpengaruh adalah iman dan amal sholeh.”
Namun dalam kategori hujjah mereka telah sempurna, tidak ada jalan keselamatan bagi mereka kecuali menerima Islam.
Dalil diatas kita berbicara terhadap kemungkinan keselamatan bagi
seseorang non Islam, bukan penetapan terhadap hukum keselamatan
tersebut. Dan dengan dalil ini, apakah keselamatan tersebut menyangkut
semua keberadaan golongan dan mazhab Islam? Dalam hal ini persoalan
berkisar tentang orang yang beramal atas kebenaran yang ia ketahui.
Tentunya dengan informasi yang cukup pada masa sekarang, dapat menilai
arti kebenaran tersebut. Kecuali, mereka yang termasuk golongan
mustadhafiin. Dan Syekh Makarim Syirazi ketika menafsirkan kaum
mustadh’afiin dalam surat An-Nisa ayat 97-98, adalah mereka secara
pemikiran , jismani dan ekonomi tidak mampu untuk dapat mengenal
kebaikan dari kebatilan atau tidak dapat menilai sebuah kebenaran akidah
dan dengan keterbatasan lingkungan tempat tinggalnya, tidak dapat
melaksanakan tugasnya secara sempurna serta mereka pun tidak mampu untuk
berhijrah.[4]
Dalam riwayat lain, seseorang bertanya kepada Imam Musa Bin Ja’far as
tentang mustadhafiin. Beliau as, menjawab: “Mustadhaf adalah ketika
hujjah dan dalil tidak sampai kepadanya dan tidak mengetahui adanya
perbedaan (mazhab dan akidah yang mengacu pada penelitian). Dan ketika
mengetahui adanya perbedaan ini maka tidak disebut sebagai mustadhaf.[5]
Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam ayat yang pertama kali
kita sebutkan, bukanlah sebuah kelebihan yang diberikan kepada kaum
Nasrani dan Yahudi pada masa sekarang, dikarenakan hujjah mereka telah
sempurna untuk memperoleh informasi kebenaran. Dan ayat tersebut
sebahagian mufasir menyebutkan, adalah berlaku bagi umat yang terdahulu
sebelum kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saaw. Adapun
umat Islam yang tidak termasuk dalam mustadhafiin, harus mencari nilai
kebenaran dalam realitas terpecahnya umat Islam dalam berbagai golongan
dan mazhab.
Catatan Kaki:
[1]Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman
dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.
[2]orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang
beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya
kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat
pahala dari Allah.
[3]ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
[4] Surat Al-Baqarah ayat 62
[1] Al-Maidah ayat 18
[2] Al-A’raf ayat 172-173
[3] Ar-Ruum ayat 30
[4] Tafsir Amstal dalam terjemahan bahasa Parsi (Nemune) juz 4 hal 88
[5] Ibid hal 89.